Senin, 27 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (5): Lukisan, Sketsa, Peta, Foto Kota Padang Tempo Doeloe; Mesin Waktu Kembali ke Masa Lampau

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Banyak sumber data untuk mengolah dan merekonstruksi sejarah kota-kota, termasuk sejarah Kota Padang. Yang paling umum digunakan adalah buku. Informasi dari buku menjadi terbatas karena data dan informasi telah mengalami reduksi (oleh penulisnya). Untuk mengatasi masalah tersebut surat kabar, majalah dan publikasi statistik sangat berguna. Secara khusus, data dan informasi yang bersumber dari surat kabar sangat jarang digunakan penulis-penulis Indonesia masa kini, padahal data surat kabar bagaikan data ‘real time’ yang mampu menyediakan informasi dalam memahami perubahan setiap tahapan waktu.

Lukisan tertua Kota Padang (1846)
Penulis-penulis Indonesia, lebih mengandalkan buku-buku, padahal buku-buku yang ditulis adalah kompilasi dari surat kabar, majalah dan statistik berkala. Uniknya, para penulis menganggap bahwa semakin langka sebuah buku (sulit diakses) maka semakin dikultuskan. Oleh karena hanya dia yang memiliki buku tersebut, maka dia merasa sebagai pionir. Padahal buku itu sendiri telah mengalami reduksi terhadap suatu peristiwa atau suatu momen yang sesungguhnyanya. Solusi terbaik adalah mengkombinasikan semua sumber agar mendapat gambaran yang utuh.

Sumber data lainnya yang bisa dimaksimumkan adalah lukisan, sketsa, peta dan foto. Sumber data lukisan atau foto dapat memberikan gambaran vertical (visual) masa lalu yang lebih kompak, sedangkan sketsa atau peta dapat memberikan gambaran horizontal tentang spasial yang lebih luas. Kedua sumber ini dapat saling melengkapi. Baik foto/lukisan atau peta/sketsa jika masing-masing diurutkan sesuai waktu akan menyediakan ‘data panel’ yang dapat menghasilkan informasi yang maksimum (akurat dan lengkap). Time series data (verbatim, visual dan metric) adalah syarat perlu dalam penulisan sejarah. Namun itu tidak cukup dan harus didukung ruang spasial. Dengan demikian, untuk memahami suatu peristiwa atau momen semakin teruji.

Oleh karenanya, untuk mengolah Sejarah Kota Padang, tidak hanya cukup data dan informasi dari buku. Kita harus memaksimumkan penggunaan data dan informasi yang bersumber dari surat kabar dan majalah. Tentu saja itu tidak cukup, peta (sketsa) dan foto (lukisan) akan membuat data dan informasi menjadi lebih kompak. Sejarah kota yang berbasis data dan informasi yang kompak akan menyajikan sejarah yang sebenarnya.

Namun perlu disadari sumber sejarah yang kita gunakan, seperti non verbatim (sketsa, lukisan, peta dan foto) adakalanya tidak akurat dalam menyajikan informasi waktu. Untuk meningkatkan validitas setiap sumber tetap harus diverifikasi. Untuk proses validasi ‘data panel’ ruang dan waktu dapat membantu. Hal lain yang perlu disadari setiap kejadian tidak berdiri sendiri, setiap kejadian selalu memiliki referensi (ruang dan waktu). Mengutamakan dimensi ruang dan waktu dalam menyiapkan data akan menghasilkan interpretasi yang baik, sebaliknya mengabaikannya akan memunculkan cara pandang eksklusivitas (ego). Cara kerja yang tak lazim ini (tidak proporsional) kerap muncul dalam penulisan sejarah di Indonesia: menggelembungkan yang satu dan mengerdilkan yang lain. Akibatnya hasil-hasil penulisan sejarah tidak jarang muncul kontroversi.

Dalam penulisan sejarah, pada penemuan data seringkali muncul euphoria eureka! dan lupa memverifikasi. Akan tetapi sulitnya, ketika ditemukan data baru sulit mengubah interpretasi yang sudah ada. Ini juga tidak lazim, tapi itulah adanya. Kemauan mengoreksi sangat dikedepankan.

Gambar Pertama Kota Padang

Foto tertua Kota Padang (1867)
Gambar tertua tentang Kota Padang tidak akan ditemukan dalam bentuk foto. Karena teknologi fotografi belum ada. Sebuah lukisan Kota Padang (diduga) dibuat pertama kali oleh JHW. le Clercq pada tanggal 1 Juni 1846. Lukisan de Clercq ini meski dibuat sederhana tetapi cukup berhasil untuk memberikan perspektif suatu momen pada masa lampau dimana dia melukis berada di muara sungai Batang Arau. Bandingkan dengan foto yang dibuat oleh Woodbury & Page pada tahun 1867.

JHW. le Clercq yang ditampilkan hanya memberikan informasi sedikit dan hanya terbatas pada lukisan itu. Akan tetapi jika kita urutkan semua lukisan le Clercq akan kita temukan suatu penggalan-penggalan waktu perjalanan ekspedisi yang panjang yang dilakukannya yang menunjukkan dia berada dimana. Lukisan  le Clercq di atas (bertanggal 1 Juni 1846) menunjukkan dia berada di Kota Padang.

Lukisan tertua Kota Padang Sidempuan (1846)
Pada pertengahan bulan Juni ditemukan lukisan le Clercq bertanggal 14 Juni 1846 di Solok. Lalu beberapa hari berikutnya ditemukan lukisan di Agam dan kemudian di Loeander (1846-07-01) dan selanjutnya secara berturut-turut di Pinyonge (1846-07-04), Siaboe (9 July 1846), Padang Sidempoean (1846-07-11), Loeboek Raja (1846-07-14) dan Batang Toroe (17 Juli 1846). Rangkaian lukisan ini seakan garis kontinu antara Kota Padang dan Sibolga melalui Solok, Fort de Kock, Padang Sidempoean.

Lalu saya teringat ketika menulis Sejarah Padang Sidempuan dan saya telah menemukan sebuah artikel yang dimuat dalam Algemeen Handelsblad edisi 09-12-1847 dan saya kombinasikan dengan lukisan-lukisan yang dibuat le Clercq tampanya ada keterkaitan. Artikel surat kabar tersebut adalah sebagai berikut.

Algemeen Handelsblad, 09-12-1847 (surat pembaca, yang ditulis pada bulan Agustus 1846, di Sidim Poewang di dataran tinggi Sumatera): ‘Saya tinggal di sebuah lembah di bagian lembah sungai Ankola... Rumahku, jika anda tahu, telah dibangun, dan jendela telah dilengkapi dengan jendela kaca, sangat menyenangkan, dan taman di sekitar rumah saya…Di sini di sekitar negara Batta ini, rumah-rumah tidak begitu kuat dibuat, sebagai salah satu kebiasaan mereka, beberapa diantaranya mewah (mungkin maksudnya rumah adat). Namun kuda-kuda mereka cukup tersedia yang boleh dibilang dianggap untuk yang terbaik dari Nusantara setelah Makassersche. Mereka berlari cepat dan bisa bertahan lama…Pria naik kuda hanya di sini…Jika kamu membayangkan yang satu akan menemukan di sini, seperti dengan setiap langkah kaki harus berhati-hati. Hal ini berlaku sesedikit bahwa ular atau hewan liar pada dasarnya banyak ditemukan di sini.berlimpah baik di sepanjang jalan atau di daerah  penduduk, anda bertanggung jawab untuk selalu hati-hati. Adakalanya bertemu harimau, orangutan, oliefanlen, dll, seseorang harus menembus hutan ketika ia bepergian, mendaki gunung, ..oleh orang-orang jarang melintasi wilayah ini sepanjang saya dalam dua tahun tinggal di tempat ini, aku punya pengalaman, bagaimana aku kadang-kadang melakukan perjalanan cukup jauh, di tengah jalan dapat melihat  satwa liar, seekor badak, orang oetan dan aku bahkan tidak perlu menemukan mereka sampai jauh…Kita memiliki garnisun kecil disini, itu biasanya sangat tenang (tidak ada gangguan keamanan). Jarang seseorang dari Padang atau Tappanoelie (Sibolga) untuk mengunjungi kami, dan itu sudah beberapa bulan sejak kami telah dikunjungi beberapa fisikawan di sini (geolog). Sebulan lalu, yang di posting (pos) ini terkait dengan Jenderal von Gagern…Pada pertengahan Juni (1846), ia telah ditemani Jenderal Michiels, gubernur militer Sumatra’s Weskust... Anda bisa membayangkan betapa besar jumlah kami di sini dalam kunjungan pejabat tinggi ini…untuk menyambut tamu kami…rumah dan Kasernen, gebraiji ordo dan semuanya dipoles atau diperbaharui…Pada bulan Juli (1846) kedua  jenderal itu di sini (Padang Sidempuan), dengan rombongan, empat asisten, tiga ambtenaren sipil, dan pegawai dan operator, waarvar. Lebih dari dua ratus operator telah diperlukan untuk membawa.pakkagie (perbekalan) yang dibawa melalui pegunungan dan lembah. Kuda-kuda diberi makan hanya rumput, di sini setiap hari harus dipotong. Sekarang, untuk memastikan agar kuda-kuda Lords terdapat seratus Melayu dalam layanan harian. Satu kemudian membayangkan  yang sulit dimengerti dan banyaknya kerumunan di kami sehingga sangat ramai di Sidimpoewang. Dari semua sisi yang kepala Batta, datang dengan sejumlah pengikut, semua datang dengan di atas kuda, banyak peningkatan harian, mereka untuk menyaksikan Pak Gubernur eerbewijzingen. Untuk menampung tamu kami, secara substansial tidak mudah.Tentu saja, bagi dua jenderal, rumah yang dipilih adalah rumah terbaik untuk mereka tinggal; ini adalah gouvernementsgebouw, dan untuk ini kamar dan ruangan harus sangat rapi dan tersedia rak baru yang luas. Gubernur, itu mendiami, harus mencari tempat yang aman; Aku, dan tuan-tuan lain dari posting ini (yang berdiam di sini), memiliki yang terbaik untuk meninggalkan penguasa sipil dan pembantu berperan besar. Dengan saya tinggal Mr L. dan teman saya, R. Meskipun para jenderal telah berkunjung dan selesai ke tempat di pelosok-pelosok di sini, namun mereka  lebih dari empat hari mereka tinggal di sini--dua kali dari yang direncanakan. Ini bukti bahwa hal itu menyenangkan mereka dengan kami. Sekarang di sini adalah benar-benar lingkungan yang sangat menyenangkan dan untuk menawarkan banyak variasi; dan udara yang kita hirup dalam bergslreken ini, sangat sehat. Semuanya telah ditinjau di sini, bahkan rumah sakit dan apotek kami dan tentang segala sesuatu memberi kesan bahwa Jenderal von Gagern menyatakan kepuasannya…Kita yang berada jauh di sini kita dinyatakan dalam pengasingan kami cukup sering menyerah, karena tidak ada orang yang datang. Kini, semua Eropa Scheeren amble hamba dan petugas setiap hari..setelah kepergian tamu yang tinggi, sebelum kita kembali ke kehidupan kita yang tenang dan panjang hanya akan mengunjungi kami entah kapan lagi itu. Rombongan meninggalkan kami menuju Tappanoelie (Sibolga), untuk selanjutnya para jenderal di sepanjang pantai menuju ke Padang untuk kembali…Ini adalah salah satu Fraaije dan komisi terhormat; menguntungkan yang sama karena salah satu adjudannya mengatakan kepada saya bahwa secara umum mengeluarkan dana sebesar f 4.000..Hujan di sini biasanya lebih berat, guntur dan petir ganas dan lebih mengerikan daripada di Eropa dan kita semua di sini selalu sangat sehat, bukti bahwa kita memiliki climaat yang sangat baik’…Jenderral von Gagern adalah utusan Raja yang datang dari Negeri Belanda, seorang tentara professional pensiunan jenderal Jerman yang memberi advis ke Raja dari kunjungannya ke Hindia Belanda’.

Ketika kini saya tengah menulis Sejarah Kota Padang, yang mana saya menemukan lukisan tertua Kota Padang, ternyata pelukisnya adalah JHW. le Clercq. Lalu saya menelusuri tanggal terdekat dari lukisan Moearo, muara sungai Batang Arau dan saya menemukan lukisan-lukisan le Clercq di Solok dan Agam dan Loeander. Garis waktu pembuatan lukisan le Clercq ini ternyata bersesuaian dengan artikel yang pernah saya kutip beberapa tahun yang lalu. Kesimpulannya: JHW. le Clercq telah menyertai perjalanan ekspedisi Gubernur Michiels bersama Jenderal von Gagern dari Kota Padang ke Kota Padang Sidempuan (selanjutnya ke Sibolga).

Sebelumnya, saya juga temukan lukisan-lukisan JHW. le Clercq di Preanger ketika menulis Sejarah Bandoeng. Namun yang ingin saya katakana, suatu rangkain lukisan juga dapat menjelaskan sutua peristiwa (sejarah) antara satu tempat dengan tempat lainnya di dalam urutan waktu yang sesuai (akurat).

Dengan menelusuri lukisan-lukisan dalam hal ini sesungguhnya telah menjelaskan (sedikit) kaitan antara Kota Padang dan Kota Padang Sidempuan. Lukisan-lukisan dengan artikel di surat kabar dalam hal ini telah menjadi suatu kombinasi data (sejarah) yang kompak yang dari itu telah menghasilkan informasi yang akurat dan lengkap. Demikianlah kontribusi lukisan telah melangkapi informasi surat kabar dan sebaliknya informasi surat kabar dapat melengkapi data dari lukisan-lukisan.

Foto Kota Padang (1867)
Hal yang sama juga saya temukan lukisan-lukisan Junghuhn dan Rosenberg yang pada tahun 1840 melakukan ekspedisi geologi/botani ke Tanah Batak (termasuk Angkola/Padang Sidempuan) melalui Sibolga. Ketika saya menulis Sejarah Bandoeng, saya juga menemukan lukisan-lukisan Junghuhn di Preanger yang bertugas dalam eksplorasi geologi dan botani. Dengan memperhatikan relasi lukisan-lukisan dan artikel di surat kabar mengenai Junghuhn di Tanah Batak menjadi mudah dapat dipahami relasi-relasi tugas Junghunh dalam bidang geologi dan botanis di Tanah Pasoendan.

Sementara itu, foto tertua Kota Padang yang saya temukan adalah foto yang dibuat oleh Woodbury & Page. Foto pertama Kota Padang adalah seputar muara sungai Batang Arau yakni Moearo tahun 1867. Teknologi foto yang digunakan untuk merekam fakta (sejarah) di Hindia Belanda (baca: Indonesia) baru terjadi pada 1850an. Woodbury & Page melakukan aktivitas fotografi di Batavia 1860. Junghuhn sendiri di Preanger pada tahun 1858 sudah menggunakan teknologi foto (demikian juga JHW. le Clercq di kurun waktu yang sama di Preanger).

Foto tertua Kota Padang Sidempuan (1870)
Foto tertua di Kota Padang Sidempuan dibuat pada tahun 1870 oleh JA Meessen. Foto ini menggambarkan suatu tempat (pasar) yang kini menjadi pusat Kota Padang Sidempuan. Foto lain yang dibuat pada tahun yang sama oleh JA Meessenditemukan di Panjaboengan. Sebagaimana diketahui (lihat Sejarah Padang Sidempuan) ibukota Afdeeling Mandailing en Angkola dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempuan pada tahun 1870. Saat itu, kota terbesar di Residentie Tapanoeli adalah Padang Sidempuan. Kota ini juga menjadi simpul perdagangan kopi di afdeeling Mandailing en Ankola, yang kemudian diteruskan ke Kota Padang melalui pelabuhan Loemoet dan Djaga-Djaga (di Teluk Tapanoeli).

Peta Pertama Kota Padang

Peta Kota Padang, 1879, 1889 dan 1903
Peta Kota Padang paling tua dipublikasikan tahun 1889. Peta yang ada sebelumnya baru dalam bentuk sketsa (1879). Peta Kota Padang tahun 1889 ini sudah sangat jauh detailnya dibandingkan dengan sketsa Kota Padang tahun 1879. Meski demikian, peta tahun 1879 sudah cukup memberikan informasi yang diperluakan. Dalam Sketsa 1879 di Djatilaan (daerah Jati yang sekarang) baru tiga situs yang ada, yakni rumah Gubernur, Garnisoen dan kantin militer. Selain itu hanya dampak persawahan yang luas. Daerah Djati ini pada tahun 1879 merupakan daerah terjauh dari Kota Padang yang berpusat di Moearo (Sebagaimana diketahui perubahan status Residen menjadi Gubernur terjadi pada tahun 1834). Jika situasi tahun 1879 dibandingkan dengan tahun 1889 (Peta 1889) area di sekitar rumah Gubernur sudah banyak berubah. Perubahan ini semakin kontras jika diperhatikan situasi pada tahun 1903 (Peta 1903). Dengan titik pusat yang baru di Rumah Gubernur (menggantikan Moearo), pada tahun 1903 kota telah meluas ke segala penjuru. Moearo menjadi tampak terpencil.

Peta Residentie Tapanoeli, 1852
Sebelum adanya peta kota di Sumatra, sudah ada peta Pulau Sumatra yang dipublikasikan dan Peta Sumatra’s Westkust pada tahun 1830. Peta Sumatra;s Westkust diperbaiki dengan tingkat presisi yang lebih baik dipublikasikan pada 1846. Peta ini diduga menjadi pedoman perjalanan ekspedisi yang dilakukan Gubernur Michiels dari Padang ke Padang Sidempuan pada tahun 1846. Lalu kemudian pada tahun 1852 diterbitkan secara khusus peta Residentie Tapanoeli (suatu peta yang paling diteail dan presisi yang lebih baik jika dibandingkan peta-peta lain yang ada di Pulau Sumatra. Peta ini pada tahun terbit telah digunakan seorang wisatawan Ida Pfeiffer ketika melakukan ekspedisi ke Tanah Batak dari Kota Padang ke Kota Padang Sidempuan.

Peta Kota Padang Sidempuan (1880)
Sementara itu, peta pertama Kota Padang Sidempuan terbit pada tahun 1880. Tidak begitu jelas alasannya, mengapa peta Kota Padang Sidempuan lebih dahulu dibuat oleh Topographisch Bureau di Batavia jika dibandingkan dengan peta Kota Padang. Namun demikian, dugaan kuat karena di Sumatra’s Westkust saat itu terdapat dua kota yang memiliki sekolah guru (kweekschool) yakni di Kota Fort de Kock (Bukittinggi) dan di Kota Padang Sidempuan.Alasan lainnya adalah Kota Padang Sidempuan akan menjadi ibukota Residentie Tapanoeli. Dan realisasi pemindahan ibukota Residentie Tapanoeli dari Sibolga ke Padang Sidempuan terjadi pada tahun 1885 (namun tidak lama, dipindahkan kembali ke Sibolga). Saat itu Sibolga baru terlihat sebagai ibukota pemerintahan, belum menjadi kota besar (pusat pemerintahan dan pusat perdagangan). Di Province Sumatra's Westkust pada saat itu, tiga kota besar adalah Padang, Fort de Kock dan Padang Sidempuan. 

Peta Fort de Kock (1892)
Sejauh ini saya belum berhasil menemukan peta Kota Fort de Kock yang tertua. Peta Fort de Kock yang tertua dapat dianggap publikasi tahun 1892. Peta ini adalah peta wilayah Agam namun bentuk peta Fort de Kock dapat diidentifikasi sebagai bagian dari Peta Agam. Meski begitu adanya, penggalan peta Agam ini dapat dianggap sebagai peta Kota Fort de Kock. Secara khusus, peta Kota Fort de Kock baru ditemukan pada tahun 1903. Jika dibandingkan Kota Fort de Kock berbeda tahun, area kota tidak terlalu berubah dan area kota hanya di sekitar kantor Residen dan kampement. Namun di sekitar area kota cukup dekat perkampungan dan jumlahnya sangat banyak. Hal ini berbeda dengan Kota Padang dan Kota Padang Sidempuan, kampung-kampung terdekat cukup jauh dari pusat kota. Akibatnya migrasi ke kota (urbanisasi) belum suatu kebutuhan bagi penduduk di luar Fort de Kock (Agam). Selain itu, Fort de Kock bukan satu-satunya simpul perdagangan )terutama ekonomi kopi) di Padangsche Boevenlanden, namun cukup banyak, seperti Padang Pandjang, Paijacombo dan Solok.  

Pelukis dan Fotografer

Para pelukis dan fotografer secara tidak langsung telah member kontribusi dalam pengetahuan. Para pelukis tentu saja sudah ada sejak lama dan telah menjadi profesi. Para pelukis ini banyak yang datang dengan sengaja ke Hindia Belanda (baca: Nusantara) untuk mengabadikan setiap momen yang dianggap penting baginya untuk dijual. Karena hasil penjualan itulah yang menutupi biaya-biaya yang mereka keluarkan selama melakukan ekspedisi (petualangan) terutama ke wilayah-wilayah baru. Disamping itu juga, terdapat pelukis-pelukis karena hobi yang dilakukan di luar kesibukan mereka sebagai pejabat, pegawai atau pengusaha.

Para pelukis professional (yang kerap melakukan petualangan) bahkan ke wilayah-wilayah terpencil (yang belum dimasuki oleh orang-orang Eropa), hasil-hasil karya mereka banyak yang dibeli oleh pemerintah atau ilmuwan (yang umumnya bekerja untuk pemerintah), untuk mengenal lebih awal wilayah baru sebelum pemerintah dan militer Belanda melakukan invasi. Juga pemerintah memafaatkan jasa mereka untuk mengabadikan setiap figur maupun setiap peristiwa yang penting. Para pelukis ini umumnya membuat galeri di tempat tinggalnya berada.

Para pelukis-pelukis yang datang ke Sumatra umumnya telah melakukan kegiatan ekspedisi di Jawa. Interaksi mereka dengan berbagai pihak di Jawa (utamanya di Batavia) memungkinkan mereka mendapat order untuk melakukan tugas bersama dengan pemerintah (maupun ilmuwan) ke wilayah baru. Junghuhn ketika memasuki wilayah Tapanoeli pada tahun 1840 ia didampingi oleh pelukis professional Carl Benjamin Hermann von Rosenberg. Demikian, juga ketika Gubernur Michiels melakukan ekspedisi pada tahun 1846 ke Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli juga didampingi oleh pelukis professional JHW le Clerq yang sejak 1845 melakukan petualangan di Lima Poeloh Kota. Pelukis-pelukis lainnya adalah dari perusahaan Wilsen, F.C., Tresling & Co.

Dalam perkembangannya, setelah ditemukan teknologi fotografi (alat perekam), kegiatan ekspedisi yang dulunya hanya ‘direkam’ oleh para pelukis, lalu bertambah lagi profesi baru yakni fotografer. Mereka ini juga melakukan tugas-tugas yang sama dengan para pelukis. Para fotografer ini memiliki pasar yang lebih luas karena alat yang mereka gunakan lebih mungkin memproduksi lebih banyak dan menjualnya dengan lebih murah.  Para fotografer tidak hanya bekerja untuk situasi khusus tetapi juga untuk situasi sehari-hari untuk melakukan kegiatan pengambilan foto bagi individu maupun keluarga. Usaha fotografi juga semakin popular dan adakalanya mereka mendirikan studio foto di kota-kota tertentu.

Woodbury & Page adalah perusahaan fotografi yang berkantor pusat di Batavia. Petugas jasa fotografi Woodbury & Page inilah yang pertama kali mengabadikan view Moeara, origin dari Kota Padang. Woodbury & Page juga mengabadikan hotel pertama di Kota Padang (Hotel Sumatra) pada tahun 1867. Fotografer lainnya yang datang ke Sumatra adalah JA Meessen. Beberapa situs penting yang diabadikan Meessen adalah Lembah Anai (1867) dan juga Hotel Sumatra. Fotografer lainnya adalah Haase & Co., WJ Olland. CD Veth, Arend Ludolf van Hasselt, Lowenstam & Co dan AH Tuinenburg. Dari nama ini tampaknya orang-orang Jerman cukup banyak yang melakukan kegiatan fotografi.


Peta Penemuan Sumatra

Peta 1560
Peta adalah pedoman navigasi. Belanda datang ke Nusantara berdasarkan peta sudah sudah dikembangkan sebelumnya. Peta tahun-tahun terakhir adalah hasil kumulatif kegiatan geografi dan kartografi yang dilakukan oleh para ahli berdasarkan hasil ekspedisi atau hasil-hasil laporan individu yang dipertukarkan di Eropa (Purtugis, Spanyol, Belanda, Inggris). Tim Cornelis de Houtman termasuk yang memanfaatkan peta-peta itu.

Peta 1560 (zoom)
Peta Sumatra pertama masih disebut Taprobana. Peta tertua Sumatra (sebuat saja: Taprobana) tersebut bisa ditelusuri yang dibuat dalam bahasa Portugis yang terbit tahun 1560. Meski nama Taprobana masih diperdebatkan antara pulau Sumatra atau pulau Kalimantan, tetapi nama-nama tempat yang disebut dalam peta Taprobana yang dipublikasi tahun 1560 sudah sesuai dengan nama tempat yang sekarang. Dalam peta ini teridentifikasi dari arah Pantai Timur Sumatra, Terra Daru (Terra d’Aru) atau Kerajaan Aru (Pertibie?), danau besar (danau Toba?) dan penunggang kuda (orang Batak). Sedangkan dari arah Pantai Barat Sumatra teridentifikasi nama-nama tempat seperti Ticoe (Tiku?), Priama (Pariaman?) dan Indapoera (Indrapura). Di pedalaman teridentifikasi bangunan kraton (istana Pagaruyung?). Nama-nama tempat di Sumatra dalam peta ini kurang lebih sama sebagaimana yang dapat dibaca dalam buku Pires, Pinto dan Barbosa.

Peta 1598 (Peta de Houtman)
Ketika ekspedisi Cornelis de Houtman (1595), peta lama yang telah digunakan lalu direvisi kembali sesuai hasil-hasil ekspedisi mereka. Peta pulau Sumatra pasca ekspedisi Houtman yang berupa sketsa (sebut saja: Peta de Houtmen) telah dipublikasi dalam jurnal ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ...’. Jurnal yang diterbitkan tahun 1598 ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1595 di Texel.

Peta 1598. Peta de Houtman (zoom)
Dalam jurnal ini (catatan hari demi hari dengan menyebut tanggalnya), semua keahlian (di luar teknis dan navigasi) terlibat di dalam ekspedisi ini antara lain penulis, pelukis dan pembuat peta (sketsa) tentu saja ada ahli bahasa. Secara khusus di Peta de Houtman sudah lebih banyak nama-nama tempat baik di pantai barat maupun pantai timur jika dibandingkan Peta Taprobana. Dalam Peta de Houtman sudah teridentifikasi nama Minangkabau (Manacabo), Batak (Bata), Batahan (Bathan) dan Batang Arau (Araorivier). Nama Padang belum teridentifikasi, sebagai kita ketahuai Kota Padang berada di muara sungai Batang Arau.

Peta-peta penemuan ini lambat laun semakin lengkap dengan semakin luas dan semakin jauhnya ruang ekspedisi (oleh pera pelaut-pelaut). Dalam Peta 1619 Papua Nuigini belum teridentifikasi dengan baik (baru sekitar kepala burung dekat Maluku), Peta-peta yang diterbitkan selanjutnya semakin mendekati keadaan yang sekarang dengan semakin intensnya perhatian para geographer dan kartografer dalam menyusun Peta Sumatra dan Peta Indonesia sebagai bagian dari penyusunan Peta Dunia. Peta 1687 jaub lebih baik dari Peta 1619. Lalu kemudian Peta

Peta 1619
Dalam Peta 1619 di Sumatra, khususnya di Pantai Barat Sumatra sudah semakin banyak nama-nama tempat yang teridentifikasi. Nama-nama tempat utama pada Peta 1619 adalah Baroes (Barus?), Bathan (Batahan?), Groot Pasgeman (Air Bangis), Paraiaman (Pariaman) dan Ghebroekenhoek (Padang?). Dalam Peta 1687 Barus dan Pariaman tetap eksis, Batahan dan Air Bangis menghilang tetapi muncul nama Tiku (nama yang sudah pernah muncul pada tahun 1560). Yang paling kita tinggu: Nama Padang (Padangan) muncul menggantikan nama di posisi Ghebroekenhoek (muara sungai Batang Arau). Nama Indrapoera tetap eksis, sebagaimana Pariaman sejak doeloe (Peta 1560).

Demikian seterusnya, peta-peta terus diperbaiki, tidak hanya bentuk (luas dan topografi), tetapi juga nama-nama tempat utama (tingkat kepentingannya). Seperti dalam Peta 1752 nama-nama yang selama ini belum pernah muncul sudah mulai teridentifikasi satu per satu. Pada Peta 1752 sudah teridentifikasi Singkel, Tappanoeli, Masang dan Salide. Sejauh ini nama Natal belum teridentifikasi, tetapi dalam peta-peta berikutnya nama Natal telah menggantikan keutamaan Batahan dan Air Bangis menggantikan Tikoe.

Peta 1730
Itulah kronologis adanya peta modern yang berkembang sejak jaman kuno (sejak para ahli menganggap dunia ini masih datar). Pemetaan (pembuatan peta) ini sudah ada sekitar 300 SM. Yang menarik dalam sejarah pembuatan peta kuno, sejak Plato atau Ptolemy, pulau Sumatra paling dicari (karena menghasilkan emas dan rempah-rempah unggul) yang disebut kala itu Pulau Taprobana. Konon, orang-orang Eropa sangat penasaran untuk menemukan pulau ini, karena orang-orang Mesir, Persia dan Arab terus merahasikan dimana keberadaan pulau ini. Kerahasian itu baru mulai terbuka ketika musafir Italia sudah sampai ke Pantai Barat Sumatra. Ini berarti Sumatra adalah kunci penemuan dunia bagian timur.

Kota utama di jaman kuno di pantai Barat adalah Baroes. Kota ini merupakan simpul perdagangan utama dari kamper atau kapur barus dan kemenyan dari Angkola), emas dari Mandailing dan Pasaman. Tempat dimana kapur barus (benzoin) diduga nama kafura melalui bahasa Persia masuk dalam kita suci Alquran. Demikian jiga nama Ophir sebagai penghasil emas dalam kita suci (Taurat dan Injil) di era Portugis telah memberi nama pegunungan di Pasaman dengan nama pegunungan Ophir.

Peta 1818
Untuk sekadar tambahan: Kedudukan Baroes di Pantai Barat Sumatra sangat penting di jaman kuno. Tempat yang diduga peradaban baru dimulai di Hindia Timur (baca: Nusantara). Dari Baros pedagang-pedagang India memasuki Angkola, untuk memotong rantai tataniaga emas dan kemudian mendirikan koloni di Angkola dengan situs peninggalan India tertua di Sumatra yakni Candi Simangambat di Angkola (yang relatif seumur dengan candi Brobodoer di Jawa). Lalu kemudian terbentuk pusat perdagangan (emas, kamper dan kemenyan) di Pantai Timur Sumatra (sebagai kontra Baroes di Pantai Barat Sumatra yang Islam) di hulu sungai Baroemoen (masih termasuk Angkola). Area ‘megapolitan’ perdagangan ini dikenal sebagai situs peninggalan Hindu, percandian di Padang Lawas. Dalam perkembangannya, Sriwijaya (Budha) menguasai perdagangan Padang Lawas yang mengakibatkan Kerajaan Cola di India (abad ke-11) untuk memulihkan kedudukan Hindu dan menghancurkan Budha di Sriwijaya. Untuk menguasai jalur perdagangan selat Malaka, Cola yang Hindu (asal mula Angkola?) lebih memilih di Padang Lawas daripada Palembang sebagai pusat Cola di Sumatra. Posisi ini dengan sendiri memutus jalur perdagangan Tiongkok dari Timur ke Barat.

Sejauh yang diketemukan, peta paling tua yang disusun pelaut-pelaut Portugis diterbitkan pada tahun 1619. Dalam peta ini empat tempat yang teridentifikasi adalah: di pantai barat Sumatra adalah Baros (baca: Barus) dan Bathan (baca: Batahan); di pantai timur Sumatra adalah Daru (baca: Ara atau Aru) dan Ambuara (kemudian menjadi Jamboe Ajer/Perlak). Empat tempat ini terhubung dengan jalur perdagangan komoditi kuno ke daerah pedalaman dimana penduduk Batak berada. Baros adalah bandar komoditi kemenyan, benzoin dan kamper (kapor barus) dari penduduk Batak di Silindoeng dan Toba; Batahan adalah bandar komoditi emas (tampaknya Batahan lebih terkenal dari Natal) dari penduduk Batak di Mandailing. Aru (Daru) di sepanjang DAS Baroemoen adalah jalur komoditi emas. kemenyan, kamper dan benzoin dari penduduk Batak di Angkola. Ambuara atau Jamboe Ajer/di Perlak adalah bandar komoditi kemenyan, kamper dan benzoin dari penduduk Batak di Alas dan Gajo (Bandar sisi barat adalah Singkel). Dalam peta 1619, Deli belum terindentifikasi. Oleh karenanya bandar terpenting di pantai timur Sumatra hanya Aru (di sungai Baroemoen) dan Ambuaru atau Jamboe Ajer/di Perlak atau Tamiang.

Peta 1619
Sementara itu, Baros yang sudah sejak lama didominasi pengaruh Islam, orang-orang Moor menggeser pusat perdagangannya dari Baros ke ujung utara Sumatra (kini Atjeh) yang kemudian muncul pusat-pusat kekuatan perdagangan. Kekuatan Islam  di ujung utara Sumatra ini lalu menggantikan posisi kekuatan Hindu di Padang Lawas; Kerajaan Hindu menghilang dan muncul Kesultan Islam (kesultanan Islam pertama di Nusantara: Kesultanan Aru?). Kesultanan di pedalaman ini lalu bergeser posisinya ke ujung utara Sumatra (mirip dari Baros ke ujung utara Sumatra di pantai barat). Peninggalan Kesultanan Aru ini kemudian menjadi Kerajaan Aru (local) yang menurut Pinto dan Barbosa sebagai Battak Kingdom (Inggrsi) atau Terra Daroe atau Terra d’Aroe )Prtugis) di pengaliran sungai Baroemoen (aroe adalah terminology sungai di basis Baudha di Sri Lanka (Budha adalah koloni pertama asing di Padang Lawas). Keradjaan yang menjadi partner Kesultanan di ujung utara Sumatra ini sempat menjalin hubungan dagang dengan Tiongkok (era sebelum muncul nama Cheng Ho?), dalam perkembangannya dihancurkan oleh Madjapahit (ekspedisi Sumatra) tetapi tidak mampu mengalahkan Kesultanan Islam di Atjeh. Kesultanan-kesultanan di ujung utara Sumatra ini dalam perkembangan lebih lanjut bertransformasi menjadi Kesultanan/Kerajaan Atjeh (termasuk dinasti Iskandar Moeda). Kerajaan Atjeh kemudian mulai dapat gangguan dengan kehadiran Portugis. Akhirnya Atjeh, Portugis, Belanda, Perancis dan Inggris) saling memperkuat pengaruh di Pantai Barat Sumatra. Perseteruan Atjeh dan Belanda di Padang (muara sungai Batang Arau) termasuk bagian dari perseteruan tersebut.
Peta-peta buatan Portugis itu (yang menjadi rujukan pembuatan peta-peta selanjutnya) besar kemungkinan didasarkan pada laporan Tome Pires (1512-1515) yang pernah mengunjungi Malacca. Pires mendeskripsikan Sumatra berdasarkan informasi yang dikumpulkan di Malacca, dimana di dalam laporannya Barros ditulisnya saling tertukar antara Barros dengan Bata, Bara dan juga ditulis sebagai Terra de Aeilabu dan Terra de Tuncoll. Semua nama-nama yang tertukar itu berada di daerah teritori penduduk Batak (Baros). Lalu kemudian Daru tertukar dengan Barros atau de Aru (Daru adalah ucapan untuk 'de Aru'). Ini juga mengindikasikan nama-nama itu berada di daerah teritori penduduk Batak. Intinya, beberapa bandar penting yang didaftar Tome Pires adalah Pedir, Aeilabu, Lide, Pirada dan Pacee. Dari tiga pelabuhan penting ini hanya Aeilabu (Aek Labu atau Lobu Toea? nama lain Baros) yang sangat dekat dengan teritori penduduk Batak, Meski disebut nama Aru, tetapi di dalam laporan Pires tidak menonjol. Nama Aru baru menonjol dalam laporan Barbosa. Ekspedisi Barbosa dilakukan setelah Tome Pires. Barbosa menyebut hanya tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem, Achem, Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Barbosa melakukan ekspedisi pada tahun 1518 Barbosa tampaknya mengoreksi hasil identifikasi Tome Pires.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar