Kamis, 11 Juli 2019

Sejarah Bekasi (19): Sejarah Land Babelan, Kampung Halaman Pahlawan Bekasi Noer Alie; Pintu Gerbang ke Bekasi Tempo Dulu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Nama Babelan di Bekasi bukanlah nama baru, tetapi nama yang sudah tua di Bekasi. Ketika masih muda di masa lampau, wilayah Babelan adalah pintu gerbang menuju kota Bekasi. Namun pada masa ini, Babelan kerap dipersepsikan sebagai wilayah bagian belakang (kabupaten) Bekasi. Tapi, jangan lupa, Babelan adalah kampung halaman KH Noer Alie, Pahlawan Nasional dari Bekasi.

Kecamatan Babelan (Now). Kampong Babelan (1903)
Hidup bagaikan roda pedati, adakalanya di atas dan ada pula saatnya di bawah (dan sebaliknya). Demikian juga dalam perkembangan spasial awalnya pintu belakang tetapi kemudian menjadi pintu gerbang (dan sebaliknya). Itu berubah seiring berjalannya waktu. Di era kolonial Belanda ada suatu adagium: Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa kini, dan Sumatra adalah masa depan. Orang Sumatra di Volksraad tidak sependapat dengan sebutan Sumatra adalah wilayah terluar, dan mengusulkan Sumatra disebut sebagai wilayah terdepan (1932). Dalam hal ini, Babelan tempo doeloe adalah pintu depan, pintu gerbang menuju kota Bekasi (bukan pintu belakang seperti yang dipersepsikan pada masa ini).   

Lantas seperti apa sejarah Babelan? Pertanyaan ini mungkin terkesan sepele dan tidak penting, Akan tetapi jika mengikuti perjalanan sejarah (kota) Bekasi, Babelan harus ditempatkan di bagian depan. Sebab tempo doeloe Babelan adalah pintu gerbang menuju kota Bekasi. Disinilah keutamaan Babelan yang kini menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi. Untuk itu, untuk melengkapi sejarah Bekasi mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kota Bekasi dan Kecamatan Babelan
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Bebelan di Hilir Kali Bekasi

Nama Babelan di daerah aliran sungai Bekasi paling tidak sudah diberitakan pada surat kabar tahun 1824 (lihat Bataviasche courant, 01-05-1824). Disebutkan dijual lahan di Moeara Bacassie atau Pondok Doea, lahan di Sambilangan, lahan di Tandjoeng, lahan di Soengie Boeaja, lahan di Poeloe Mamandang, di Bogol atau Bogor, di Rawa Bogor, di Babelan, di Bandongan dan lahan di kampong Toeri Ilir. Yang menjual lahan-lahan tersebut adalah keluarga Riemsdijk,

Dalam perkembangannya diketahui urutan nama-nama tempat utama dari pantai melalui sungai ke kota Bekasi adalah sebagai berikut: Moeara Bekasi, Soengai Boeaja, Tandjoeng, Moeara, Babakan, Babelan, Pangkalan, Gaboes, Karang Tjongok, Telok Poetjoeng dan Bekasi. Lahan Moeara Bacassie atau Pondok Doea, lahan Soengai Boeaja dan lahan Tandjoeng adalah tanah berawa. Pada masa ini Telok Pucung dan Bekasi termasuk wilayah Kota Bekasi. Sedangkan yang lainnya masuk wilayah Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.

Nama Babelan tidak hanya terdapat di daerah aliran sungai Bekasi (Residentie Batavia), tetapi juga ditemukan di Residentie Semarang dan Residentie Soerabaja. Besar dugaan bahwa nama Babelan muncul sebagai pemukiman orang yang berasal dari Jawa.  

Semua lahan-lahan (yang kini menjadi kecamatan Babelan) telah dimiliki oleh Lim Khe Seeng dan Lim Khe Ip, Ini sehubungan dua orang Tionghoa yang disebut akan menjual lahan-lahan tersebut  (lihat Javasche courant, 06-07-1833). Disebutkan di dalam lahan-lahan ini terdapat dua buah pabrik gula, Siapa yang membeli lahan-lahan tersebut tidak diketahui secara jelas. Land Babelan kemudian diketahui telah disewa oleh seorang Tionghoa (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-11-1857). Penyewa itu diduga bernama Jap Soen.

Samarangsch advertentie-blad, 05-02-1858: ‘Pada tanggal 25 ini, seorang Tionghoa Jap Soen dari land Babelan, pergi ke pasar Tjilintjing, pergi untuk menjual beras. Karena ia harus berlayar melalui sungai di sepanjang hutan dan tahu ada banyak babi liar di dalamnya, ia membawa senapan dan menepi dan berburu di dekat kampung Sembilangan. Tiba-tiba ia mendengar bahwa ada binatang di atasnya. Soen kaget dan ingin meraih senjatanya. Naas, saat ia menariknya ke arahnya, tiba-tiba meledak, peluru menembus tangan kanannya dan menembus di sisi dada kiri, dimana itu tetap bertahan hingga Jap-Soen segera dibawa ke rumah sakit kota di Batavia.

Jap Soen tampaknya telah digantikan oleh Tjoe Tjian sebagai penyewa (atau pemilik). Pada tahun 1862 harus meninggalkan land Babelan dan menjual semua propertinya (lihat Bataviaasch handelsblad, 05-07-1862). Properti tersebut disebutkan adalah 50 tjaing padi (kualitas satu), 50 ekor kerbau, beberapa pedati dan kereta, kuda, alat-alat kerja, sejumlah perlengkapan rumah tangga terbuat dari kaca dan berbagai perabotan rumah. Dalam perkembangannya perkebunan di Babelan telah beralih dari Tjoe Piang kepada Tjoe Hok Ie (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-11-1868).

Pada bulan April 1869 terjadi kerusuhan di Telok Poetjoeng dan Tamboen. Dalam kerusuhan ini Asisten Residen Meester Cornelis terbunuh. Schout Bekasi juga terbunuh. Beberapa orang Tionghoa terbunuh dan sejumlah properti orang Tionghoa juga dibakar massa.     Setelah proses penyidikan dan penyelidikan yang dimulai tanggal 22 November, jaksa dari Justitie Raad (Kejangsaan Agoeng) Batavia dikirim ke Bekasi pada bulan Januari 1870 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-01-1870). Terhadap perusuh hukuman terbesat dijatuhkan pada tangga 24 Agustus 1870 dengan mengeksekusi mati sebanyak tujuh orang..

Kerusuhan ini diduga telah membuat trauma para pemilik maupun penyewa land. Tidak lama setelah kejadian ini muncul di surat kabar berbagai iklan penjualan lahan dan properti di district Bekasi. Ini dapat dilihat sebuah iklan yang dipasang oleh notaris HJ Hartebeld yang mana rumah Schout Bekasi dijual dan juga sebanyak 44 buah sawah dijual yang berlokasi di land Telok Poetjoeng dan land Babelan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-06-1869).

De locomotief, 17-02-1875
Untuk menormalisasi situasi pemerintah meningkatkan pengamanan di district Bekasi dengan mendirikan sejumalh garnisun militer. Secara perlahan-lahan situasi dan kondisi keamanan di district Bekasi kembali kondusif.

Pada tahun 1875 pemerintah mulai menerapkan pemerintahan pribumi di district Bekasi dengan mengangkat sejumlah orang untuk menduduki posisi yang dibentuk baru. Dalam struktur pemerintahan di atas masih dipimpin oleh seorang Schout yang berasal dari orang Eropa/Belanda. Schout dalam hal ini akan dibantu oleh seorang demang (pejabat pribumi yang diangkat oleh pemerintah). Jabatan untuk pribumi ini (Inlnadsch Bestuur) diumumkan pada bulan Februari 1875 (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-02-1875).  

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar