Sabtu, 13 Juli 2019

Sejarah Bekasi (21): Sejarah Cikarang dan Cibarusa, Antara Karawang dan Batavia; Sejarah Cibarusa, Buitenzorg vs Becassie


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Ini bukan judul puisi Karawang Bekasi oleh Charil Anwar, tetapi sejarah  perebutan land Tjikarang dan land Tjibaroesa antara Residentie Krawang dan Residentie Batavia tahun 1810. Perebutan wilayah ini menjadi sebab munculnya pemberontakan orang-orang Cina di  Krawang kepada Pemerintah Hindia Belanda tahun 1832. Dalam perang ini juga dilibatkan pasukan Sentot Alibasja di pihak Belanda. Persoalannya tidak hanya sampai disitu.

Cikarang Cibarusa
Land Tjikarang dan land Tjibaroesa masuk wilayah Residentie Krawang sejak era VOC. Pemerintah Hindia Belanda memisahkannya dan memasukkan ke Residentie Batavia tahun 1810. Pemisahan ini bukan hal biasa, dan bukan demi untuk efektivitas pemerintahan tetapi lebih pada upaya untuk menambah kantorg pemerintah dengan cara menjual lahan kepada swasta. Semua lahan yang dijual ini kebetulan berada di sisi barat sungai Tjitaroen. Namun menjadi persoalan bagi orang-orang Cina di Krawang, karena sungai Tjitaroem selama ini menjadi hambatan (barier) lalu pembatasnya juga dipertegas dalam pemerintahan. Untuk mengendalikan situasi dan kondisi dikirim suatu ekspedisi di bawah komando Mayor AV Michiels (Pahlawan Belanda dalam Perang Jawa 1825-1830).

Persoalan berikutnya adalah memasukkan land Tjikarang ke Afdeeling Bekasi dan land Tjibaroesa ke Afdeeling Buitenzorg. Lantas apa yang terjadi? Terjadi konektivitas yang kuat diantara orang-orang Tionghoa di sisi timur sungai Tjitaroem (Tandjoeng Poera) dengan di sisi barat sungai Tjitaroem (Tjikarang). Konektivitas yang kuat diantara orang-orang Tionghoa juga terjadi yang ada di Afdeeling Bekasi (Tjikarang) dan yang ada di Afdeeling Buitenzorg (Tjibaroesa). Lalu mengapa Cibarusa kemudian masuk Bekasi? Itu semua bermula dari masa lampau. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Terbentuknya District Tjabangboengin: Tjikarang dan Tjibaroesa

VOC bangkrut, lalu kerajaan Belanda mengambiul alih. Akan tetapi Kerajaan Belanda juga tengah mengalami krisis karena dianeksasi oleh Prancis. Untuk mempertahankan wilayah koloni Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Daendels tidak memiliki uang. Lalu untuk memperkuat (pulau) Jawa sebagai sumber pendapatan, maka untuk membangun kota-kota utama, membentuk militer yang kuat dan membangun jalan yang terintegrasi, Daendels membuat kebijakan yang tidak lazim (meniru VOC), yakni menjual lahan-lahan yang potensial untuk mendapatkan uang segar. Sebanyak enam bidang lahan dijual kepada swasta (lihat Bataviasche koloniale courant, 16-03-1810). Lahan-lahan yang dijual tersebut termasuk land Tjikarang dan land Tibaroesa.

Bataviasche koloniale courant, 16-03-1810
Lahan-lahan tersebut adalah lahan-lahan yang berada di wilayah Residenti Krawang yang berada di sebelah barat sungai Tjitaroem. Enam bidang lahan itu berada di Oedjong Krawang (Moeara Gembong), Tjawang Boengin, Tjikaraug, Tjibaróesa, Soemedangan dan Waroe. Besarnya nilai keseluruhan lahan yang dijual tersebut kemudian diketahui sebesar 791.000 rijksd. (lihat Soerabaijasch handelsblad, 02-12-1897). Selain itu, Daendles juga melakukan pinjaman swasta, terutama kepada para pemilik land dengan membuat surat hutang yang akan dicicil selama empat tahun. Saat itu, Daendels untuk menutupi anggaran untuk tiga pusat pemerintahan di (wilayah) Batavia, Semarang dan Soerabaja masih kekurangan dana sebesar 3.124.315 rijksd. Sebagai hasil dari perintah Daendels ini telah terkumpul dari pemilik land lebih dari satu juta rijksd. nilai surat berharga (cek uang paksa atau pinjaman paksa) yang dikeluarkan dan lebih dari 62.000 rijkdsd telah diserahkan kepada pemerintah pada bulan September 1810. Daendels kembali mengeluarkan dekrit (keputusan) pada 3 dan April 1811 yang menetapkan bahwa tidak ada bunga yang akan divalidasi atas dana yang direklamasi.

Tindakan Daendels ini sesuai keputusan tanggal 5 Januari 1810, meskipun sewenang-wenang tetapi sebenarnya diminta oleh keadaan. Karena itulah surat kabar berbahasa Belanda, satu-satunya yang terbit di Batavia membuat judul Conditien. Kondisi yang dihadapi oleh pemerintahan Daendels sejak Januari 1910 telah menyebabkan wilayah-wilayah bagian barat Residentie Krawang berubah status dari hak pemerintah (lebih bebas) menjadi hak swasta (lebih terikat). Enam lahan yang dipisahkan dari Residentie Krawang kemudian akan ditambahkan ke Residentie Batavia. Penduduk yang ada di dalam land-land tersebut akan memiliki tuan baru yakni para landheer dan pemerintah baru (di Batavia). Yang paling gerah terhadap perubahan status dan kepemilikan ini adalah orang-orang Tionghoa yang menjadi warga di lahan-lahan tersebut.

Gubernur Jenderal Daendels tidak hanya menjual lahan di Krawang, tetapi juga membeli lahan Buitenzorg (Bloeboer) dan pasar serta lahan di Semarang untuk membangun kota. Total pembelian lahan-lahan dan pasar ini sebesar 400.000 rijksd. Lahan Bloeboer ini termasuk villa yang kemudian diubah menjadi Istana Gubernur Jenderal (kini Istana Bogor) dan pasar yang dimaksud adalah pasar Bogor yang sekarang. Melihat dari selisih penjualan dan pembelian lahan, dalam hal ini dapat dikatakan penduduk di enam bidang lahan eks Residentie Krawang (yang kemudian menjadi Residentie Batavia) menanggung beban untuk membangun kota Buitenzorg (kini pusat kota Bogor).

Sebagai wilayah baru di Residentie Batavia, dari enam land baru ini pasar terdekat berada di Bekasi (yang telah berdiri sejak 1752). Keberadaan pasar di Tjabangboengin paling tidak sudah diketahui pada tahun 1823 (lihat Bataviasche courant, 26-04-1823). Adanya pasar, berarti adanya orang Eropa/Belanda. Sebab pendirian pasar yang dilakukan oleh pemilik land harus seizin pemerintah. Wilayah Batavia dari batas sungai Tjisadane di barat hingga batas sungai Tjitaroem di timur sejak era VOC sudah terbagi habis menjadi tanah-tanah partikelir (land).

Dalam ketentuan pengaturan pajak pada tahun 1829 tercatat keterangan bahwa pasar Bekasi buka pada hari zaturdag (lihat Javasche courant, 24-11-1829). Dalam perkembangannya pasar Tjabangboengin kalah populer jika dibandingkan dengan pasar-pasar baru seperti pasar Pamanoekan, pasar Soebang dan pasar Tandjoeng Poera atau pasar Krawang (lihat Almanak 1838).

Pada awal tahun 1850an dibentuk pemerintahan di wilayah Residentie Batavia. Wilayah Residentie Batavia dibagi ke dalam lima afdeeling: Stad en Vorstaden Batavia, Meester Cornelis, Tengarang, Buitenzorg dan Bekassie. Residen berkedudukan di Batavia dan dua Asisten Residen masing-masing di Meester Cornelis dan Buitenzorg. Untuk Afdeeling Tangerang dan afdeeling Bekasssie diangkat seorang Schout (setingkat Controleur). Dalam hal ini Asisten Residen Meester Cornelis juga membawahi Afdeeling/District Bekassie yang dipimpin oleh seorang Schout. Wilayah Schout Bekassie dalam hal terdiri dari dua onderdistrict yakni onderdistrict Bekasi (di sungai Bekasi) dan onderdistrict Tjabangboengin (di sungai Tjitaroem).

Dalam struktur wilayah administrasi yang bari di wilayah Residentie Batavia ini land Tjibaroesa dimasukkan ke dalam Afdeeling Buitenzorg. Saat ini salah onderfadeeling di Afdeeling Buitenzorg adalah onderafdeeling Tjibinong dimana terdapat land Tjibaroesa.   

Sementara itu dalam struktur wilayah yang baru ini land Tjikarang disatukan ke dalam land Kcdoeng Gedé dan kampong/kota Tjikarang berada di land Kedoeng Gede (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 31-12-1853). Meski demikian, Tjikarang sudah termasuk pusat perdagangan yang penting dan mengeskpor komoditi terutama beras ke Batavia (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-05-1854).

Kota-kota penting di daerah aliran sungai Tjitaroem adalah Tjabangboengin, Tandjoeng Poera, Tjicao, Kramat, Tjikarang. Kota-kota ini menjadi pelabuhan sungai yang menjadi pusat perdagangan wilayah sekitar. Pusat perdagangan yang terpenting di daerah aliran sungai Bekasi adalah kota Bekasi dan Babelan.

Land Tjikarang lambat laun menjadi berkembang pesat. Penduduk land Tjibaroesa dalam perdagangan tidak lagi mengandalkan sungai Tjipamingkis dan sungai Tjibeet yang jauh ke Kedoeng Gede dan Tandjoeng Poera di sungai Tjitaroem, tetapi telah mengembangkan jalan darat dari Tjibaroesa ke Tjikarang melalui Lemah Abang. Jalur darat telah memperpendek jalur sungai dari Tjibaroesa ke Tjikarang yang membuat jarak tempuh lebih singkat paling tridak hingga ke Tjikarang. Sementara itu, jalur perdagangan dari Tjibaroesa ke Bekasi via Tjilengsi juga dianggap terlalu jauh sehubungan dengan berkembangnya jalur darat ke Lemah Abang/Tjikarang. Pilihan perdagangan dari land Tjibaroesa ke land Tjikarang membuat dua land ini dalam hal perdagangan menjadi terintegrasi.

Kota Tjibaroesa (Peta 1905)
Land Tjibaroesa sebagai bagian wilayah Afdeeling Buitenzorg, juga memiliki jalur perdagangan ke Pasar Tjibinong (land Tibinong). Namun jarak dari Tjibaroesa ke Tjikarang masih jauh lebih dekat jika dibandingkan ke Tjibinong. Dalam arsitektur wilayah, Asisten Residen Buitenzorg di Buitenzorg mengharapkan produk dari land Tjibaroesa mengalir ke district Tjibinong, tetapi kenyataannya justru mengalir ke pantai utara melalui Tjikarang. Ini menjadi dilematis bagi pemerintah di Buitenzorg.

Posisi land Tjikarang cukup strategis. Ke arah barat sudah terbentuk jalan darat ke Lemah Abang dan Tamboen, ke arah timur sudah terhubung dengan jalan darat dan bangunan jembatan di atas sungai Tjibeet ke Kedoeng Gede. Meningkatnya jalur darat ke selatan ke Tijbaroesa via Tjibitoeng juga telah membuat Tjikarang menjadi pusat perdagangan yang intens. Atas dasar ini pemilik land Tjikarang mengajukan pendirian pasar ke pemerintah. Pada tahun 1855 pemilik land Tjikarang diizinkan pemerintah untuk mendirikan pasar di Tjikarang (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-09-1855).

Kota Tjikarang (Peta 1903)
Keutamaan lain dari land Tjikarang adalah sebagai penghasil gula dimana di land Tjikarang terdapat pabrik gula yang besar (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1858). Namun pada tahun 1860 menjadi malapetaka bagi land Tjikarang karena jembatan di atas sungai Tjibeet diterjang banjir dan tidak bisa digunakan (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-03-1860). Sebab land Tjikarang dan land Kedoeng Gede merupakan dua land produktif yang berada di bawah satu kepemilikan.

Apakah karena putusnya moda transportasi darat dari land Tjikarang ke land Kedoeng Gede membuat tak berdaya pemilik land tidak diketahui secara jelas. Sejak adanya jembatan ini arus pedagangan dari land (pasar) Tjikarang telah dilakukan melalui darat hingga ke Kedoeng Gede untuk selanjutnya melalui sungai Tjitaroem ke Batavia. Jembatan ini telah mendukung perkembangan di land Tjikarang. Pada tahun 1861 pemilik 1861 land Tjikrang dan land Kedoeng Gede menjual kedua lahan tersebut (lihat Bataviaasch handelsblad, 07-09-1861). Boleh jadi pemilik kedua land menjualnya karena besar kemungkinan penyewa land telah merugi (dan mungkin bangkrut).

Namun penjualan land Tjikrang dan land Kedoeng Gede ternyata tidak mudah. Boleh jadi kareana harganya mahal atau boleh jadi karena sebab tiadanya jembatan lagi yang menghubungkan land Tjikarang dengan pelabuhan di sungai Tjitaroem. Gauw Itjaij dan Nio Tek Soei pemilik land Tjikarang dan land Kedoeng Gedeh menjual kembali pada tahun 1864 melalui iklan di surat kabar (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1864).

Tjikarang dan Tjibaroesa: Basis Pertahanan Belanda

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

2 komentar:

  1. Adakah sejarah tentang land kedoeng gedeh yang sekarang masuk wilayah kedungwaringin kab bekasi? karena sy sedang membuat sejarah tentang kedungwaringin, demikian terimakasih.

    BalasHapus
  2. Di kampung citarik, lemah abang yang dulu masuk Cibarusah pernah ada jawara yang bernama pak macem. Kalo tau mohon teliti Om, banyak tokoh yang hilang di wilayah bekasi, karena di data di sebutkan kadang hanya wilaya Cibarusah saja, lokasi tepatnya jarang di sebutkan.

    BalasHapus