Jumat, 26 Juli 2019

Sejarah Bekasi (30): Orang Bekasi Naik Haji, Sejak Kapan? Asrama Haji di Pondok Gede Bekasi dan Sejarah Perjalanan Haji


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Sulit mengetahui sejak kapan warga Bekasi pergi naik haji. Sebab awalnya perjalanan haji hanya bersifat pribadi (perseorang). Sejak era VOC bahkan hingga awal Hindia Belanda, pemerintah kurang peduli untuk urusan pribumi apalagi yang terkait dengan keagamaan. Sementara itu, perjalanan haji ke Mekkah bukanlah pelayaran jarak pendek tetapi jarak jauh yang harus ditempuh berminggu-minggu. Untuk itu, pribumi yang ingin naik haji melakukan upaya perjalanan sendiri dengan menumpang kapal-kapal dagang Arab dan Persia. Pada era VOC embarkasinya berada di kampong Loear Batang, Batavia.

Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah, 1750
Semakin banyaknya pribumi yang berangkat naik haji ke Mekkah, pada awal Pemerintah Hindia Belanda, peluang ini dimanfaatkan oleh kapal-kapal Inggris yang berpusat di Singapoera dan Penang. Pengaruh Belanda yang telah memudar di India (khususnya Coromandel dan Malabar) dan semakin meluasnya pengaruh Inggris di Timur Tengah menjadi faktor penting mengapa kapal-kapal dagang Inggris sebagai moda transportasi haji dari Nusantara (Hindia Belanda, Semenanjung, Patani, Singapoera dan Mindanao). Pelabuhan Colombo di bawah Inggris menjadi pelabuhan transit. Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah, 1750   

Lambat laun Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa kecolongan. Pemerintah Hindia Belanda baru sadar ada yang hilang. Yang hilang itu adalah potensi pendapatan dalam hal keuntungan dari pengangkutan jemaah haji dari Hindia Belanda yang justru dinikmati oleh kapal-kapal Inggris. Pemerintah Hindia Belanda secara perlahan-lahan mengambil alih ‘bisnis’ perjalanan haji ini. Dalam hubungan ini, sejak kapan warga Bekasi berangkat naik haji ke Mekkah? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Masjid Loear Batang, 1851

Bekasi dan Mekkah

Mekkah adalah kota tua, sementara Bekasi adalah wilayah ekonomi baru. Pada tahun 1724 wilayah Bekasi masih era kosong, tetapi pada tahun 1732 wilayah Bekasi sudah diokupasi oleh eks pasukan pendukung VOC yang memulai kehidupan bermasyarakat. Mereka inilah yang merintis wilayah Bekasi menjadi wilayah ekonomi baru. Tentu saja warga Bekasi baru ini masih sangat sibuk dengan urusan mereka untuk memulai membangun kehidupan baru. Mereka ini sudah barang tentu belum memikirkan tentang bagaimana cara untuk sampai ke tanah suci Mekkah.

Berita-berita perjalanan haji umumnya datang dari Turki dan Mesir. Selain dua kawasan ini penduduknya dominan agama Islam, juga karena letaknya yang cukup dekat dengan kota suci Makkah dan Madinah. Pada saat itu, tentu saja kapilah dari Mesir masih melalui darat (belum ada terusan Suez). Saat itu memang, Makkah dan Madinah berada di bawah Kesultanan Utsmaniyah (Turki) yang beribukota di Istambul. Jamaah-jamah asal Turki berangkat ke Mekkah antara lain dilaporkan oleh Oprechte Haerlemsche courant, 02-11-1683.

Belanda (VOC) di tahun-tahun itu masih konsentrasi di Batavia dan melakukan kerjasama-kerjasama dagang dengan pemimpin lokal di berbagai tempat. Kota Batavia semakin besar (pada masa ini disebut kota tua atau Oud Batavia). Sementara di luar kota Batavia sudah mulai dikembangkan pertanian (terutama padi dan tebu). Titik terjauh baru sanmpai ke Antjol (timur) dan Anke (barat) dan di selatan sampai batas Rijswijk dan Noordwijk. 

Dalam Peta 1689 (buatan Portugis), di wilayah Laut Merah yang sekarang sudah teridentifikasi nama Jeddah, suatu pelabuhan yang berada di suatu teluk di sisi timur. Nama lainnya yang masih popular hingga kini antara lain Suez. Nama-nama tempat di pedalaman seperti Mecca dan Medinah tidak teridentifikasi. Hal yang berbeda dengan pemahaman sekarang, jazirah Arab yang sekarang kala itu, bagian utara adalah wilayah Yaman dan bagian selatan adalah Arabia. Pada masa kini, bagian selatan dikenal sebagai wilayah Yaman dan bagian utara adalah wilayah Saudi Arabia.

Keberadaan Mekkah oleh orang-orang Eropa besar dugaan baru mulai tahun 1750. Ini sehubungan dengan beredarnya lukisan di Eropa tentang situasi dan kondisi di dalam Masjidil Haram dimana terdapat Ka’bah (kiblat penganut agama Islam seluruh dunia).

Mekkah dan Madinah (Peta 1773)
Kabah yang berada di dalam Masjid Haram di Makkah sebagai situs penting yang sudah diidentifikasi oleh orang Eropa pada tahun 1750 dalam bentuk sebuah lukisan, tampak Masjidil Haram dan Kabah masih terlihat sederhana namun masih dikenali jelas dengan gambaran pada masa sekarang. Selain Kabah terdapat hijir Ismail, makam Ibrahim dan bentuk kubah masjid yang mengelilingi kabah (tempat dimana jamah haji melakukan tawaf).

Nama tempat Makkah dan Madinah sudah mulai diidentifikasi pada Peta 1773. Makkah dan Madinah tentu saja sudah dikenal sebagai kota suci agama Islam. Pemahaman wilayah Arab diduga dimulai sejak kehadiran Inggris di wilayah Timur Tengah.

P. vd Broek tiba di Arabia tiba di Arabia, 1616
Orang-orang Belanda (VOC) sesungguhnya lebih awal jika dibandingkan Inggris di Timur Tengah. Pada tahun 1616 ekspedisi di bawah pimpinan P. van den Broek tiba di Arabia, Hindoestan dan Suratte. Lalu kemudian pada tahun 1618 Pieter van den Broecke ditunjuk menjadi Eerste Directeur van Suratte, Persien en Arabien. Sejak itu berbagai tempat di jalur pelayaran menjadi wilayah-wilayah pengaruh kekuasaan VOC termasuk Coromandel, Malabar, China hingga Jepang. Wilayah-wilayah kekuasaan baru itu diperoleh dengan cara ‘pengusiran’ pelaut-pelaut Portugis di wilayah tersebut. Foto Pieter van den Broecke (lukisan 1720)

Dalam perkembanganya setahap demi setahap wilayah Timur Tengah dikuasai oleh Inggris. Demikian juga wilayah India. Sisa terakhir kekuasaan VOC/Belanda di India (Malabar) pada tahun 1715. VOC/Belanda lambat laun hanya menyisakan wilayah Afrika Selatan, Hindia Barat dan Hindia Timur. Sejak berakhirnya kekuasaan VOC/Belanda, pengaruh Inggris sangat kuat di Timur Tengah dan India. Pada masa inilah diduga orang-orang dari Nusantara mulai melakukan perjalanan haji ke Mekkah.

Orang-orang pribumi yang melakukan perjalanan haji terdeteksi di Pantai Barat Sumatra menjelang berakhirnya abad ke-17. Mereka itu adalah penguasa-penguasa pusat perdagangan di Pantai Barat Sumatra di Taroemon. Kesempatan itu diperoleh karena saat itu antara Ingrris dan Belanda tengah menanamkan pengaruhnya di Pantai Barat Sumatra. Beberapa wilayah menjadi wilayah pengaruh Belanda dan beberapa wilayah yang lain oleh Inggris. Saat itu Kerajaan Atjeh masih independen dan masih memiliki kekuatan untuk mengimbangi kekuatan Eropa (Inggris dan Belanda).

Radja Taroemon yang pribumi ketika Inggris melakukan kerjasama mendapat kesempatan untuk berangkat haji dengan kapal-kapal Inggris. VOC yang melakukan kerjasama dengan raja-raja pribumi tidak terlalu peduli dengan haji. Hal ini karena saat itu Arabia sudah berada di bawah pengaruh Inggris. Sedangkan radja-radja Atjeh yang umumnya orang-orang Moor (Timur Tengah) perjalanan haji bukanlah hal yang luar biasa, karena dengan kekuatan armada lautnya bisa tahun kapan saja untuk membawa mereka untuk pergi naik haji.

Masjid Loear Batang, 1851
Pada tanggal 20 November 1762 beberapa orang Banten baru pulang dari Mekkah. Mereka berangkat naik haji dan saat kembali mereka menumpang kapal perusahan VOC. Catatan ini ditemukan dalam Daghregister di Kasteel Batavia. Besar dugaan catatan ini adalah catatan tertua VOC tentang pribumi melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Pada era ini antara Pemerintah VOC di Batavia dengan Kerajaan Banten memiliki hubungan yang baik.

Kapal-kapal dagang Arab yang lalu lalang di selat Malaka dan Jawa juga dimanfaatkan orang pribumi sebagai moda transportasi haji ke Makkah. Kapal-kapal dagang dari Arab ini bahkan masih intens hingga pendudukan Inggris di Jawa (1811-1816). Tempat pemberangkatan haji (embarkasi) berada di kampong Loear Batang, Batavia.

Orang Bekasi Naik Haji dan Polemik Haji di Hindia Belanda

Pada tahun 1825 Pemerintah Hindia Belanda mulai mengkooptasi perjalanan haji orang pribumi ke Jeddah. Untuk setiap calon jemaah haji dikenakan retribusi dan diarahkan untuk menggunakan kapal orang Belanda. Mengabaikan aturan ini tidak diberikan surat jalan (paspor) dan dapat dikenakan sanksi.

Aturan ini sesungguhnya terbilang longgar. Meski demikian, itu sudah menguntungkan Pemerintah. Di satu sisi mendapatkan pajak perjalanan dan di sisi lain meningkatkan jumlah penumpang kapal-kapal Belanda. Namun aturan sederhana ini ternyata menimbulkan sejumlah persoalan. Banyak yang berangkat tetapi banyak yang tidak kembali, apakah karena meninggal atau bermukim di Mekkah karena kehabisan uang.

Pafa tahun 1859 aturan perjalanan haji diperketa. Selain syarat terdahulu, syarat baru harus memenuhi bagi calon jemaah yang benar-benar mampu (secara finansial). Aturan ini juga menjadi beban tambahan bagi pemerintah daerah (Asisten Residen dan Controleur). Besarnya biaya fiskal setiap calon jemaah sebesar f25 hingga f100 (lihat Nederlandsche staatscourant, 07-09-1859).

Jumlah jemaah haji yang berangkat dari waktu ke waktu terus meningkat. Ini mengindikasikan tingkat kemakmuran makin meningkat. Pada tahun 1853 jumlah jemaah haji yang berangkat sebanyak 1.100 orang. Jumlah ini telah meningkat 2.000 pada tahun 1858. Untuk mengawasi jemaah Hindia Belanda di Jeddah, pemerintah mendirikan konsulat di Jeddah 1872. Salah satu konsuler (semacam dubes) yang terkenal adalah Snouck Hurgronje.

Namun permasalahan jamaah haji belum selesai. Para calon haji di satu sisi menjadi lebih selektif tetapi di sisi lain layanan kapal selama pelayaran kurang diperhatikan pemerintah. Tingkat kesakitan dan jumlah meninggal, meski sudah menurun, tetapi secara absolut masih tinggi. Tidak adanya pemandu perjalanan dan pemandu selama menjalankan haji di Mekkah menambah daftar layanan yang seharusnya diperhatikan pemerintah. Meski demikian, jumlah jamaah tetap meningkat dari tahun ke tahun.

Pada tahun 1900 pemerintah menunjuk seorang mantan guru yang pernah menjalankan haji ke Mekkah sebagai pemandu perjalanan haji yakni Dja Endar Moeda. Pemandu haji ini adalah orang yang sudah dikenal oleh adalah Snouck Hurgronje. Dja Endar Moeda pernah ditempatkan sebagai guru di Singkel tahun 1887. Setelah pensiun, Dja Endar Moeda dari Singkel berangkat ke Mekkah untuk menunaikan haji. Sepulang dari Mekkah, pada tahun 1895 Dja Endar Moeda mendirikan sekolah di kota Padang dan membeli surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat tahun 1900. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, kelahiran Padang Sidempoean adalah alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean pada tahun 1884.

Pada tahun 1900 Dr. C Snouck Hurgronje, penasehat pribumi meminta pemerintah memperbarui ordonatie 1859 karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi terkini (lihat Soerabaijasch handelsblad, 11-08-1900). Sehubungan dengan semangat perubahan itu, Dja Endar Moeda berinisiatif dan secara sukarela membuat pedomana perjalan haji yang dapat membantu calon jemaah terutama bagi yang belum pernah sebelumnya ke Mekkah.

Soerabaijasch handelsblad, 11-08-1900
Pedoman haji ini berisi berbagai hal yang terkait dengan persiapan yang harus dilakukan oleh calon jemaah haji. Hal-hal yang diperhatikan selama pelayaran dan perjalan dari Jeddah ke Mekkah dan uraian pelaksanaan haji.

Pada tahun 1902 pemerintah menerbitkan pedoman haji yang tidak lain merupakan adopsi pedoman perjalanan haji yang telah dibuat oleh Dja Endar Moeda. Pedoman ini kemudian dicetak dan diedaerkan ke seluruh Hindia Belanda melalui Asisten Residen dan Controleur.

Pada tahun 1909 Dr. C Snouck Hurgronje yang telah menjadi guru besar di Leiden memberikan seminar dengan judul Hadji-politiek der Indische Regeering (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-04-1909). Isi makalah ini meyakinkan sebagian pihak Belanda mengkhawatirkan para haji Hindia Belanda jika kembali ke tanah air. Menurut sang profesor mereka konservatif dan balik bertanya apakah anda tidak memerlukan 7.000 jamaah tiap tahun di kali f500 sebesar f 3.500.000?

Boleh jadi analisis Dr. C Snouck Hurgronje tidak hanya berdasarkan pengalamannya dulu sebagai kocul di Jeddah dan laporan konsul baru-baru ini, tetapi juga Dr. C Snouck Hurgronje melihat situasi kondisi mahasiswa-mahasiswa pribumi yang tengah studi di Belanda. Seperti disebutkan Dr. C Snouck Hurgronje jemaah-jemaah haji yang tidak segera pulang karena mereka belajar agama di Mekkah dan sungguh-sungguh belajar. Apakah ini yang menjadi alasan bagi Dr. C Snouck Hurgronje menyimpulkan para jamaah yang ke Mekkah bersifat konservatif? Sebagai catatan tambahan: jumlah mahasiswa pribumi di Belanda pada tahun 1909 sebanyak 30 orang. Pada tahun 1905 ketika Soetan Casajangan tiba di Belanda baru lima orang mahasiswa pribumi yang datang ke Belanda untuk kuliah. Pada tahun 1908 jumlahnya sudah menjadi sebanyak 20 orang. Pada saat inilah Soetan Casajangan mengundang semua mahasiswa ke rumahnya untuk membicarakan pendirian organisasi mahasiswa yang disebut Indische Vereeniging. Lalu secara aklamasi Soetan Casajangan ditunjuk sebagai presiden. Organisasi ini di era Mohamad Hatta pada tahun 1924 namanya diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah kelahiran Padang Sidempoean, alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1887. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda.

Tentu saja tidak semua orang Belanda sepakat dengan pendapat dan kesimpulan Prof. Dr. C Snouck Hurgronje. Seseorang menulis pada surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 08-07-1909 yang pada intinya kekhawatiran itu nyata adanya dengan merujuk pada pemberontakan haji di Tjilegon, Banten pada tahun 1888 (namun segera dapat dipadamkan, pen).

Penyelenggaraan Haji di Era Kemerdekaan dan Asrama Haji di Pondok Gede Bekasi

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar