Jumat, 27 September 2019

Sejarah Bogor (28): Mengapa Ada Jalur Kereta Api Ruas Bogor ke Bandung via Sukabumi? Kopi, Teh, Kina, Ternak, Land


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Dalam rencana awal (1863), jalur kereta api (pulau) Jawa adalah Batavia ke Buitenzorg dan dari Batavia melalui Poerwakarta ke Bandoeng terus ke Jogjakarta. Namun dalam perkembangannya tidak demikian. Ruas pertama yang dibangun adalah ruas Semarang-Ambarawa (selesai 1869). Masih dalam rencana awal (1863) ruas Batavia-Buitenzorg akan dibangun melalui sisi timur sungai Tjiliwong dari Batavia via Bekasi ke Buitenzorg melalui Tjibinong. Namun dalam perkembangannya ruas yang kedua dibangun adalah Batavia-Meester Cornelis (selesai 1870).

Rencana jalur kereta api (1863)
Tahap berikutnya, jalur kereta api yang dibangun adalah ruas terusan Semarang ke Solo dan seterusnya ke Jogjakarta. Setelah jalur Solo, ruas selanjutnya yang dibangun adalah ruas Meester Cornelis-Buitenzorg (selesai 1873). Ruas sisi barat sungai Tjiliwong ini awalnya melalui Tandjoeng (Tandjoeng Barat, Tjinere, Sawangan dan Bodjoenggede baru ke Buitenzorg), namun dalam perkembangannya melalui Lenteng Agoeng, Pondok Tjina, Depok dan Pondok Terong baru ke Bodjonggede.

Lantas mengapa rencana awal cenderung berubah dengan kenyataannya. Itu semua karena pertimbangan ekonomi dan bisnis. Namun perubahan rencana menjadi kenyataan juga dipengaruhi oleh perimbangan efisiensi secara teknis dan efisiensi secara ekonomis. Dalam hal ini, lalu mengapa muncul tiba-tiba jalur ruas Buitenzorg-Bandoeng via Soekaboemi dan Tjiandjoer? Tentu saja masih menarik untuk diketahui, Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Wabah Ternak

Pada tahun 1879 penyakit ternak muncul di land Simplicitas (Pondok Laboe). Sebanyak 108 ekor sapi di land Simplicitas mati (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-01-1879). Penyakit ternak yang bermula di land Simplicitas segera menyadi wabah (epidemik).

Residen Batavia telah mengumumkan ke publik di land PE Godefroy di Simplicitas terjadi wabah runderpest (veetyphus) yang menyebabkan kematian sapi (lihat Arnhemsche courant, 26-02-1879). Land Simplicitas tidak hanya mengalami penyakit hewan (yang pertama) dan telah menyebar ke land-land lainnya, juga muncul penyakit demam bagi penduduk. Menurut pemilik land Simplicitas, lahannya yang memiliki penduduk 10.000 orang terdapat kasus demam sekitar 300 orang. Sudah ditangani dokter dan telah menempatkan tiga dokter Djawa (lihat  Bataviaasch handelsblad, 01-03-1881).

Wabah penyakit ternak semakin lama semakin meluas tidak hanya di sekitar daerah aliran sungai Tjiliwong tetapi juga sudah menyebar di daerah aliran sungai Bekasi, sungai Tjitaroem dan sungai Tangerang/sungai Tjisadane. Penyakit ternak juga ditemukan di daerah aliran sungai Tjianten dan sungai Tjikaniki. Kekhawatiran pemerintah semakin menjadi-jadi sementara obat yang tepat belum ditemukan. Pemerintah khawatir akan mempengaruhi produktivitas pertanian karena ternak kerbau dan sapi digunakan untuk mengolah sawah dan menarik pedati untuk transportasi barang.

Kopi, Teh, Kina

Pada tahun 1879 di Preanger terjadi booming kopi. Sebanyak 330.000 picol kopi yang seharusnya diangkut ke pelabuhan (Chirebon dan Batavia via Buitenzorg) masih tertumpuk di gudang sebanyak160.000 picol. Gerobak pedati tidak cukup untuk mengangkut semuanya. Untuk menambah jumlah kendaraan pedati bagi pengusaha transportasi pedati (semacam PO pada masa ini) tidak mudah karena jumlah ternak kerbau dan sapi terbatas karena bersaing dengan kebutuhan petani untuk mengolah lahan. Pemerintah merasa khawatir pengangkutan kopi akan terkendala lebih-lebih adanya wabah penyakit ternak. Mendatangkan kerbau dari Batavia dan sekitar menjadi sulit karena kerbau dan sapi sudah banyak yang terbunuh karena wabah.

Meski moda transportasi kereta api dari Buitenzorg ke Batavia sudah beroperasi sejak 1873, kenyataannya ongkos angkut melalui penggunaan pedati masih lebih murah jika dibandingkan dengan keeta api barang (tidak reguler). Oleh karenanya konvoi pedati dari Preanger langsung menuju Batavia via Padalarang, Tjisaroea dan Buitenzorg.  

Dalam perkembangannya, setelah sukses komoditi teh, volume kina yang dihasilkan lambat laun semakin tinggi. Perkebunan kina tidak hanya di Preanger tetapi juga sudah meluas hingga ke Buitenzorg. Kopi, teh dan kini menjadi andalan komoditi ekspor dari wilayah Preanger dan Buitenzorg. Kebutuhan moda transportasi angkutan barang semakin tinggi. Namun kendalanya pengadaan jumlah kendaraan baru tidak mudah.

Intensitas yang tinggi penggunaan moda transportasi pedati dari Preanger dan Buitenzorg ke Batavia lambat laun telah memberi dampak buruk terhadap kualitas jalan raya. Kesulitas angkutan di jalan raya semakin terasa di waktu musim hujan. Sejumlah titik menjadi momok bagi para crew pedati. Beberapa titik yang menakutkan yang sering membuat pedati terguling ke jurang ditemukan di wilayah puncak, ketakutan yang lain juga ditemukan di wilayah barat sungai Tjiliwong di titik cekungan antara land Pondok Tjina dan land Srengseng dimana pedati krap terbenam di lumpur. Titik cekungan basah ini kini dikenal sebagai tanjakan UI.

Pemilik Land

Wilayah Batavia, Residentie Batavia khususnya di Afdeeling Buitenzorg terdiri dari tanah-tanah partikelir (land). Land terjauh dari Batavia adalah land Tjiesaroe ke arah timur, land Pondok Gede (kini Cigombong) ke arah selatan dan land Djasinga ke arah barat. Para pemilik land memiliki kekuatan politik tersendiri yang dapat head to head dengan pemerintah Hindia Belanda.

Pemilik land yang berada di hilir dari yang lain kerap menanggung beban eksternalitas karena jalan-jalan raya yang melalui land mereka rusak parah akibat semakin tingginya intensitas pedati yang berasal dari hulu. Ruas jalan raya yang melalui land menjadi tanggungjawab pemilik land dalam soal perawatan. Kualitas jalan raya di dalam land semakin menjadi-jadi dengan semakin meningkatnya arus komoditi dari Preanger yang melalui wilayah Buitenzorg. Protes dari para pemilik land juga mulai bermunculan.

Intensitas moda angkutan pedati yang tinggi dari Preanger dan kekuatan politik pemilik land di Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia menjadi pemicu munculnya gagasan untuk membangun jalur kereta api Batavia-Bandoeng dengan membangun baru ruas Buitenzorg (Batavia) dan Bandoeng (Preanger).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar