Selasa, 14 April 2020

Sejarah Air Bangis (17): Sejarah Mapat Tunggul, Wilayah Melayu Gabung dengan Rao 1882; Distrik Bangkinang di Kampar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada sejarah Mapat Tunggul? Tentu saja ada, bahkan lebih dari yang diketahui. Hanya saja tidak ada yang bersedia menulisnya. Boleh jadi karena dianggap tidak penting. Namun asumsi serupa itu adalah keliru. Seperti wilayah-wilayah lain, sejarah Mapat Tunggul sudah berlangsung lama. Wilayah ini sejak awal telah didiami oleh orang Mandailing. Tiga nama kampong terawal yang diidentifikasi pada era kolonial Belanda di District Mapat Toenggoel adalah Moeara Tais, Pintoe Padang dan Silajang. District Mapat Tunggul tempo doeloe adalah remote area (tergantung pencet yang mana).

Wilayah Mapat Toenggoel (Now)
District Mapat Toenggoel berbatasan dengan District Mandailing, District Rao dan District  Loender (Panti). Pada masa kini District Mapat Toenggoel dikenal sebagai Kecamatan Mapat Tunggul di Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatra Barat. Dalam perkembangannya kecamatan Mapat Tunggul dimekarkan dengan membentuk kecamatan baru: Kecamatan Mapat Tunggul Selatan. Di kecamatan Mapat Tunggul terdiri dari tiga nagari, yakni  Pintu Padang, Mauara Tais dan Lubuk Gadang, sementara di kecamatan Mapat Tunggal Selatan terdiri dari dua nagari yakni Silajang dan Muara Sei Lolo. Bagian utara kecamatan Mapat Tunggul berada di antara kabupaten Padang Lawas dan kabupaten Mandailing Natal, sementara bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Kesamaan Padang Lawas dan Kampar adalah sama-sama memiliki komplek percandian kuno (Bahal dan Muara Takus).

Jauh sebelum orang-orang Eropa/Belanda datang, District Mapat Toenggoel adalah district penghubungan antara komplek percandian di Portibi (Padang Lawas) dan komplek percandian di Muara Takus (Kampar). Karena itulah namanya disebut Mapat Tonggoel dan karena itu pula Mapat Toenggoel pada jaman kuno dianggap penting. Singkat waktu: Mapat Tunggal sejatinya bukan dunia baru, tetapi Mapat Toenggoel adalah adalah dunia lama. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Peta 1835
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja* Peta 1903

Nama Mapat Toenggoel: Antara Candi Padang Lawas (Portibi) dan Candi Kampar (Muara Takus)

District Mapat Toenggoel sempat diklaim pada awal pembentukan Pemerintah Hindia Belanda (1846) dan dianggap sebagai bagian dari District Rao. Namun dalam perkembangannya District Rao dan District Mapat Toenggal adalah dua district yang terpisah. Meski demikian, district Mapat Toenggal tetap dianggap sebagai distrik yang dimasukkan ke wilayah Residentie Padang (yang berpusat di Padang).  Boleh jadi hal ini karena pemimpin lokal dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda berasumsi bahwa wilayah Mapat Toenggoel dimasukkan ke pemerintahan yang baru dibentuk Belanda karena alasan penduduknya berasal dari Mandailing, Padang Lawas dan Rao. Namun ketika dibentuk pemerintahan yang baru di Sumatra’s Oostkust (yang berpusat di Siak Indrapoera) ternyata district Mapat Toenggoel adalah wilayah Sumatra’s Oostkust.

Pada tahun 1852 Pemerintah Hindia Belanda membentuk pemerintahan Riiau dengan ibu kota di Bintan yang wilayahnya termasuk pantai timur Sumatra (lihat Resolusi No 27 tanggal 29 Mei 1852). Lalu kemudian pada tahun 1865 pemerintahan Residentie Riau diperluas yang mencakup wilayah daratan Sumatra’s Oostkust (lihat Beslit No. 8 tanggal 21 Februari 1965). Disebutkan bahwa disetujui penempatan controleur di Siak, Laboean Batoe, Panei, Batoe Bara dan Deli untuk melayani para kas houder (post houder). Lanskap-lanskap ini berada dibawah kas houder Afdeeling Siak. Pada tahun 1870, Residentie Riouw en onderhoorigheden konfigurasi pemerintahan menjadi terdiri dari beberapa afdeeling: Siak Sri Indrapoera, Lingga, Karimon, Batam, Noord Bintang, Zuid Bintang dan Tandjong Pinang. Afdeeling Siak Sri Indrapoera terdiri dari enam onderafdeeling, yakni: Siak, Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe (Panei dihapuskan lalu dimasukkan ke Laboehan Batu dan Asahan dibentuk. Asisten Residen ditempatkan di Siak, sedangkan di Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe masing-masing tetap dikepalai oleh seorang controleur. Saat inilah diduga District Mapat Toenggoel (dalam kenyataannya) masuk wilayah Melayu (Riau).

Oleh karena berbagai faktor, terutama faktor hambatan geografis, pada tahun 1882 district (lanskap) Mapat Toenggoel disatukan dengan Onderafdeeling Rao, Panti en Loeboesikaping, Afdeeling Air Bangis (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-05-1882). Disebutkan lanskap Melayu Moeara Sei Lolo dan Mapat Toenggoel berdasarkan Keputusan tanggal 10 Mei No. 7 (Stbl. No. 132) menetapkan akan menjadi bagian dari (pemerintahan) Onderafdeeling Rao, Panti en Loeboesikaping, Afdeeling Air Bangis, Residentie Padangsche Benedenlanden.

Peta 1904
Persoalan serupa ini bukan baru. Pada awal pembentukan pemerintahan di pantai barat Sumatra, district-district Rao, Mapat Toenggoel, Loender (Panti), Ophir, Pasaman dan Air Bangis dan sebagian district Bondjol (Loeboeksikapaing) tidak termasuk Residentie Padangsche Benelanden maupun Residentie Padangsche Bovenlanden, melainkan residentie tersendiri yang disebut Residentie Noordelijke Afdeeling (Tapanoeli) yang beribu kota di Natal. Oleh karena alasan hambatan geografis dan alasan efektvitas pemerintahan di bawah Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1846 secara keseluruhan Rao, Loender, Mapat Toenggoel dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden; Air Bangis dan Ophir Districten dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden

Dalam hal batas-batas pemerintahan pada era Pemerintah Hindia Belanda berbeda dengan batas-batas kedaulatan (teritorial) pada jaman kerajaan-kerajaan (era VOC). Pemerintah Hindia Belanda tidak lagi mengikuti pembagian wilayah pada jaman kuno (berdasarkan historis), tetapi menerapkan kebijakan baru dalam rangka mengefektifkan pemerintahan dan pembangunan wilayah (berdasarkan futuris). Namun demikian, sejarah adalah satu hal, penataan administrasi (wilayah) pemerintahan (Belanda) adalah hal lain lagi.

Wilayah Mapat Toenggoel (ibu kota Moeara Tais) yang dimasukkan ke onderafdeeling Rao, Loeboesikaping en Panti memiliki penduduk sebanyal 2.050 jiwa yang meliputi 19 negori yang terdiri dari 29 kampung (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 27-03-1883). Dalam beslit ini juga district Moeara Sei Lolo (ibu kota Silajang) dan district VI Kota (ibu kota Loeboek Godang) dimasukkan ke onderafdeeling Rao, Loeboesikaping en Panti yang meliputi enam negorij yang terdiri dari delapan kampung dengan total penduduk sebanyak 1.423 jiwa. Tiga district ini kemudian dijadikan satu district bernama District Mapat Toenggoel. Orang yang berperan dalam membujuk tiga district tersebut dimasukkan ke onderafdeeling Rao, Loeboesikaping en Panti adalah Radja Bagarno gelar Jang Dipertoean, kepala Padang Nunang dan Soko gelar Radja Koeamang, kepala Laras Panti (lihat De locomotief, 28-08-1883). Kepala Silajang District Mapat Toenggoel adalah Si Soedin gelar Toeankoe Besar. Catatan: Nama-nama kampong Moeara Tais, Loeboek Godang dan Silajang adalah nama-nama yang umum dikenal di Afdeeling Mandailing en Angkola. Namun sejak 1886 tiga wilayah ini diabaikan. Padahal tiga district ini adalah penghasil emas. Dalam situasi dan kondisi ini tiga pemimpin di Mapat Toenggoel (kepala Loeboek Godang dan Moeara Tais) disingkirkan (dibunuh semuanya) oleh orang yang tidak dikenal yang menentang otoritas Pemerintah Hindia Belanda (pengikut Padri?). Lalu muncul rezim baru di tiga district ini yang secara eksplisit menentang otoritas Belanda. Situasi di tiga district ini seakan mengingatkan kembali pada fase 1819-1837) saat mana terjadi perseteruan antara rezim pengikut Padri dengan rezim para pangeran Pagaroejoeng (Mainangkabau) yang dibantu oleh (rezim) Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1891 terjadi penataan kembali wilayah administrasi pemerintah di Province Sumatra’s Westkust. Onderafdeeling Rao, Loeboesikaping en Panti dipisahkan dari Residentie Padangsche Benelanden dan kemudian statusnya ditingkatkan menjadi afdeeling yang dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden. Wilayah onderfadeeling Rao, Loeboesikaping en Panti sebelumnya diubah dengan nama tunggal sebagai Afdeeling Loeboeksikaping. Namun persoalan di Mapat Toenggoel tidak mendapat perhatian. Pada tahun 1902 J Ballot (Asisten Residen Loeboeksikaping yang baru) telah menormalisasikan kembali situasi di District Mapal Toenggoel dan para pemimpin lokal yang sah (berhak) telah diposisikan kembali.

Para petualang yang selama 10 tahun berkeliaran di wilayah tersebut telah ditangkap dan diasingkan (selama sepuluh tahun) dan sebagian di hukum kerja paksa (lihat Algemeen Handelsblad, 25-03-1905). Hukuman bagi mereka yang terdakwa telah diputuskan oleh rapat yang diadakan di Mapat Toenggoel (lihat De Telegraaf, 04-06-1903). Dengan demikian, wilayah yang tahun 1882 bersedia bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda telah dipulihkan kembali (setelah selama 16 tahun menderita). Boleh jadi kasus ini adalah sisa (pengikut) Padri yang terakhir. Namun demikian pemerintah Padangsche Bovelanden dipersalahkan dalam kasus ini karena mengabaikan selama belasan tahun (dianeksasi oleh kelompok yang tidak dikenal). Catatan: J Ballot, boleh jadi karena pemulihan di District Mapat Tanggoel) dipromosikan menjadi Asisten Residen Sekretaris Gubenur Province Sumatra’s Westkust lalu menjadi Residen Sumatra’s Oostkust. Kelak J Ballot kembali ke Province Sumatra’s Westkust sebagai Gubernur Province Sumatra’s Westkust, 1910-1915). J Ballot adalah gubernur Province Sumatra’s Westkust yang terakhir.

Kasus Mapat Toenggoel mendapat perhatian di Medan (ibu kota Residentie Sumatra’s Westkust). Selain kasus Mapat Toenggoel juga terdapat kasus yang mirip yang mana sejumlah district lainnya di dekat Limapoeloeh Kota yang diserahkan ke Padangsche Bovenlanden digugat (lihat De Sumatra post, 13-06-1906). Diusulkan bahwa distrik-distrik yang masuk Lima Poeloeh Kota dimasukkan ke Kampar dan sejumlah district lainnya dimasukkan ke Rokan. Hal ini karena ada dukungan dari orang Melayu demi mencapai keadilan. Juga disebutkan bila perlu semua district di Rau dan Loeboek Sikaping dimasukkan ke wilayah Residentie Tapanoelie atau ke Rokan.

Pada tahun 1879 lanskap-lanskap di utara Siak (dipisahkan dari afdeeling Siak Indrapoera) dan kemudian disatukan menjadi satu afdeeling (dengan afdeeling Oost van Sumatra) yang terdiri dari district Bengkalis, Laboehan Batoe, Asahan, Batubara dan Deli dengan ibu kota di Rantau Pandjang (Bengkalis) dimana asisten residen berkedudukan. Ini mirip dalam pembentukan Afdeeling atau Residentie Air Bangis tempo sebelumnya di pantai barat Sumatra. Pada tahun 1887 afdeeling Oost van Sumatra ini ditingkatkan menjadi residentie. Celakanya, ibu kota residentie di relokasi dari Bengkalis ke Medan dimana residen berkedudukan. Saat inilah district Bengkalis jauh di Riau lalu diintegrasikan dengan afdeeling Siak Indrapoera. Lalu pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust menjadi residentie yang berdiri sendiri (sebagaimana Residentie Oost van Sumatra). Resident Oost van Sumatra sejak tahun 1905 adalah J Ballot (yang dulu pernah membebasakan District Mapat Toenggoel dari kezaliman). Pada tahun 1905 kota Medan sudah lebih maju jika dibandingkan kota Padang. Kelak pada tahun 1815 Residentie Oost van Sumatra dipromosikan menjadi province. Celakanya, Province Sumatra’s Westkust terpaksa didegradasi (dilikuidasi).

Lantas mengapa muncul klaim dan pengakuan dalam pembentukan pemerintahan di era Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda dapat meratifikasi klaim dan pengakuan di dalam perjanjian. Klaim dalam hal ini yang besar terhadap kecil sedangkan pengakuan yang kecil terhadap besar. Kerajaan Pagaroejoeng boleh saja mengklaim district Mapat Toenggoel tetapi penduduk district Mapat Toenggoel tidak mengakui kerajaan Pagaroejoeng sebagai atasannya, akan tetapi lebih mengakui atasannya kerajaan Melayu (Djohor, Riau atau Siak). Dalam hal ini bisa saja kerajaan Pagaroejoeng menghormati klaim Siak dan pengakuan dari radja-radja Mapat Toenggoel (atau sebaliknya).

Ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk pemerintahan yang dimulai dari klaim kerajaan Pagaroejoeng terhadap district-district tertentu (yang menjadi dasar legitimasi Pemerintah Hindia Belanda). Dalam perkembangannya radja-radja Mapat Toenggal memindahkan pengakuannya dari Melayu ke Pemerintah Hindia Belanda (sehubungan dengan wilayah Minangkabau sudah berada di bawah otoritas Pemerintah Hindia Belanda). Pengakuan penduduk Mapat Toenggal kepada Pemerintah Hindia Belanda ini terjadi tahun 1846. Namun, para pejabat Belanda kurang intensi di Mapat Toenggal (mengabaikan). Dalam pembentukan pemerintahan di Sumatra’s Oostkust, Mapat Toenggoel diklaim kerajaan Melayu sebagai bagian dari pemerintahan yang bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda (1865). Dalam hal ini, district Mapat Toenggoel terdapat tumpang tindih antara barat dan timur. Lalu pada tahun 1879 radja Rao dan kepala laras Panti membujuk raja-raja Mapat Toenggoel untuk bergabung dengan pemerintah (residenie) Padangsche Benelanden yang kemudian diratifikasi pada tahun 1882. Namun sekali lagi district Mapat Toenggoel diabaikan lagi hingga terjadinya ‘kudeta’ di Mapat Toenggoel oleh rezim yang menentang otoritas Belanda. Baru pada tahun 1902 district Mapat Toenggoel dipulihkan oleh pemerintah Padangsche Bovenlanden (saat mana Asisten Residen Loboek Sikaping J Ballot).

Pengakuan dan klaim ini sesungguhnya merujuk pada proses evolusi pemerintahan kerajaan-kerajaan tempo doeloe. Pada jaman doeloe, kerajaan besar di sekitar adalah Kerajaan Aroe, Kerajaan Malaka dan Kerajaan Minangkabau (Pagaroejoeng). Kerajaan-kerajaan ini adalah estafet dari suatu pemerintahan yang lebih kuno di masa lampau (di era Budha Hindu). Kerajaan-kerajaan kuno ini dapat ditafsirkan dengan wujud adanya percandian apakah di Portivie (Padang Lawas) atau di (Moeara) Takus (Kampar). Dalam hal ini, kehidupan di sekitar Mapat Toenggoel diduga sudah eksis sejak jaman kuno. Nama Mapat Toenggoel, Rao, Takus, Taloe adalah nama-nama yang dikaitkan dengan jaman kuno, jaman sebelum adanya kerajaan Aroe, Malaka dan Pagaroejoeng. Bagaimana bisa? Di district itu banyak ditemukan emas yang menjadi salah satu faktor kehadiran pendatang dari India (munculnya percandian).

Distrik-Distrik Bangkinang, Kampar: Perkembangan Lebih Lanjut di Mapat Toenggoel

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar