Sabtu, 13 Juni 2020

Sejarah Lombok (3): Pangeran Kerajaan Selaparang, Upaya Kuasai Kembali Seluruh Lombok; Asal Usul Kerajaan Selaparang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Kerajaan Selaparang sudah lama eksis, wilayahnya tidak hanya (pulau) Lombok juga termasuk pulau Penida. Invasi Kerajaan Karangasem pada tahun 1740 menyebabkan pulau Penida lepas dan pulau Lombok terbelah (muncul koloni Bali di Lombok bagian barat). Satu abad kemudian, pangeran kerajaan Selaparang mulai memikirkan agar seluruh (pulau) Lombok berada di bawah kendali kerajaan Selaparang. Bagaimana hasilnya?

Kerajaan Selaparang Lombok (Peta 1720)
Dalam laporan Cornelis de Houtman (1595-1597) pulau Lombok ditempati pertama kerajaan Djapara pada tahun 1593 yang kemudian membentuk koloni dengan menempatkan seorang bangsawan (pangeran) Jawa untuk menjadikan sumber pemasok kayu. Di belakang pantai terdapat rumah pemimpin dengan 100 orang pria penjaga (pasukan). Perkampongan ini disebut Lombok dan menurut laporan Cornelis de Houtman teluk Lombok sudah mendangkal. Sejak inilah kemudian diketahui keberadaan (kerajaan) Selaparang di Lombok. Kerajaan Selaparang (Lombok) termasuk pulau Penida (lihat Peta 1660).

Pangeran kerajaan Boeleleng berseteru dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pangkal perkara karena pangeran Boeleleng dianggap melanggar perjanjian dan persoalan tawan karang. Pemerintah Hindia Belanda menultimatum pangeran Boeleleng dengan mengirim ekspedisi militer. Ekspedisi ini didukung oleh Sultan Madoera en Sumanap dan Bupati Pamakassan. Ekspedisi ini juga didukung Pangeran Selaparang di bawah bendera Lombok (lihat Javasche courant, 07-07-1846). Inilah awal Perang Lombok. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Perang Lombok

Pemerintah VOC dengan kekuatan militernya yang didukung pasukan pribumi sudah sangat berpengalaman untuk urusan perang, tidak hanya terhadap pesaing Eropa (Portugis dan Inggris) juga terhadap kerajaan-kerajaan lokal (pribumi). Kemenangan di kerajaan Gowa dan Demak/Djapara telah menaikkan moral politik Pemerintah VOC (yang berpusat di Batavia). Lalu lintas pelayaran (pedagang-pedagang) VOC di jalur selatan dari Batavia ke Banda/Amboina melalui pantai utara Madura, Bali, Lombok dan Timor masih tetap dianggap penting dan dipertahankan. Jalur ini dapat dianggap jalur tradisional VOC bahkan sudah sangat mengenalnya sejak ekspedisi pertama (1595-1597) dan kedua (1598-1600) Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Seabad kemudian jalur pelayaran selatan ini tetap dipertahankan dengan menganggap (pulau) Lombok penting bagi VOC sebagai pusat perdagangan dan jalur pelayaran.

Di pulau Bali sudah terdapat beberapa kerajaan, sedangkan di Lombok hanya terdapat satu kerajaan yakni di pantai timur Lombok (lihat Peta 1720). Pemerintah VOC sudah barang tentu menganggap kerajaan-kerajaan di dua pulau ini penting sebagai simpul perdagangan. Namun yang lebih penting dalam hal ini adalah posisi dimana pos perdagangan VOC. Pada Peta 1720 tanda navigasi jangkar (anker) diletakkan di teluk Lombok, pantai Ampenan (Mataram) dan teluk Lembar (kerajaan Selaparang) dan teluk Bali (kerajaan Kloengkoeng) sebagai pelabuhan perdagangan ((VOC). Tanda navigasi lainnya adalah pengukuran kedalaman laut di sepanjang pantai barat (pulau) Lombok dan pantai utara Blambangan (pulau Jawa). Tanda navigasi ini mengindikasikan jalur pelayaran sepanjang pantai yang boleh dikatakan sebagai jalur yang intens dilalui oleh kapal-kapal VOC. Lantas mengapa yang dipilih pantai (barat) Lombok antara teluk Ampenan dan teluk Lembar? Lebih aman. Posisi jalur VOC ini di satu sisi menguntungkan (kerajaan) Selaparang di (pulau) Lombok dan di sisi lain VOC menghindari konflik dengan Bali (yang sudah menguasai selat Bali dengan penaklukan kerajaan Blambangan).

Situasi dan kondisi menjadi kacau pada tahun 1740. Kerajaan Karangasem melakukan aneksasi di Lombok (pantai barat). Apa yang menjadi pangkal perkara? Besar dugaan kemesraan antara Pemerintah VOC dan kerajaan Selaparang membuat Bali cemburu? Tentu  saja tidak. Kerajaan Karangasem (dan cabang pemerintahannya di kerajaan Boeleleng) diduga kuat berupaya untuk mengusir keberadaan pedagang-pedagang VOC di kawasan. Dengan menguasai Lombok bagian barat, kerajaan Karangasem menguasai selat. Selat Bali dan selat Lombok adalah perairan yang terhubung dengan (kerajaan-kerajaan) di Bali yang mana selama ini pantai barat Lombok menjadi jalur pelayaran VOC. Bali tampaknya ingin menguasai kawasan sekitar Bali.

Pemerintah VOC tentu saja tidak terlalu peduli aneksasi Bali terhadap Lombok, sejauh tetap masih bisa bernegosiasi dengan Bali dan atau Lombok. Kerajaan Selaparang di pantai timur Lombok sudah barang tentu gigit jari. Posisi bargaining (kerajaan Selaparang) sangat lemah, sementara kerajaan-kerajaan Bali sangat kuat karena hubungan timbal balik antara VOC di Batavia dengan para pemimpin Bali masih terjaga. Banyaknya orang Bali yang menjadi kekuatan militer VOC (di berbagai tempat) dengan sendirinya menyandera Pemerintah VOC. Hubungan yang intens antara para pemimpin Bali dengan Batavia dalam satu abad terakhir masih terjaga Ini dapat dibaca pada komunikasi antar dua belah pihak pada catatan Kastel Batavia (Daghregister). Kenyataan ini boleh jadi disadari penuh oleh kerajaan Selaparang (Lombok). Pada era inilah peran Selaparang melemah sementara eksistensi Soembawa di perairan selat Alas tidak menentu.

Penguasaan (kerajaan-kerajaan) Bali di kawasan sudah barang tentu membuat Bali sebagai raja di kawasan dan menganggap pengaruhnya setara dengan Pemerintah VOC. Besar dugaan sejak pengaruh Bali yang semakin menguat di kawasan menyebabkan munculnya praktek tawan karang di perairan Bali.  Namun dalam perkembanganya praktek tersebut mulai menyimpang, bukan hanya tawan karang tetapi juga disalahgunakan oknum tertentu, yang belum tentu orang Bali, sebagai perampokan di laut.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pembentukan Pemerintahan di Pulau Lombok

Setelah berakhirnya VOC, kerajaan Belanda membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Namun penataan dan pembentukan cabang-cabang pemerintahan belum sepenuhnya terwujud kemudian terjadi pendudukan Inggris (1811-1816). Setelah Pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali, cabang-cabang pemerintahan yang dibuat Inggris diperbarui lagi. Salah satu residentie yang dibentuk adalah Residentie Bezoekie en Banjoewangie. Residen di Bondowoso dibantu dua Asisten Residen di Probolinggo dan di Banjoewangie (lihat Almanak 1833). Nama residentie diubah namanya menjadi Residentie Besoeki dengan menempatkan seorang asisten residen di Banjoewangi (lihat Almanak 1841). Hingga tahun 1845 (lihat Almanak 1845) belum ada Pemerintahan Hindia Belanda di Bali namun kedudukan raja Bali diakui.

Di luar Jawa baru ada di Sumatra dan Kalimantan. Di Sumatra terdapat di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust), Bengkoelen, Lampong, Palembang dan Bangka, di Kalimantan terdapat di Bandjarmasing (juga tempat kedudukan Gubernur), Koetai, Pontianak dan Sambas. Di Province Sumatra’s Westkust terdiri dari tiga Residentie. Gubernur (AV Michiels) berkedudukan di Padang, residen di Tapanoeli adalah Alexander van der Hart. Meski demikian Pemerintah Hindia Belanda mengakui kedudukan sejumlah sultan-sultan seperti di Soerakarta, Banjarmasin, Djambi, Bima dan raja-raja di Goa dan Bone. Di Bali en Lombok disebut Keizer van Bali en Lombok Dewa Agoeng Poetra yang berkedudukan di Kloengkoeng dan pangeran (Bali) van Selaparang (Lombok) Goesti Ngoerah Ketoeh Karang Assam.
.
Pada tahun 1846 mulai terbuka adanya perselisihan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan pangeran (Bali) van Boeleleng Goesti Ngoerah Made Karang Asem. Disebutkan penghinaan berulang-ulang di perairan Bali pada bendera [Belanda, tricolor], dan yang paling baru penolakan Radja van Boeleleng atas perjanjian yang ada antara dia dan Pemerintah Belanda. Menteri negara atas nama Gubernur Jenderal telah menginstruksikan suatu ekspedisi ke Bali (Boeleleng) dengan membawa ultimatum pemerintah dengan tuduhan yang ditentukan jika tidak direspon tepat waktu atau memberikan respons yang tidak memuaskan, segera dilanjutkan ke permusuhan. Ultimatum itu terutama ditujukan kepada pangeran Boeleleng Goesti Ngoerah Made Karang Asem. Ultimatum ini telah disampaikan Asisten Residen Banjoewangi dan kemudian disusul oleh Resident Besoeki.

Beberapa poin ultimatum ini adalah bahwa  perjanjian yang dilanggar dan ditandatangani sendiri oleh pangeran Boeleleng pada tanggal 26 November 1841 dan 8 Mei 1843;  bahwa penduduk Djembrana pada bulan Januari 1844,wilayah Boeleleng, bersalah karena menjarah kapal yang berlayar di bawah bendera Belanda di atas kapal milik warga negara Hindia Beanda dan bahwa kompensasi yang dijanjikan belum diberikan; bahwa dia tidak menerima dan memperlakukan utusan-utusan Pemerintah dengan penghargaan yang pantas sebagai wakil dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tetapi sebaliknya diperlakukan sebagai musuh; bahwa surat Gubernur Jenderal tidak dijawab dan bahwa ia tidak menampilkan bendera Belanda sesuai waktu dan sebagaimana mestinya. Surat perjanjian baru telah disiapkan yang ditunggu hingga 3X24 jam yang antara lain berisi penghapusan perampokan pantai dan berkomitmen untuk pencegahan pembajakan dan perbudakan dan melindungi [lalu lintas] perdagangan; bahwa jika kondisi ini tidak diadopsi dalam 3 kali 24 jam, serangan terhadap wilayah kekuasaannyanya akan segera terjadi dan konsekuensinya akan menimpanya, Radja van Boeleleng, karena ia telah melukai dirinya sendiri; tetapi Menteri Negara, Gubernur Jenderal, percaya bahwa pada waktunya, dan sebelum semuanya terlambat, dia akan mengambil satu-satunya jalan yang dapat mengarah pada menghindari konsekuensi dan nasib rekonsiliasi seperti itu.

Ekspedisi terpaksa dijalankan (lihat Javasche courant, 07-07-1846). Ekspedisi ini dipimpin oleh Letnan Kolonel G. Bakker yang menjadi kommandant ekspedisi Bali yang dimulai pada tanggal 26 Juni 1816. Pendaratan dilakukan di Boeleleng. Pasukan tambahan disediakan oleh Sultan Madura dan Sultan Sumanap serta Bupati Pamakassan, pada waktu yang diberikan untuk Beliling. Juga tidak diketahui bahwa seorang pedagang dengan fregat bersenjata, bersama dengan esquader kami, muncul disana yang dipimpin Raja Selaparang untuk berpartisipasi di bawah bendera Lombok.

Perang ini terus berlanjut. Sehubungan dengan semakin perlawanan Boeleleng yang belum terselesaikan, akhirnya Gubernur Sumatra’s Westkust Generaal Majoor AV Michiels menjadi pimpinan ekspedisi. Perlawanan Boeleleng berakhir pada tahun 1849.

Setelah berakhirnya Perang Boeleleng tahun 1849, mulai dipersiapkan cabang pemerintahan di Boeleleng pada tahun 1856. Dalam permulaan pemerintahan ini dipimpin oleh Asisten Residen Banjoewangi dengan nama pemerintahan Bali en Lombok. Dua afdeeling dibentuk yakni Afdeeling Boeleleng dan Afdeeling Djembrana. Di Boeleleng ditempatkan seorang asisten residen dan di Djembrana seorang controleur.

Untuk pemimpin lokal diangkat sebagai bupati Boeleleng adalah Radja Goesti Ngoerah Ktoet Djelantik sejak 1861 (lihat Almanak 1863). Juga diangkat kapitein China, kepala Boegis di Boeleleng, Abdoellah, kepala di Tamboekoer (Badoellah) dan kepala di Sangsit (Daeng Mali). Untuk membantu asisten residen di Boeleleng ditambahkan seorang Controleur. Di Djembrana diangkat bupati Goesti Ngoerah Made Pasekan (sejak 1856), kapala Jawa di Banjoe Biroe, di Tegal Bodeng dan di Pengambengan,

Dalam perkembangannya status Banjoewangi ditingkatkan dari Asisten Residen menjadi Resident, Residen Banjoewangi tetap membawahi Bali en Lombok (lihat Almanak 1867). Di Boeleleng tetap seorang asisten residen dengan pemimpin lokal bupati Radja Goesti Ngoerah Ktoet Djelantik dan pemimpin lokal di Djembrana bupati Goesti Ngoerah Made Pasekan. Fungsi Controleur di Djembrana dihapuskan.

Pembagian wilayah Pemerintah Hindia Belanda sejauh ini Bali dan Lombok disatukan. Sementara di sisi timur Lombok sudah dibentuk afdeeling Bima. Dalam hal ini afdeeling Bima termasuk wilayah Afdeeling Zuiden Districten dari Province Celebes. Di Afdeeling Bima ditempatkan seorang Controleur. Dalam Almanak 1871 Radja Goesti Ngoerah Ktoet Djelantik masih bupati Boelelen, sedangkan bupati Djembrana lowong tetapi masih ada Patih. Pemimpin lokal yang baru adalah kepala Muslim Bali di Pengastoelan dan kepala Muslim Mandar dan Bali di Loloan.

Seperti sebelumnya meski beberapa lanskap tidak ada pemerintahan Hindia Belanda, tetapi radja dan sultan diakui (lihat Almanak 1871). Di pulau Sumbawa yang diakui adalah pangeran Bima, sultan Soembawa, pangeran Dompoe dan pangeran Sangar. Di Bali raja-raja yang (tetap) diakui adalah Dewa Agoeng Poetra sebagai soesoehoenan van Bali en Lombok (pengeran van Kloengkoeng), Dewa Manggis pangeran Gianjar, Ratoe Gede Ngoerah Kasiman, Ratoe Alit Ngoerah Denpasar dan Ratoe Gede Ngoerah Made Pametjotan yang semuanya adalah pengeran-pangeran Badoeng; Goesti Ngoerah Made Agoeng pangeran Mangwi, Goeti Ngoerah Agoeng pangeran Tabanan dan Dewa Gede Tangkeban pangeran Bangli. Sementara radja di Boeleleng dan di Djembrana merangkat bupati.

Di Selaparang (Lombok) raja yang diakui adalah Anak Agoeng Agoeng Ngoerah Ketoet Karang Asem sebagai pangeran van het eilnad Selaparang dan Anak Agoeng Agoeng Gede Karang Asem sebagai pangeran kerajaan Karangasem di Bali. Mereka berdua ini diakui sejak 1830.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar