Jumat, 03 Juli 2020

Sejarah Lombok (27): Berakhirnya Era Kolonial Belanda dan Pendudukan Militer Jepang; Lombok Terputus Dunia Luar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Saat orang-orang Belanda di Lombok baru menikmati kemakmuran, semua itu tidak lama segera akan berakhir. Perang Pasifik sudah terlihat di horizon, dari arah matahari terbit (Jepang). Panduduk di Lombok hanya melakukan apa yang bisa dilakukan. Para pemimpin lokal wait en see. Seperti umumnya di Hindia Belanda, orang-orang Belanda di Lombok juga mulai was-was. Kegamangan Pemerintah Hindia Belanda terbaca di dalam pemberitaan surat-surat kabar.

Pergerakan kebangkitan bangsa di Lombok tidak seintens di Jawa dan Sumatra. Para pemimpin lokal di Lombok tidak terlalu intens terhubung dengan gerakan di Jawa, namun banyak yang terus mengikuti perkembangan di Jawa, terutama pegawai-pegawai pribumi asal Jawa di Lombok seperti guru, petugas kesehatan dan lainnya. Tidak ada komunikasi antara pejabat-pejabat Belanda dan para pemimpin lokal di Lombok. Semuanya berlangsung seperti biasa antara hubungan pejabat dengan pemimpin lokal dan antara pemimpin lokal dengan penduduk.

Meski (pulau) Lombok secara geografis dekat dengan (pulau) Jawa, tetapi secara politis (hubungan antar kaum pergerakan) tidak terlalu intens. Hal ini diduga yang menyebabkan situasi dan kondisi jelang berakhirnya kolonial Belanda di Lombok terkesan biasa-biasa saja. Hiruk pikuk berada di Jawa. Situasi dan kondisi di Lombok menjelang berakhirnya kolonial Belanda di Lombok kurang terinformasikan, lebih-lebih saat pendudukan militer Jepang. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Perang Pasifik dan Situasi di Lombok

Pada tahun 1941 hawa panas perang Pasifik di Lombok sudah terasa. Panitia dana perang bersatu (vereenigde oorlogsfondsen) sudah terbentuk dan telah menyelenggarakan penggalangan dana untuk kebutuhan perang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-04-1941). Di gedung societeit Mataram di Ampenen diadakan pertunjukan yang dihadiri siswa-siswa dari sekolah ELS dan sekolah HIS. Asisten Residen mengucapkan terimakasih atas kontribusinya. Sementara itu di Mataram sehari sebelumnya telah dilakukan hal serupa di gedung asosiasi Merdi Bekso yang dalam acara berbahasa Melayu diterjemahkan oleh Koestalam Wardi. Hasil pengumpulan dana di Mataram ini sebesar f450.

Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1941: ‘Ampenan. Sabtu pagi peringatan 10 Mei berlangsung di Ampenan. Semua kelompok orang berkumpul di halaman rumah Asisten Residen pada jam setengah tujuh. Baaij, agen dari NIHB. berbicara atas nama penduduk Eropa, lalu setelah itu Poenggawa Tjakranegara atas nama semua kelompok penduduk pribumi. Asisten Residen menjawab dengan kata-kata segar. Semua sangat terkesan ketika tricolor Belanda dinaikkan dan orkestra membawakan lagu Wilhelmus. Kepala pemerintah daerah Mataram kemudian maju ke depan dan memberikan presentasi atas nama semua kelompok pribumi sebesae f2.000 untuk kontribusi dana perang, setelah itu Asisten Residen berterima kasih dan semua berbaris di halaman rumahnya tanpa alat musik. Beberapa ribu pembawa tombak hadir, sementara prosesi di barisan belakang terdiri dari sekelompok para pemimpin pribumi dengan menunggang kuda. Juga hadir dari Lombok Tengah dan Lombok Timur.

Di satu sisi Pemerintah Hindia Belanda jelas tidak siap untuk perang dan tidak akan cukup alokasi anggaran pemerintah untuk menghadapi situasi dan kondisi jika terjadi perang. Di sisi lain, bentuk pengumpulan dana ini juga menjadi sosialisasi dan instrumen pemerintah untuk mengikat semua warga untuk saling bersatu dalam menghadapi perang apakah orang Eropa-Belanda atau orang pribumi. Penyelenggaran dana perang ini juga berlangsung di berbagai kota di Hindia Belanda. Pengumpulan dana perang ini mengindikasikan bahwa perang Pasifik hanya tinggal menunggu. Ibarat sebelum hujan menyediakan payung. Berita-berita dan diskusi-diskusi tentang adanya niat Jepang untuk melakukan invasi ke Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda sudah muncul beberapa waktu sebelumnya.

Orang-orang Indonesia pada tahun 1941 telah membentuk semacam parlemen yang diberi nama Madjelis Rakjat Indonesia. Kepemimpinan Madjelis Rakjat Indonesia yang disingkat MRI ini disebut Dewan Pimpinan yang didirikan pada tanggal 13 September 1941 di Jogjakarta. Madjelis Rakjat Indonesia, dasarnya demokratis, saat itu dianggap sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia. Madjelis Rakjat Indonesia adalah ujung perjalanan dari proses persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi penjajah Belanda.

Dalam merasakan hawa panas perang Pasifik, baik Pemerintah Hindia Belanda dan para pemimpin Indonesia sama-sama mengantisipasinya. Pemerintah Hindia Belanda sengan penggalangan dana, sedangkan para pemimpin Indonesia menggalang persatuan dan kesatuan dengan membentuk semacam parlemen. Sementara itu di Lombok persiapan perang terus dikonsolidasikan. Kegiatan pemerintah yang biasanya di Mataram agak bergeser ke Ampenan (boleh jadi dimaksudkan untuk memudahkan evakuasi bagi orang-orang Eropa jika terjadi pendudukan militer Jepang).

Bataviaasch nieuwsblad, 03-09-1941: ‘Ampenan. Pada tanggal 31 Agustus, bendera ada dimana-mana di Ampenan dan layanan di gereja Protestan dan Katolik berlangsung pada pagi hari, dihadiri oleh semua pejabat pemerintah dan pejabat lainnya. Pada tanggal 1 September, semua sekolah memberikan aubade anak-anak, dan setelah itu audiensi publik berlangsung di rumah Asisten Residen. Poenggawa Tjakranegara menyampaikan pidato dimana ia menyampaikan rasa hormatnya. Setelah itu, Asisten Residen berbicara kepada semua yang hadir dengan pidato yang tepat dan tegas dan mengumumkan penghargaan kepada sesepuh Pemangkoe Bali di Lombok Barat, setelah itu ia menyematkannya. Di malam hari, parade lentera anak-anak sekolah berlangsung, diiringi oleh orkestra seruling. Setelah ini, Pasar Malem di Mataram dilanjutkan yang telah dimulai pada 31 Agustus selama 10 hari, yang hasilnya akan menjadi 100 persen untuk Spitfirefonds’.

Singkat kata, hawa panas perang Pasifik menjadi kenyataan. Informasi terawal datang diterima di Soerabaja sepucuk surat seorang perempuan, dokter yang bertugas di Tarempa (kepulauan Riau). Surat itu ditjukan kepada ayahnya (Dr. Radjamin Nasution) yang kemudian dimuat pada surat kabar  Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya yang lalu dikutip oleh koran berbahasa Belanda De Indische Courant tanggal 08-01-1942. Berikut isi surat tersebut.

Tandjong Pinang, 22-12-194l.

Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio, Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup.

Hari Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa.

Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut….. Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di sana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera.

Penyerangan oleh Jepang dimulai dengan pengeboman di Filipina dan Malaya/Singapura. Pemboman oleh Jepang di Tarempa merupakan bagian dari pengeboman yang dilakukan di wilayah Singapura. Tarempa berada di kepulauan Natuna, Riau yang beribukota Tandjoeng Pinang, pulau Bintan (dekat dari Singapura).

Mengetahui bahwa pesawat-pesawat militer Jepang telah beraksi di Filipina dan Singapura, Pemerintah Hindia Belanda segera mengambil kebijakan dengan mengangkat HJ van Mook sebagai Lultenant Gubernur-Jenderal (lihat Soerabaijasch handelsblad, 08-01-1942). Pengangkatan ini dimaksudkan sebagai wakil dari Gubernur Jenderal AWL Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lombok dan Pendudukan Militer Jepang

Sebagaimana  surat dokter dari Tarempa yang ditulis di Tandjong Pinang, 22-12-194l dan dilansir surat kabar Belanda, De Indische Courant tanggal 08-01-1942, akhirnya militer Jepang benar-benar telah memasuki wilayah Hindia Belenda di wilayah udara Tarakan [Kalimantan Timur] pada tanggal 11 Januari 1942.

Pendudukan Tarakan sebagai yang pertama karena alasan geopolitis (pintu gerbang memasuki Hindia Belanda dari arah Jepang yang mana Filipina dan Singapoera sudah dikuasai) dan strategi perang dimana terdapat sumber minyak. Lalu kemudian berturut-turut pada tanggal 24 Januari 1942 diduduki  Balikpapan, selanjutnya menyusul Pontianak pada 29 Januari 1942, lalu Samarinda pada 3 Februari 1942 serta Banjarmasin pada 10 Februari 1942. Ini berarti pulau Kalimantan telah dikunci militer Jepang oleh tiga matra darat, udara dan laut. Para wanita Belanda di kamp Singapoera

Strategi yang sama juga diterapkan di Sumatra yakni dengan menduduki yang pertama kilang minyak di Palembang pada tanggal 14 Februari 1942. Pasukan darat yang telah diperkuat di Kalimantan dan Sumatra, lalu pasukan laut militer Jepang merangsek ke Jawa dan Sulawesi. Pasukan darat militer Jepang pada tanggal 1 Maret 1942 mendarat di Teluk Banten, Eretan di Jawa Barat dan Kragan di Jawa Tengah. Ini berarti ibu kota Hindia Belanda di Batavia dan pusat angkatan laut Hindia Belanda di Soeabaja telah dipisahkan yang juga pusat angkatan laut di Soerabaja dalam posisi terkepung setelah angkatan laut militer Jepang menuju Makassar. Dalam posisi terjepit inilah kemudian Batavia sangat lemah. Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada pemimpin pendudukan militer Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Pemerintah Hindia Belanda berakhir sudah.

Apa yang telah terjadi tentu saja sudah diketahui oleh orang-orang Eropa-Belanda di Lombok, tetapi hanya segelintir saja penduduk yang mengetahuinya. Pulau Lombok berada di tiga titik kekuatan militer Jepang (Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur). Pusat militer Jepang yang berada di Saigon dan Singapoera membagi wilayah Indonesia (Hindia Belanda) menjadi tiga bagian: barat dengan pusat di Fort de Kock-Bukittinggi, tengah di Batavia-Djakarta dan timur di Makassar. Pemerintahan Militer Jepang di wilayah Jawa dibagi menjadi beberapa wilayah yakni barat berpusat di Bandung, tengah berpusat di Semarang, timur di Surabaya plus Jogjakarta  dan  Soerakarta.

Seperti halnya di berbagai kota dan tempat di Indonesia, para militer dan sipil Jepang semakin banyak. Secara keseluruhan orang Jepang di pulau Lombok membengkak menjadi 2.000 orang di akhir masa pendudukan (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 01-04-1946). Pemerintahan pendudukan militer Jepang di Lombok dipimpin oleh Kolonel Takujoro. Selama pendudukan militer Jepang, mereka konsentrasi di Ampenan dan Selong plus di Mataram dan Praja.

Pada masa pendudukan Jepang ini tidak terinformasikan situasi dan kondisi di berbagai kota dan tempat di Indonesia, termasuk kota-kota di Lombok. Yang jelas, semua kendaraan telah diambil alih oleh militer Jepang, perusahan-perusahaan yang produktif telah dikuasai Jepang termasuk di bidang pertanian. Ternak penduduk banyak yang diambil dan perikanan termasuk tambak-tambak penduduk dikuras oleh militer Jepang. Juga soal irigasi tidak mencukupi di hilir pada lahan-lahan penduduk karena dibelokkan semua ke usaha pertanian di bawah kekuasaan Jepang. Penduduk Sasak merana, demikian juga orang Bali. Para pemimpin tidak terlalu dilibatkan dalam pemerintahan. Penduduk menjadi kekuarangan pangan, banyak yang dijadikan sebagai pekerja paksa dan bahkan penduduk kekurangan pakaian. Khususnya penduduk Sasak, lebih suram pada rezim pemerintah pendudukan militer Jepang jika dibandingkan pada era rezim Pemerintah Hindia Belanda atau pada era rezim pemerintahan Kerajaan Bali Selaparang.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar