Senin, 28 September 2020

Sejarah Manado (45): Sejarah Pulau Morotai dan Jejak Orang Moor di Indonesia; Kini Kabupaten Pulau Morotai di Maluku Utara

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Pulau Morotai adalah pulau paling timur Indonesia yang berada di bibir Lautan Pasifik. Pulau Morotai bukanlah pulau yang berada di pintu belakang, pada Perang Pasifik, posisi pulau Morotai adalah pintu gerbang. Pulau Morotai sudah dikenal sejak jaman kuno, sejak Ternate dan Tidore sebagai pusat perdagangan utama rempah-rempah di kepulauan Maluku. Nama Morotai diduga kuat berasal dari pedagang-pedagang Moor (pendahulu orang-orang Spanyol dan Portugis). Orang-orang Moor adalah pelaut-pelaut andal yang beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara di laut Mediterania.

Pada era perdagangan awal jaman Spanyol. Portugis dan Belanda (VOC) kepulauan Maluku terdiri dari tiga provinsi: Amboina. Banda dan Ternate dimana masing-masing gubernur VOC berkedudukan. Pada tahun 1823 wilayah Ternate dimekarkan dengan mebentuk Residentie Manado. Pada era Republik Indonesia tiga wilayah kuno ini dijadikan sebagai satu provinsi: Provinsi Maluku. Pada tahun 1999 Provinsi Maluku dimekarkan dengan membentuk Provinsi Maluku Utara. Pada tahun 2003 kabupaten Halmahera dimekarkan dengan membentuk beberapa kabupaten salah satunya adalah kabupaten Halmahera Utara. Pada tahun 2008 kabupetan Halmahera Utara dimekarkan dengan membentuk kabupaten Pulau Morotai. Catatan: Ibu kota provinsi Maluku Utara pada tahun 2010 direlokasi dari Kota Ternate ke Kota Tidore.

Bagaimana sejarah (pulau) Morotai? Lantas apa pentingnya sejarah Morotai? Yang jelas (pulau) Morotai kini menjadi sebuah kabupaten di provinsi Maluku Utara. Tentu saja tidak karena itu, sejarah Morotai hampir setua sejarah Manado. Pada era Perang Pasifik di pulau Morotai terdapat basis militer Jepang dan Amerika Serikat. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Sejarah permulaan pulau Morotai karena kehadiran orang-orang Moor. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Moor dan Perdagangan Rempah-Rempah: Batochina del Moro

Tempo doeloe di Hindia Timur, nama Moor adakalanya dipertukarkan dengan nama Codja. Moor adalah nama suatu bangsa sedangkan Codja adalah nama gelar agama seperti Kiai, Sjech dan sebagainya. Orang Moor datang dari Afrika Utara laut Mediterania tidak secara langsung, tetapi orang Moor sudah tersebar di pantai-pantai India seperti Gujarat dan Goa. Orang-orang Moor selain pelaut juga pedagang yang mudah berbaur dengan penduduk asli (menetap). Orang-orang Moor yang merupakan ras campuran dapat dikatakan suatu bangsa tetapi tidak memiliki wilayah negara yang tetap. Orang-orang Moor inilah yang daya jelajahnya sampai ke pantai barat Sumatra (Baroes) dan terus menyebar di Sumatra dan ke Java, Borneo, Celebes hingga Moloeca. Orang-orang Moor sudah eksis bahkan jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa (Spanyol dan Portugis), Orang Portugis menaklukkan Goa pada tahun 1510 dan Malaka pada tahun 1511.

Provinsi Maluku Utara
Terbentuknya kesultanan-kesulatana di Atjeh dipengaruhi oleh berbagai bangsa seperti Mesir dan Parsia yang juga berperan orang-orang Moor. Di dalam buku  Mendes Pinto (1535) nama Moor menghiasi nama-naa tempat, termasuk di Kerajaan Aroe di hulu sungai Baroemoen (Tapanoeli) yang mana sebagai penasehat kerajaan dan panglima adalah orang Moor. Mendes Pinto menyebut kerajaan Aroe memiliki tentara 15.000 yang mana sebanyak tujuh ribu berasal dari berbagai tempat termasuk Luzon (kini Filipina). Ini mengindikasikan bahwa orang Moor sudah eksis di Filipina. Orang-orang Melajoe dan orang-orang Moor inilah yang menjadi pedagang di wilayah Maluku seperti di Ternate dan Tidore.

Orang-orang Spanyol dan Portugis yang datang dan menemukan orang-orang Moor di Hindia Timur termasuk di Ternate dan Tidore menyerbut orang Moor sebagai orang Moro. Wilayah dan penduduk dimana orang-orang Moor memiliki pengaruh disebut orang-orang Spanyol dan Portugis sebagai (daerah, wilayah) del Moro. Pulau Halmahera disebut Batochina del Moro.

Pulau Halmahera yang sekarang pada era Spanyol dan Portugis disebut Batachini. Nama Batachina atau Batochina del Moro adalah penyebutan nama tempat oleh orang-orang Portugis dan Spanyol. Tidak diketahui sejarah jelas sejak kapan nama Halmahera muncul, apakah sesudah ada nama Batachini atau penyebutan nama Batachina sebagai pengganti (nama lain) dari Halmahera. Dalam hal ini orang-orang Moor atau Moro sudah eksis di Halmahera sebelu orang-orang Spanyol dan Portugis datang. Orang-orang Moor atau Moro dan orang-orang yang Melajoe yang datang berdagang yang menyebarkan agama Islam di Ternate dan Tidore. Sebutan Batachini atau Batochina menunjuk pada penduduk pedalaman (bagian atas) di Halmahera yang sering dikunjungi oleh orang-orang Moor (di pantai). Oleh karena itulah pulau Halmahera disebut orang Spanyol dan Portugis sebagai Batochina del Moro. Batachini atau Batochina kelak disebut orang-orang Belanda sebagai Batoetjina. Orang Belanda sendiri mengusur Portugis dari Amboina pada tahun 1605.

Penyebutan nama Batochina del Moro lambat-laun menghilang dan seiring dengan semakin tumbuh dan berkembangnya kerajaan Ternate dan Tidore, nama lokal Halmahera semakin populer di dunia pelayaran (perdagangan).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kesultanan Ternate dan Nama Morotai

Seperti di Sumatra khususnya di Atjeh, orang-orang Moor adalah yang memiliki pengaruh kuat terbentuknya kesultanan-kesultanan. Orang-orang (bangsa) Moor yang terbilang ‘nomaden’ (tanpa negara) mudah berbaur dan menetap dan tidak ada keinginan untuk menguasai (seperti orang Eropa Spanyol dan Portugis) menjadi satu sebab kerajaan-kesultanan Ternate tumbuh dan berkembang yang mampu head to head dengan ekspedisi-ekspedisi Spanyol dan Portugis. Di dalam kerajaan-kesultanan terdapat banyak orang Moor yang tingkat pengetahuannya setara dengan orang-orang Eropa (Spanyol dan Portugis). Adanya hubungan perkawinan antara orang-orang Moor dengan bangsawan lokal menjadi sebab lain ada darah Moor dalam diri para radja-radja dan sultan-sultan. Transformasi serupa inilah yang menyebabkan identitas orang Moor lambat laun menghilang (pupus) tetapi karakter kesultanan yang muncul bagaikan Moor (pantang menyerah seperti Atjeh dan Ternate).

Costa de Moro (Peta 1619)
Pada tahun 1570 Sultan Ternate, Haroen terbunuh. Sejak itu kesultanan Tèrnate melakukan perlawanan umum terhadap orang Eropa (Spanyol dan Portugis). Perlawanan ini dipimpin oleh putra tertua Sultan sebagai sultan yang baru yakni Soeltan Baab. Pada tahun 1575 benteng Tèrnate jatuh ke tangan Soeltan Baab dan kemudian orang Portugis menyingkir dan menetap di Tidore yang lalu membangun benteng baru pada tahun 1578 (kelak orang Portugis di Tidore diusir lagi oleh Belanda pada tahun 1605). Sebelum Portugis membentuk koloni (benteng) di Ternate (seperti di Malaka), orang-orang Portugis telah mengusir orang-orang Spanyol dan menyingkir ke wilayah Manado (semenanjung Celebes) dan Mindanao (Filipina).

Kemampuan Kesultanan Terante head to head dengan Portugis mengindikasikan kesultanan Ternate sudah sangat kuat. Seperti disebut di atas, ada darah Moor di dalam diri para pengeran-pangeran Ternate. Untuk mengimbangi kesultanan Terante, setelah Portugis terusir dari Ternate pada tahun 1580 Portugis bersekutu dengan Spanyol untuk melawan Ternate. Meski antara Porugis dan Spanyol berselisih, aliansi ini dibentuk hanya semata-mata karena atas dasar dari wilayah yang sama (Eropa). Namun akhirnya Portugis terusir dari Maluku pada tahun 1605.

Namun dalam perkembangannya, orang-orang Spanyol yang berbasis di Filipina tidak menyukai Portugis. Boleh jadi itu karena orang Portugis pernah mengusir orang Spanyol dari Hindia Timur (Maluku) dan harus menyingkir ke Filipina. Situasi Portugis menyadi sangat buruk, lebih-lebih pada tahun 1605 pendatang baru Belanda menyerang Portugis di Amboina. Orang Belanda tidak puas sampai disitu, pada tahun yang sama Belanda kembali mengusir Portugis dari Tidore (yang dalam hal ini Belanda dan Ternate bekerjasaa). Portugis yang terdesak ke arah Manado diusir balik oleh Spanyol pada tahun 1606. Habis sudah kekuatan Portugis di Maluku. Belanda yang terus menguat di Bali dan Bima pada tahun 1613 mengusir Portugis dari Koepang dan bergeser ke arah timur.

Meski kekuatan Portugis telah tergerogoti di sejumlah tempat seperti di Maluku dan Koepang (Timor), namun kekuatan Portugis masih ada terutama di Malaka. Orang-orang Portugis di pantai timur pulau Timor seakan hidup segan mati tak mau. Koepang sebagai pusat perdagangan di kawasan telah dikuasai Belanda. Wilayah pantai timur pulau Timor tidak terlalu potensial. Semua yang potensial telah beralih ke tangan Belanda termasuk Banda (tetangga terdekat pulau Timor).

Orang-orang Moor kembali memainkan peran dalam memperkuat software kerajaan Gowa-Tallo di selatan Celebes. Seperti di Ternate, orang-orang Moor menyatu di dalam kerajaan Gowa-Tallo dengan para pangeran-pangeran. Orang-orang Moor juga eksis di Soembawa (khususnya di Bima). Kerajaan Gowa(-Tallo) lambat laun semakin kuat dan semakin besar. Kerajaan Gowa menjadi simpul perdagangan utama yang menggantikan Ternate. Para pedagang-pedagang Melajoe, Jawa dan Madoera menjadi penghubung (feeder) antara Terante dengan Gowa. Kerajaan Gowa yang berpusat di Sombaopoe menjadi pelabuhan internasional, tempat dimana berbagai bangsa (Belgia, Denmark, Jerman dan sebagainya) berdagang (melakukan transaksi perdagangan). Pedagang-pedangan Portugis yang berpusat di Malaka termasuk yang membuka cabang perdagangan di Sombaopoe. Tentu saja pedagang Belanda juga membuka kantor perdagangan di Sombaopoe. Kerajaan Gowa dan Soeltan Gowa berada di atas angin. Lantas apakah kesultanan Ternate iri? Yang jelas pada fase inilah Belanda memindahkan pos utama perdagangannya di Amboina ke muara sungai Tjiliwong dengan mendirikan benteng (kasteel) Batavia pada tahun 1619 sebagai pusat sarikat dagang Belanda (VOC) yang baru dibentuk. Tentu saja kerajaan Mataram tersinggung dengan kehadiran Belanda di Batavia. Pada tahun 1628 kerajaan Mataram di bawah pimpinan Soeltan Agoeng menyerang Batavia.

Pada fase inilah nama Morotai dikenal di Ternate sebagai nama pulau yang berada di arah timur pulau Halmahera atau pulau Batocini del Moro. Lantas mengapa disebut pulau Morotai? Tidak diketahui sebab-sebanya, tetapi dapat diduga bahwa setelah nama Halmahera menggantikan naa sebutan Batochina del Moro, pulau yang di sebelah timurnya kemudian mulai dikenal sebagai pulau Morotai. Boleh jadi penyebutan Batochina del Moro (oleh orang-orang Spanyol dan Portugis) mereduksu menjadi hanya pulau yang terpisah di timur sebagai del Moro (Morotai) sementara pulau utamanya sebagai pulau Halmahera.

Sebelumnya, jauh sebelum orang Spanyol menyingkir dari Maluku ke Manila (Filipina), kerajaan-kerajaan di pulau-pulau tersebut sudah sangat kuat pengaruh orang-orang Moro yang dibantu oleh orang-orang Melajoe yang berasal dari Sumatra dan Semenanjung Malaka. Seperti halnya orang-orang Moor yang menyebarkan agama Islam, orang-orang Portugis dan Spanyol yang sempat menyebarkan agama Katolik di Maluku dan Manado, orang Spanyol memperkuat kegiatan misionaris di Manila yang membuat penganut agaa Islam menciut dan hanya terkonsentrasi di Mindanao dan pulau-pulau di sekitar. Orang-orang Islam (yang tersisa) di Filipina inilah yang kini disebut bangsa Moro (bangsa pengaruh bangsa Moor).

Nama Moro menjadi bersifat generik (dimana pengaruh orang Moor ada). Hal itulah mengapa muncul nama pulau Halmahera dengan nama Batochini del Moro yang kemudian mereduksi menjadi hanya naa pulau Morotai. Wilayah Mindanao selatan tidak disebut nama pulau sebagai Moro, tetapi menjadi nama kolektif untuk menyebut penduduk yang tinggal di pulau Mindanao dan pulau-pulau sekitar yang sejak lama menganut agama Islam (tidak berhasil dikonversi Spanyol menjadi beragama Katolik). Kelak orang-orang yang beragama Katolik di Semenanjung Celebes (Minahasa dan Manado) serta pulau-pulaui di utara (Sangihe dan Talaud) berhasil dikonversi Belanda menjadi beragama Kristen Protestan.

Meski pengaruh orang-orang Moor di Hindia Timur sangat luas mulai dari pantai barat Sumatra hingga pantai timur Papoea, termasuk di Banten, Batavia, Demak, Djapara dan Semarang serta Soerabaja, tetapi pengaruh orang Moor yang lebh kuat lebih terasa di wilayah Ternate, semenanjung Celebes (Manado) dan Mindanao. Tidak hanya nama pulau Moratai sebagai sisa sejak orang Moor, juga naa kota pelabuhan A-moer-ang juga diduga kuat sebagai pelabuhan dimana di masa lampau terdapat orang-orang Moor. Tidak ada jejak Spanyol dan Portugis yang tersisa di kawasan (del Moro) ini. Jejak Spanyol dengan kasat mata hanya ditemukan di Filpinan. Sedangkan jejak Portugis hanya ditemukan di Timor, terutama (negara) Timor Timur yang sekarang yang sebelunya orang Portugis terrusir dari Koepang (1613). Nama-nama Portugis banyak ditemukan di Timor terutama Timor Timur seperti Dilli (nama kota yang terbentuk setelah Portugis terusir dari Koepang). Catatan: adanya pengaruh Islam di Timor dan Flores bukan dari Gowa tetapi oleh orang-orang Malajoe plus orang Moor, tetapi dala perkembangannya setelah kesultan Gowa semakin kuat, pengarih Gowa menggantikan pengaruh Malajoe en Moor. Sementara pengaruh Islam di pulau Soembawa dan pulau Lombok berasal dari Djapara keudian Mataram (yang juga di dalamnya ada pengaruh orang-orang Moor terutama di Bima).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar