Senin, 12 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (19): Sejarah Sungai di Borneo, Air Mengalir Sampai Jauh; Barito, Kapuas, Mahakam Hulu Pegunungan Muller

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Tengah di blog ini Klik Disini

Sungai terpanjang di Indonesia terdapat di pulau Kalimantan yakni sungai Kapuas. Panjang sungai Kapuas yang melintasi provinsi Kalimantan Barat diperkirakan 1.100 Km. Sungai Kapuas berhulu di pegunungan Muller dan bermuara di selat Karimantan. Namun tidak hanya sungai Kapuas, juga ada sungai terpanjang kedua sungai Mahakam (Kalimantan Timur) dan sungai terpanjang ketiga yakni sungai Barito (Kalimantan Selatan). Uniknya tiga sungai ini berhulu di tengah-tengah pulau Kalimantan.

Tidak pernah ada yang menyusuri tiga sungai ini dari muara hingga jauh ke hulu. Hal itu karena sungai ini berliku-liku hingga 1000 Km ke pedalaman. Kira-kira setara dari Anyer ke Panarukan (ujung ke ujung pulau Jawa). Begitu panjangnya tiga sungai di Kalimantan ini tempo doeloe dilayari hanya dilakukan secara estafet. Ibarat orang orang Anyer ke Batavia, orang Batavia ke Cirebon lalu orang Cirebon ke Semarang seterusnya orang Semarang ke Soerabaja dan terakhir orang Soerabaja ke Panaroekan. Oleh karena banyaknya estafet lalu lintas sungai di tiga sungai di Kalimantan sehingga orang-orang Eropa sejak era Portugis menyimpulkan sungai yang beruara ke barat (Kapuas) dan bermuara ke selatan (Barito) berasal dari sumber yang sama (dengan kata lain dua cabang sungai besar dari pedalaman). Identifikasi itu dapat dilihat pada Peta 1601. Orang-orang Belanda juga meyakini kebenaran peta tersebut.

Ibarat perdebatan apakah bumi ini bulat atau datar, demikian juga tempo doeloe soal tiga sungai terpanjang di Kalimantan khususnya antara sungai yang bermuara ke selatan dan sungai yang bermuara ke barat berasal dari hulu yang sama. Lantas siapa yang berhasil membuktikan bahwa sungai Kapuas dan sungai Barito adalah dua sungai yang berbeda? Dan siapa pula orang Eropa pertama yang berhasil menyusuri ketiga sungai ini paling jauh ke pedalaman? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sungai Barito

Setelah satu abad kehadiran Belanda, pada era VOC nama-nama sungai di dalam peta mulai diidentifikasi. Peta-peta Belanda (VOC) selama ini merujuk pada peta-peta buatan Portugis. Pada Peta 1657 sudah diidentifikasi nama-nama sungai di pulau Borneo yang presisinya lebih baik namun belum diberi nama. Peta ini dibuat oleh Maioris van Johannes Janssonius. Baru pada Peta 1724 nama-nama sungai di pulau Borneo disebut. Sungai Barito disebut sebagai sebagai sungai Bandjarmasin yang mengacu pada nama tempat di muara (Bandjarmasin). Sungai Kapuas disebur sebagai sungai Lauwe. Bagaimana nama sungai disebutkan mengacu pada nama kerajaan Lave (Lauwe). Sungai Mahakam belum diidentifikasi. Namun nama sungai Soecadana dan sungai Sambas sudah diidentifikasi (juga sungai Sampit dan sungai Kotawaringin).

Mengapa baru nama-nama sungai (di barat dan selatan) tersebut yang sudah diidentifikasi karena setelah tahun 1619 pulau Borneo ditinggalkan, Belanda (VOC) kembali mendirikan perusahaan di Bandjarmasing pada tahun 1711. Sebelumnya inggris pada tahun 1706 mendirikan pabrik di Bandjarmasin namun timbul perselisihan dengan Soeltan Bandjarmasin. Pada Peta 1705 baru satu sungai yang diidentifikasi dengan nama sungai Soecadana atau sungai Adamantes (nama yang merujuk nama Portugis), namun nama itu justru menamai singai di dekat Bandjarmasin (sungai Barito). Mengapa demikian? Seperti disebut di atas sejak era Portugis sungai Kapuas dan sungai Barito dipersepsikan sebagai sungai yang sama di wilayah hulu. Ini berarti kebingungan soal sungai Kapuas dan sungai Barito masih ada. Namun menjadi lebih jelas setelah VOC eksis di Bandjarmasin sejak tahun 1711 (Peta 1724). Pada peta yang lebih detail (Peta 1720) cabang sungai Bandjarmasin adalah sungai Kaijoe Tanghin, sungai yang menuuju negorij Tatas (Martapeora)..

Pada tahun 1747 Pemerintah VOC mendirikan benteng di Bandjarmasin. Namun tidak diketahui jelas dimana posisi benteng. Sementara berdasarkan Peta 1741 Bandjarmasin yang berada di tepi timur sungai Bandjarmasing diidentifikasi sebagai Out Bandjarmasin (Bandjarmasing Lama). Di area pertambangan (intan) diidentifikasi nama Martapoera. Nama Martapoera paling tidak sudah diidentifikasi pada Peta 1665 (ketika seorang Belanda Johannes Vingboons melakukan pelayaran dari Bandjarmasin hingga sedikit ke utara Coety (Berau) di timur dan Sambas di barat dalam pemetaan navigasi. Dalam peta ini diidentifikasi kedalaman laut yang menjadi faktor penting untuk lalu lintas kapal-kapal VOC yang lebih besar, Lantas kapan nama Barito diidentifikasi untuk menggantikan nama sungai Bandjarmasin?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sungai Kapuas

Pemerintah VOC mulai lumpuh. Ini seiring dengan penduduk Prancis di Belanda pada tahun 1794. VOC mulai sibuk urusan perang ketika Inggris memindahkan skuadronya dari Calcutta ke pantai barat Sumatra (Bengkoelen) pada tahun 1787. Akhirnya militer Prancis menduduki Batavia (Java) pada tahun 1795. Sejak ini diduga tidak ada lagi pemetaan-pemetaan di Borneo yang dilakukan oleh orang Belanda (VOC). Nama sungai Kapoeas mulai kerap disebut di awal era Pemerintah Hindia Belanda (lihat Bataviasche courant, 15-11-1826 ). Disebutkan dari Borneo van Westkust Georg Muller terbunuh oleh orang Dayak saat melakukan penyusuran sungai Kapoeas dalam rangka perjalanannya melalui daerah-daerah yang tidak dikenal sebelumnya, yang sebelumnya tidak pernah masuk orang Eropa dan yang akan sangat penting bagi penduduk dan geografi,

Bagaimana nama sungai Kapoeas muncul untuk menggantikan nama Soecadana dan Lauwe belum begitu jelas. Yang jelas pada tahun 1821 terjadi pemberontakan Cina di pantai barat Borneo. Boleh jadi Pemerintah Hindia Belanda kaget dan tidak menduga yang seakan teringat pada tahun 1740 dimana di Batavia orang-orang Cina melakukan pemberontakan (yang menyebabkan sekitar 10.000 orang Cina tewas di tangan militer). Untuk mengatasi pemberontakan orang-orang Cina di pantai barat Borneo dikirim suatu ekspedisi militer tahun 1821 di bawah komisaris JH Tobias dan komandan militer Luitenant Kolonel de Stuers. Setelah pemberontakan dapat diredakan Pemerintah Hindia Belanda segera membentuk cabang pemerintahan di pantai barat Kalimantan. Untuk urusan pemerintahan di dalam cabang pemerintahan baru di pantai barat Borneo ditunjuk Georg Muller (yang sebelumnya berkedudukan di Bandjarmasin sebagai pembantu Resident Zuid en Oostkust. Pada awalnya residen di pantai barat disebut Resident van Pontianak en Mempawa ditempatkan (berkedudukan) di Pontianak (lihat Almanak 1827).

Nama Kapoeas sendiri diduga mulai dicatat sejak 1821. Nama Kapoeas diduga berasal dari nama asli atau nama lama. Nama sungai ini kemudian diidentifikasi pada peta yang lebih baru seperti Peta  1835. Dalam peta ini sudah membagi wilayah pantai barat Borneo (Residentie der Westkust van Borneo) dan pantai selatan (Residentie Zuid Oostkust van Borneo) ke dalam beberapa wilayah administrasi yang lebih rendah (afdeeling dan district). Nama sungai Barito di dalam peta ini masih Bandjar(masin) sementara sungai Mahakam mulai diidentifikasi dengan nama sungai Coety (Koetai).

Satu yang penting dalam peta ini nama (pulo) Kalimantan dimunculkan kembali untuk pengganti (nama lain dari Borneo). Dalam Peta 1835 ini nama Kalimantan ditulis sebagai Klematan. Tidak begitu jelas apakah ada hubungannya dengan nama (kerajaan) Matan. Dalam peta ini Matan adalah suatu wilayah district yang berada diantara district Sintang dan district Kotawaringin. Dalam peta-peta lama kerajaan Matan sudah diidentifikasi pada Peta 1657 yang letaknya di sebelah utara kerajaan Soecadana. Dalam perkembangan selanjutnya bagaimana nama Matan menjadi nama district (bukan Soecadana) karena diduga cabang pemerintahan ditempatkan di Matan (nama district Matan kelak lebih dikenal dengan nama Ketapang). Lantas apakah nama Kalimantan berasal dari Kali Matan (Kalimantan)? Pusat kerajaan Matan berada di muara sungai Matan. Nama Kalimantan diduga nama kuno sebelum orang Portugis mengintoduksi nama Borneo (dari nama Boernai), yaitu nama yang jauh lebih awal sebelum munculnya kerajaan Soecadana. Nama Kalimantan (Kalimatan) diduga reduksi dari nama pulau sebelah barat Matan di pantai barat Kalimantan (Karimata, Crimata).

Identifikasi (mapping) sungai Kapoeas dalam Pata 1835 sudah sampai ke wilayah Kajan Boleh jadi pemetaan sungai Kapoeas ini lebih dahulu dari yang lain karena ibu kota berada di Pontionak (muara sungai).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sungai Mahakam

Pada tahun 1942 seorang geolog Jerman dikirim ke pedalaman Borneo atau Kalimantan untuk memetakan geologi dan botani. Geolog tersebut yang belum lama tiba di Hindia Belanda bernama CM Schawaner. Nama ini mengingatkan nama seorang Jerman terdahulu Gerog Muller yang terbunuh dala ekspedisi Borneo pada tahun 1825.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar