Selasa, 13 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (20): Sejarah Laut Cina Selatan di Pantai Barat Borneo dan Natoena; Laut Cina Dipetakan VOC (Belanda) 1650

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Barat di blog ini Klik Disini 

Pada masa ini kawasan perairan Laut Cina selalu menjadi perbincangan internasional karena suhu politik di atas permukaannya sering tinggi apakah karena antar satu negara dengan negara lain saling klaim terhadap pulau (Spratly) atau juga soal batas landas kontinen di wilayah zona yang disebut Laut Cina Selatan. Soal ilegal fishing di Laut Cina Selatan yang melapaui batas teritori Indonesia di Laut Natuna lebih memperluas permasalahan yang sudah ada.

Pada masa lampau suhu politik di Laut Cina Selatan bukan di Laut Natuna tetapi di Pantai Barat Borneo (Westkust der van Borneo). Mengapa? Orang-orang Tiongkok sudah banyak yang berada di pantai barat Borneo. Setelah pemberontakan Cina di Batavia tahun 1740 (yang menyebakan terbunuh sia-sia hampir 10.000 orang, lalu orang-orang Cina yang berada di pantai barat Borneo tidak pernah akur lagi dengan VOC Belanda karena kerajaan Tiongkok mulai menjaga jarak dengan orang-orang Belanda dan lebih membuka pintu bagi orang-orang Inggris. Nama China adalah sebutan Inggris untuk Tiongkok. Kedekatan Portugis dengan Tiongkok dan kurang intensnya Spanyol (di Filipina) dengan Tiongkok menambah keragaman di Laut Cina. Tentu saja kedekatan hubnngan antara Belanda (Batavia) dan Jepang membuat lebih ramai lagi terutama di Laut Cina Selatan. Amerika Serikat yang menggantikan Spanyol di Filipina (sejak 1798) dan Prancis di Vietnam menambah keragaman lagi. Singkat kata Laut Cina Selatan sedari dulu sering ramai. Pada masa ini ramainya karena kepentingan politik yang berbeda-beda.

Lantas bagaimana Sejarah Laut Cina Selatan dari sudut pandang Indonesia? Yang jelas hubungan Tiongkok dan nusantara (Hindia Timur) sudah sejak jaman kuno tetapi lebih terasa sejak kedatangan orang-orang Eropa lebih-lebih setelah VOC begitu kuat di Hindia Timur. Lalu bagaimana hubungannya di pantai barat Borneo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Hindia Belanda dan Laut Cina Selatan: Richard Spratly

Laut Cina (selatan) sudah dikenal sejak tempo doeloe (sejak era VOC). Namun kawasan ini baru mendapat perhatian sejak kehadiran Prancis di Laut Cina bagian barat di Indochina (Vietnam) pada tahun 1884. Sebelumnya sudah sejak lama pengaruh Eropa lainnya di kawasan Laut Cina ini.

Dengan kehadiran Prancis di kawasan tradisional Tiongkok (Laut China), jumlah kehadiran Eropa menjadi: Belanda (Riau dan pantai barat Borneo), Inggris (Semenanjung Malaya, Borneo Utara dan Hongkong-Kowloon), Spanyol (Filipina), Portugis (Macao) dan Prancis (Indochina). Di wilayah utara Laut Cina berada Tiongkok dan Jepang. Pedagang-pedagang Belanda sudah sejak awal kehadirannya di Hindia memiliki hubungan perdagangan ke Jepang, kemudian Portugis ke Macao dan Inggris ke Hongkong.

Pada tahun 1930 muncul berita heboh, Prancis memperluas koloninya ke tengah perairan (lihat Algemeen Handelsblad, 01-06-1930). Disebutkan pada tanggal 15 April, kapal perang Malieieoise menguasai sebuah pulau atas nama Prancis, yang terletak 600 mil laut dari Poeloe Condor, setengah jalan antara Indochina dan Borneo. Pulau itu tidak dikenal di index pelayaran namun disebut sebagai Storm eiland (dala atlas Andrees disebut sebagai Spratly). Pulau tersebut panjangnya 600 m dan lebar 300 m, ada pohon kelapa tumbuh dan ada penduduknya juga, empat orang Cina yang tidak menentang aneksasi itu.


Siapa empat orang Cina di pulau tersebut tidak diketahui secara jelas. Namun diduga adalah pegawai atau orang yang dipekerjakan atau orang yang bermukim yang sudah dikenal oleh pelaut Inggris (pelayaran swasta) yang menghubungkan perdagangan Tiongkok (Hongkong) dan Singapoera. Pelaut Inggris tersebut diduga adalah keluarga Spratly. Nama keluarga Spratly mulai dikenal dengan nama B Spratly pemilik kapal York (lihat Nederlandsch-Indisch handelsblad, 03-06-1833). Disebutkan kapal York yang dinahodai B Spratly dari Soerabaja tiba di Nederland via Singapoer dengan membawa berbagai barang dagangan yang dimiliki tiga (perusahaa) perdagangan. Pada tahun 1844 kapal Cyrus yang dinahodai Spratly dari Kema (Manado) via Batavia berangkat ke London (lihat Javasche courant, 20-04-1844). Keberadaan keluarga Spratly tercatat lagi pada tahun 1860 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 31-10-1860). Disebutkan pada tanggal 27 Oktober tiba di Batavia kapal berbendera Inggris Atalante yang dinahodai R Spratly dari Singapoer tanggal 14 Oktober dengan agent Busing Schroder en Co. Dalam hal ini B Spratly dan R Spratly adalah berkerabat yang diduga sebagai ayah-anak. Saudara R Spratly adalag Kapitein T Spratly (Bataviaasch handelsblad, 03-11-1860). Disebutkan kapal Atlante yang akan dinajodai Kapitein T Spratly akan berangkat ke London medio November, hubungi agent Busing, Schroder & Co. Keluarga Spratly inilah diduga yang menjadi asal-usul pulau di Laut Cina (Chineese Zee) disebut pulau Spratly. Nama pulau disebut Spratly paling tidak sudah diberitakan pada tahun 1927 (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 04-07-1927). Disebutkan di Saigon pada tanggal 2 Juli kapal Prancis  St Francois Xavier di dekat pulau Spratly (Spratly eiland) paa koordinat  9 N en 112 O terdampar. Dalam hal ini berita surat kabar di Rotterdamn (Belenda) meberitakan satu kapal Prancis di Laut Cina terdampar (karena rusak dihantam badai) di suatu pulau yang disebut nama Inggris. Kapal yang terdampar itu disebutkan surat kabar di Belanda telah ditinggalkan oleh pemiliknya di pualau tersebut (lihat De Maasbode, 05-07-1927).

Terdamparnya kapal Prancis di pulau Spratly diduga menjadi sebab Prancis memperluas wilayah koloni di perairan Laut Cina. Pada saat itu Prancis sudah sejak lama berada di daratan di Indochina (Vietnam yang sekarang). Berita ini telah menjadi viral koran-koran yang terbit di Belanda. Mengapa? Apakah Inggris, Spanyol dan Belanda memiliki kepentingan dalam pulau ini?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Laut Cina dan Pantai Barat Borneo: Era VOC

Dalam peta-peta kuno, pulau yang disebut pulau Spratly sudah dikenal (lihat Peta 1650). Dalam peta ini, di dekat pulau Paragoa (kini pulau Palawan Filipina) diidentifikasi kepulauan Promijs (Pomjst eilandt). Peta 1650 ini diberi judul Kaart van de Chineesche Zee en Kust van Straat Drioens tot Nanquin en de Eilanden van Borneo tot Japan en de Ladrones dengan subjudul  van de Eylande van Anamba tot Japan No. 2.

Peta 1650 mengidentifikasi nama-nama tempat (pulau) dengan bahasa Belanda (judul peta juga bahasa Belanda). Titik pengukuran di lakukan di sejumlah titik antara lain pulau Natoena, pulau Luzon, pulau Waij (teluk Siam) dan pulau Firando (selatan Prefektur Kagoshima, Jepang yang sekarang). Dalam hal ini nama pulau Spratly adalah nama baru, sedangkan nama lama sudah ada sejak era Belanda (VOC). Pada saat peta ini dibuat, belum lama Pemerintah VOC (Belanda) mengusir orang-orang Spanyol di Manado (wilayah kesultanan Ternate). Sejak 1659 orang-orang Spanyol menyingkir ke Filipina. Sementara itu hubungan dagang VOC (Batavia) sudah sejak lama terhubung dengan Jepang. Kantor cabang VOC sejak 1619 sudah ada di Jepang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Laut Cina Selatan dan NKRI: Laut Natuna

Belum lama ini kapal coast guard China diusir KN Pulai Nipah 321 milik Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang memasuki wilayah zona eksklusif ekonomi (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Tentu saja kapal patroli Tiongkok tersebut menggap sendiri hanya alasan masuk wilayahnya karena wilayah tradisional. Bagaimana bisa? Padahal sebelum terbentuk Republik Rakyat Tiongkok di perairan ini yang lalu lintas dan patroli adalah kapal-kapal Belanda (bahkan sejak era VOC). Bahkan saat Peta 1650 dibuat, wilayah Tiongkok sedang diduduki orang Tartar.

Amsterdamse courant, 16-09-1677: ‘Berdasarkan surat-surat tanggal 9 Februari dari Batavia (Hindia Timur) disebutkan bahwa (orang) Tartar menderita pada bulan Oktober di kota (Stadt) dan Provintie van Hoekseum, orang-orang Cina telah merebut kembali; dan sebaliknya, orang Cina telah merebut kembali Kota Kanton yang besar dari orang Tartar. Catatan: Bangsa Tartar (Tatar) adalah bangsa besar di masa lampau. Populasi bangsa Tartar tersebar di berbagai negara seperti Azerbaijan, Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan, Bangsa Tartar berasal dari gurun Gobi. Bangsa ini pernah dikalahkan bangsa Mongol di bawah radja Jenghis Khan. Bangsa Tartar juga terhubung dengan Turki dan bangsa Tartar beragama Islam. Bangsa Uighur yang beragama Isla di daratan Tiongkok pada masa ini boleh jadi merupakan bangsa yang terhubung dengan bangsa Tartar di masa lampau. Seentara itu Canton adalah pusat perdagangan di Teluk Canton yang kemudian orang-orang Portugis dan Inggris membentuk koloni (Macao dan Hongkong).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar