Jumat, 23 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (33): Sejarah Orang Punan, Penduduk Asli Borneo Cerdas; Nomaden di Jantung Pedalaman Kalimantan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Barat di blog ini Klik Disini

Orang Punan adalah salah satu etnik penduduk asli pulau Borneo. Orang Punan mendiami wilayah terdalam di jantung pulau Kalimantan sejak dari doeloe hingga kini. Ketika banyak penduduk asli yang sudah menetap, Orang Punan masih mempraktekkan tradisi lama: berpindah-pindah (nomaden) karena wilayah mereka yang luas dan kaya. Mereka tidak kekurangan sumberdaya protein (hasil berburu dan penangkapan ikan). Hal itulah yang menyebabkan Orang Punan di jamannya tidak kekurangan dan menjadi sangat tangguh dan berbudi baik.

Suku Dayak di pulau Kalimantan terbagi ke dalam banyak sub etnik. Salah satu sub etnik adalah Orang Punan. Pada masa ini Orang Punan mendiami pedalaman Borneo di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Perseberan Orang Punan juga hingga di Sabah dan Serawak. Orang Punan juga terdiri dari sub etnik antara lain Punan Hovogan dan Punan Uheng Kahero di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Punan Murung di Murung Raya (Kalimantan Tengah), Punan Ahoeng (Penihing) di Mahaka Ulu (Kalimantan Timur) Punan Adiu di Malinau (Kalimantan Utara) yang telah mendapat peraturan hutan adat (Perda Kabupaten Malinau No. 10 Tahun 2012). Orang Punan, karena perkembangan jaman dan strategi pembangunan yang dimulai dari pantai menyebabkan seakan terisolir.

Bagaimana sejarah Orang Punan? Seperti umumnya penduduk asli di berbagai pulau besar di Indonesia, Orang Batak, Orang Kerinci dan Orang Kemering di Sumatra, Orang Punan termasuk yang terakhir berinteraksi dengan orang asing (Eropa). Penduduk pendatang di pantai cenderung menarik garis dengan penduduk asli pedalaman. Namun semua menjadi jelas ketika orang Eropa berhasil memasuki wilayah pedalaman di kawasan Orang Punan. Lalu bagaimana sejarah Orang Punan?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Punan: Jantung Pedalaman Borneo

Nama Punan, paling tidak sudah didentifikasi pada permulaan pembentukan cabang pemerintah Hindia Belanda di daerah aliran sungai Kapoeas (Westkust van Borneo). Nama Punan dijadikan sebagai suatu wilayah setingkat district (lihat Javasche courant, 07-03-1846). Distrik Poenan adalah distrik terjauh di hulu sungai Kapoeas.

Wilayah-wilayah di Westkust van Borneo dikelopokkan pada tiga wilayah besar: (1) wilayah-wilayah sepanjang pantai barat Borneo dari Matan hingga perbatasan dengan kerajaan Broenai; (b) wilayah-wilayah di arah tenggara hingga perbatasan West dan Zuid; (3) wilayah-wilayah sepanjang daerah aliran sungai Kapoeas. Distrik-distrik yang berada di wilayah hulu sungai Kapoeas adalah Tajan, Meliuw, Sangouw, Sekadouw, Sekadouw,  Sintang, Melawie, Sepapoe, Blitang, Silat, Selibauw, Piassa, Jongkong, Boenoet, Malor, Taman, Ketan, Poenan dan sejumlah suku pengembara Dayak yang tinggal di dalam wilayah sekitar. Dalam hal ini wilayah Poenan adalah penduduk Dayak yang kerap berpindah-pindah.

Penduduk Dajak Taman pada masa ini di sekitar wilayah Putussibau. Sementara penduduk Poenan berada di wilayah aliran sungai Kapoeas ke arah hulu. Wilayah Taman dan Poenan ini kemudian dikenal Boven Kapoeas (kini kabupaten Kapuas Hulu). Orang Poenan pertama bertemu dengan orang asing (Eropa) pada tahun 1855 ketika dilakukan ekspedisi ketiga ke hulu sungai Kapoeas pada tahun 1855 (lihat Nederlandsche staatscourant, 03-07-1855).

Meski sungai Kapuas sudah dikenal sejak jaman kuno, yang disebut sungau Laue atau Lauwe (hingga era VOC). Namun baru pada era Pemerintah Hindia Belanda sungai terpanjang ini dapat disusuri hingga jauh ke pedalaman (dengan enggunakan kapal perang penjelajah). Ekspedisi pertama dilaporkan DWC Baron van Lynden pada tahun 1847 setelah pembangian wilayah-distrik ditetapkan pemerintah pada tahun 1846 (lihat Javasche courant, 07-03-1846). Ekspedisi kedua dilakukan komandan kapal Letnan J Groll pada bulan Junij dan Julij 1851. Ekspedisi kedua ini baru sampai Boenoet.

Dalam ekspedisi ketiga yang dipimpin oleh Algemeene Secretaris, Gouvernements-Commissaris voor de Wester-afdeeling van Borneo, A. Prins bertemu delegasi Orang Poenan di muara Samoes di sungai Mendalam. Disebutkan A Prins telah bertemu dengan para pemimpin penduduk (dajak) Taman dan Kajan. Juga disebutkan A Prins telah menerima kedatanan delegasi Orang Poenan dalam dua perahu.

A Prins dalam laporannya (lihat Nederlandsche staatscourant, 03-07-1855) menyatakan sebagai berikut: ‘suku-suku disini termasuk Taman tidak satupun dari mereka terbukti berhutang budi kepada seorang pangeran Melayu sebagai bagian dari pemerintahan. Seperti Batang Loepar gelar hanya dikaitkan dengan pimpinan mereka. Di sungai Mendalam kami menerima kunjungan lagi dari dajak Poenan dalam dua perahu. Suku dajak ini mendiami daerah dimana mata air Kapuas bermula. Mereka tidak tinggal di rumah dan tidak membudidayakan ladang, tetapi hidup mengembara, dan tidak memakan apa yang dihasilkan hutan untuk tanaman dan herba mereka yang terkenal bergizi dan perburuan dan penangkapan ikan bagi mereka (subsisten). Saat ini saya belum dapat memberikan informasi yang tepat tentang populasi berbagai suku dajak (Poenan) ini’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Punan di Era Modern

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar