Minggu, 04 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (6): Sejarah Samarinda di Sungai Mahakam; Tempo Doeloe (1850) Kampong Bugis, Kini Kota Metropolitan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Timur di blog ini Klik Disini

Diantara kerajaan-kerajaan di pantai timur Kalimantan, kerajaan Koetai yang memiliki minat orang asing. Wilayah Kerajaan Koetai ke hulu memiliki sumber produk lokal yang sangat pontensial dan ke hilir posisi kampong Samarinda dijadikan sebagai pintu gerbang dimana pos bea dan cukai kerajaan Koetai berada. Di pos ini orang Boegis bermukim. Kunjungan Residen Zuid en Oosterafdeeling van Borneo, Jacobus Gerhardus Arnoldus Gallois pada tahun 1850 menjadi penanda awal hubungan politik antara kesultanan Koetai dengan Pemerintah Hindia Belanda. Kampong Samarinda dirintis menjadi pusat cabang Pemerintah Hindia Belanda yang menjadi ibu kota (stad) di pantai Timur Kalimantan.

Berdasarkan Almanak 1846 Resident (Residentie Zuid en Oostkust van Borneo) berkedudukan di Bandjermasin. Di wilayah Westkust van Borneo, msing-masing Asisten Residen ditempatkan di Pontianak dan di Sambas. Berdasarkan Almanak 1847 wilayah Kalimantan (Borneo en Onderhoorigheden) dikepalai oleh seorang Gubernur (AL Weddik di Batavia). Residen di Bandjermasin (Residentie Zuid en Oostkust van Borneo). Masing-masing Asisten Residen di Pontianak dan di Sambas. Seorang pejabat ditempatkan di Kotawaringin en de Zuidkust. Di sejumlah district masing-masing ditempatkan seorang posthouder. Untuk wilayah pantai timur belum ada terbentuk district. Namun demikian Resident dibantu seorang pejabat (civiele gezaghebber) untuk urusan Koetai en Oostkust yang berkedudukan di Bandjarmasin yakni H von de Wall, Fungsi jabatan ini biasa untuk mengurusi wilayah tertentu dalam persiapan pembentukan cabang peerintahan yang baru. Sampai sejauh ini di Oostkust van Borneo belum terbentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda.

Lantas kapan kota Samarinda dibentuk? Itulah pertanyaannya. Saat kunjungan Residen Zuid en Oostkust van Borneo JGA Gallois pada tahun 1850 rombongan langsung ke Koetai. Di Kesultanan Koetai, Residen menandatangani kontrak dengan Sultan Muda (yang masih berumur 12 tahun) untuk menggantikan sang ayah wapat yang didampingi sang ibu dengan sejumlah penasehat. Inilah hubungan politik Pemerintah Hindia Belanda dengan kesultanan Koetai secara resmi yang akan menginisasi pembentukan ibu kota (stad) di wilayah Koetai en Oostkust van Borneo. Lalu dimana ibu kota ditetapkan? Itu juga menjadi pertanyaan. Banyak kampong-kampong yang dapat dijadikan ibu kota, termasuk Koetai (hanyalah sebuah kampong besar, belum menjadi kota). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Namun bagaimana permulaan itu terjadi? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Samarinda

Nama Samarinda[h] adalah nama yang sudah sejak lama ada. Dalam buku Kroniek der Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo yang disusun oleh Johan Eisenberger (1936) disebutkan tempat yang kemudian disebut Samarinda dihuni oleh orang Boegis yang kemudian mendapat pengakuan dari Soeltan (Koetai) pada tahun 1668 dengan mengangkat pemimpin sendiri bernama Poea Adi. Namun kronik ini juga menyebutkan versi kedua bahwa pendirian Samarinda pada tahun 1730 yang dilakukan oleh Pangeran Terawei.

Nama Cotty (Koetai) sendiri baru diidentifikasi dalam Peta 1657. Pada peta ini hanya Bandjarmasing dan Soeccadana yang diidentfikasi sebagai kerajaan besar. Namun yang mengejutkan dan mungkin tidak disadari selama ini adalah bahwa lokasi kerajaan Koetai tidak berada di pedalaman tetapi berada di pantai. Sebagaimana diketahui dari sumber-sumber terbaru pada era Pemerintah Hindia Belanda bahwa Koetai berada di hilir Samarinda yang disebut Koetai Lama. Berdasarkan Peta 1657 Koetai Lama inilah yang diduga tepat berada di pantai. Lantas mengapa Koetai Lama dan Samarinda kini seakan berada jauh di pedalaman? Ini sebenarnya dapat dijelaskan bahwa di depan Koetai terdapat pulau. Pulau ini masih eksis pada Peta 1724. Oleh karena terjadi sedimentasi jangka panjang di antara Koetai dan pulau lalu posisi pulau seakan menyatu dengan daratan. Pulau ini juga diduga sebelumnya adalah hasil sedemintasi. Dua sisi pulau ini kemudian menjadi jalan sungai (arus) dari laut ke Koetai Lama dan Samarinda. Orang Belanda pertama ke pantai timur Borneo adalah adalah Gubernur Jenderal Brouwer pada tahun 1632 (lihat Almanak 1864). Sejak inilah diduga nama Koetai sebagai tempat yang penting dan diidentifikasi dalam peta. Dalam Almanak 1864 juga dicatat bahwa VOC pada tahun 1756 melakukan aliansi dengan Bandjarmasing dan orang-orang  Boegis di pantai timur Borneo. Pada tahun 1787 Soeltan Bandjarmasing menjadikan pantai timur Borneo sebagai negara bagian. Pada tahun 1812 pantai timur Borneo diserahkan kepada Inggris.

Bagaimana terbentuknya perkampongan orang Boegis di dekat ibu kota kerajaan Koetai di pinggir laut adalah satu hal. Hal lain yang lebih penting adalah sejak kapan Samarinda dibentuk menjadi kota dalam arti kampong Samarinda ditata menjadi sebuah kota yang menjadi cikal bakal kota Samarinda yang sekarang.

Orang Eropa pertama memasuki pedalaman sungai Koetai (sungai Mahakam) adalah ajoor Georg Muller pada tahun 1825. Namun dalam perjalanan pulang setelah melakukan kontrak dengan Soeltan Koetai, Muller ingin menyusuri sungai ke hulu untuk kembali ke Pontianak (tempat posnya berada). Namun di perjalanan terbunuh, 125 mil dari Tenggarong. Seorang Inggris John Dalton yang berada di Koetai selama 11 bulan (1827/1828) membuktikan bahwa Muller dibunuh oleh orang Soeltan (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1856). Kemudian orang Eropa berikutnya yang menyusuri sungai Mahakam adalah Dr. CM Schwaner yang laporannya diterbitkan pada tahun 1843.  Dr. CM Schwaner berangkat ke Borneo pada bulan Agustus 1842 (lihat Javasche courant, 10-08-1842). Di dalam laporan ini, Dr. CM Schwaner menyebutkan kampong Samarindah, Palarang dan Saulili dihuni oleh sekitar 4.500 hingga 5.000 jiwa.

Kampong Samarinda adalah pusat perdagangan utama di sungai Mahakam, Keterangan ini ditemukan dalam laporan Residen JGA Gallois pada tahun 1850 yang dipublikasikan pada Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856. Gallois menyebutkan bahwa Samarinda sebagian besar dihuni oleh orang Bugis yang berada di bawah pimpinan mereka sendiri dengan sebutan Poea-adoe. Pimpinan mereka adalah Daeng Matola. Menurut Gallois di Samarinda terdapat tiga pedagang Inggris yakni King, Morgan dan Joseph Carter.

JGA Gallois juga menyebutkan penduduk di bawah Soeltan (Kesultanan Koetai) diperkirakan sebanyak 100.000 jiwa dimana diantaranya terdapat sebanyak 5.500 jiwa orang Boegis. Sumber pendapatan Soeltan antara laian bea masuk yang dipungut di Samarindah sebesar 5 persen dan retribusi untuk semua barang yang datang dari dataran tinggi dan dipungut di Tenggaroeng. Secara keseluruhan pendapatan Soletan dari semua sumber termasuk monopoli garam sekitar berjumlah f60.000 setahun, Solltan yang sekarang masih kecil disebut Mohammed Adil Chalifat-oel-moeminien.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kampong Samarinda Menjadi Ibu Kota

Kapan kampong Samarinda dijadikan sebagai ibu kota (stad) tergantung kapan kepala pemerintahan (dalam hal ini pejabat Belanda) dimulai dan sejak kapan ditempati. Saat kunjungan Residen Gallois ke pantai timur Kalimantan, kontrak antara Soeltan dengan Residen ditandatangani di Tenggarong (ibu kota Kesultanan Koetai). Saat ini kampong Samarinda salah satu dari tiga kampung yang berdekatan di kota Samarinda yang sekarang. Seperti disebut di atas kampong Samarinda sudah sejak lama terbentuk.

Samarinda adalah sebuah kampong besar yang menjadi pusat perdagangan Kesoeltanan Koetai (yang beribukota di Tenggarong). Di Samarinda salah satu pangeran Koetai berkedudukan. Untuk mengadministrasikan pos perdagangan Samarinda untuk pemungutan bea dan cukai dipimpin oleh Sjahbandar. Kantor sjahbandar ini juga meiliki fasilitas penjara sendiri. Seperti disebut di atas kampong Samarinda yang dihuni sebagian besar orang Boegis, yang mana pimpinan mereka disebut Poea Adoe menjadi partner pangeran dalam mengendalikan Samarinda sebagai sebuah pemukiman dan juga tempat dimana sjahbandar ditepatkan. Pada tahun 1844 pedagang Inggris melakukan rusuh di wilayah ini (lihat Javasche courant, 12-06-1844). Pedagang-pedagang Inggris hilir mudik di pantai utara Borneo dan pantai timur Kalimantan. Pada tahun 1845 dilaporkan kapal Inggris terdampar di Karang Udjong antara Woelongan dan Berouw yang kemudian dibakar sementara enam orang Inggris dan beberapa orang Bengal disandera di Goenong Tabor dan Tandjong (lihat Nederlandsche staatscourant, 03-04-1845).

Dalam Almanak 1864 sudah diplot posisi Asisten Residen di Afdeeling Koetai en Ooskust namun belum ada nama. Ini mengindikasikan bahwa pembentukan cabang pemerintah Hindia Belanda di Koetai sedang dipersiapkan. Usul penempatan asisten residen di Samarinda ini sudah muncul pada tahun 1860 (lihat Algemeen Handelsblad, 14-05-1860). Tampaknya pembentukan cabangan pemerintahan di Koetai tidak mudah karena berbagai sebab.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perkembangan Lebih Lanjut Kota Samarinda

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar