Senin, 05 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (7): Kesultanan Brunei dan James Brooke di Pantai Utara, Antara Belanda dan Inggris; Sarawak dan Sabah

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Barat di blog ini Klik Disini 

Pada masa ini Brunei adalah suatu negara kerajaan (Brunei Darussalam). Suatu negara yang terpisah dari negara bagian Sabah dan Sarawak (Malaysia). Tiga teritorial di bagian utara dipisahkan dari pulau Borneo (Kalimantan) yang sejak lampau menjadi wilayah yurisdiksi Belanda (VOC) menjadi wilayah yurisdiksi Inggris. Itu bermula dari kehadiran seorang pedagang Inggris James Brooke (setelah keluarganya gagal di Tapanoeli).

Perseterusn antara Belanda (VOC di Batavia) dan Inggris (yang berpusat di Calcutta, India) di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) tidak pernah berujung sejak masa lampau. Dua belah pihak saling menggantikan di kota-kota pantai di pantai barat Sumatra. Wilayah yurisdiksi masing-masing menjadi mengerucut dimana Inggris hanya terbatas di Bengkolen dan selebihnya (minus Atjeh) adalah Belanda. Namun demikian pedagang-pedagang Inggris tetap memiliki kuasa di banyak kota-kota di pantai barat Sumatra termasuk (teluk) Tapanoeli. Pada tahun 1824 dilakukan perundingan antara Belanda dan Inggris yang menghasilkan perjanjian (Traktat London 1824) yang mana dilakukan tukar guling antara Bengkoelen (Inggris) dan Malaka (Belanda). Sejak Inggris mulai mencengkeram di Panang dan Singapoera plus dengan akusisi Malaka, Inggris secara perlahan mulai menguasai semenanjung Malaka. Pada fase ini seluruh wilayah pulau Borneo (Kalimantan) berada di dala yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda. Terusirnya pedagang-pedagang Inggris dari pantai barat Sumatra dan semakin menguatnya kedudukan Inggris di Semenanjung Malaka (dan hubungan politik yang kuat antara Inggris dan China) membuka peluang bagi seorang penjelajah Inggris James Brooke menggerogoti wilayah Borneo (Kalimantan) dari Belanda.

Bagaimana sejarah pantai utara Kalimantan khususnya Brunei? Yang jelas dari sudut pandang Indonesia (baca: Hindia Belanda) sejarah Brunei plus Sarawak dan Sabah (kini Malaysia) tidak terpisahkan dengan sejarah Kalimantan (Indonesia). Perseteruan Inggris dan Belanda di masa lampau menyebabkan wilayah-wilayah yang bertetangga (jiran) enjadi terpisah. Bagaimana semua itu berlangsung di masa lampau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kesultanan Brunei dan James Brooke

Petualang-petualang Inggris di wilayah yurisdiksi Belanda (Hindia Belanda atau Indonesia) cukup banyak namun diantaranya yang fenomenal adalah GP King di (pulau) Lombok dan J Brooke di Borneo Utara, GP King menjadi kaya raya di Ampenan dan menjadi faktor penting perang antara kerajaan Karangasem dan pangeran Mataram pada tahun 1837 (awal dimana kerajaan Bali Selaparang sebagai penguasa tunggal di Lombok). GP King memulai karir di Padang, pantai barat Sumatra. Sementara itu J Brook melakukan petualangan di Borneo Utara dengan Kesultanan Broenei. J Brooke juga memulai karir di pantai barat Sumatra di Tapanoeli.

Pantai barat Sumatra adalah wilayah dimana Inggris dibesarkan. Kedekatan pusat Inggris di Calcutta (India) menyebabkan pedagang-pedagang Inggris sangat intens di pantai barat Sumatra. Untuk mengawal pedagang-pedagang Inggris di pantai barat Sumatra pada tahun 1787 satu skuadron angkatan laut Inggris di India dikirim ke pantai barat Sumatra menduduki Bengkoelen. Sebelumnya pedagang-pedagang Inggris kalah bersaing dengan Belanda (VOC) di Maluku dan Ternate. Hal ini pulalah yang menyebabkan pedagang-pedagang Inggris bergeser keluar ke Australia dan timur Papoea. Penempatan skuadron di pantai barat Sumatra yang dipusatkan di Bengkoelen pada dasarnya untuk mengamankan jalur perdagangan Inggris antara India dan Australia via pantai barat Sumatra.

 

Perseteruan Inggris dan Belanda sudah ada sejak lama. Pendudukan Bengkoeloe adalah awal ekspansi Inggris ke Hindia Timur. Permasalahan politik di Eropa yang menyebabkan Prancis menduduki Belanda pada tahun 1794. Para pangeran Belanda melarikan diri ke Inggris. Penguasa Prancis yang kemudian menduduki Batavia (Jawa) pada tahun 1795. Namun anehnya, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Inggris menyerang VOC (Belanda) di Amboina, Ternate (termasuk Manado) dan Banda. Inggris juga mencaplok pantai timur Borneo. Inilah riwayat awal mengapa Inggris terhubung antara pantai barat Sumatra dengan pantai utara Borneo, semenanjung Malaka dan China (Spanyol masih kuat di Filipina dan Portugis di beberapa titik seperti Macao). Sementara itu, Belanda (VOC) tidak pernah terkait dengan Atjeh (sejak Cornelis de Houtman terbunuh di Atjeh 1599), tetapi Inggris masih bisa menjalin hubungan politik tingkat rendah dengan Atjeh. Hal inilah yang menyebabkan kapal-kapal Inggris masih dapat diterima di perairan Atjeh yang berlayar melalui Atjeh ke selata Malaka dari pantai barat Sumatra yang berpusat di Bengkoelen. Gubernur pertama Inggris di pantai barat Sumatra adalah Raffles.

 

VOC (Belanda) akhirnya melemah dengan pendudukan Batavia oleh Prancis dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1799. Di bawah penguasa Prancis, Hindia Belanda yang terpecah-pecah dengan berkibarnya sejumlah bendera Inggris di berbagai tempat, pada era Gubernur Jenderal Daendels, militer Inggris menyerang Batavia pada tahun 1811 dan kemudian menguasai Jawa dan Madoera. Praktis sisa wilayah yurisdiksi Belanda (VOC) yang begitu luas sebelumnya hanya tinggal wilayah Ternate (yang dapat dipertahankan), Pada fase pendudukan Inggris ini terdapat sejumlah perlawanan seperti di Djogjakarta (1812) dan Bali (1813). Namun pendudukan Inggris ini tidak lama, melalui proses politik di Eropa antara Prancis dan Inggris akhirnya pada tahun 1816 wilayah Hindia Timur dikembalikan ke (kerajaan( Belanda. Proses politik terakhir antara Inggris dan Belanda adalah soal tukar guling antara Bengkoelen dan Malaka pada tahun 1824. Praktis sejak ini seluruh semenanjung Malaka berada di bawah yurisdiksi Inggris (Borneo secara keseluruhan berada di bawah yurisdiksi Belanda). Sejak inilah GP King merintis jalan ke Bali dan Lombok dan J Brooke merintis jalan di Borneo Utara. Kedua petualang ini mendapat perhatian diantara orang-orang Belanda di Jawa terutama di Batavia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar