Sabtu, 12 Desember 2020

Sejarah Singapura (30): Sejarah Kamboja dan Champa; Asal Migran Semenanjung Cochin Tempo Dulu, Antara Siam-Borneo

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini

Nama Cochin, Champa dan Cambodia (bacaL Kamboja) terhubung dalam garis continuum sejak zaman kuno hingga ini hari. Ibu kota Kamboja pada masa ini berada di Phnom Penh. Kota ini pada zaman kuno berada (paling tidak sangat dekat) di pantai (laut). Sungai Mekong yang sekarang sudah memanjang karena terjadinya proses sedimentasi jangka panjang yang mana perairan terbentuk daratan di hilir daerah ailiran sungai Mekong. Saat kota yang kini disebut Phnom Penh muncul migran asal India. Dari situlah muncul nama Cochin (yang merujuk pada nama Cochi di India).

Negara Kamboja adalah nama resmi dari Kamboja 1989 sampai 1993. Nama Kamboja ini tidak diakui secara internasional. Negara Kamboja berasal dari Republik Rakyat Kamboja, yang didirikan pada tahun 1979 setelah negara yang didirikan oleh Pol Pot (Khmer Merah) yang dinamakan Republik Demokratik Kampuchea dikalahkan. Republik Rakyat Kampuchea, bagaimanapun tetap berdiri dengan hanya pengakuan beberapa negara, seperti Vietnam dan Uni Soviet. Dalam PBB Kamboja tetap diwakili oleh rezim Demokratik Kamboja. Untuk mengandalkan masyarakat internasional lebih simpatik di Republik Rakyat Kamboja pada tahun 1989 negara ini berganti nama menjadi Negara Kamboja dan pada 1991 struktur pemerintahan komunis negara dihapuskan. Pada 15 Maret 1992 negara ini berakhir ketika pemerintah Kamboja diambil alih oleh Pemerintahan Transisi PBB di Kamboja (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah awal Kamboja? Seperti disebut di atas wilayah yang dinamis yang terhubung dalam garis continuum sejak zaman kuno: India (Cochin), Moor (Champa) dan Eropa (Kamboja). Tentu saja kedekatan geografis dengan pulau Borneo (Kalimantan, Indonesia) terbentuk hubungan perdagangan dan budaya. Beberapa penduduk asli Borneo seperti Punan dan Danum berasal dari daerah aliran sungai Mekong. Okelah itu satu hal. Hal lainnya yang juga penting adalah bagaimana hubungan antara Semenanjung Cochin (Indochina) dengan Semenanjung Malaya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah internasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Kamboja di Sungai Mekong

Dimana Kamboja pada tempo dulu? Seorang pulukis Belanda Johannes Vingboons pernah berkunjung ke Cambodia (baca: Kamboja) pada tahun 1660. Mengapa ke Kamboja? Karena perdagangan VOC (Belanda) terhubung antara Kamboja dan Batavia (kini Jakarta). Johannes Vingboons mengabadikan kunjungannya berupa peta wilayah (lihat Peta 1660).

Dalam Peta 1660 ini nama Phnom Penh sudah diidentifikasi sebagai Ponom Ping. Letak kota ini berada di sisi barat sungai Mekong di muara sungai Tonle Sap yang sekarang, Dalam peta ini, Ponom Ping bukan ibu kota. Yang menjadi ibu kota (stad) adalah Cambodia yang berada di sisi timur sungai Tonle Yap di arah hulu dari Ponom Ping (Lauweck). Di kota Lauwec (Cambodia) ini terdapat pos perdagangan VOC berupa logie. Sementara di sisi barat sungai Tonle Sap terdapat suatu perkebunan (estate) yang disebut Leauweck (kini Long Yek). Yang paling menarik dari peta ini terkesan dulunya kota Ponom Ping berada di suatu teluk sempit dimana sungai Mekong dan sungai Tonle Sap bermuara. Di teluk ini sudah terbentuk dua pulau besar yang diduga sebagai daratan yang terbentuk dari proses sedimentasi jangka panjang. Pada masing-masing sisi pulau menjadi jalan air menuju laut yang kini menjadi sungai Mekong (sebelah timur) dan sungai Bassac (sebelah barat). Dalam peta juga diidentifikasa di sisi timur sungai Mekong nama T’siompa (Champa).

Kapan VOC (Belanda) membuka pos perdagangan di Kamboja tidak diketahui secara pasti. Orang Belanda pertama berkunjung ke Cambodia adalah Hendrik Hagenaar (1631-1638). Naun informasi tentang Kamboja dicatat di Kasteel Batavia baru pada tahun 1659 (lihat Daghregister 8 Mei 1659). Disebutkan kapal Tayoan datang dari Cambodia. Dalam Daghregister 17 Agustus 1659 juga disebutkan bahwa kapal Witten Oliphant atas permintaan pemerintah Siam agar perusahaan (VOC) di Cambodia membuka cabang di Siam.

Sebagaimana diketahui bahwa VOC (Belanda) yang berpusat di Batavia pada tahun 1643 telah menaklukkan Malaka di Semenanjung Malaya dan mendudukinya sebagai pos perdagangan di kawasan. Pembukaan cabang perdagangan VOC diduga adalah perluasan perdagangan VOC di singai Mekong. Di Cambodia tidak hanya VOC (Belanda) juga ada pedagang Inggris. Ini dapat diketahui dalam Daghregister 21 Agustus 1659 dicatat surat dari kepala pedagang Inggris di Kamboja yang dikirim ke Bantam (Banten). Beberapa tahun kemudian surat Radja Kamboja yang dibawa oleh suatu misi diterima di Batavia (lihat Daghregister10 Maret 1665). Lalu kemudian kontrak dengan Radja Kamboja dicatat dan penempatan kepala pedagang VOC Pieter Kettingh di Kamboja (lihat Daghregister 17 April 1665). Surat dikirim ke Siam dan Kamboja (lihat Daghregister 21 Mei 1665). Kapal Waterhoen dan surat dari pemerintah VOC ke Kamboja (lihat Daghregister 27 Mei 1665). Juga dicatat lima kapal Cina ke Kamboja dalam tahun ini (Lihat Daghregister 6 Desember 1665). Surat dari Radja Kamboja kepada Gubernur Jenderal (lihat Daghregister 7 Desember 1665).

Tampaknya hubungan VOC dengan Kerajaan Kamboja berjalan cukup baik. Hubungan perdagangan yang sukses antara VOC dengan Kamboja membuat kerajaan Champa tertarik. Pada tahun 1680 dua utusan Champa tiba di Batavia (lihat Daghregister 15 Mei 1680). Disebutkan bahwa kedatangan dua duta besar van den Coninck van Siampa yang terletak di utara kekaisaran Kamboja. Ini mengindikasikan perdagangan VOC di semenanjung Cochin China paling tidak berlangsung di tiga kerajaan (Siam, Kamboja dan Champa).

Kerajaan Tsiampa (Siampa atau Champa) sudah diketahui sejak lama. Dimana letak ibu kota Champa ini berdasarkan Peta 1660 tidak diidentifikasi. Namun diduga di kota Ho Chi Min yang sekarang. Berdasarkan sejarah kuno, kerajaan Champa adalah kerajaan Islam yang menggantikan kerajaan Hindoe. Pada era Hindoe, Champa diduga adalah suksesi kerajaan Cochi (bergeser menjadi Cochin). Nama Champa diduga terkait dengan nama Sjam di Laut Mediterania (kini Suriah, Lebanon dan Palestina). Lantas apakah nama Siam juga merujuk pada nama Tsiampa (Champa)? Lalu bagaimana dengan nama Cambodia? Juga diduga masih merujuk pada nama Champa (dan Ayodia). Seperti kita lihat nanti, kelak (pada masa ini) nama Kamboja tetap Kamboja, tetapi nama Champa telah menghilang dengan munculnya nama-nama baru (Cochin China) yang kini menjadi wilayah Vietnam (selatan), sedangkan nama Siam telah diubah menjadi Thai(land).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Hubungan Cambodia dan Malaka

Kamboja awalnya menjadi salah satu pos perdagangan yang penting dimana terdapat orang Portugis dan orang Belanda (tidak diketahui siapa yang lebih dulu eksis di Kamboja). Pada tahun 1641 terjadi perselisihan antara Belanda dan Portugis di Kamboja dimana pedagang VOC terbunuh. Pada tahun 1644 terjadi perang Kamboja Perang Panumping) antara orang-orang VOC (Belanda) berhasil menaklukkan orang-orang Portugis di Kamboja (lihat Francois Valentijn, 1724). Pertempuran di sungai Mekong ini terjadi setelah VOC menaklukkan Portugis di Malaka pada tahun 1643. Hal itulah mengapa terjalin hubungan perdagangan antara Kamboja dan Malaka.

Francois Valentijn, seorang ahli geografi Belanda yang bermukim di Amboina pernah berkunjung ke Cambodia dan bukunya diterbitkan pada tahun 1724 dengan Oud en Nieuw Oost Indien. Salah satu lukisan di dalam buku ini tentang lanskap dari suatu areal perkebunan (estate) di Lauweck (bersumber dari lukisan Johannes Vingboons 1660). Estate ini diduga dimiliki oleh pedagang VOC di Kamboja. Tidak diketahui komoditi apa yang ditanam. Dari tampilan lukisan seperti perkebunan kelapa yang diduga untuk kebutuhan pabrik minyak goreng. Lokasi Lauweck ini pada masa kini berada di Long Yek (dekat Phnom Phen, Kamboja).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar