Kamis, 28 Januari 2021

Sejarah Banten (40): Nama Suro, Surosowan di Banten; Nama-Nama Tempat pada Zaman Kuno Soerabaija, Soeracarta dan Soeroaso

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Apakah itu Surosowan? Kita hanya fokus pada soal nama saja. Surosowan sendiri adalah nama kraton di Banten. Lantas mengapa ada nama Suro dalam peta-peta Portugis. Suro adalah nama suatu tempat, bukan di Banten tetapi di sekitar gunung Karang. Lalu, apakah nama tempat Suro telah menjadi rujukan dalam penamaan kraton Surosowan di Banten? Nama tempat yang menggunakan nama Suro tidak hanya di Banten, juga ada di wilayah lain.

Nama Suro diduga kuat merujuk pada nama India pada era Hindoe. Nama Suro diduga lebih tua dari nama poera, seperti nama tempat Martapoera, Telainapoera, Indrapoera, Singapoera, Tandjongpoera dan Soekapoera. Seperti nama Poera, nama Suro juga ditemukan di beberapa wilayah seperti Soera-carta, Soera-baija dan Suro-aso. Nama Suroaso terdapat di wilayah Pagaroejoeng. Nama yang mirip dengan nama suro ini adalah Pa-soeroe-an. Tentu saja ada yang mirip dengan nama tempat suro di wilayah lainnya di Sumatra, seperti Saroe-langoen (Djambi) dan Saroe-matinggi (Tapanoeli, bagian selatan) serta Lima Soero (Agam). Dalam tradisi kraton Soeracarta tempo doeloe ada yang disebut suro (nama bulan pertama Muharram; Assura). Namun nama suro juga yang menginsikan penyebutan nama seseorang atau mahluk lain seperti Maharadja Soero (Sultan Siak), Dewa Soero Loijo dan Mantri Djogo Soero, Toemenggoeng Soero di Prano (Palembang). Tentu saja nama Soero Pathi. Nama yang sama dengan Soero-sowan juga ditemukan di Lampoeng (ibu kota Marga Madang).

Lantas bagaimana tentang nama Suro dan Surosowan sendiri di Banten? Tentu saja urusan ini masuk pada bidang geografik dan linguistik, tetapi tidak begitu menarik bagi para sejarawan. Okelah itu satu hal. Hal yang lebih penting adalah bagaima sejarah nama Suro dan Surosowan di Banten? Yang jelas nama Suro lebih awal diidentifikasi sebagai nama tempat dan baru kemudian diidentifikasi sebagai nama kraton. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Soero dan Nama Poera

Nama Poera tampaknya lebih mudah diidentifikasi sebagai nama tempat tertentu yang mengindikasikan di tempat tersuebut ada yang dimuliakan. Nama-nama kota yang menggunakan nama Poera seperti disebut di atas seperti Singapoera, Telainapoera dan Martapoera. Nama-nama tempat ini diduga sudah eksis di era Hindoe. Akan tetapi nama Soero tidak merujuk pada satu hal, tetapi digunakan banyak mmaksud seperti nama tempat, nama seseorang atau nama gelar dan nama bulan.

Nama Soero terkesan nama yang muncul pada era yang berbeda. Nama Soero pada nama tempat yang merujuk pada nama India (era Hindoe) dan nama pada era Islam, Nama tempat seperti Soerabaija dan Soeracarta, nama atau sebutan orang dan nama yang menunjukkan tempat suci (suro) seperti di Agam (surau) dan Mandailing en Angkola (suro).

Dalam bahasa Bengali, soro diartikan move (pindah). Jika disandingkan dengan nama suro pada era Islam, seperti bulan suro sebagai bulan pertama (setelah tahun sebelumnya) dapat diartikan sebagai bulan pertama perpindahan tahun. Sebagaimana diketahui wilayah Bengali pada masa ini adalah wilayah India bagian timur zaman doeloe yang kini menjadi negara Banglades. Dalam bahasa India lainnya seperti Tamil, Hindi dan Pinjabi hanya diartikan nama (tempat).

Seperti disebut di atas, assyura diartikan sebagai bulan pertama dala penanggalan hijriah (Islam). Suatu bulan yang dirayakan, seperti halnya di Jawa (bulan Suro). Hari raya Assyura dalam tradisi Arab (pra Islam) sudah dilakukan. Jika kita berandai-andai bahwa bahasa India (seperti Bengali) yang juga menjadi bahasa perdagangan (zaman Sanskerta) lalu apakah terminologi suro ini telah masuk ke dalam bahasa Arab. Orang-orang India yang sudah ada di Sumatra dan Jawa dalam zaman kuno (era perdagangan awal) apakah sudah menamai tempat mereka di tempat yang baru dengan nama suro. Nama Suro ini kemudian pada era Islam sesuai dengan era Hindoe. Belakangan nama Suro dikaitkan nama-nama atau terminologi yang dihubungkan dengan Islam.

Nama Poera yang merujuk pada terminologi India (era Hindoe) ditabalkan pada nama-nama tempat di Sumatra, Jawa, Borneo dan Semenanjung. Dalam konteks membicarakan nama tempat yang menggunakan nama Soero dapat dianggap untuk merujuk pada era yang berbeda (era Hindoe dan era Islam). Lalu apakah nama Soero telah dihubungkan dengan penamaan tempat seperti Pasoeroean, Soerabaja dan Soeracarta? Yang dalam perkembangaannya muncul nama-nama tempat yang menggunakan soero di bagian barat Jawa (Banten) dan bagian selatan Sumatra (Lampoeng).

Penggunaan nama suro semakin meluas, tidak hanya nama tempat, tetapi nama gelar dan nama tempat ibadah seperti di Agam (surau) dan Mandailing-Angkola (suro). Surau dalam pengertian rumah ibadah sebagai musholah sudah masuk ke dalam bahasa Melayu (Indonesia). Namun apa pun nama suro ini dikaitkan merujuk pada nama tempat yang baru, suatu hal yang baru yang dapat dianggap suci seperti halnya penggunaan terminologi8 poera.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Nama Soerosowan:  Soerabaija, Soeracarta dan Soeroaso

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar