Jumat, 04 Juni 2021

Sejarah Manado (48): Peninggalan Zaman Kuno Manado dan Minahasa; Semenanjung Sulawesi dan Sejarah Watu Pinawetengan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Sejauh ini tidak ditemukan prasasti dan candi era Hindoe Boedha di Semenanjung Sulawesi. Namun belum tentu tidak ada peradaban Boedha Hindoe di wilayah Minahasa khususnya Manado. Saat ini peninggalan zaman kuno hanya disebutkan suatu prasasti batu yang disebut Watu Pinawetengan. Prasasti ini diyakini menjadi penanda awal adanya peradaban kuno di Simenanjung Sulawesi khususnya di wilayah Minahasa. Disebutkan prasasti Watu Pinawetengan ini ditemukan pada tahun 1888.

Sejarah Manado di wilayah Minahasa pada dasarnya terbilang lengkap sejak era VOC (Belanda), namun apa yang terjadi di era sebelumnya kurang terinformasikan, pada era Portugis dan Spanyol lebih-lebih era zaman kuno (sebelum kehadiran orang-orang Eropa. Lantas apakah untuk memahami sejarah zaman kuno di Manado dan Minahasa kita harus menyerah. Tentu saja tidak. Seperti halnya di Sumatra dan Jawa penemuan-penemuan bukti zaman kuno masih berlangsung, dalam hal inilah kita masih terus menunggu penemuan data baru yang lebih mampu menjelaskan tentang peradaban kuno--sebagai bagian sejarah yang tidak terpisahkan dengan sejarah masa kini. Pulau-pulau di Filipina juga tidak ditemukan candi, namun masih ada prasasti yang ditemukan yang berasal dari zaman kuno (bertarih 900 M). Prasasti Laguna di Filipina belum lama ditemukan (1989). Tentu saja masih optimis kita mendengar laporan penduduk atau para arkelog tentang bukti-bukti peradaban zaman kuno.

Lantas bagaimana sejarah zaman kuno di Semenanjung Sulawesi khususnya di Minahasa dan Manado? Seperti disebut di atas kita sejauh ini hanya memiliki Watu Pinawetengan, Namun yang tetap menjadi pertanyaan, setua apa prasasti Watu Pinawetengan tersebut. Lalu apakah ada sejarah zaman kuno yang lainnya? Nah, itu dia. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Okelah, untuk memastikan dan menambah pengetahuan serta meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Prasasti Watu Pinawetengan: Setua Apa?

Gunung Empung, dan gunung Lokon yang bertetangga (dua gunung api kembar berjarak 2 Km) di atas dataran Toohon, tidak jauh dari danau Tondano di Minahasa. Gunung Empung memiliki kawah diameter 400 M dan kedalaman 150 M yang diduga hasil erupsi pada abad kedelapan belas. Nama Empung terkesan mirip sebutan ‘ompung’ (kakek atau leluhur) di Tapanuli Selatan.

Dalam bahasa Minahasa dialek Tontemboan terdapat banyak persamaan mirip dengan bahasa elementer di Tapanuli Selatan, seperti amang=ayah, ina=ibu, ate-hati, lila-lidah, mate=mati, matua=tua, sisei=siapa, waba=mulut, siow=sembilan. Awalan ma juga digunakan di Tapanuli Selatan. Dialek Toutemboan ini juga mirip dengan dialek Tonsea. Apakah ini serba kebetulan? Akan tetapi mengapa sama meski sangat berjauhan secara geografis.

Dr LGF Biedel pada tahun 1897 menulis di jurnal Tijdschrift voor Indische Land, Taal- en Volkenkunde, Deel X dengan judul  ‘De Watu Rerumeran Ne Empung’ yang diartikannya sebagai ‘de steenen zetel der Empnng in de Minahasa’ (batu tahta Umpung di Minahasa), Jika ‘Watu Rerumeran Ne Empung ‘ dibaca dalam dialek Tapanuli Selatan (Angkola Mandailing) adalah ‘Batu Rerumeran Ni Ompung’, namun Biedel menerjemahkannya sebagai ‘Batu Tempat Duduk Para Dewa’. Tentu saja semakin menarik menelusuri leluhur orang Minahasa, apakah Han, Bata[han] atau lainnya.

Watu Rerumeran adalah sebuah batu besar dengan menorehkan angka, orang, dan lain-lain. Seorang laki-laki dan perempuan diukir di batu tersebut. Lokasi batu ditemukan sekitar 0,5 pal di lereng (bukit) Tonderukan di onderafdeeling Amoerang. Situs kuno ini sudah dimasukkan dalam buku Oudheidkundig verslag Commissie in Nederlandsch-Indië voor Oudheidkundig  (1914) pada nomor urut 216 . Terminilogi rerumeran (rerum-erant) diduga dari bahasa Latin yang artinya ‘leluhur atau ayah’. Siapa yang mengintroduksi kata ini kepada penduduk asli (Minahasa)? Makin menarik bukan?

Empoeng sendiri diartikan oleh N Graafland 1869 sebagai Kasoeroean yang dikaitkan kepercayaan terhadap leluhur penduduk asli Minahasa (Alifoeroen). Tentu saja masih ditemukan pada masa kini sebagai lagu rakyat di Minahasa berjudul Amang Kasuruan, suatu lagu tradisi yang berasal dari zaman kuno dengan syair masa kini. Ada yang mengatakan lagu Amang Kasuruan ini umum ditemukan di penduduk  Tontemboan.

Watu Rerumeran menjadi bergitu penting pada masa ini, karena batu bertulis ini terbilang, jika tidak bisa dibilang satu-satunya’ bukti tertua peradaban zaman kuno di Minahasa. Lu terhadap watui rerumeran ini dihubungkan dengan nama Empung apakah sebagai ‘tokoh’ leluhur atau pun nama gunung. Seperti disebut di atas atas hal tersebut melembaga dalam lagu (nyanyian) tradisi. Tentu saja sudah banyak yang memikirkan hal-hal zaman kuno tersebut, meski hasilnya belum maksimal, tetapi belum lama ini bung Fary SJ Oroh membuka perhatian kembali tentang sejarah zaman kuno Minahasa yang disatukannya dalam sebuah buku berjudul ‘9 Alasan Kenapa Penguasa Dinasti Han Bukan Leluhur Minahasa’ [Benarkah leluhur orang Minahasa itu datang dari Tiongkok? Benarkah leluhur Minahasa adalah penguasa Dinasti Han?]. Bung Orah jelas tidak setuju asal usul Minahasa paling tidak terkait dengan bangsa Han. Tentu saja bung Oroh sudah berusaha keras untuk tujuan itu, tetapi kita harus tetap menyimak (boleh setuju boleh tidak) sebagaimana dinyatakan Andy WMR Waisang dalam kata pengantarnya pada buku tersebut karena minimnya data yang digunakan. Tapi, okelah. Sebab upaya pencarian tidak pernah berhenti, tidak hanya di Minahasa, juga di Jawa, Sumatra dan khususnya di Tanah Batak.

Pada era VOC, orang-orang Belanda hanya terbatas di kota-kota pantai (Manado). Tidak banyak yang mengetahui tentang dinamika penduduk di pedalaman di jantung wilayah penduduk Minahasa. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, para penulis-penuilis Belanda mengidentifikasi penduduk lebih ke dalam di pedalaman adalah Alifoeroen, suatu penduduk asli yang berkulit agak gelap tetapi bukan negritos. Sementara penduduk di pulua-pulau dan kota-kota pantai lebih beragam. Dalam hal ini para pengamat membedakan penduduk di pedalaman (dengan identitas tunggal Alifoeroen) dan penduduk di sisi luar. Penduduk di pedalaman tentulah sudah ada peradaban yang lebih awal memasuki wilayah penduduk asli dibandingkan dengan penduduk di pantai yang begitu dinamik denga lingua franca bahasa Melayu. Penduduk yang diidentifikasi inilah diduga yang memiliki kaitan langsung dengan ditemukannya Watu Rerumeran yang terus dibiacarakan hingga ini hari.

Pengaruh Belanda (VOC( di Semenanjung Sulawesi terbilang baru. Pusat perhatian perdagangan VOC awalnya dan hanya fokus di Amboina (Maluku) dan kemudian bergeser ke Jawa (Batavi) pada tahun 1619.Wilayah antara Maluku dan pantai timur Tiongkok menjadi wilayah navigasi pelayaran perdagangan Portugis dan Spanyol. Persaingan antara Belanda (VOC) berakhir dengan mengusir Portugis dan kemudian disusul mengusir Spanyol dan menjadi konsentrasi di pulau-pulau Filipina. Pada tahun 1657 pedagang-pedagang VOC sudah menguasai pelabuhan Manado (Oud Manado) yang beberapa tahun kemudian relokasi ke muara sungai Tondano (kota Manado yang sekarang). Sejak inilah kekuatan dan kekuasaan tidak terbantahkan di Semenanjung Sulawesi. Pada tahun 1681 sisa permasalahan antara VOCdan Spanyol dibereskan, sebagain eks Kerajaan Ternate di pulau Mindanao diserahkan ke Spanyol sementara bagian pulau terdekat dimasukkan ke wilaya VOC (pulau Sanghihe).

Pada era Portugis-Spanyol selain (pulau)Manado sebagai pusat perdagangan lokal, juga pusat perdagangan lokal lainnya di kawasan berada di Amoerang. Di kota pelabuhan Amoeran ini pada era VOCmasih ditemukan sisa benteng Portugis yang sudah lama ditinggalkan. Meski demikian, di teluk sekitar benteng aktivitas perdagangan masih intens karena terhubung dengan wilayah pedalaman. Muara sungai Tondano juga menjadi jalur menuju pedalaman apakah aliran orang atau produk-produk perdagangan. Kota-kota yang sudah lama cukup banyak di pedadalaman di sekitar kawasan pegunungan (Emung, Lokon dana sebagainya) dan kawasan danau (danai Tondano). Singkat kata banyaknya kota-kota di pedalaman mengindikasikan tingginya populasi (penduduk). Hal itulah mengampa pada era Portugis dibangun benteng di Amoerang.

Dalam garis pantai utara pulau Sulawesi ini terdapat pelabuhan-pelabuhan penting selain Manado (pulau), Amoerang (benteng) juga Buol dan Toli Toli. Di antara pelabuhan-pelabuhan tersebut sejak lampau yang dianggap begitu penting, tidak hanya karena pedagang-pedagang Portugis membangun benteng, kota Amoerang juga diduga kota yang sudah terbentuk sebelum kehadiran Porttugs. Dari namanya diduga adalah salah satu koloni orang-orang Moor. Pada peta-peta Portugis di wilayah Maluku diidentifikasi Batachini del Moro atau Cust del Moro (yang kini dikenal sebagai pulau Halmahera). Nama yang tersisa dari aktivitas perdagangan hingga era VOC hanya nama pulau Morotai, pulau Batachini del Moro telah berganti nama menjadi Halmahera (Hale Mahera). Di pulau Morotai terdapat kota Daruba. Berdasarakan catatan-catatan yang ada navigasi pelayaran perdagangan hingga ke Maluku hingga selat Torres dan Maori jauh sebelum kehadiran Portugis diperankan oleh pedagang-pedagang Melayu dari Semenanjung Malaka dan pedagang-pedagang Moor dari pantai timur Sumatra. Pelaut-pelaut Portugis baru menduduki kota pelabuhan Malaka pada tahun 1511 (dan pada tahun 1524 Spanyol menemukan jalan dari Amerika Selatan ke Filipina (di Zebu). Beberapa tahun sebelumnya pada tahun 1521 pedagang-pedagang Portugis sudah berada di Broenai dan Manila (Luzon) dan kemudian ke Macao. Kota pelabuhan Amoerang diduga kuat dirintis oleh para pedagang-pedagang Moor dan kota (pulau) Manado oleh pedagang-pedagang Melayu. Menjadi pola yang umum terlihat pada waktu itu (jauh sebelum kehadiran Portugis) penamaan kota-kota pelabuhan yang berawalan Ma cenderung dikesan dirintis oleh pedagang-pedagang Melayu (yang berpusat di Malaka) dan penamaan kota yang menggunakan nama-nama baru atau memiliki kemiripan dengan nama Moor seperti Morotai, Morowali, Amoerang dan pulau-pulau Moro (Filipina selatan). Nama Moro ini juga banyak ditemukan di pantai barat daya Papua dan selat Torres seperti Morouke (Merauke), Morehead, Daru dan (Port) Moresby. Tentu saja banyak nama kota pelabuhan di pulau sulawesi berawalan Ma seperti Majene, Mamuju, Makale dan Makasar. Sedangkan nama-nama kota lainnya di Sulawesi yang terkait dengan pedagang-pedagang Moor adalah kota Goa (Gowa). Meski demikian anatara pedagang-pedagang Melayu dan pedagang-pedagang Moor tidak berseteru seperti Portugis vs Spanyol, tetapi antara pedagang-pedagang Melayu dan pedagang-pedagang Moor berbagai pelabuhan.

Lantas kapan Watu Rerumeran dibuat? Tentu saja hal itu sangat sulit diukur usianya. Sebab tidak ada tenda-tanda baca yang dapat dibaca kecuali, seperti disebut di atas, gambar laki-laki dan perempuan, bentuk lingga dan garis-garis lainnya. Tanda-tanda zaman kuno pada batu ini dengan hanya tanda-tanada baca itu sulit diperkirakan. Satu penemuan tua yang diketahui adalah prasasti Laguna di pulau Luzon Filipina. Prasasti Laguna inilah tanda-tanada zaman kuno yang begitu dekat secara geografis dengan kota-kota pelabuhan di pantai utara Semenanjung Celebes (Amoerang dan Manado). Manado dan Amoerang diduga kuat adalah hub navigasi pelayaran perdagangan terjauh ke Maluku yang berpusat di selat Malaka.

Pengaruh Singhasari dan suksesinya Majapahit di Jawa tidak terdapat bukti-bukti di kepulauan Maluku maupun Sulawesi (pada era awal). Kerajaan Singhasari tampaknya hanya berinterkasi dengan kerajaan-kerajaan di Sumatra, sedangka Kerajaan Majapahit selain ke Sumatra juga ke pantai barat Borneo, pantai selatan Borneo dan wilayah timur Jawa hingga ke Sumbawa (Bima). Namun tanda-tanda navigasi pelayaran perdagangan Melayu dan Moor sangat banyak di Sulawesi, Maluku, Papua dan pulau-pulau di timur pulau Sumbawa.

Dalam teks prasasti Laguna disebutkan beratrih 900 M. Suatu waktu satu abad lebih awal sebelum terjadi invasi Kerajaan Chola (India selatan)  hingga ke selat Malaka (1025). Pada prasasti Laguna ini menyatakan suatu kehadiran pengaruh besar dari suatu kerajaan yang termasyur di Binwangan. Lewat utusan radja di Binwangan ini membuat perjanjian dengan radja-radja di teluk Manila yalni Radja Tondo, Radja Pulilan, Radja Pila dan terakhir Radja Namayan. Ini mengindikasikan bahwa pulau Luzon sudah dihuni penduduk yang banyak sehingga menjadi wilayah perdagangan dari kerajaan besar di Binwangan. Namun dimana ibu kota Binwangan ini jelas sulit diketahui dan sulit dibuktikan jika tidak ada bukti pendukung lainnya. Satu yang terdekat adalah bukti zaman kuno ini adalah prasasti Kedukan Bukit (682 M).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bukti-Bukti Zaman Kuno: Tidak Perlu Dikejar, Tetapi Ditunggu

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar