Rabu, 02 Juni 2021

Sejarah Singapura (33): Candi Kuno Kedah, Semenanjung Malaya; Kerajaan Kadaram, Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya

 

Untuk melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini

Candi kuno tidak hanya ditemukan di Jawa dan Sumatra, tetapi juga ditemukan di Semenanjung (kini Malaysia). Sejauh ini tidak ditemukan  candi di pulau-pulau Filipina. Lantas apa pentingnya memahami keberadaan candi di Semenanjung? Sudah barang tentu akan memperkaya pemahaman keberadaan candi-candi di Indonesia. Lalu apa yang menjadi keutamaan candi di Semenanjung yang ditemukan di Kedah? Diduga kuat candi di Kedah sejaman dengan era Kerajaan Aru di bagian utara Sumatra dan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatra.

Candi di Semenanjung berada di Lembah Bujang di wilayah negara bagian Kedah, Besar dugaan candi ini adalah peninggalan kerajaan Kadaram zaman kono yang berada di wilayah Kedah yang sekarang. Dalam prasasti Tanjore 1030 dalam invasi Kerajaan Chola, nama-nama Kadaram, Panai dan Sriwijaya disebut sebagai (pelabuhan) yang ditaklukkan, Kerajaan Sriwijaya pada saat itu diduga kuat (masih) berada di muara sungai Batanghari. Sedangkan Kerajaan Panai (Kerajaan Aru) berada di selat Malaka di pantai timur Sumatra (daerah aliran sungau Barumun, Padang Lawas, Tapanuli). Daerah aliran sungai Barumun pada masa kini ditemukan belasan candi-candi dari zaman kuno.

Lantas bagaimana sejarah candi di Semenanjung umunya dan secara khusus sejarah candi di wilayah Kedah? Tentu saja sejarah candi di Kedah menarik, karena Kerajaan Kadaram yang menjadi pendahulu Kerajaan Kedah sejaman dengan dua kerajaan besar di Sumatra yakni Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya. Lalu dalam mempelajari candi-candi di Malaysia sekarang ini darimana dimulai? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah internasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Candi Kuno di Semenanjung: Kerajaan Kadaram hingga Kerajaan Malaka

Candi zaman kuno di Kedah dapat dikatakan satu-satunya pusat percandian di Semenanjung Malaya, Bangunan terpenting di kawasan percandian ini adalah candi Bukit Batu Pahat, suatu sisa bangunan yang hanya berupa tangga dan batur yang membentuk kaki candi dengan sebagian tubuhnya. Pada bagian depan candi terdapat mandapa atau pelataran candi. Kawasan candi berada diantara gunung Jerai di utara dan sungai Merbok di selatan. Peradaban di sekitar candi ini diduga bermula pada abad ke-5.

Prasasti di Penang ditemukan tahun 1834 oleh James Low. Aksara yang digunakan Brahmi, sangat mirip dengan prasasti Purnawarman dan karena itu diperkirakan prasasti ini dibuat pada abad ke-5. Prasasti Purnawarman berada di Jawa Barat (Kerajaan Tarumanegara).

Kawsan selat Malaka diduga baru berkembang setelah perkembangan awal di pantai barat Sumatra. Ptolomeus (90-168 M) dalam bukunya menyebut Sumatra bagian utara adalah penghasil kamper. Masih dalam literatur Eropa disebut kamper diekspor dari pelabuhan Barus sejak abad ke-5. Besar dugaan kamper dari Tanah Batak di Angkola Mandailing di sungai Barumun (Kerajaan Aru) ditransfer ke (pelabuhan) di pantai barat Semenanjung Malaya (Kerajaan Kadaram di Kedah yang sekarang). Sebab saat itu satu-satunya wilayah penghasil kamper adalah wilayah Tanah Batak dengan pelabuhan Binanga (muara sungai Barumun).

Dalam prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang bertarih 682 disebutkan Dapunta Hyang berangkat dari Minana dengan 20.000 tentara dan tiba di Hulu Upang. Nama yang mirip Minana pada masa ini adalah Binanga di sungai Barumun (Padang Lawas Tapnuli) dan Hulu Upang sebagai nama sungai di Bangka. Nama Radja di wilayah Padang Lawas adalah Dapunta Hyang (Kerajaan Aru) dan nama radja di Hulu Upang adalah Sriwijaya (yang menjadi nama kerajaan). Tentu saja Kerajaan Aru dengan pelabnhannya di Binanga adalah kerajaan yang kaya (sentra kamper). Pelabuhan di Kadaram dan pelabuhan Sriwijaya adalah tujuan transfer produk kamper yang keluar dari pelabuhan Binanga.

Setelah Barus di pantai barat Sumatra, pada saat berkembangnya pelabuhan Binanga, pelabuhan Kadaram dan pelabuhan Sriwijaya, kemudian muncul pelabuhan baru di ujung utara pulau Sumatra (Kerajaan Lamuri). Kerajaan Lamuri ini juga menjadi tujuan produk kamper dari Tanah Batak. Pada tahun 1025 Kerajaan Chola dari India Selatan menyerang tiga pelabuhan di selat Malaka (Lamuri, Kadaram, Panai dan Sriwijaya). Keterangan ini ditemukan pada prasasti Tanjore 1030. Panai adalah nama lain dari pelabuhan Binanga (sungai Batang Pane bermuara di sungai Barumun di kota Binanga yang sekarang). Di sekitar kawasan ini pada masa kini ditemukan banyak candi.

Pasca pendudukan Chola, Kerajaan Panai atau Keajaan Aru kembali bangkit. Selama pendudukan Chola muncul kerajaan di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli). Kerajaan ini diduga kuat sebagai para pemimpin Kerajaan Aru melarikan diri ke hulu sungai Batanghari dan Kerajaan Sriwijaya yang awalnya (diserang() di muara sungai Batanghari melarikan diri (relokasi) ke daerah aliran sungai Musi. Hal itulah mengapa di muara sungai Batanghari terdapat situs candi.

Pada saat kebangkitan kembali Kerajan Aru, sesunguhnya Kerajaan Kadaram berusaha kembali. Namun pelabuhan Malayu yang berada di tenggara Kerajaan Kadaram juga bangkit kembali. Namun menjadi masalah bagi Kerajaan Kadaram karena pelabuhan Malayu lebih pesat perkembangannya. Dengan semakin intensnya kehadiran pedagang-pedagang Arab dan Persia serta Moor menyebabkan pelabuhan Malayu yang Hindoe Boedha menjadi Kerajaan Islam yang disebut Kerajaan Malaka.

Seperti halnya Kerajaan Malaka yang telah beragama Islam (Arab), Kerajaan Lamuri di ujung utara Sumatra juga telah menjadi kerajaan Islam. Kerajaan Lamuri ini kemudian menyerang Kerajaan Kadaram. Kerajaan Lamuri yang Islam inilah kemudian yang berubah menjadi Kerajaan Atjeh (yang dalam perkembangannya diperkuat militer Kerajaan Turki).

Saat Kerajaan Malayu menjadi Islam (diperkuat pedagang Arab), kerajaan Lamuri yang diperkuat pedagang Persia (kemudian digantikan Turki), pedagang-pedagang Moor di pelabuhan Muar di tenggara Malaka merapat ke pantai timur (Kerajaan Aru). Nama Muar merujuk pada nama Moor atau Moear). Dalam posisi inilah Kerajaan Aru pernah menyerang Kerajaan Malaka seperti ditulis Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru pada tahun 1537. Dengan kata lain, Kerajaan Malaka berada di bawah Kerajaan Aru dan Kerajaan Kadaram (yang menjadi Kerajaan Kedah) di bawah Kerajaan Atjeh. Pasca pendudukan Kerajaan Aru, Kerajaan Malaka berusaha bangkit tetapi belum pada puncaknya ditaklukkan oleh pelaut-pelaut Portugis.

Mengetahui bahwa sejarahnya demikian, orang-orang Portugis di Malaka kemudian mendekati Kerajaan Aru yang juga pada saat itu Kerajaan Aru tengah berselisih dengan Kerajaan Atjeh. Pendudukan Kerajaan Atjeh di Kerajaan Kedah menjadi batu sandungan bagi Portugis di Malaka. Atas dasar inilah dari Malaka Portugis mengirim utusan Mendes Pinto ke Kerajaan Aru pada tahun 1537. Menurut catatan Mendes Pinto, Raja Kerajaan Aru beragama Muslim dengan kekuatan 15.000 tentara yang mana diantaranya sebanyal 7.000 didatangkan dari Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon. Masih menurut Mendes Pinto, Kerajaan Aru diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor.  Dalam hal ini orang Moor adalah orang beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara di laut Mediterania seperti Mauritania, Maroko dan Tunisia. Orang-orang Moor inilah yang terusir dari Spanyol (Cordoba) pasca Perang Salib yang menyebar ke Afrika Timur (Madagaskar) terus ke India (Surate, Gujarat dan Goa) hingga meneukan jalan ke selat Malaka. Kedatangan Ibnu Batutah pada tahun 1345 diduga karean kounitas orang Moor sudah banyak di selat Malaka. Dengan semakin kuatnya Portugis di Malaka, dalam perkembangannya muncul Kerajaan Johor di ujung selatan Semenanjung (diduga berasal dari para pemipin Kerajaan Malaka).

Sementara itu, pasca pendudukan Chola, Kerajaan Sriwijaya di daerah aliran sungai Musi yang mulai berkembang, Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari mendapat dukungan dari Jawa (Kerajaan Singhasari) yang mana Kerajaan Aru telah memiliki hubungan dagang dengan Kerajaan Singhasari. Sebagaimana diingat bahwa Kerajaan Mauli yang juga disebut Kerajaan Dharmasraya adalah anak dari Kerajaan Aru. Pada fase inilah Radja Singhasari yang terakhir Kertanegara mengadopsi agama Boedha Batak sekte Bhairawa. Pada saat inilah Kerajaan Sriwijaya diserang Kerajaan Singhasari (tamat Kerajaan Sriwijaya). Sebagaimana diketahui bahwa Radja Kertanegara (meninggal 1298) adalah pendukung fanatik agama Batak sekte Bhairawa. Radja terakhir Kerajaan Mauli (Dharmasraya) Adityawarman yang telah merelokasi kerajaan ker hulu sungai Indragiri (kemudian disebut Kerajaan Pagaroejoeng) juga adalah pendukung fanatik agama Boedha Batak sekte Bhairawa. Radja Adityawarman yang juga bergelar Mauli dan Rajendra (Chola) meninggal pada tahun 1375.

Saat Kerajaan Pagaroerjoeng tetap dengan sekte Bhairawa, Kerajaan Aru mulai dipengaruhi pedagang-pedagang Moor. Hal itulah pada saat ekspedisi Tiongkok (Cheng Ho) sekita 1403-1433 pelabuhan Kerajaan Aru juga dikunjungi. Sejak kapan Kerajaan Aru dipengaruhi Islam lewat pedagang-pedagang Moor dapat diperhatikan pada prassti Batugana yang menyatakan Kerajaan Panai (Kerajaan Aru) dua diantara ranya bergelar Kadi (juga peimpin agama Islam).dan satu diantara Kadi ini bergelar Haji. Catatan: Kerajaan Aru satu-satunya Kerajaan yang berbentuk federasi (seperti Negara Malaysia saat ini) yang berbeda dengan kerajaan monarki seperti di Jawa dan Sriwijaya dan kerajaan oligarki seperti Malaka dan Atjeh. Gambaran di Kerajaan Panai (Kerajaan Aru) ini masih ditemukan dalam catatan Mendes Pinto 1537.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Apakah Ada Candi Lainnya di Malaysia: Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Aru

Bahasa Sanskerta (Sanskrit) adalah lingua franca di wilayah India selatan pada zaman kuno. Bahasa Sanskerta pada dasarnya adalah bahasa suci (agama) Hindoe dan Boedha. Agama-agama yang memiliki kasta inilah yang mana kasta kedua (Kastria) dan kasta kedua (Waisya) yang melakukan navigasi pelayaran perdagangan hingga mencapai Hindia Timur di pantai barat Sumatra (jarak terdekat dari India). Dalam catatan Ptolomeus (abad ke-2) di Eropa disebut Sumatra bagian utara penghasil kamper.

Para pelaut dan pedagang India selatan ini datang ke pantai barat Sumatra untuk berdagang produk-produk tahan lama, tidak terlalu berat tetapi memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional di pantai barat India (Surate, Gujarat dan Goa). Produk bernilai tinggi seperti emas ditemukan di berbagai wilayah pegunungan di pantai barat Sumatra mulai dari bagian utara (Batak), tengah (Kerinci) dan selatan (Komering). Karena itulah pulau Sumatra disebut Svarnadwipa sebagai pulau emas (prasasti Nalanda 860)  Namun yang menjadi sentra produk kamper dan kemenyan hanya di wilayah Batak (dari Angkola Mandailing hingga Alas Gajo). Kamper inilah yang menyebabkan terbentuknya pelabuhan zaman kuno Barus yang diidentifikasi sebagai pelabuhan ekspor kamper (kapur Barus) sejak abad ke-5 sebagaimana ditemukan dalam literatur Eropa.

Dalam perkembangannya para pedagang dari India selatan ini membentuk koloni-koloni, ayang awalnya di kota-kota pantai kemudian merangsek ke pedalaman, di lembah-lembah yang subur dimana terdapat danau-danau pedalaman. Di wilayah Angkola Mandailing (Tapanuli Bagian Selatan yang sekarang) tiga danau yang ada adalah danau Siais, danau Siabu dan danau Pakantan (danau Laut). Di wilayah pedalaman inilah koloni India ini berinteraksi dengan penduduk setempat yang menghasilkan produk hasil hutan (kamper, kemenyan dan damar), hasil tambang (emas) dan hasil berburu (kulit harimau dan gading).

Dengan kesuburan tanah surplus pangan, dengan kekayaan hasil perdagangan (hasil hutan, tambang dan berburu) penduduk Angkola Mandailing menjadi makmur. Dengan transfer budaya dari India seperti religi, ilmu pengetahuan (aksara) dan seni maka sistem pemerintahan dimodernisasi yang menjadi suatu kekuatan politik yang kemudian terbentuknya Kerajaan Aru (kelak disebut juga Kerajaan Panai). Perkampongan-perkampongan menjadi semakin banyak populasi dengan semakin meningkatnya arus pendatang (pedagang India) dan terbentuk kota-kota yang banyak dari pantai barat (Barus) hingga pantai timur Sumatra (Binanga).

Para pendatang dari India yang berbahasa Sanskerta, maka penduduk Angkola Mandailing juga menjadi bilingual. Ibarat sekarang di Angkola Mandailing setiap orang bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa Batak). Seperti masa kinilah, pada zaman kuno penamaan geografi di Angkola Mandailing termasuk nama kota (huta) banyak yang menggunakan nama India (bahasa Sanskerta). Sebagai wilayah makmur maka untuk mendukung religi baru dibangun candi pusat wilayah Kerajaan Aru (candi Simangabat)—candi tertua di Sumatra.

Bahasa Sanskerta yang menjadi lingua franca, lambat laun dengan adanya interakasi bahasa di dalam navigasi pelayaran perdagangan dengan berbagai penduduk yang berbeda bahasa di kota-kota pantai di Sumatra, Jawa, Semenanjung Asia dan Borneo menyebabkan bahasa Sanskerta semakin diperkaya. Modus bahasa baru inilah yang melahirkan bahasa baru sebagai lingua franca di nusantara yang dikenal sebagai bahasa Melayu Kuno. Dalam perkembangan selanjutnya nanti, lalu bahasa Melayu Kuno ini semakin berkembang dengan masuknya bahasa Tiongkok dan Eropa yang menjadi bahasa Melayu Modern. Proses itu terus berlanjut, bahasa Melayu Modern yang berkembang di wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dideklarasikan sebagai Bahasa Indonesia (1928). Pada masa ini Bahasa Indonesia (bahasa Melayu Modern yang semakin diperkaya) menjadi lingua franca dan bahasa Melayu Modern menjadi bahasa daerah yang setara dengan bahasa Batak, bahasa Jawa.

Dalam hubungan perkembangan wilayah di Angkola Mandailing (Kerajaan Aru) semakin meluas hingga ke wilayah Simalungun (kemudian ke Gajo). Pada saat Kerajaan Aru berbasis di tiur pegunungan Bukit Barisan terbentuk pelabuhan baru di Binanga. Dengan demikian Kerajaan Aru memiliki dua pelabuhan ekspor di barat di Barus dan di timur di Binanga. Pada saat inilah Kerajaan Aru ekspansi ke Kerajaan Sriwijaya di pulau Bangka (lihat prasasti Kedukan Bukit 682). Pada fase ini Kerajaan Aru juga membentuk pelabuhan baru di Ambuaru (kini Perlak). Dalam era inilah diduga muncul pelabuhan-pelabuhan lain di Lamuri dan Kadaram.

Nama Kerajaan Aru merujuk pada terminologi aru dari bahasa India Selatan yang diartikan sungai. Jadi Kerajaan Aru adalah Kerajaan Sungai (dimana terdapat banyak sungai). Salah satu kota terpenting di sisi barat pegunungan bukit barisan adalah S-aru-matinggi (dekat candi Simangambat), Pelabuhan Binanga berada di muara sungai B-aru-mun. Nama aru sejak abad ke-5 juga digunakan nama pelabuhan B-aru-s sebagai pelabuhan Kerajaan Aru. Pada saat terbentuk pelabuhan Lamuri dan pelabuhan Kadaram, Kerajaan Aru membentuk pelabuhan baru di sebelah utara yakni pelabuhan Ambu-aru (kini  dikenal sebagai nama sungai Jambu Air di Perlak). Nama pelabuhan Malaya (erujuk pada nama Hialaya) di tenggaa Kadaram kelak disebut Malaka oleh orang-orang Moor (Himalaya, Malaya, Malaka dan penduduknya disebut Malayu).

Dengan memperhatikan keberadaan pelabuhan Kadaram yang menjadi Kerajaan Kadaram lalu muncullah pembangunan candi-candi yang kurang lebih sejaman dengan candi di Kerajaan Aru dan candi di Jawa (Batujaya dan Kendal). Pada saat inilah kejayaan pelabuhan dan kerajaan di pantai barat Semenanjung berjaya sehingga mampu membangun candi. Namun setelah itu tidak ada lagi pembangunan candi meski sudah terbentuk pelabuhan Malaya di selatannya. Sementara itu pembangunan candi terus berlangsung di daerah aliran sungai Barumun (Kerajaan Aru). Pada saat kejayaan candi-candi inilah Kerajaan Aru menyerang Kerajaan Malaka (seperti disebut Mendes Pinto 1537).

Di Kerajaan Aru bahasa yang digunakan bersiat bilingual (bahasa Batak dan Sanskerta) seperti halnya penamaan nama-nama geografi di wilayah Kerajaan Aru. Dalam perkembangannya terbentuk bahasa Melayu Kuno dan Jawa Kuno (dari bahasa Sanskerta). Pada fase lingua franca yang baru ini penduduk di Kerajaan Aru tetap bilingual (bahasa Batak dan bahasa Melayu Kuno).  Hal itulah mengapa prasasti-prasasti di eks wilayah Kerajaan Aru ditemukan prasasti beraksara Pallawa dengan bahasa bilingual (Batak dan Sanskerta) dan kemudian prasasti yang lebih baru beraksara Batak Kuno (merujuk pada aksara Pallawa) tetapi dengan bahasa bilingual (bahasa Batak dan bahasa Melayu Kuno)—Tentu saja pada masa kini penduduk Angkola Mandailing (eks wilayah Kerajaan Aru) masih bilingual (bahasa Batak dan bahasa Indonesia).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar