Kamis, 26 Agustus 2021

Sejarah Makassar (45): Wajo, Kota di Danau Tempe dan Tetangga Soppeng di Pedalaman; Miliki Akses Pantai Antara Luwu dan Bone

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini 

Wajo, tidak sehebat Luwu dan Gowa di masa lampau. Wajo adalah kerajaan kecil yang berada di pedalaman seperti halnya kerajaan-kerajaan Enrekang, Rappang, Sidenreng dan Soppeng. Namun uniknya, diantara kerajaan-kerajaan pedalaman, Kerajaan Wajo terbilang satu-satunya kerajaan yang masih memiliki akses ke lautan (pantai). Sebagai kerajaan pedalaman, penduduk Wajo beribukota di sekitar danau pedalaman (danau Tempe). Kerajaan Wajo bertetengga dekat dengan kerajaan Soppeng dan kerajaan Rappang.

Pada saat tumbuh dan berkembang Kerajaan Gowa (federasi Gowa dan Tallo) di pantai barat semenanjung Sulawesi, tiga kerajaan di pantai timur membentuk federasi baru yang terdiri dari Bone, Wajo dan Soppeng. Federasi kerajaan ini disebut Tellumpoccoe. Namun pada saat Kerajaan Gowa berselisih dengan VOC (Belanda), federasi Tellumpoccoe pecah kongsi. Kerajaan Wajo berpihak ke Gowa karena Bone dan Soppeng bekerjasama dengam VOC untuk memerwangi Kerajaan Gowa. Pasca penaklukkan Kerajaan Gowa oleh VOC di bawah Admiral Speelman, pimpinan Wajo (Arung Matowa Wajo) La Tenri Lai To Sengngeng menolak menandatangani Perjanjian Bungaya. Untuk menghukum Wajo, Arung Palakka dari Bone dan sekutunya menyerang Wajo di benteng Tosora, setelah mengepungnya selama tiga bulan. Pasca penaklukkan Wajo ini, sebagaimana halnya para pengeran Gowa Tallo, meninggalkan kampong halaman. Kebeberasan Wajo baru berhasil dipulihkan pada era pemimpin Wajo, La Maddukkelleng gelar Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir.

Lantas bagaimana sejarah Wajo? Seperti disebut di atas Wajo memiliki sejarah tersendiri dan memiliki riwayat sendiri. Wajo sendiri adalah kerajaan pedalaman (beribukota dengan danau Tempe), tetapi masih memiliki akses ke wilayah pantai (paut). Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

 

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Wajo di Pedalaman Dekat Danau Tempe

Danau Tempe, danau pedalaman yang airnya bersumber dari sungai Bila yang berhulu di pegunungan Latimojong melalui wilayah Enrekang. Di wilayah hulu sungai Bila ini terdapat beberapa kampong kuno seperti Banti, Binanga, Bongin dan Angginiraja. Sungai Bila ini bermuara di danau Tempe dekat kampung Baru (sisi timur danau). Pada sisi timur danau ini tidak hanya nama tempat Baru juga terdapat kampong Sempangnge dan Singkang (yang kini menjadi ibu kota kabupaten Wajo),

Nama-nama geografis di hulu (pegunungan Latimojong) dan dan hilir (danau Tempe) sungai Bila. Nama-nama tersebut mirip dengan nama-nama geografis di Angkola Mandailing. Nama Bila sendiri di Angkola Mandailing adalah nama sungai yang bermuara di sungai Barumun. Nama Baru diduga merip dari nama Baru-mun atau nama Baruas dan Barus. Nama Sempangnge mirip nama Simpanggambir dan Singkang mirip nama Singkwang (kini menjadi Singkuang). Nama-nama geografis di hulu sungai Bila di pegunungan Latimojong Banti mirip Panti, Binanga adalah nama ibu kota Kerajaan Aru zaman kuno di sungai Barumun dimana sungai Pane bermuara. Bongin adalah borngin (malam) dan Angginraja (adik dari Raja).  

Danau Tempe, danau pedalaman yang airnya bersumber dari sungai Bila yang berhulu di pegunungan Latimojong melalui wilayah Enrekang. Di wilayah hulu sungai Bila ini terdapat beberapa kampong kuno seperti Banti, Binanga, Bongin dan Angginiraja. Sungai Bila ini bermuara di danau Tempe dekat kampung Baru (sisi timur danau). Pada sisi timur danau ini tidak hanya nama tempat Baru juga terdapat kampong Sempangnge dan Singkang (yang kini menjadi ibu kota kabupaten Wajo),

Nama-nama geografis di hulu (pegunungan Latimojong) dan dan hilir (danau Tempe) sungai Bila. Nama-nama tersebut mirip dengan nama-nama geografis di Angkola Mandailing. Nama Bila sendiri di Angkola Mandailing adalah nama sungai yang bermuara di sungai Barumun. Nama Baru diduga mtrip dari nama Baru-mun atau nama Baruas dan Barus. Nama Sempangnge mirip nama Simpanggambir dan Singkang mirip nama Singkwang (kini menjadi Singkuang). Nama-nama geografis di hulu sungai Bila di pegunungan Latimojong Banti mirip Panti, Binanga adalah nama ibu kota Kerajaan Aru zaman kuno di sungai Barumun dimana sungai Pane bermuara. Bongin adalah borngin (malam) dan Angginraja (adik dari Raja).  

Sumber air danau Tempe juga berasal dari selatan melalui sungai Walanae pegunungan melalui Mario di gunung Abbo, Soppeng (kini wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung). Danau Tempe sendiri pada dasarnya terhubung dengan danau Sidenreng yang dipisahkan oleh suatu pulau. Bagian danau di sebelah Sidenreng disebut tamparang Labaija (kini danau Sidenreng) dan bagian danai sebelah Wajo disebut tamparang Karadja (kini danau Tempe). Sumber air ke bagian danau Sidenreng berasal dari sungai-sungai kecil di sebelah barat daya dari perbukitan. Dari danau Tempe air mengalir dari kampong Tosora (tempat Hadatoean Wadjo) ke laut melalui sungai Tjinrana ke laut (bermuara di kecamatan Cendrana, kabupaten Bone yang sekatang).

Sungai Cendrana adalah penghubung wilayah To Wajo (di Tosora di pinggir danau Tempe) dan wilayah Bone di muara Cendrana (lihat Peta 1752). Sungai Cendrana ini adalah batas atas wilayah Towadjo di sebelah utara dan wilayah Bone di selatan. Nama kampong Cendrana berada di muara sungai sebelah selatan (masuk wilayah Bone). Ini ibarat danau Toba airnya mengalir ke laut melalui kampong Porsea (kabupaten Tapanuli Utara) dan bermuara di Tanjung Balai (kabupaten Kisaran). Kampong Bone sendiri berada di selatan sungai di sisi utara sungai Barobo (kota Watampone yang sekarang). Berdasarkan Peta 1752,secara geografis kampong Tosora (ibu kota Wadjo) lebih penting dari kampong Bone (ibu kota Bone). Hal ini karena sungai Cendrana adalah sungai besar yang dapat dilayari jauh ke pedalaman yang mengindikasikan intensitas perdagangan sangat tinggi. Di daerah aliran sungai Cendrana ini VOC membangun benteng (menambah bukti pentingnya Tosora dari Bone).

Pada era Pemerintah Hindia Belanda, dibangun kanal dari sungai Sadang melalui Sidenreng (Rappang) yang kemudian diteruskan ke danau Sidenreng/danau Tempe. Kanal ini tidak hanya mencetak sawah abru di Sidenreng, juga air kanal ini juga menambah debit air (ketinggian permukaan danau) yang dengan sednirinya ke hilir di daerah aliran sungai Cendrana air irigasi ke sawah-sawah tetap terjaga. Adanya kanal ini diduga mengapa kini danau Sidenreng/danau Tempe airnya coklat (berlumpur).

Sungai Sadang sendiri berhulu di pegunungan Gondangdewata di jantung pulau Sulawesi. Jika sungai Bila berhulu di gunung Latimojong melalaui Enrekang ke danau Tempe, sungai Sadang sendiri melalui Makale (kini ibu kota kabupaten Tana Toraja) dan Rantepao (ibu kota kabupaten Toraja Utara). Hulu sungai Sadang ini di pegunungan Gondangdewata tepat berada di wilayah Makki (wilayah penduduk To Makki). Dengan demikian, sungai Bila dan sungai Sadang dapat dikatakan adalah lalu lintas pedalaman yang menghubungkan Tana Toraja, Enrekang, Sidenreng-Rappang dan Wajo (wilayah penduduk To Wadjo). Jika sungai Bila melalui danau Tempe bermuara ke pantai timur (Wadjo dan Bone), sungai Sadang bermuara ke pantai barat di (kabupaten Pinrang yang sekarang).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Pedalaman Memiliki Akses ke Pantai

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar