Kamis, 04 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (212): Pahlawan Indonesia, Apa Harus Menjadi Pahlawan Nasional? Bagaimana Pahlawan Daerah?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pahlawan dalam hal ini tentunya yang dimaksud adalah semua yang pernah menjadi pahlawan, apakah pahlawan yang berskala nasional maupnn yang beskala daerah. Para pahlawan ini ada yang berjuang pada era sebelum kemerdekaan atau setelah kemerdekaan Indonesia. Mereka tang perjuang sebelum kemerdekaan ada yang sejak era VOC dan sejak era Pemerintah Hindia Belanda serta era pendudukan Jepang. Bidang pengabdian mereka dalam berbagai kegiatan, ada sebagai pemimpin politik (seperti kerajaan, pemerintahan dan organisasi), sebagai tentara atau laskar yang ikut mengangkat senjata atau dalam bidang lainnya yang semuanya berlabel untuk tujuan bangsa: kebebasan dan kesejahteraan.  

Pahlawan Nasional adalah pahlawan Indonesia yang sudah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional atau yang sedang proses atau yang sedang mulai dipersiapkan pengusulannya. Pahlawan daerah adalah pahlawan Indonesia di daerah yang sebagian nama-nama mereka telah mendapat tempat atau dimakamkan di taman makam pahlawan. Sebagian dari mereka yang pahlawan nasional maupun pahlawan daerah ada yang dimakamkan di bebagai tempat terutama mereka yang menjadi pahlawan Indonesia yang berasal dari masa lampau. Sehubungan dengan Hari Pahlawan, pada tahun ini (2021) Kementerian Sosial RI telah menentukan tema ‘Pahlawanku Inspirasiku’. Dalam hubungannya dengan sejarah menjadi Indonesia, mungkin sebaiknya tema itu harus diartikan sebagai ‘Pahlawan Kita, Inspirasiku’. Untuk mengingat dan mengenang para pahlawan Indonesia, dalam berbagai artikel ke depan akan dideskripsikan sejumlah pahlawan Indonesia.

Lantas bagaimana sejarah pahlawan Indonesia? Seperti disebut di atas, para pahlawan Indonesia tidak hanya yang bestatus nasional juga pahlawan Indonesia di daerah. Dalam hal ini apakah semua pahlawan Indonesia harus dikejar untuk menjadi pahlawan nasional? Jika memang layak disebut pahlawan nasional harus diperjuangkan, tetapi jika tidak apakah tidak cukup sebagai pahlawan Indonesia di daerah? Sebab setiap pahlawan kita, apakah di tingkat nasional atau tinkat daerah dapat dijadikan sebagai inspirasi masing-masing. Lalu bagaimana sejarah pahlawan Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Mengapa Harus Mengejar Pahlawan Nasional?

Pada dasarnya penabalan Pahlawan Nasional baru dimulai pada tahun 1959. Tokoh Indonesia pertama yang dianugerahi Pahlawan Nasional adalah Abdoel Moeis (berdasarkan Keputusan Presiden No. 218 Tahun 1959 tanggal 30 Agustus 1959). Ini sehubungan dengan belum lama berselang disebutkan Abdoel Moeis meninggal dunia di Bandoeng pada 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun yang  dimakamkan di Taman Pahlawan Tjikoetra, Bandoeng.

Abdoel Moeis lahir di Fort de Kock, 3 Juni 1883. Dalam berbagai tulisan disebut Abdoel Moeis pernah bersekolah di STOVIA (Docter-Djawa School) selama 3,5 tahun (1900-1902), Akan tetapi tidak ada nama Abdoel Moeis di Docter-Djawa School untuk periode itu. Yang jelas nama Abdoel Moeis kali pertama diberitakan pada tahun 1903 (lihat Sumatra-bode, 20-01-1903). Disebutkan ujuan Klein-ambtenaars yang diselenggarakan di Fort de Kock pada tanggal 29 Desember dari tujuh kandidat, lulus enam orang diantaranya Abdoel Moeis. Kemudian pada tahun 1911 dipindahkan menjadi Mantri Loemboeng di Afdeeling Bandoeng (De Preanger-bode, 11-03-1911). Pada tahun 1913, Abdoel Moeis diketahui bekerja di surat kabar De Preanger-bode yang terbit di Bandoeng sebagai corrector (De Preanger-bode, 01-01-1913). Ketika Sarikat Islam membuka cabang di Bandoeng, Abdoel Moeis  ikut berpartisipasi yang duduk sebagai sekretaris (lihat De Preanger-bode, 10-02-1913). Abdoel Moeis juga menjadi editor mingguan Serikat Islam, yang menyuarakan misi Sarikat Islam. Dalam edisi No. 2 terdapat tulisan dari Dr. Tjipto dan Soewardi (De Preanger-bode, 16-03-1913). Dalam perkembangannya tiga orang komite SI ditangkap: Tjipto Mangoenkoesoemo (di kantor redaksi majalah Expres), Suardi Surjaningrat dan Abdul Moeis (di kantor administrasi Preanger Bode). Mereka ditangkap polisi karena alasan provokatif.). Itulah awal karir Abdoel Moeis.

Lantas mengapa muncul gagasan penabalan Pahlawan Nasional? Yang jelas pada saat itu ada dua hal yang terjadi, sebelum dan sesudah penabalan Pahlawan Nasional pertama. Sebelumnya terjadi masalah PRRI/Permesta yang diikuti oleh pembentukan kabinet baru yang langsung dipimpin oleh Presiden Sokarno (sejak 10 Juli 1959) yang disebut Kabinet Kerja Kabinet Terpimpin.

Kabinet Kerja (Demokrasi Terpimpin) yang menjadi Kepala Negara (Presiden) dan juga sebagai Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) adalah Soekarno. Sementara yang menjadi Menteri Pertama adalah Djoeanda Kartawidjaja. Sedangkan Menteri Keamanan dan Pertahanan adalah Abdoel Haris Nasution. Pada era sebelumnya, pada saat Kabinet Ali, Wakil Presiden Mohamad Hatta mengundurkan diri (30 November 1956). Pada kabinet berikutnya (Kabinet Djoeanda), Soekarno sebagai Presiden dan sebagai Perdana Menteri adalah Djoeanda Kartawidjaja (yang merangkap sebagai Menteri Pertahanan). Untuk posisi Penglima Angkatan Perang adalah Abdoel Haris Nasution dimana sebagai KASAD adalah Achmad Yani.  

Boleh jadi gagasan penabalan Pahlawan Nasional itu terkait dengan dua kejadian sebagai bentuk untuk menetralisir situasi dan kondisi. Di satu sisi misi pemerintah di bawah Perdana Menteri Soekarno ingin semua rakyat Indonesia bersatu menuju masa depan dan di sisi lain ingin merehabilasi para pejuang Indonesia di masa lampau, suatu kegiatan yang pernah dilakukan tetapi tertunda karena situsi dan kondisi politik yang pasang surut yang menyita semua perhatian.

Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia (27 Desenmber 1949), nama Soekarno direhabilitasi dengan kembali ditempatkan sebagai Presiden RI dan kemudian diposisikan sebagai Presiden RIS (suatu posisi yang tidak nyaman bagi Soekarno). Saat itu bangsa Indonesia terbelah yang memilih federalis (bekerjasama dengan Belanda) dan yang tetap republiken (RI). Ibu kota RIS di Batavia dengan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta, sementara ibu kota RI di Djogjakarta yang dipimpin oleh Presiden Assat, Perdana Menteri Halim dengan Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap. Pada saat pemerintah RI di Djogjakarta ini dilakukan rehabilitasi terhadap apa yang sudah rusak di masa perang. Presiden Assat menginisiasi pembangunan pusat sosial dengan membangun masjid yang disebut Masjid Merdeka (kini namanya masjid Suhada) dan Abdoel Hakim Harahap menginisiasi rehabilitasi terhadap para pejuang (veteran) dengan melakukan pendaftaran, yang cacat dibantu dan yang sudah wafat dalam medan perang disatukan dalam satu makam yang disebut Makam Pahlawan (makam pahlawan pertama). Abdoel Hakim Harahap sendiri adalah orang yang mengalami sendiri sebagai mantan Residen perang pada era perang kemerdekaan (yang mengungsi dari satu tempat ke tempat) Saat berkunjung ke Djogjakarta Presiden RIS sangat terkesan apa yang dilakukan oleh pemerintah RI di Djogjakarta terhadap dua hal itu (masjid dan para mantan pejuang). Pada saat kembali ke NKRI (RIS dibubarkan Agustus 1950), Presiden RI Soekarno dengan kabinet baru (Kabinet Natsir) di Djakarta dilakukan apa yang telah dilakukan di Djogjakarta, yakni dengan menginisiasi pembanguna masjid besar yang disebut Masjid Istiqlal yang juga artinya Masjid Merdeka dan penetapan makam pahlawan di di Kalibata, Dalam hal ini, penabalan Pahlawan Nasional (1959) dapat dikatakan suatu gagasan yang tertunda dan belum sempat meneruskannya ke penabalan Pahlawan Nasional (sejak 1950) karena banyaknya kejadian yang dialami bangsa sejak 1950 hingga 1959. Pada kabinet terpimpin 1959 untuk kali pertama diadakan posisi/jabatan Menteri Muda Veteran.  

Pada tahun awal penabalan Pahlawan Nasional ini (1959), setelah Abdoel Moeis disusul dua tokoh lainnya yakni Ki Hajar Dewantara (28 November 1959) dan RM Surjopranoto (30 November 1959). Ketiga tokoh Pahlawan Nasional pertama ini kebetulan belum lama dikabarkan meninggal pada tahun 1959. Ki Hajar Dewantara lahir di Djogjakarta 2 Mei 1889, meninggal di Djogjakarta 26 April 1959 dan RM Surjopranoto lahir di Djogjakarta 11 Januari 1871, meninggal di Cimahi 15 Oktober 1959.

Sejarah Ki Hajar Dewantara sudah diketahui secara luas (yang berjuang sejak tahun 1912 yang dikenal sebagai tiga serangkai) dan posisinya yang terakhir sebagai Menteri Pendidikan RI yang pertama. Sejarah Ki Hajar Dewantara telah ditulis pada artikel sendiri sebelumnya di blog ini (juga artikel tentang Abdoel Moeis dalam blog ini). Nama RM Surjopranoto belum dikenal secara luas (mungkin akan dibuat artikel sendiri pada blog ini).

Sejak itu, secara bertahap dan makin banyak tokoh-tokoh Indonesia yang ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Pada tahun 1960 nama Mohammad Hoesni Thamrin ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional (28 Juli 1960), lahir di Batavia 16 Februari 1894 dan meninggal di Batavia 11 Januari 1941. Pada tahun 1961 nama yang ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional ad sebanyak lima orang, yakni: KH. Samanhud, HOS Cokroaminoto, Danudirja Setiabudi, Si Singamangaradja XII dan Dr. GSSJ Ratulangie (pada bulan November) dan kemudian disusul tiga orang lagi pada bulan Desember yakni dan Dr Soetomo, KH Akhmad Dahlan dan KH Agus Salim

Tunggu deskripsi lengkapnya

Apakah Tidak Cukup Sebagai Pahlawan Daerah?

Pada masa ini setiap tahun, menjelang Hari Pahlawan, diumunkan nama-nama Pahlawan Nasional. Kesempatan yang luas untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional mulai diupayakan oleh Pemerintah Daerah untuk mengusulkan Pahlawan Nasional dari daerah masing-masing. Tampaknya setiap daerah memiliki Pahlawan Nasional menjadi suatu keharusan, karena dipandang suatu reputasi daerah. Daerah-daerah yang sudah memiliki Pahlawan Nasional tidak kalah semangat dengan daerah-daerah baru untuk menambah daftar Pahlawan Nasional,

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar