Sabtu, 13 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (231): Pahlawan Nasional Indonesia Asal Prov. Papua; Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen Indey

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Hingga saat ini ada tiga provinsi di Indonesia yang belum miliki pahlawan Indonesia bergelar Pahlawan Nasional yakni Sulawesi Tengah, Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Di provinsi Papua Barat adalah Pahlawan Nasional Machmud Singgirei Rumagesan sedangkan di provinsi Papua ada empat Pahlawan Nasional Johannes Abraham Dimara, Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen Indey. Yang menarik Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen Indey ditabalkan secara bersamaan (dengan SK yang sama, 1993)..

Mayor TNI Johannes Abraham Dimara lahir Korem, Biak Utara tanggal 16 April 1916. Saat ini nama Johannes Abraham Dimara diabadikan menjadi nama Pangkalan Udara TNI AU yang berada di Merauke (sejak 2018). Tamat pendidikan dasar di Ambon pada tahun 1930 dan mengikuti Sekolah Pertanian di Laha hingga tahun 1940. Ia kemudian masuk Sekolah Pedidikan Injil, dan setelah lulus ia menjadi seorang guru injil di Pulau Buru. Pada tahun 1946, ia ikut serta dalam Pengibaran Bendera Merah Putih di Namlea, pulau Buru. Ia turut memperjuangkan pengembalian wilayah Irian Barat ke tangan Republik Indonesia. Pada tahun 1950, ia diangkat menjadi Ketua OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat). Ia pun menjadi anggota TNI dan melakukan infiltrasi pada tahun 1954 yang menyebabkan ia ditangkap oleh tentara Kerajaan Belanda dan dibuang ke Digul, hingga akhhinya dibebaskan tahun 1960.

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional asal Papua Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen Indey? Seperti disebut di atas, masih ada satu lagi Pahlawan Nasional asal provinsi Papua yakni Johannes Abraham Dimara. Lalu bagaimana sejarah Pahlawan Nasional asal Papua Frans Kaisiepo, Silas Papare dan Marthen Indey? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan-Pahlawan Indonesia Asal Papua: Pahlawan Nasional Johannes Abraham Dimara

Sebelum dideskrispikan Silas Papare dkk, ada baiknya dideskripsikan nama Johannes Abraham Dimara. JA Dimara adalah pemimpin rakyat di pulau Biak. Pulau yang berada di teluk Cendrawasih. Pulau Biak sudah dikenal sejak era VOC, pulau tempat para pedagang Tidore melakukan transaksi perdagangan. Pulau Biak sudah terhubung sejak masa lampau dengan wilayah Maluku.

Batas-batas Hindia Belanda sudah sejak lama diselesaikan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Inggris di Bengkulu/Malaka, selat Singapura, kepulauan Natuna dan Borneo Utara; dengan Portugis di pulau Timor, dengan Amerika Serikat di laut Sulawesi; dengan Jerman di bagian tengah pulau Papua (berbatasan dengan Papua Nugini). Wilayah Hindia Belanda itulah yang secara konsep disebut Indonesia yang diperjuangkan oleh para revolusioner Indonesia sejak 1920an. Namun mulai menjadi persoalan ketika KMB di Den Haag, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia (27 Desember 1949) tetapi tidak menyerahkan wilayah Papua ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Bagi rakyat Indonesia perjuangan belum selesai, selain masalah Papua juga konsep RIS dipandang tidak sesuai UUD dan lalu RIS dibubarkan Agustus 1950 dan kembali ke (NK)RI. Presiden Soekarno yang sudah ikut berjuang sejak 1920an, tetap memprotes Kerajaan Belanda soal Papua dan selalu dikampanyekannya setiap kesempatan terutama pada rapat-rapat massa. Bahkan Soekarno mengancam Kerajaan Belanda harus mengembalikan Papua sebelum tanggal 1 Januari 1951. Oleh karena tidak digubris, maka yang terjadi adalah muncul di dalam negeri gerakan nasionalisasi, terutama aset-aset Kerajaan Belanda (dan tentu saja soal Papua)..

Pada tahun 1954 di Djakarta, tanggal 30 Juli sejumlah para pemimpin rakyat Irian mengadakan pertemuan (lihat De Volkskrant, 30-07-1954). Disebutkan tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar membawa isu Western New Guinea ke PBB jika Belanda terus menolak untuk menyerahkan wilayahnya kepada Republik Indonesia. Menurut pendapat para pemimpin rakyat Irian menginginkan suatu pemerintahan Indonesia atas Nugini Barat harus segera dibentuk, yang pada waktunya jika PBB telah menyerahkan wilayah itu kepada Republik Indonesia, harus mengambil alih tugas administrasi dari Belanda. Pembentukan pemerintahan daerah seperti itu merupakan keinginan rakyat Irian yang sudah lama tidak berhubungan dengan para pemimpin tersebut. Hasil rapat ditandatangani oleh Ketua Umum Gerakan Aksi Bersama untuk Pembebasan Irian Silas Papare yang diproyeksikan sebagai calon Gubernur Irian Barat Indonesia,

Penandatangan lainnya adalah J. Torey (atas nama 'masyarakat Manokwari), JA Dimara (atas nama masyarakat pulau Biak), S. Iba (atas nama 'rakyat Fak-Fak'), D. Nafi (atas nama atas nama rakyat Merauke), C. Roearoper (atas nama rakyat Numfoor), B. Wairo (atas nama rakyat Waropen), E. Kendewara (atas nama rakyat dari Babo), Radja Kokas Mohamad Rumagesang (atas nama rakyat Hollandia/Irianjaya) dan B. Mambar (atas nama rakyat Wandamen), ditambah beberapa pemimpin Irian. Para pemimpin masih relatif tenang dibandingkan dengan seruan perang yang sudah terdengar di Indonesia dan yang mendesak serangan bersenjata di bagian Belanda dari New Guinea. Bahkan Tuan Rondonoewo, ketua seksi luar negeri parlemen sementara Indonesia, membiarkan dirinya tergoda untuk menghasut perang dengan Belanda jika tidak menyerahkan Nugini Barat kepada Republik Indonesia dengan itikad baik.

Untuk menindaklanjuti perjuangan yang dipimpin oleh Silas Papare lalu dibentuk gugus tugas untuk tujuan infiltrasi dari wilayah Maluku ke wilayah daratan Papua. Unit semi-militer dibentuk yang menjadi bagian dari Resimen infanteri ke-25 yang tugas pertamanya melatih personel yang dapat berpartisipasi dalam infiltrasi terorganisir di Nugini Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 18-11-1954). Disebutkan komandan gugus tugas ini adalah Kapten Sapiah seorang Ambon. Komando ini langsung di bawah Komandan Resimen Infantri 25, Letnan Kolonel Sukawati. Letnan dua Johannes A Dimara yang memiliki beberapa guru adalah wakil komandan. Persenjataan, pakaian dan perawatan medis para siswa disediakan oleh resimen ke-25.

Disebutkan lebih dari 200 orang telah menyelesaikan pelatihan dan kemudian dipindahkan ke perawatan Subdistrik Militer Bintara. Dari sini kader pendukung, menunggu kemungkinan penempatan untuk operasi melawan Belanda New Guinea. Infiltrasi baru-baru ini telah disiapkan untuk beberapa waktu. Pada bulan September, orang-orang pertama yang berpartisipasi sudah dipindahkan ke Dobo dan Warilau di (di Kepulauan Aroe). Pada awal Oktober diikuti lebih banyak orang, sehingga gugus tugas akhirnya berjumlah 48 orang. Johannes A. Dimara telah ditunjuk sebagai komandan yang diperintahkan untuk mendarat di Teluk Kajoe Merah, masuk ke daratan Papua untuk perang gerilya, membuat propaganda untuk menghubungkan Nugini dengan Indonesia dan mencoba membujuk orang Papua untuk membentuk kelompok-kelompok tempur melawan Belanda. Persenjataan terdiri dari 1 bren, 1 sten, 2 owens, 2 mortir dan sekitar 30 senjata serta persediaan amunisi yang besar. Untuk pengangkutan rombongan dari Dobo ke Papua disewa kapal kayu Warnar bertiang dua dari Keyees. Selanjutnya, sebuah prahu besar sebagai perahu pendukung tersedia. Pada 21 Oktober pada pukul 07.00 sore hari, gugus tugas mendarat di dekat muara Omba, sebelah timur Teluk Etna. Pada sore hari itu, para penyusup menemukan sebuah sampan dengan tiga penumpang yang ditambatkan di pantai di awal Teluk Etna. HA van Krieken, yang tinggal di daerah itu karena sakit selama patroli administrasi. ditangkap oleh para penyusup dan diamankan oleh enam orang, dibawa bersama para prahu yang kembali ke wilayah Indonesia. Kelompok penyusup mendarat di Teluk Etna dan pindah ke hutan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pahlawan-Pahlawan Nasional: Silas Papare, Frans Kaisiepo dan Marthen Indey

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar