Jumat, 26 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (257): Pahlawan Nasional Haji Agus Salim di Batavia; Surat Kabar Hindia Baroe dan Sarikat Islam (SI)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pahlawan Nasional Haji Agus Salim adalah Pahlawan Indonesia yang telah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1961. Haji Agus Salim pernah menjadi menteri di beberapa kabinet termasuk sebagai Menteri Luar Negeri. Pada saat awal pergerakan nasional (Indonesia) 1920an, Agus Salim yang sudah haji sudah terbilang senior (usia sekitar 40 tahun). Namanya mulai dikenal luas ketika di surat kabar Hindia Baroe mengundurkan diri (dan kemudian digantikan tokoh muda Mohamad Tabrani).

H Agus Salim lahir dengan nama Masyhudul Haq (Koto Gadang 8 Oktober 1884 – Djakarta 4 November 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961. Pekerjaan yang ditekuni oleh Agus Salim adalah sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa (bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Prancis), 2 bahasa asing di Timur Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki) serta bahasa Jepang. Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda disana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang masih merupakan pamannya. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional Haji Agus Salim? Seperti disebut di atas, Haji Agus Salim pada saat di surat kabar Hindia Baroe sudah senior sekitar 40 tahun. Lalu pada saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada kabinet Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (1947) usianya sudah 63 tahun. Lalu bagaimana sejarah Hasji Agus Salim? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Foto: Agoes Salim (1907-1911)

Pahlawan Nasional Haji Agus Salim di Batavia: Surat Kabar Hindia Baroe

Surat kabar Neratja tamat. Namanya telah berubah menjadi surat kabar Hindia Baroe (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-05-1924). Disebutkan Bapak Hadji A. Salim menginformasikan kepada kami bahwa terhitung mulai hari ini beliau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Harian Hindia Baroe berbahasa Melayu yang berasal dari Neratja, sehingga tidak muncul lagi dengan nama tersebut

Surat kabar Neratja terbit pertama pada tahun 1917 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-05-1917). Disebutkan surat kabar yang akan terbit bulan depan diterbitkan oleh perusahaan yang baru dibentuk NV Uitgevers Maatschappö Evolutie. Dewan redaksi akan terdiri dari Hadji A. Salim, Raden Djojosoediro dan A. M. Soetan Djenawi. Seorang jurnalis pribumi juga akan diundang sebagai pemimpin redaksi yang bertanggung jawab. Namanya tidak akan dipublikasikan sampai nanti. Kami menyadari, lanjut Evolutie, bahwa ada banyak di antara masyarakat Eropa yang berwatak baik terhadap pribumi dan mengikuti dengan minat kebangkitan masyarakat pribumi. NV bermaksud untuk menerbitkan, sesegera mungkin, majalah nerbahasa Belanda. Terbitan pertama surat kabar Neratja di Batavia (lihat.De nieuwe vorstenlanden, 21-06-1917).

Riwayat Hadji Agoes Salim kali pertama ditulis oleh seseorang dari Padang yang dikirim dan dimuat suratt kabar Java Bode dengan judul ‘Een inlander-genaturaliseerd Nederlander-hadji’ yang dilansir surat kabar De nieuwe vorstenlanden, 29-08-1912. Dalam hal ini Hadji Agoes Salim sebelum berangkat ke Jeddah dan menunaikan haji sudah dinaturalisasi sebagai warga Belanda.

Een inlander-genaturaliseerd Nederlander-hadji. Dari Padang seseorang menulis kepada Java bode: ‘Beberapa tahun yang lalu seorang anak laki-laki dari Kota Gadang (Sumatra;s Westkust) bernama Agoes Salim pergi ke Jeddah sebagai drogman. Ia adalah putra seorang pensiunan djaksa [Soetan Mohamad Salim], saudara perempuan Melayu dewasa pertama, yang dengan sedih berani membuat dirinya ‘mooi’ dengan topi wanita Eropa, semacam topi taman dari pertengahan abad yang lalu. Anak laki-laki itu dinaturalisasi bersama saudara-saudaranya. Sekarang dia telah kembali ke kampongnya sebagai 'toean’', berpakaian seperti orang Eropa atau lebih tepat seperti orang Jepang atau Cina, mengenakan jas dan dengan topi. Pakaian yang membuat kita kehilangan semua jejak dari hari ini bagi kita orang Eropa ketika dinilai dengan penilaian penduduk asli. Dia baru saja kembali ke kota asalnya ketika membuka kesempatan untuk pernikahan mewah, masalah itu disiapkan dalam beberapa hari. Namun, Toean Agoss Salim tidak menikah. Nama itu sempat tercoreng saat ini, seorang haji bersorban agung berjalan dengan udara berat di jalan Kota Gadang, mendengarkan nama Haji Salim. Itu sudah melenceng dari maksud dan kegunaan pesan di atas. Haruskah budaya dan pengetahuan disertai dengan penghinaan terhadap agama para ayah? Atau apakah penulis kadang-kadang berpendapat bahwa seorang Muslim ortodoks tidak dapat memperoleh peradaban dan ilmu pengetahuan Barat? Agoes Salim, seorang Islam menghabiskan beberapa tahun di tanah suci, berziarah disana, yang memberinya hak untuk mengenakan pakaian haji, dan kembali ke tempat kelahirannya di pedalaman Sumatera, pada pada hari pernikahannya dia memakai jubah yang bagus ini. Tidak dapat dipahami bagi kita apa hubungannya dengan peradaban dan naturalisasi sebagai orang Belanda dan itu tidak membuktikan penghormatan yang diperlukan bagi para pembangkang, demi dengan cara Haji Agus Salim dengan cara yang tidak masuk akal. Apa bedanya dengan haji pakean? Dr Snouck juga berjalan dengan pakaian serupa dan menyebut dirinya mufti, yang menjadi haknya, seperti orang Belanda yang dinaturalisasi ini ke haji’. Apakah ini sekarang: Pemuda Hindia di depan?

Agus Salim di kampongnya telah menjadi pembicaraan sebagai pemuda yang sangat menarik. Seorang pemuda yang sudah dinaturalisasi, dengan gelar haji tetapi dengan pakaian ala Eropa yang membuat warga kebingungan. Tentu saja hal itu tidak terlalu membingungkan jika itu berada di Batavia. Agus Salim dari kampong hijrah ke Batavia. Ayahnya Soetan Mohamad Salim mantan djaksa Tandjoeng Pinang dan kini sebagai anggota Landraad di Batavia (lihat Deli courant, 01-12-1914).

Semua anak-anak Soetan Mohamad Salim di Koto Gadang sudah dinaturalisasi. Adik Agoes Salim Siti Danilah Salim setelah lulus MULO mengikuti cursus apoteker dan bekerja sebagai apoteker. Adiknya yang lain adalah Siti Nuroen Nahar, istri dokter pribumi AQ Zakir. Juga adik dari Agoes Salim, mantan sekretaris Konsul Belanda di Jeddah. Proses naturalisasi ini sebenarnya lazim kala itu dan banyak penduduk pribumi terpelajar yang dinaturalisasi di berbagai tempat. Sejak pernikahan Agoes Salim di Koto Gadang (1912) sepulang dari Jeddah, besar dugaan Haji Agoes Salim tinggal di Batavia. Dengan pendidikan dan gelar serta kehormatan orang tua, di Batavia Agoes Salim tidak akan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Seperti dikutip di atas, pada bulan Mei 1917 Agoes Salim adalah salah satu redaktur surat kabar yang baru diditerbitkan, Neratja (lihat kembali Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-05-1917). Sejak kapan Agus Salim dan saudara0saduranya dinaturalisasi tidak diketahui secara pasti. Yang jelas disebutkan sejak 1912 sudah dinaturalisasi. Label naturalisasi ini kerap disebutkan yang dialamatkan kepada Hadji Agoes Salim (lihat misalnya Deli courant, 18-11-1920).

Ketika ada rapat umum SI di Batavia pada bulan Juni 1917, Agoes Salim meminta berbicara. Di podium, Agoes Salim memberi reaksi terhadap marteri yang disampaikan oleh tokoh utama SI, Tjokroaminoto, Dalam hal ini, Agoes Salim sudah menjadi seorang jurnalis *salah satu anggota redaksi).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-06-1917: ‘Pertemuan SI. Kemarin di kota bawah di Sirene Park dimana Sariket Islam mengadakan rapat umum. Sekitar 1.500 orang telah berkumpul disana, bapak Tjokroaminoto adalah orator yang ulung. Setelah pidato Tjokroaminoto, seorang bernama Agoes Salim, yang tampaknya mengerti banyak dari apa yang dibicarakan, meminta untuk berbicara,  ternyata dia sangat minim informasi tentang politik kota’

Ketika ada rapat umum SI di Batavia, saat itulah Agoes Salim diduga kali pertama bersenruhan dengan orang-oranf SI. Sarikat Islam saat itu termasuk salah satu organisasi kebangsaan (agama) yang cikal bakalnya dimulai sejak 1905. Lantas apakah Agoes Salim, seorang intelek dan bergelar haji tertarik dengan SI?

Pada tahun 1919 nama Agoes Salim termasuk yang diperhitungkan di Batavia (lihat Sumatra-bode, 31-03-1919). Disebutkan Revisi administrasi Belanda-India di bawah kepemimpinan Profesor Carl Pentier Alting, seorang anggota Dewan Hindia, sebuah komite telah dibentuk untuk meninjau administrasi negara. Untuk tujuan itu dan mengisi komite tersebut beberapa sarjana hukum Eropa dilibatkan dan sejumlah orang pribumi berpendidikan di Batavia disertakan diantaranya Hadji Agoes Salim. Dalam hal ini Agoes Salim yang menjadi redaktur di surat kabar Neratja mulai dianggap penting.

Dalam perkembanganya diketahui telah menjadi bagian dari pengurus sarikat karyawan pegadaian (PPPB). Sebagaimana diketahui cabang-cabang pegadaian (terutama di Jawa( sudah sangat banyak didirikan di berbagai kota. Dalam kapasitas sebagai pimpinan sarikat pekerja pegadaian (di Djogjakarta) Agoes Salim kemudian diketahui telah menjadi anggota dewan pusat (Volksraad) di Batavia. Tentu saja saat itu pengangkatan Agoes Salim sebagai anggota Volkksraad sebagai penunjukan oleh pemerintah (belum ada sistem pemilihan). Penunjukan itu diduga atas portofolionya di sarikat pekerja pegadaian. Namun semua itu tidak lama dan harus berakhir.

Deli courant, 14-06-1921: ‘Menurut berita, haji Agoes Salim, tokoh 'gerakan' dan Volksraadslid, telah dipecat sebagai ketua serikat pegadaian Inlandschen. Orang-orang tidak puas dengan penampilannya seperti itu. Abdoel Moeis telah ditunjuk menggantikannya, yang akan menetap di Djokja sehubungan dengan hal ini. Menurut majalah itu, dia mulai menyentuh… Anda dapat menebaknya, pembaca… dengan uang muka 750 gulden.

Saat itu, pegadaian dan perkeretaapian adalah sarana dan prasasarana pemerintah yang terbilang vital yang terkait dengan perekonomian. Dua jawatan pemerintah ini melibatkan banyak penduduk lokal sebagai pekerja (karena itu terdapat dua organisasi pekerja yang anggotanya sangat banyak). Di dua jawatan ini ancaman pemogokan adalah momok yang ditakutkan oleh pemerintah. Dengan kata lain di dua jawatan ini soal politik sangat kental. Sementara itu permsalahan di seputar pegadaian (termasuk sarikat yang terkait) tidak segera dapat diselesaikan. Proses yang terjadi berlaut-larut (lihat De Preanger-bode, 30-03-1922). Pada fase ini Hadji Agoes Salim telah memindahkan keluarganya dari Djogjakarta ke Bandoeng.

Besar dugaan Agoes Salim telah benar-benar keluar dari lingkingan pegadaian. Agoes Salim diketahui telah bekerjasama dengan seorang Arab di Batavia dalam bidang media. Pebisnis Arab itu memiliki percetakan (lihat De Indische courant, 23-02-1923). Disebutkan pengusaha Arab-Tunisia itu telah menerbitkan majalah Boroboedur. Namun majalah itu tidak berjalan baik, tetapi percetakannya sekarang, bersama dengan pemimpin rakyat terkenal Hadji Agus Salim, menerbitkan majalah berbahasa Melayu yang terlihat sangat bagus. Dalam hal Haji Agoes Salim kembali ke pekerjaan awal sebagai jurnalis Namun tidak diketahui kelanjutan kerjasama ini. Yang jelas diberitakan kini Hadji Agoes Salim tinggal di Rangkas Bitoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-06-1923). Disebutkan Hadji Agoes Sallm telah menetap di Rangkas Bitoeng untuk melakukan dakwah untuk SI di Jawa Barat dari sana. Dalam hal ini selepas masalah di Bandoeng, Hadji Agoes Salim menjadi bagian dari SI. Catatan: Antara Batavia dan Rangkas Bitoeng sudah sejak lama terbentuk jalur kereta api reguler (seperti halnya Batavia-Buitenzorg).

Dalam tempo singkat, tampaknya, Hadji Agoes Salim telah diperhitungkan di Sarikat Islam, tidak hanya di Jawa tetapi juga yang paling aktif dan bersemangat soal Pan-Islam (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-11-1923). Disebutkan diantara para propagandis Pan-Islam di Hindia, H. Agus Salim tidak diragukan lagi adalah yang paling aktif dan bersemangat, dan orang akan bijaksana untuk tidak menghilangkan tindakannya dari perhatian yang layak mereka dapatkan. Dia telah memberikan bentuk dan arah pada keinginan pan-Islam pada beberapa kesempatan, dan tidak hanya pada kongres SI di Madloen dan Cheribon, dan dia adalah pejuang utama untuk memperkuat persatuan diantara orang-orang Islam di Jawa. Disebutkan soal isu Pan-Islam ini sudah muncul pada Kongres SI di Bandoeng pada tahun 1916. Sebagaimana komunis berpusat di Moscow. Pan-Islam berpusat di Angora (Turki). Dalam hal ini Hadji Agoes Salim kembali ke medianya yang lama (Neratja).

Di satu sisi, Hadji Agoes Salim telah menjadi salah satu tokoh SI dan anggota yang paling aktif soal Pan-Islam, di sisi lain, yang (pernah) menjadi anggota Volksraad dan juga aktif di bidang media. Agoes Salim kembali ke medianya yang lama Neratja, tetapi dengan nama baru Hindia Baroe (seperti dikutip di atas, lihat kembali Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-05-1924). Disebutkan Bapak Hadji A. Salim menginformasikan kepada kami bahwa terhitung mulai hari ini beliau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Harian Hindia Baroe berbahasa Melayu yang berasal dari Neratja, sehingga tidak muncul lagi dengan nama tersebut’.

Setelah kembali ke surat kabar Neratja dengan nama baru Hindia Baroe (1924), tentulah portofolionya meningkat lagi di ruang publik. Dalam perkembangannya, diketahui bahwa seorang revoluioner muda Tabrani menjadi salah satu anggota redaksi surat kabar yang terbit di Batavia dimana sudah ada Hadji Agoes Salim, Hindia Baroe (lihat De Indische courant, 20-07-1925).

Disebutkan redacteur van de Hindia Baroe yang sebelumnya mengundurkan diri St. Palindih telah digantikan oleh M Tabrani Soerjo Witjitro. Tabrani sendiri adalah lulus OSVIA Bandoeng, tetapi jurnalisme lebih menarik baginya daripada posisi pejabat pemerintah. Dia adalah orang Madura sejak lahir dan seorang tokoh terkemuka dalam gerakan Jong Java. Sementara itu jurnalis Parada Harahap (pemimpin dan sekaligus ketua redaksi surat kabar Bintang Hindia) mulai mendapat serangan dari orang-orang Belanda (tulen) yang tidak menginginkan gerakan Parada Harahap (gerakan persatuan yang memisahkan Belanda tulen ‘disana’ dan Indo sebagai bagian ‘disini’. Namun serangan pers Belanda itu dilayani oleh Parada Harahap dengan cerdas.

Tampaknya Hadji Agoes Salim mulai tidak nyaman di surat kabar Hindia Baroe. Boleh jadi itu setelah masuknya tokoh muda yang revolusioner seperti Parada Harahap yakni Mohamad Tabrani. Akhirnya Hadji Agoes Salim mengundurkan diri dari Hindia Baroe (lihat De locomotief,  05-01-1926). Disebutkan di surat kabar Hindia Baroe mulai Sabtu yang lalu, kami menemukan kata perpisahan dari haji Agoes Salim, yang dengan demikian mengundurkan diri dari kepemimpinan majalah. Apa yang dia katakan bermuara pada fakta bahwa alasan mengundurkan diri karena dia ingin melihat perjuangan kemerdekaan Indonesia dipandu di jalan Islam yang menurutnya tidak bisa dilakukan di surat kabar seperti Hindia Baroe, tidak berdasarkan agama, Anda mendukung agama Islam, memajukan umat melalui agama dan pengetahuan agama tidak mungkin dalam kondisi seperti itu.

Disebutkan lebih lanjut, kepemimpinan sekarang telah berlalu untuk sementara waktu di tangan Tabrani, yang dalam kata pengantar mengatakan seperti ini: ‘Arah majalah ini sekarang adalah Indonesia, yang cita-citanya akan lebih dikedepankan dari sekarang. Jika arah ini diikuti, kepemimpinan baru berharap bahwa majalah tersebut akan menjadi pendukung besar bagi perkembangan senyum Indonesia Raya. Apa pentingnya program ini? Dia mengatakan bahwa jelas bahwa ide Indonesia Raya sedang berkembang diantara para pemimpin pribumi. Kita mengingat kembali apa yang telah terjadi dalam waktu singkat’.

Antara Hadji Agoes Salim dan Mohamad Tabrani di surat kabar Hindia Baroe sesungguhnya salah satu representasi situasi dan kondisi politik saat itu di kalangan pribumi. Hadji Agoes Salim dari sisi luar bantuan asing (Pan-Islam) melihat Indonesia, sementara Mohamad Tabrani melihat Indonesia dari sisi dalam kekuatan sendiri (Indonesia Raya). Pertarungan antara nasionalis dan Pan-Islam tampaknya mulai terasa.

Sebelumnya di Bandoeng WR Soepratman telah tergusur sebagai pemimpin redaksi surat kabar Kaoem Kita dengan masuknya (kembali) Abdoel Moeis (SI). Sejak itu WR Soepratman bergabung dengan grup media Parada Harahap di Batavia yang diangkat sebagai pemimpin redaksi kantor berita Alpena (yang didirikan Parada Harahap di bawah NV Bintang Hindia). Dua Bandoeng (M Tabrani dan WR Soepratman) telah merapat ke Batavia yang memperkuat barisan jurnalis revolusioner Parada Harahap. Mohamad Tabrani di Hindia Baroe dan WR Soepratman di Alpena. Dalam situasi baru ini Parada Harahap menginisiasi pembentukan sarikat jurnalis (nasional) yang mana sebagai ketua ditunjuk Mohamad Tabrani (lihat Hindia Baroe edisi 2-7 Oktober 1925 yang dikutip Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no 41, 09-04-1925). Dalam sarikat jurnalis ini WR Soepratman sebagai sekretaris dan Parada Harahap duduk sebagai salah satu komisaris. Juga disebutkan serikat jurnalis juga telah dibentuk di Medan, sedangkan Parada Harahap akan melakukan propaganda untuk afiliasi di Sumatera.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Haji Agus Salim dan Sarikat Islam: Menteri Luar Negeri Kabinet Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (1947)

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar