Kamis, 24 Februari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (437): Pahlawan Indonesia - Dr Tarip Siregar Peneliti Terbaik Hindia Belanda; Kakek Dr Sangkot Marzuki

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Siapa Tarip Siregar? Hanya sejumlah pihak yang mengenal nama Tarip Siregar sebagai dokter hewan. Sejarah Tarip Siregar tampaknya kurang terinformasikan. Padahal Dr Tarip Siregar pernah mendapat perhatian Pemerintah Hindia Belanda sebagai peneliti terbaik. Dr Tarip Siregar, lulusan sekolah kedokteran hewan Veeartsenschool di Buitenzorg (kini Bogor) tahun 1914 berhasil memberantas penyakit cacing pita pada ternah kerbau. Prestasi ini diberikan beasiswa kepada Dr Tarip Siregar melanjutkan studi kedokteran hewan di Universiteit te Utrecht 1927.

Dr Tarip Siregar adalah dokter hewan terkenal pada era Hindia Belanda. Itu semua karena hasil kerja kerasnya di lapangan dalam menangani kesehatan ternak di berbagai daerah. Ibarat masa kini, Dr Tarip Siregar terkenal seperti Prof Dr Sangkot Marzuki yang terkenal (Direktur Lembaga Eijkman Jakarta). Kedua nama ini memang ada kaitan. Dr Tarip Siregar adalah kakek dari Prof Dr Sangkot Marzuki. Dr Tarip Siregar menikah dengan saudara perempuan (kakak) Sanoesi Pane, sastrawan terkenal era Hindia Belanda. Satu dokter hewan lagi yang juga terkenal pada era Hindia Belanda adalah Dr Anwar lulus dari Veeartsenschool Buitenzorg tahun 1930 yang berhasil menyusun pedoman pengawasan daging hewan untuk diterapkan di seluruh wilayah Hindia Belanda hingga ke desa-desa (lihat De Indische courant, 27-06-1941). Dr Anwar adalah ayah dari Prof Dr Andi Hakim Nasoetion (rektor IPB Bogor 1978-1987).. 

Lantas bagaimana sejarah Tarip Siregar? Seperti disebut di atas, Dr Tarip Siregar pernah diakui Pemerintah Hindia Belanda sebagai peneliti terbaik. Apakah prestasi ini telah menurun kepada cucunya Prof Dr Sangkot Marzuki? Like Grandfather Like Grandson. Lalu bagaimana sejarah Tarip Siregar? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia dan Dr Tarip Siregar: Lulusan Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg dan Utrecht

Pendidikan Tarip Siregar bermula sangat unik. Ketika masih duduk di kelas dua sekolah dasar pribumi di Sipirok tahun 1903, Tarip Siregar belajar bahasa Belanda secara otodidak. Setelah lulus Tarip Siregar mendaftar ujian masuk di sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Tampaknya kemampuan bahasa Belanda ini yang membuatnya lulus ujian dan diterima sebagai sekolah guru. Pada tahun 1909 Tarip Siregar lulus sekolah guru dan kemudian mengajar di sekolah pribumi di Sibolga. Namun baru setahun mengajar, pada tahun 1910 Tarip Siregar mendaftar di sekolah kedokteran Veeartsenschool  di Buitenzorg.

Pada tahun 1919 Tarip Siregar lulus ujian transisi di Veeartsenschool di Buitenzorg naik dari kelas satu ke kelas dua (lihat  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-08-1911). Hanya tujuh orang satu kelas. Salah satu teman satu kelasnya adalah Alimoesa Harahap. Pada kelas tertinggi naik ke kelas empat hanya satu orang yakni Sorip Tagor Harahap.

Pada tahun 1912 Tarip Siregar dan semua teman sekelas naik dari kelas dua ke kelas tiga (lihat  De Preanger-bode, 21-08-1912). Yang lulus ujian akhir pada tahun 1912 ini adalah Sorip Tagor Harahap. Sebelum kelulusan diumumkan ke publik, Sorip Tagor diberitakan telah diangkat sebagai asisten dosen di Veeartsenschool (lihat  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-08-1912).

Sekolah kedokteran hewan Veeartsenschool di Buitenzorg dibuka pada tahun 1907. Salah satu siswa angkatan pertama adalah Sorip Tagor Harahap. Siswa yang diterima adalah lulusan setara sekolah menengah pertama seperti lulusan sekolah guru (kweekschool). Lama studi empat tahun. Tampaknya Sorip Tagor selama studi pernah satu tahun menunda studi. Setahun menjadi asisten dosen, Sorip Tagor mengundurkan diri. Atas permintaan sendiri, pengunduran diri dikabulkan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Pada akhir tahun Sorip Tagor diketahui sudah berada di Belanda. Sorip Tagor melanjutkan studi, lulusan Veartsenschool Buitenzorg yang pertama melanjutkan studi ke Belanda. Berdasarkan buku Satu Abad Sekolah Kedokteran Hewan Belanda (Een eeuw veeartsenijkundig onderwijs, 1821-1921) Sorip Tagor dicatat angkatan 1913/1914. Sorip Tagor Harahap kelak dikenal sebagai kakek dari artis Risty Tagor.

Pada tahun 1914 Tarip Siregar lulus ujian akhir di sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg (lihat De Preanger-bode, 08-08-1914). Yang lulus bersama pada tahun 1914 ini adalah Ali Moesa Harahap, Tarip Siregar, Samil, Soedibio Hadikoesoemo dan Akil.

Ali Moesa Harahap ditempatkan sebagao dokter hewan pemerintah di Pematang Siantar. Sementara Tarip Siregar ditempatkan di Padang. Ali Moesa Harahap sempat pulang kampung sebelum berangkat ke Pematang Siantar. Ini terlihat pada kapal ss Mossel naik dari pelabuhan Sibolga tanggal 17 September 1914 dengan tujuan akhir Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-09-1914). Belum terhubung moda transportasi darat antara Sibolga dan Pematang Siantar, harus melalui Batavia ke Medan (laut) dan keretapi ke Pematang Siantar. Lantas mengapa tidak ada lulusan Veeartsenchool ditempatkan di Padang Sidempoean (kampung halaman Sorip Tagor, Ali Moesa dan Tarip Siregar)? Sudah ada Dr Badorang gelar Radja Proehoeman sejak 1905. Dr Badorang adalah alumni kursus kedokteran hewan di Buitenzorg, lulus tahun 1886, yang awalnya ditemapatkan di Pajakeoemboeh kemudian dipindahkan ke Padang Sidempoean, Dr Badorang adalah ayah dari Dr Sjoeib Proehoeman, lulusan STOVIA dan meraih gelar doktor (Ph.D) dalam bidang kedokteran di Leiden tahun 1929. Kelak Prof Sjoeib Proehoeman pada era pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai guru besar di fakultas kedokteran di Soerabaja (cikal bakal Univ. Airlangga). Sudah sepatutnya pada masa kini jika diadakan peringatan Satu Abad kelahiran Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor, lima perwakilan keluarga (keturunan) empat dokter hewan generasi pertama diundang: Dr Badorang gelar Radja Prohoemna (kelahiran Pakantan) dokter hewan pribumi pertama (lulus 1884); Dr Sorip Tagor Harahap (kelahiran Padang Sidempoean) dokter pribumi pertama meraih gelar dokter di Belanda (dokter setara Eropa); Dr Tarip Siregar (kelahiran Sipirok) dokter hewan pribumi pertama sebagai peneliti terbaik; Dr Alimoesa Harahap (kelahiran Padang Sidempoean) dokter hewan pertama yang menjadi anggota Volksraad (1927); dan tentu saja Dr Anwar Nasoetion (kelahiran Pidoli-Panjaboengan) ayah dari Prof Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987; sewaktu sama masih kulih di Bogor). Nama-nama dokter hewan tersebut dapat menjadi inspirasi dan pemacu semangat para Veteriner Muda.

Pada tahun 1915 Dr Tarip Siregar dipindahkan dari Padang ke Painan (lihat Sumatra-bode, 25-05-1915). Dr Tarip Siregar kembali ditempatkan di Padang. Dr Tarip Siregar kembali ditempatkan di Painan (lihat De Preanger-bode, 16-07-1918). Dr Tarip Siregar dipindahkan ke Fort de Kock. Pada tahun 1919 Dr Tarip kembali ke Padang (lihat De locomotief, 13-10-1919). Dalam perkembangannya dipindahkan ke Padang Sidempoean.

Pada tahun 1919 di Padang diadakan Kongres Jong Sumatrane (yang pertama). Ketua panitia adalah Mphamad Amir (mahasiswa STOVIA) yang mana sebagai pembina adalah Dr Abdoel Hakim Nasoetion, anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang. Abdoel Hakim Nasoetion juga adalaha ketua NIP Pantai Barat Sumatra, organisasi yang didirikan Dr Tjipto dkk tahun 1913 (Dr Tjipto adalah teman satu kelas Dr Abdoel Hakim Nasoetion di Docter Djawa School/STOVIA sama-sama lulus dokter tahun 1904). Delegasi dari Tapanoeli dipimpin oleh Parada Harahap pemimpin redaksi surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Sedangkan delegasi dari (kota) Padang dipimpin para penguru Jong Sumatranen Padang dengan bendahara Mohamad Hatta (masih sekolah MULO). Organisasi kebangasan Sumatra Sepakat didirikan pada bulan Janurari 1917 di Belanda dengan pengurus inti: Jketua Sorip Tagor Harahap, wakil ketua Dahlan Abdoellah, sekretaris-bendahara Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Lalu pada bulan Desember 1917 di Batavia didirikan organisasi pemuda Sumatra, Jong Sumatranen dengan ketua T Masjoer, wakil ketua Abdoel Moenir Nasoetion dan sekretaris-bendahara Mohamad Amir (ketiganya mahasiswa STOVIA). Setelah terbentuk cabang-cabang di berbagai tempat seperti di Padang, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan dan Palembang maka diselenggarakan kongres Jong Sumatranen yang pertama di Padang. Dalam Kongres Jong Sumatranen, Dr Tarip Siregar juga sebagai pembina kongres, Seetelah kongres Dr Tarip Siregar tampaknya akan pindah ke kota lain. Hal ini terlihat iklan Dr Tarip Siregar yang akan melakukan lelang barang perabotan di rumanya di kampong Nias pada tanga 6 Oktober (lihat  Sumatra-bode, 28-09-1920). Tidak lama kemudian diberitakan Dr Tarip Siregar dipindahkan dari kota Padang ke kota Padang Sidempoean (lihat  De Preanger-bode, 18-11-1920). Dr Tarip Siregar untuk kali pertama pulang kampong dalam urusan tugas. Pada tahun 1921 di kota Padang diadakan kembali Kongres Jong Sumatranen Bond yang kedua. Pimpinan delegasi Tapanoeli masih Parada Harahap. Mohamad Hatta juga hadir bertepatan dengan libur sekolah. Mohamad Hatta melanjutkan studi ke Batavia di HBS Prins Hendrik School.

Pada tahun 1922 di Padang diadakan Kongres Sumatra, kongres pertama yang diselnggarakan Persatoen Sumatar. Ini bermula sebelumnya di Padang diadakan pertemuan umum yang dipimpin oleh Dr Abdoel Karim Loebis (juga sama-sama lulus dengan Dr Tjipto dan Dr Abdoel Hakim 1905). Dalam kongres Sumatra (senior) ini diketuai oleh MH Manullang pemimpin surat kabar Hindia Sepakat di Sibolga (lihat De expres, 07-07-1922. Dalam kongres ini tampil para pembicara antara lain Dr Abdoel Rasjid Siregar, Dr Tarip Siregar dan Dr Abdoel Hakim Nasoetion serta Dr Marzuki. Dalam kongres ini juga dibacakan surat dari Douwes Dekker dari Tjibadak, Soekaboemi, Soewardi Soerjaningrat dari Jogja dan dari Dr Tjipto. Kongres Sumatra ini mengusung visi nasional (seperti halnya NIP yang bervisi nasional).

Dr Abdoel Hakim Nasoetion selain menjadi kepala dinas kesehatan juga masih anggota dewan kota Padang. Dr Tarip Siregar sebagai kepala jawatan kesehatan ternak di Tapanoeli. Dr Abdoel Rasjid Siregar sebagai kepala dinas kesehatan Tapanoeli. Dr Abdoel Rasjid Siregar lulusan STOVIA tahun 1918 adalah pendiri organisasi kebangsaan Bataksche Bond di Batavia pada tahun 1919. Kongres Sunmatra di Padang juga berpartisipasi Bataksche Bond. Jika mundur ke belakang, organisasi kebangsaan sudah didirikan pada tahun 1914 di Fort de Kock yang diinisiasi oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajanga, direktur Kweekschool Fort de Kock (yang pulang studi dari Belanda tahun 1913, pendiri Inidische Vereeniging di Belanda tahun 1908). Jika mundur ke belakang lagi, organisasi kebangsaan pertama di didirikan tahun 1900 (jauh sebelum Boedi Oetomo didirikan) yang diberi nama Medan Perdamaian yang diiinisiasi oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean). Dja Endar Moeda lulus tahun 1884, Soetan Casajangan lulus tahun 1887. Dr Abdoel Hakim Nasoetion dan Dr Abdoel Karim Lubis adalah lulusan sekolah dasar Eropa (ELS) di Padang Sidempoean tahun 1898 yang kemudian melanjutkan studi ke sekolah kedokteran di Batavia, Docter Djawa School/STOVIA. Dalam hal ini kota Padang adalah ibukota Province Pantai Barat Sumatra (terdiri dari tiga residentie: Res. Padangsche Benelanden, Res. Padangsche Bovenlanden dan Residentie Tapanoeli).

Setelah Kongres Sumatra, Dr Tarip Siregar diberitakan akan dipindahkan dari Padang Sidempoean ke Medan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-07-1922). Properti Dr Tarip Siregar masih ada di Padang, rumah yang disewakan (lihat Sumatra-bode, 14-08-1922). Dr Tarip Siregar tampaknya tidak lama di Medan (hanya untuk mengganti kekosongan sebelum dokter yang dipindahkan ke Jawa mendapat pengganti yang baru). Pada bulan September Dr Tarip Siregar sudah di Padang Sidempoean kembali, Ini dapat dilihat dari berita surat kabar De Sumatra post, 27-09-1922 yang menyatakan Dr Abdoel Rasjid Siregar dan Dr Tarip Siregar menginisiasi Studie Fond Tapanoeli dengan memusatkan kegiatan dalam Pasar Derma yang diadakan di Sipirok. Pengunjung berasal dari Sibolga, Taroetoeng, Padang Sidempoean dan Panjaboengan/Kotanopan.

Setelah menyelesaikan tugasnya yang terkait dengan penyakit cacing pita pada kerbau di Padang Lawas, pada tahun 1924 Dr Tarip Siregar dikirim ke Kandangan (di Afdeeling Oeloe Soengai, Zuid Oostkust van Borneo). Tugas utamanya adalah untuk mendesain sistem pengembangan kesehatan ternak sebagaimana Kandangan menjadi ibu kota baru pemerintahan. Dr Tarip tidak lama hanya sekitar satu tahun di Kandangan dan kemudian dipindahkan ke Lhok Sumawe Atjeh. Dr Tarip dengan kapal Marchior Treub berangkat dari Batavia ke Medan (lihat De Sumatra post, 14-08-1925). Di dalam manifest kapal Dr Tarip bersama istri dan tiga orang anak. Pada tahun 1927 terjadi wabah penyakit kelenjar hewan di Medan. Untuk menangani didatangkan dua dokter yang kompeten yakni Dr CJ Schroots di Soerakarta yang harus berdiskusi lebih dahulu dengan pusat di Buitenzorg dan Dr Tarip dari Lhok Soeawe (lihat Deli courant, 04-05-1927). Dalam tempo singkat dua dokter khusus kelenjar ini berhasil menangani wabah di Medan.

Atas prestasi Dr Tarip selama ini, termasuk penanganan penyakit cacing pita kerbau di Padang Lawas, mendesain program kerja dinas di Kandangan dan penanganan wabah di Medan baru-baru ini, Dr Tarip mendapat apresisasi dari pemerintah. Dr Tarip diberikan beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-07-1927). Disebutkan Dr Tarip untuk mengikuti pendidik di Rijks Universiteit te Utrecht paling tidak sudah harus berangkat pada bulan September 1927.

Dr Tarip berangkat dengan kapal ss Koningen der Nederlanden berangkat dari Batavia tanggal 24 Agustus dengan tujuan akhir Amsterdam dengan singgah di beberapa tempat seperti Belawan (lihat De locomotief, 23-08-1927). Dalam manifes kapal yang ratusan penumpang bernama Eropa/Belanda terdapat nama-nama pribumi seperti SP Abas, Aboezar, M Antariksa. Dr Tarip hanya sendiri. Besar kemungkinan Dr Tarip naik dari Belawan, dimana keluarga istri dan tiga anak tinggal di Medan.  

Sangat jarang dokter hewan pribumi mendapat kesempatan dengan beasiswa untuk studi lebih lanjut ke Belanda. Yang pertama adalah Dr Sorip Tagor, asisten dosen di Veeartsenschool di Buitenzorg pada tahun 1913 (sebelum Dr Tarip lulus). Dr Sorip Tagor menyelesaikan pendidikannya di Utrecht pada tahun 1920 dengan mendapat gelar dokter hewan penuh (setara dokter Eropa).

Seperti halnya Dr Tarip, Dr Sorip Tagor juga kelahiran Padang Sidempoean. Dr Sorip Tagor, pendiri dan ketua Sumatranen Bond di Belanda 1917, kembali ke tanah air pada tahun 1921 dan ditempatkan di Istana Gubernur Jenderal. Dr Sorip Tagor Harahap adalah dokterr hewan pribumi pertama studi ke Belanda dan mendapat gelar dokter setara Eropa. Dr Sorip Tagor adalah kakek buyut dari Inez/Risty Tagor. Pada tahun 1920 menyusul Dr JA Kaligis melanjutkan studi ke Belanda. Dr JA Kaligis sendiri adalah lulusan pertama Veeartsenschool te Buitenzorg (1911).

Dr Tarip tidak menemui kesulitan studi di Belanda. Oleh karena dokter hewan berpengalaman (sudah banyak melakukan studi lapangan), Dr Tarip tidak mengikuti program pendidikan di Belanda dari bawah (seperti yang harus ditempuh Dr Sorip Tagor). Tampaknya Dr Tarip Siregar cukup lancar dalam studi di tahun awal. Pada bulan September, Tarip Siregar lulus ujian doktoral pertama (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 29-09-1928). Disebutkan di Utrecht. Doctoraal examen eerste gedeelte veeartsenijkunde de heeren JO. Anderson. H Wellinga, V Favejee. Tarip en J. Pees.

Banyak peristiwa yang terjadi pada tahun 1928 ini. Pada tanggal 30 September 1928 diadakan Kongres PPPKI di Batavia. PPPKI adalah federasi organisasi kebangsaan yang digagas tahun 1927 oleh Parada Harahap, pimpinan NV Bintang Hindia dan pemimpin redakadi surat kabar Bintang Timoer. Pembentukan federasi ini di rumah Prof Husein Djajadiningrat, dekan fakultas hukum Batavia (RHS). Dalam pembentukan ini turut hadir Ir Soekarno (PNI Bandoeng) dan Dr Soetomo (Studieclub Soerabaja). Husein Djajadiningrat adalah sekretaris Indische Vereenging di Belanda tahun 1908 yang mana ketuanya Soetan Casajangan. Dalam pembentukan PPPKI secara aklamasi diangkat ketua MH Thamrin (Kaoem Betaw) dan sekretaris Parada Harahap (Sumantranen Bond). Program pertama adalah membangun kedung nasional di Gang Kenari dan mengadakan Kongres PPPKI tahun 1928. Ketua kongres ditunjuka Dr Soetomo dengan M Anwari sebagai sekretaris. Pada bulan Juli dibentuk federasi organisasi pemuda (PPPI) dimana sebagai ketua Soegondo (Jong Java cabang Batavia), sekretaris Mohamad Jamin (Jong Sumatranen Bond) dan bendahara Amir Sjarifoeddin Harahap (Jong Bataksch Bond). Ketiganya adalah mahasiswa fakultas hukum Batavia. Program pertama menyelenggarakan Kongres Pemuda pada bulan Oktober 1928. Pada tahun ini Ida Loemongga Nasoetion tengah mengikuti program doktoral setelah mendapat gelar dokter di Universiteit Utrecht tahun 1927 di Universiteit Amsterdam. Yang mengikuti program doktoral antara lain Dr Sjoeip Proehoeman (meraih gelar doktor tahun 1930( dan Dr Aminoedin Pohan (meraih gelar doktor tahun 1931). Ida Loemongga berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) pada bidang kedokteran di Uni Amsterdam pada tahun 1932 (doktor perempuan pribumi pertama).

Dr Tarip lulus ujian akhir dokter hewan tahun 1930. Kabar itu diterima setelah keluarga di Medan menerima telegram dari Utrecht yang kemudian diberitakan oleh surat kabar De Sumatra post, 07-10-1930: ‘Volgens eer alhier ontvangen telegram is de heer Tarip, destijds te Medan als Indisch veearts werkzaan, thans te Utrecht, geslaagd in het eind-examen aan de Veeartseuij Hoogeschool ald ar. De heer Tarip is afkomstig uit Tapanoeli.

Dr. Tarip kembali ke tanah air dengan kapal John van Onldenbarnevelt tanggal 2 Desember dari Amsterdam dengan tujuan akhir Batavia (lihat Deli courant, 27-12-1930). Dalam manifes kapal juga terdapat S Proehoeman dengan istri dan dua anak dan nona LHB Wattimena. Hanya itu nama-nama pribumi dari ratusan nama-nama Eropa/Belanda. Lalu setelah tiba di tanah air, Dr Tarip ditempatkan di Burgerlijken Veeartsenijkundigen Dienst di Sibolga (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 08-01-1931). Atas permintaannya sendiri untuk ditempatkan di tanah kelahirannya di Padang Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Dr Tarip Siregar diangkat menjadi kepala dinas di Residentie Tapanoeli yang berkedudukan di Padang Sidempoean. Untuk menjabat kepala dinas di Residentie persyaratannya adalah harus lulusan Eropa. Pada tahun dimana Dr Tarip sebagai kepala dinas di Residentie Tapanoeli, Dr Sorip Tagor menjadi kepala dinas regional di Provinice West Java di Bandoeng. Sementara itu teman sekampongnya Dr Alimoesa Harahap yang sama-sama lulus dari Veeartsenschool di Buitenzorg tahun 1914 sebagai kepala dinas di Siantar (Afdeeling Simanloengoen en Karo). Pada tahun 1927 Dr Alimoesa terpilih menjadi anggota Volksraad dari dapil Residentie Tapanoeli (hanya satu wakil per provinsi/residentie. Yang terpilih dari dapil province Oostkust Sumatra adalah Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon (juga kelahiran afdeeling Padang Sidempoean). Mangaradja Soeangkoepon studi ke Belanda tahun 1910.

Program pertama Dr Tarip dari Padang Sidempoean adalah merintis cabang di Balige (Residentie Tapanoeli). Tugas ini mirip yang dilakukan oleh Dr Tarip pada tahun 1924 di Kandangan (afdeeeling Oeloe Soengei, Residentie Zuid en Oostkust van Borneo). Ruang lingkup tugas Dr Tarip juga hingga ke (pulau) Nias (Residentie Tapanoeli). Pada bulan Oktober 1931 Dr Tarip Siregar selesai di Balige yang kemudian diisi oleh Dr WC Ph Meijer yang dipindahkan dari Bandoeng (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 06-10-1931).  

Dr. Tarip adalah peneliti terbaik di bidang kesehatan hewan. Ini bermula pada saat Dr Tarip dipindahkan ke Padang Sidempoean pada tahun 1920. Dr Tarip dalam melakukan tugasnya ke Padang Lawas, melakukan penelitian dan hasilnya dipublikasikan.

Hasil penemuannya adalah metode membasmi cacing pita pada kerbau. Sejak inilah nama Dr Tarip harum manis di pusat yang menyebabkan dirinya ditunjuk untuk merintis cabang-cabang baru seperti di Kandangan dan Lhok oemawe hingga mendapat beasiswa studi lebih lanjut ke Belanda. Kini, Dr Tarip di Padang Sidempoean tengah merinstis cabang baru di Taroetoeng.

Hobi Dr. Tarip adalah bermain tennis. Ketika lapangan tennis yang baru dibangun di Padang Sidempuan di Hendrikstraat yang dibuka pada tanggal 30 Oktober 1932, hadir antara lain Dr. Rashid, Dr. Tarip, Mr. Delmaar dan Dr. Pohan (lihat De Sumatra post, 03-11-1932). Lapangan tennis itu kini disebut lapangan ternis Garuda di depan gedung Nasional, sebelah utara bioskop Presiden. Catatan: Dr. Abdoel Rasjid Siregar adalah Kepala Dinas Kesehatan Zuid Tapanoeli, Dr. Aminoedin Pohan (Direktur Rumah Sakit Padang Sidempuan). Dr Aminoedin Pohan adalah lulusan STOVIA dan kemudian melanjutkan studi ke Belanda. Seetelah mendapat gelar dokter, Aminoedin Pohan melanjutkan studi ke tingkat doktoral dan berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran tahun 1931. Sepulang dari Belanda Dr Aminoedin Pohan diangkat sebagai direktur rumah sakit yang baru dibuka di Padang Sidempoean. Yang menjadi kepala dinas kesehatan Regional Tapanoeli di Sibolga adalah Dr Sjoeib Proehoeman sejak 1931 (lihat De Indische courant, 05-02-1931). Dr Soeib Proehoeman (kelahiran anak dari Dr Badorang dari Pakantan, Mandailing), seperti Dr Aminoedin Pohan, yang melanjutkan studi ke Belanda dan kemudian berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) dalam bidang kedokteran pada tahun 1930.  Catatan: Dr Sorip Tagor juga pernah ditempatkan di Padang Sidempoean.  

Pada tahun 1933 pemetaan adat Tapanoeli dilakukan dimana suatu komite telah dibentuk di Padang Sidempoean yang mana salah satu anggotanya adalah Dr Tarip Siregar (lihat Deli courant, 02-01-1933).

Disebutkan survei adat di Tapanoeli. Baru ru-baru ini kami memberitakan rencana survei adat di Tapanoeli, yang untuk itu dibentuk beberapa komite. Menurut koresponden kami di Padang Sidimpoean, pelantikan Komisi Adat Tapanoeli Selatan secara resmi telah berlangsung beberapa hari ini. Pada kesempatan ini, tanggal 28 Desember sekitar tiga ratus orang tertarik dengan pembangunan komunitas hal itu yang diadakan di gedung De Poenix  di P. Sidempoean. Beberapa pidato diadakan. Demikian dikatakan berturut-turut Kepala Kuria Losoeng Batu, Residen Tapanoeli, Kepala Kuna Maga, Padanglawas dan Aek Nangali, Bapak Soripada Moelia, anggota dari Adat-Commission dan Dr Abd. Rasyid. Pelantikannya menampilkan beberapa penggunaan adat antara lain, Residen ditawari kerbau yang dibungkus kain warna kuning dan kain Batak. Di atas kami berikan foto anggota Komisi Adat Tapanoeli Selatan, yang mana terdapat: 1. Resident Tapanoeli; 2. Dr. Abd. Rasyid; 3. Asisten Resident Tapanoeli; 4. Controeleur Mandailing; 5. de hulp gezaghebbér; 6 dan 7, dua demang; 8; Soripada Moelia; 9. Controleur Angkola en Sipirok;10. Dr. Tarip; 11. Kepala Koeria Sipirok.

Dr. Tarip sangat terkenal di Tarutung. Demikian juga di Nias. Dr. Tarip telah melakukan penelitian dan telah menyelamatkan populasi babi di Nias dari penyakit. Ternak babi di Taroetoeng dan Nias telah dijamin oleh Dr. Tarip dan dipasarkan ke Medan dan sebagian ke Singapoera (lihat De Sumatra post, 28-12-1934). Setelah tempo hari sukses membebaskan cacing pita pada ternak di Padang Lawas, kini Dr Tarip kembali sukses membebaskan trichinae dari ternak babi di Nias dan Tapanoeli Utara (penyelidikan yang telah dilakukannya selama dua tahun).

Dr Tarip Siregar kembali sibuk dengan laporan penyakit surra pada sapi di Mandailing. Dr Tarip Siregar dengan seorang mantri segera ke Mandailing dari Taroetoeng untuk membasmi penyakit yang mengkhawatirkan penduduk di Mandailing. Dengan penyuntikan kepada ternak yang terkena surra akhirnya penyebaran penyakit lebih lanjut dapat dicegah (lihat De Sumatra post, 23-02-1935). Dokter hewan kelas 1 di Hindia Belanda berada di tempat yang tepat.

Nama Tarip tampaknya cukup banyak digunakan di Tapanoeli Selatan. Tarip Abdoellah Harahap studi di Tevhnische Hoogeschool di Bandoeng. Pada tahun 1935 Tarip Abdoellah lulus ujian transisi naik dari kelas stu ke kelas dua (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-06-1935).  Tidak ditemukan dimana Tarip Abdoellah menyelesaikan sekolah menengah atas (AMS). Yang jelas AMS saat ini belum ada di Sumatra. Tarip Abdoellah lulus ujian MULO di Fort de Kock tahun 1930 (lihat  Sumatra-bode, 12-05-1930). Sekolah MULO belum ada di Tapanoeli, hanya ada di Medan, Padang dan Fort de Kock. MULO di Padang Sidempoean baru dibukan pada tahun 1934.

Nama Tarip juga telah digunakan putri Dr Tarip Siregar di belakang namanya, Chairani Tarip (lihat  Deli courant, 28-06-1935). Disebutkan di Neutrale Medansche Vakschool voor Meisjes (masa kini disebut SKKP, sekolah kejuruan) dilakukan ujian akhir Pagi ini hasil ujian akhir diumumkan empat dari enam kandidat lulus ujian akhir. Seorang kandidat telah ditolak, yang kedua harus duduk kembali untuk mata pelajaran teoretis. Adapun nama-nama lulusan ujian akhir yang mendapatkan diploma adalah: Hawa Loebis, Nettie Noack, Rekin Tampoebolon dan Chairani Tarip. Sepengetahuan kami, minat pada tahun baru jauh melebihi semua tahun-tahun sebelumnya. Tidak kurang dari 57 aplikasi telah diterima, sementara empat belas siswa baru telah terdaftar. Catatan: seperti disebut di atas, Chairani Tarip adalah ibu dari Prof Sangkot Marzuki.

Dr Tarip Siregar kembali sukse di Tapanoeli di pulau Samosir. Hal ini bermula ketika permintaan kambing meningkat sehubungan dengan meningkatkatnya penganut agama Islam di Toba. Sementara penduduk yang beragama Kristen tidak makan kambing (tentu saja ada babi). Kambing-kambing yang berasal dari sentaranya di Samosir kecil-kecil. Lalu Dr Tarip Siregar melakukan pembiakan dengan mengintroduksi kambing Bengal dengan kambing lokal (lihat De Sumatra post, 01-08-1935). Tampaknya berhasil. Saat itu belum ada sarjana peternakan. Dalam hal ini dokter hewan menjadi merangkap sebagai ahli peternakan. Dr Tarip Siregar mampu menjalankannya.

Berita adanya penyakit mulut pada kuda telah merebak di Hoetaimbaroe dan di Sigalangan. Dokter hewan di Padang Sidempoean Dr Tarip Siregar segera melakukan penyelidikan ke lapangan di dua wilayah kuria tersebut  (lihat Deli courant, 04-05-1936). Belum diketahui hasilnya.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dr Tarip Siregar Peneliti Terbaik Era Hindia Belanda: Kakek Prof Dr Sangkot Marzuki

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar