Senin, 30 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (622): Ras Rasial dan Rasialisme Sejak Era Hindia Belanda; Suku Agama Ras Antar Golongan (SARA)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Praktek rasial itu tetap hidup sepanjang masa bahkan hingga ini hari. Di satu sisi makna rasial terus bergeser di sisi lain para pendukung anti rasis telah berhasil menekan jumlah orang-orang rasis. Praktek rasial mengemukan sejak kehadiran orang Eropa di Hindia. Praktek rasial ini melekat lekat pada orang Belanda (agak berbeda dengan orang Portugis). Kerjasama orang Belanda dengan semua kerajaan/kesultanan penyakit menular ini berjangkit diantara orang kraton. Lalu muncul gerakan anti rasial. Orang-orang Belanda melawan perbudakan (praktek rasial diantara penduduk) tetapi orang Belanda masih membedakan dirinya dengan orang pribumi dalam berbagai aspek.

Rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau pertimbangan rasial. Kadang istilah ini merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme. Penganut paham rasialisme, yang sering disebut rasialis, sering mengutip karya akademik kontroversial seperti Race, Evolution and Behavior karya J. Philippe Rushton, IQ and the Wealth of Nations karya Richard Lynn, serta The Bell Curve karya R.J. Herrnstein dan Charles Murray. Jika istilah rasisme umumnya merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud buruk, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasi-konotasi tersebut. Para rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi rasial. Organisasi seperti NAAWP (National Association for the Advancement of White People) di Amerika Serikat, berkeras mengenai perbedaan tersebut, dan mengklaim bahwa mereka justru menentang segala bentuk rasisme. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah ras, rasial dan rasialisme di Indonesia sejak era Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, praktek rasial itu tetap eksis dalam kadar yang berbeda-beda hingga ini hari. Lalu bagaimana sejarah ras, rasial dan rasialisme di Indonesia sejak era Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Ras, Rasial dan Rasialisme Sejak Era Hindia Belanda: Belanda versis Pribumi

Bukti pertama orang-orang Belanda sangat rasial di Indonesia (baca: Hindia) sejak era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda, penyebutan dengan terminologi ‘zoo’ dalam tulisan-tulisan yang dibuat orang Eropa/Belanda untuk menyatakan wilayah (kawasan) penduduk. Arti kata ‘zoo’ hingga sekaran tetap sebagai kebun binatang. Dalam konteks rasial sejak akhir era VOC hingga permulaan Pemerintah Hindia Belanda arti zoo dalam hubungannya kawasan/wilayah penduduk disebut ‘kebun binatang’. Dalam hal ini setiap yang bernyawa di atas lahan, binatang dan manusia disamaratakan sebagai hewan di kawasan ‘zoo’.

Pada wilayah yang telah diakusisi oleh pemerintah VOC dari pemimpin lokal (kerajaan-kerajaan, seperti Kerajaan Mataram), pemerintah VOC untuk menambah keuangan, menjual lahan-lahan tertentu (biasanya subur dan berpengairan baik) kepada pihak swasta yang dijadikan sebagai landrein (tanah partikelir). Pada lahan-lahan yang subur ini secara turun temurun, mungkin sejak zaman kuno terdapat/berdiam penduduk dengan kehidupannya, bertani dan berburu, telah beralih penguasaan dari wilayah tadisi (kerajaan-kerajaan) menjadi penguasan komersil dengan kehadiran para tuan tanah. Dalam peraturan hukum VOC (ordonasi) semua apa yang terdapat di dalam tanah dan di atas tanah adalah milik tuan tanah. Seperti halnya pemerintah (VOC), para tuan tanah menguasai bagaikan negara. Oleh karena itu tanah-tanah partikel pada dasarnya adalah negara (landrein) dalam negara (VOC). Penduduk dijadikan oleh para tuan tanah sebagai pekerja rodi dan lahan yang diusahakan penduduk dipungut pajak. Dalam konteks inilah di lahan-lahan partikel juga disebut zoo. Apakah praktek pemerintah VOC dan para tuan tanah sama dengan praktek di kerajaan-kerajaan? Tentu saja idem dito, bukan? Tentu saja dalam konsep bernegara masa kini (RI) tidak seperti itu lagi, kita hanya sebatas membayar berbagai retribusi dan pajak saja (tidak ada lagi rodi atau kerja paksa).  

Mengapa praktek rasial orang-orang Eropa./Belanda muncul di tanah jajahan (kolini)? Hal itu karena di Eropa sendiri masih berlaku praktek rasial meski praktek perbudakan telah lama ditentang. Para aktvis gereja di Eropa terus menentang perbudakan dan sikap rasial, hal itu juga yang terjadi di tanah jajahan para misionaris Eropa (yang diawali Portugis dan kemudian Belanda) datang ke Hindia turut aktif mengurangi praktek perbudakan dan sikap rasial dengan mengangkat harkat manusi di wilayah kerja misi masing-masing.

Meski peran misi sudah ada, tetapi wilayah kerjanya masih terbatas pada tempat-tempat tertentu, praktek perbudakan dan sikap rasial masih dianggap dominan. Tidak hanya oleh pemerintah maupun orang-orang swasta Eropa/Belanda, juga oleh para pribumi kaya dan pemimpin penduduk dengan praktek perbudakan yang masif. Lembaga zending dan para misionaris yang mendapat izin dari pemerintah untuk melaksanakan kegiatan, tentu saja dalam hal ini tidak mampu melawan atau menasehati pemerintah. Yang jela peran misi hanya terbilang jalan di tempat, Berbeda dengan di Eropa sejak zaman doeloe antara negara dan gereja bersaing seimbang.

Dalam perkembangannya pada era Pemerintah Hindia Belanda, sikap rasial itu tetap terlihat dalam prakteknya. Misalnya dalam pembedaan antara orang Eropa/Belanda di satu pihak dengan orang non Eropa di pihak lain dengan golongan yang lebih rendah orang Timur Asing (Cina dan Arab) dan pada golong terendah adalah pribumi.

Dalam banyak hal pembedaan yang terkesan masih bersikap rasial ini dihubungkan dengan, antara lain, area tempat tinggal (pemukiman), larangan-larangan bagi orang Timur Asing dan pribumi (pembuatan peraturan dan hukum) kewajiban-kewajiban yang harus ditanggung berbeda meski dengan bobot beban yang sama dengan orang Eropa, baik dalam jumlah jam kerja, harga/upah yang diterima  dan akses yang bisa didapatkan. Tentu saja ketika pemerintah memperkenalkan pendidikan modern (aksara Latin) seiring dengan pembentukan cabang-cabang pemerintahan di daerah, sekolah-sekolah pribumi dibedakan dengan sekolah Eropa. Sepintas, di awal memang masuk akal pembedaan ini, tetntu menjadi permasalahan dalam perkembangan berikytnya.   

Sikap rasial dan praktek rasial yang melekat pada orang Belanda dan pemerintah Hindia Belanda, yang terus menggerogoti kehidupan penduduk pribumi (sebagai penguasa turun temurun di wilayahnya sendiri, mulai ada yang melakukan penentangan dan memberontak secara terbuka. Perang yang terjadi antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan-kerajaan pribumi jelas dalam hal ini wujud dari adanya praktek rasial, yang memandang rendah penduduk pribumi (sebagai subjek eksploitasi penduduk).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Ras, Rasial dan Rasialisme Sejak Era Hindia Belanda: Suku Agama Ras Antar Golongan (SARA)

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar