Kamis, 28 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (739): Sibu dan Bintulu, Geomorfologi Dua Kota Lama di Wilayah Serawak;Kuching Nama Kota Baru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Kota Kuching adalah nama kota baru. Kota yang menggantikan nama Kota Serawak. Jauh sebelum kota Serawak/Kuching terbentuk ada dua kota lain yang lebih tua di wilayah Serawak yakni Kota Sibu dan Kota Bintulu. Pada masa ini Kota Sibu seakan berada jauh di pedalaman sementara Kota Bintulu berada di pantai. Dua kota tua ini dulunya sama-sama di pantai.


Sibu is an inland city in the central region of Sarawak. It is the capital of Sibu District in Sibu Division, Sarawak, Malaysia. The city is located on the island of Borneo and covers an area of 129.5 square kilometres (50.0 sq mi). It is located at the confluence of the Rajang and Igan Rivers, Sibu is mainly populated by people of Chinese descent, mainly from Fuzhou. Other ethnic groups such as Iban, Malay and Melanau are also present, but unlike other regions of Sarawak, they are not as significant. Sibu was founded by James Brooke in 1862 when he built a fort in the town to fend off attacks by the indigenous Dayak people. Before 1873, Sibu was called "Maling", which was named after a bend of the Rajang river called "Tanjung Maling" opposite the present day town of Sibu near the confluence of Igan and Rajang rivers. On 1 June 1873, the third division of Sarawak (present day Sibu Division) was created under the Brooke administration. The division was later named after the native Pulasan fruit which can be found abundantly at the region ("Pulasan" is known as "Buah Sibau" in the Iban language). In the 15th century, the Malays living in southern Sarawak displaced the immigrant Iban people towards the present-day Sibu region. Throughout the 17th and 18th centuries, the Rajang basin was rife with tribal wars between the Ibans and indigenous people in the Rajang basin. The Ibans would occasionally form a loose alliance with the Malays to attack the Kayan tribes and perform raids on Chinese and Indonesian ships passing through the region. Bintulu is a coastal town on the island of Borneo in the central region of Sarawak, Malaysia. Bintulu is located 610 kilometres (380 mi) northeast of Kuching, 216 kilometres (134 mi) northeast of Sibu, and 200 kilometres (120 mi) southwest of Miri. With a population of 114,058 as of 2010, Bintulu is the capital of the Bintulu District of the Bintulu Division of Sarawak, Malaysia. The name of Bintulu was derived from the local native language "Mentu Ulau" (picking heads). Bintulu was a small fishing village when Rajah James Brooke acquired it in 1861. Brooke later built a fort there in 1862. In 1867, the first General Council meeting (now Sarawak State Legislative Assembly) was convened in Bintulu. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah geomorfologi wilayah Sibu dan wilayah Bintulu, dua kota lama di Serawak? Seperti disebut di atas, wilayah Sibu dan wilayah Bintulu adalah pusat perdagangan awal dimana kini terbentuk kota besar Sibu dan Bintulu. Lalu bagaimana sejarah geomorfologi wilayah Sibu dan wilayah Bintulu, dua kota lama di Serawak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Geomorfologi Wilayah Sibu dan Wilayah Bintulu: Dua Kota Lama di Serawak

Sebelum terbentuk kota baru Serawak (kini Kuching) di masa lampau, kota tua yang sudah eksis sejak zaman kuno antara lain adalah kota Sibu dan kota Bintulu. Dua kota bertetangga ini berada di barat daya Brunai. Jauh sebelum dikenal Sibu dan Bintulu, tiga kota yang dikenal sejak zaman kuno dan masih eksis lama adalah Melano, Brunai, dan Marudu. Kota Sibu dan kota Bintulu baru popular belakangan.


Pada masa ini dari tiga kota kuno tersebut hanya kota Brunai (di negara Brunai) dan Marudu (di negara Sabah) yang masih eksis hingga hari ini. Nama kota Malano telah hilang, dimana tepatnya posisi GPS eks kota Malano tua itu tidak diketahui secara pasti. Yang jelas nama Malano diduga kuat telah bertransformasi menjadi nama etnik di wilayah negara Sarawak yakni etnik Melanau. Etnik Melanau di Serawak populasinya kini cukup signifikan tersebar di berbagai tempat termasuk di wilayah daerah aliran sungai Batang Lupar. Sungai terbesar di Borneo Utara adalah sungai Rajang, sungai yang melintasi Kota Sibu. Kota ini diduga kuat pada zaman kuno tepat berada di muara sungai Batang Rajang. 

Secara geografis kota Sibu dan kota Bintulu di negara Serawak bertetangga. Wilayah kota Sibu memanjang dari pedalaman kea rah pantai, sementara wilayah kota Bintulu memanjang sepanjang pantai. Gambaran itu dapat mengindikasikan secara terbentuk wilayahnya. Secara geomorfologis, wilayah Kota Sibu memiliki lanskap yang berbeda dengan wilayah Kota Bintulu.


Hingga kehadiran Inggris di Borneo Utara nama tempat (kampong) Sibu dan Bintoeloe belum diidentifikasi di dalam peta. Nama yang sudah diidentifikasi antara lain sungai Redjang dan sungai Bintoeloe. Nama-nama kampong yang diidentifikasi hanya di garis pantai seperti kampong Kidorong dan kampong Tatan di sekitar muara sungai Bintoeloe dan kampong Egan, kampong Sirik dan kampong Jerri. Penanda navigasi pelayaran zaman kuno antara wilayah Serawak dan wilayah Brunai adalah Tanjung Baraon (lihat Peta 1657). Tanjung ini pada itu kini menjadi Kawasan gunung Lambir dan gunung Siloengan. Dalam perkembangannya di timur tanjong ini menjadi jalan air menuju laut (sungai Baram), sedangkan di barat tanjong ini menjadi jalan arus air menuju laut (sungai Bintoeloe). Di muara sungai Bintoeloe inilah terletak nama kampong Bintoeloe (nama sungai biasanya mengikuti nama tempat).

Antara Kota Sibu dan Kota Bintoeloe yang sekarang, diduga pada zaman kuno adalah suatu garis pantai. Saat itu kampong Bintoeloe berada di sebelah timur laut yang dibatasi tanjong Baraon sedangkan kampong Sibu di sebelah barat (ujung bagian timur tanjong yang lain). Di belakang kampong Sibu terdapat garis perbukitan yang memanjang dari pedalaman (yang menjadi batas wilayah dengan sungai Batang Loepar di sisi barat).


Di garis pantai diantara Bintoeloe dan Sibu bermuara sungai Binroeloe dan sungai Redjang dan sungai-sungai kecil lain. Semakin intens aktivitas di hulu/pedalaman terjadi proses sedimentasi di pantai. Tampaknya wilayah kampong Sibu menjadi area tangkapan air dimana terjadi proses sedimentasi jangka Panjang yang membentuk rawa-rawa kemudian menjadi daratan baru. Hal itulah seakan kampong/kota Sibu kini seakan berada jauh di pedalaman. Pengaruh yang besar dari sedimentasi ini karena sungai Redjang adalah sungai besar yang telah membawa massa padat dari pedalaman.

Sungai besar Batang Redjang telah mempengaruhi geomorfologi kampong Sibu. Endapan lumpur di muara sungai Batang Redjang menyebabkan terbentuk rawa yang luas dan kemudian membentuk daratan baru. Arus sungai Batang Radjang mencari jalan sendiri menuju laut dengan membentuk sungai-sungai baru di hilir kampong Sibu seperti sungai Igan, sungai Batang Lassa.


Seperti biasa penamaan sungai mengikuti sejarah awal. Sunga Batang Radjang awalnya Bernama sungai Sibu. Oleh karena terbentuk daratan di hilir dan kemudian terbentuk kampong baru, maka kampong baru di dekat pantai sebagai pos perdagangan pertama sebelum menuju Sibu dijadikakan sebagai penanda navigasi yakni sungai Batang Redjang, suatu kampong di pesisir yang menjadi pos perdagangan pertama di sungai Batang Sibu.

Secara geomorfologis Kawasan wilayah Sibu yang awalnya merupakan muara sungai lalu terbentuk daratan di depannya, maka arah arus sungai Sibu mengarah ke barat sesuai dengan garis pantai awal di lereng bukit. Dalam pembentuk rawa-rawa menjadi daratan di depan kampong sibu terbentuk sungai-sungai baru yang menjadi cabang sungai Batang Radjang (seperti sungai Lassa). Di ujung sungai Batang Sibu di arah barat di pesisir diduga terbentuk kampong baru yang disebut kampong Redjang. Sejak itulah nama sungai Sibu bagi para pendatang dikenal sebagai sungai Batang Redjang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kuching Nama Kota Baru: Sejarah Awal Sibu dan Bintulu

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar