Kamis, 04 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (753): Bahasa Indonesia vs Bahasa Tagalog; Di Afrika Bahasa Melayu, Bahasa Tagalog di Amerika


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Filipina adalah bentu mini Indonesia. Indonesia terdiri dari ribuan pulau, Filipinan terdiri dari ratusan pulau. Di pulau-pulau tersebutm baik di Indonesia maupun di Indonesia terdapat bahasa-baha etnik yang banyak ragamnya. Bahasa Tagalog terbentuk di Filipina sebagai lingua franca, bahasa Melayu terbentuk di Indonesia sebagai lingua franca. Ada interaksi antara bahasa Melayu dan bahasa Tagalog. Kedua bahasa ini bermula dari bahasa Sanskerta. Dalam perkembangannya bahasa Tagalog bertransformasi menjadi Bahasa Filipino dan bahasa Melayu bertransformasi menjadi Bahasa Indonesia.


Dalam sejarahnya, bahasa Melayu yang bermula di pantai timur Sumatra, sejak abad ke-7 diketahui sudah menyebar ke berbagai wilayah termasuk ke pulau Jawa dan bahkan hingga pantai timur Indochina. Bahasa Melayu adalah bahasa Sanskerta yang bercampur dengan bahasa-bahasa etnik seperti bahasa Batak dan bahasa Jawa. Bahasa Melayu yang terbentuk ini menjadi lingua franca baru (menggantikan bahasa Sanskerta). Di Semenanjung Malaya pengguna bahsa Melayu pertama adalah orang Laut dan orang Banua (masyarakat dari pulau-pulau yang migrasi ke pesisir Semenanjung Malaya. Di pulau-pulau Filinan terbentuk bahasa Tagalog yang merupakan bahasa Sanskerta bercampur dengan bahasa-bahasa etnik. Bahasa Tagalog menjadi lingua franca secara terbatas di pulau-pulau Filipina yang berdampingan dengan para pendatang yang berbahasa Melayu. Dalam perkembangannya bahasa Melayu semakin tersebar bahkan hingga ke pantai selatan Afrika, dan bahasa Tagalog hingga ke pantai barat Amerika. Bagaimana semua itu bisa?

Lantas bagaimana sejarah Bahasa Indonesia vs Bahasa Tagalog? Seperti disebut di atas, baik bahasa Melayi maupun bahasa Tagalog terbentuk dari bahasa asal bahasa Sanskerta. Dalam perkembangannya ditemukan bahasa Melayu menyebar hingga pantai selatan Afrika dan bahasa Tagalog di pantai barat Amerika. Lalu bagaimana sejarah Bahasa Indonesia vs Bahasa Tagalog? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Indonesia vs Bahasa Filipino: Bahasa Melayu di Afrika dan Bahasa Tagalog di Amerika

Ada persamaan bahasa Melayu dan bahasa Tagalog, yakni sama-sama memiliki (kosa kata) bahasa Sankerta. Perbedaannya adalah bahasa Melayu berakar pada bahasa Sanskerta yang kemudian diperkaya berbagai etnik sehingga terbentu bahasa Melayu. Bahasa Tagalog adalah bahasa etnik yang diperkaya dengan bahasa Sanskerta. Bahasa etnik apa yang menjadi cikal bakal bahasa Tagalog tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, bahasa Tagalog terbentuk, dalam perkembangannya juga diperkaya dengan bahasa Melayu.


Bahasa Melayu menjadi lingua franca (suksesi bahasa Sanskerta) di berbagaio pulau seperti Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi hingga Maluku. Sementara bahasa Tagalog menjadi lingua franca diantara pulau-pulau yang terdapat di Filipina khususnya di pulau Luzon dan sekitarnya. Pengguna bahasa Tagalog lebih terbatas. Seperti kita lihat nanti bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, bahasa yang berakar dari bahasa Melayu yang diperkaya oleh bahasa sing dan bahasa-bahasa etnik. Bahasa Tagalok yang terus diperkaya bahasa-bahasa etnik dan bahasa asing khususnya bahasa Spanyol dan bahasa Inggris menjadi bahasa Filipino.

Bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca di nusantara (termasuk di pulau-pulau Filipina) mulai menyebar ke berbagai tempat, seperti pantai Timur Tiongkok, Australia dan Selandia Baru, India khususnya Ceylon hingga Madagaskar dan Afarika Selatan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa bahasa Melayu bisa mencapai Madagaskar dan Afrika Selatan?


Sebelum kehadiran orang Eropa, yang paling awal Portugis, sudah sejak lama orang-orang Moor beragama Islam menyebar bahkan hingga ke Nusantara dengan basis populasi terbesar di selat Malaka (pantai timur Sumatra dan pantai barat Semenanjung Malaya). Penyebaran orang-orang Moor ini dipicu oleh perang Salib di Eropa selatan. Salah satu indikasi orang-orang Moor mencapai selat Malaka dan pantai timur Tiiongkok adalah kehadiran utusan orang Moor yakni Ibnu Batutah tahun 1365. Orang-orang Moor di selat Malaka inilah yang menjadi pedagang perantara antara nusantara dengan Eropa di laut Mediterania dan Tiongkok (sukses orang Arab dan Persia). Orang-orang Moor menggunakan bahasa Melayu. Para pedagang orang Moor ini mempekerjakan orang-orang nusantara, yang dalam navigasi pelayaran perdagangannya menyebabkan orang nusantara pertama, sedikit atau banyak, ada yang bermukim di Ceylon, Madagaskan dan Afrika Selatan.

Sejarah bahasa Melayu mencapai Madagaskar dan Afrika Selatan pada dasar bermula dari orang-orang Moor. Pada era Portugis, orang-orang Moor ini juga berperan dalam navigasi pelayaran perdagangan mereka yang pertama ke nusantara. Orang-orang Portugis juga mempekerjakan orang-orang Nusantara, sehingga pemukim orang Nusantara di Ceylon, Madagaskan dan Afrika Selatan terus berlanjut. Hal serupa juga masih terjadi pada era Belanda (VOC) hingga berakhirnya VOC tahun 1799.


Pada saat ekspedisi Belanda pertama yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597), selama enam bulan pertama tinggal di Madagaskar. Selain memperbaiki kapal dan mengumpulkan logistic, juga ahli bahasa mereka Frederik de Houtman Menyusun bahasa kamus bahasa Melayu di Madagaskar. Kamus ini yang akan mereka gunukan jika sudah berada di Nusantara. Kamus bahasa Melayu karya Frederik de Houtman yang terus diperkaya kemudian diterbitkan untuk umum di Belanda pada tahun 1603. Ini menunjukkan bahwa di Madagaskar tidak hanya populasi asal nusantara yang berbahasa Melayu cukup banyak, namun juga orang nusantara berbahasa Melayu di Madagaskar kemudian juga bekerja untuk kapal-kapal VOC. Dalam perkembangannya, selama era VOC, banyak pemimpin local beserta pengikutnya yang diasingkan/dibuang ke Afrika Selatan. Ini seakan menambah populasi orang nusantara di Afrika Selatan. Pemimpin local yang pertama diasingkan ke Afrika Selatan adalah tiga pemimpin local dari pantai barat Sumatra (berserta pengikutnya) pada tahun 1667. Pemimpin lainnya yang diasingkan ke Afrika Selatan diantaranya berasal dari Banten, Bima dan juga Jawa. Juga diketahui pemimpin local dari Makassar.

Pada era Pemerintah Hindia Belanda, para pemimpin local yang dihukum tidak lagi diasingkan ke Ceylon dan Afrika Selatan, tetapi dilakukan dengan pengasingan antar pulau di Hindia Belanda, seperti pangeran dari Palembang dibuang ke Jawa, para pemimpin pemberontakan di Jawa dibuang ke Sulawesi termasuk diantaranya Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol. Pengasingan ini juga terus berlanjut hingga berakhirnya era colonial Belanda di Hindia Belanda (baca: Indonesia) sepert Soekarno dan Mohamad Hatta. Namun yang jelas, pengasingan masa lampau ke Ceylon dan Afrika Selatan mengakhiri penambahan populasi nusantra di Ceylon dan Afrika Selatan, tetapi telah turut menumbuhkan populasi berbahas Melayu khususnya di Afrika Selatan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Melayu di Afrika dan Bahasa Tagalog di Amerika: Bagaimana Bisa?

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar