Jumat, 02 September 2022

Sejarah Jambi (12): Pegunungan 12, Sisa Zaman Kuno Daerah Tangkapan Air Sungai Batanghari; Taman Nasional-Ekologi Asli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini

Sebagaimana pada artikel-artikel sebelum ini, sejarah zaman kuno pantai timur Sumatra, khususnya di wilayah provinsi Jambi yang sekarang. Jauh sebelum terbentuk daratan datar wilayah Jambi, di suatu teluk besar terdapat sejumlah pulau-pulau yang mana salah satu pulau tersebut adalah Pegunungan 12 (Bukit Duabelas). Wilayah ini dikenal sebagai wilayah tangkapan air di daerah aliran sungai Batanghari. Dalam hal ini bagaimana hubungan antara sungai Batanghari dan wilayah Pegunungan 12.


'Taman Nasional Bukit Duabelas (disingkat TN Bukit Duabelas) adalah sebuah taman nasional yang terletak di Provinsi Jambi. Dalam pembagian administratif, lokasinya masuk ke dalam Kabupaten Tebo, Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Sarolangun. Luas lahan yang digunakan adalah 54.780,41 hektare. Namanya berasal dari kondisi geografis daerahnya yang berbukit-bukit. Beberapa bukit tertingginya yaitu bukit Punai (164 meter), Panggang (328 meter), dan Kuran (438 meter). Daerah ini merupakan daerah tangkapan air dari daerah aliran sungai dari Sungai Batanghari. Di Taman Nasional Bukit Duabelas ada lebih kurang 120 jenis flora yang hidup, termasuk ulin, menggeris setinggi 80 meter, jelutung berdiameter 2 meter, dan rotan jerenang. Di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas ini berdiam Suku Anak Dalam atau Suku Kubu atau Orang Rimba. Jumlah Orang Rimba di sini pada tahun 2018 mencapai 2960, naik dari tahun 2013 sebanyak 1775 orang. Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan perwakilan bagi hutan hujan tropis di provinsi Jambi. Bagian utara taman nasional ini terdiri dari hutan primer, sementara sisanya merupakan hutan sekunder, sebagai akibat dari penebangan kayu. (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah Pegunungan 12, sisa zaman kuno di daerah tangkapan air sungai? Seperti yang disebut di atas, Pegiunungan 12 atau Bukit 12 bukanlah wilayah baru tetapi merupakan sisa zaman kuno dalam perkembangan peradaban. Kini Pegunungan 12 menjadi Taman Nasional yang menjadi ekologi penduduk asli. Lalu bagaimana sejarah Pegunungan 12, sisa zaman kuno di daerah tangkapan air sungai? Seperti disebut di atas, dari sejarah candi inilah sejarah Jambi mulai dinarasikan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pegunungan 12, Sisa Zaman Kuno di Daerah Tangkapan Air Batanghari; Taman Nasional dan Ekologi Penduduk Asli

Pada masa kini, kawasan Pegunungan 12 masuk wilayah kabupaten Tebo, kabupaten Batanghari dan kabupaten Sarolangun. Kawasan ini sejak 1984 Pemerintah Kabupaten Sarolangun-Bangko diusulkan untuk dijadikan sebagai hutan lindung karena alasa dimana populasi pendudukas asli Orangt Rimba/Kubu (suku Anak Dalam).


Kawasan Bukit Duabelas secara geografis berada di antara tiga empat kota: Bangko/Pemenang, Pauh, Muara Tembesi dan Muara Tebo. Antara Muara Tembesi dan Muara Tebo dihubungkan sungai Batanghari; antara Muara Tembesi dengan Pauh adalah sungai Tembesi; antara Pauh dan Pemenang dihubungkan oleh sungai Batang Asai/Kiri, Kawasan Bukitduabelas seakan menggambarkan suatu tanjong yang mengeucut ke Muara Tembesi. Seperti ditunjukkan pada peta di atas, secara geomorfologis Kawasan Bukitduabelas ini seakan gambaran suatu pulau di dataran rendah yang luas.

Kawasan Bukitduabelas, Kawasan lindung yang kini menjadi Taman Nasional memiliki luas 54.780,41 hektare yang secara topografi berbukit-bukit. Beberapa bukit tertingginya yaitu bukit dimana puncak-puncak bukit tertunggi di Punai (164 meter), Panggang (328 meter), dan Kuran (438 meter). Kawasan ini merupakan daerah tangkapan air dari daerah aliran sungai (sungai Batanghari, sungai Tembesi dan sungai Batang Asai/Kanan). Artinya Kawasan ini arus sungai sangat lambat, dan jika terjadi curah hujan tinggi di hulu-hulu sungai akan terjadi peningkatan ketinggian pwermukaan air (yang menyebabkan genangan/banjir di kedua sisi sungai).


Satu yang menarik dari Kawasan ini adalah, di sebelah barat daya Kawasan Bukit Duabelas terdapa area gambut yang sangat luas. Sebagaimana diketahui area gambut umumnya berada di Kawasan pesisir/belakang pantai seperti di hilir Kota Jambi. Area gambut di Kawasan Bukit Duabelas, sejatinya bnerada di pedalaman. Pertanyaannya: mengapa terbentuk area gambut di pedalaman? Yang jelas bahwa gambut umumnya adalah Kawasan sedimen yang bersifat alluvial yang di masa lampau terjadi pengendapan massa padat berupa lumpur/tanah dan sampah vegetasi. Kawasan gambut ini masuk wilayah Kabupaten Sarolangun yakni di sekitar daerah aliran sungai Tembesi.

Adanya area gambut di kawasan Pegunungan 12/Bukit Diuabelas, menjelaskan bahwasa kawasan ini pada zaman kuno dan hingga masa ini merupakan daerah tangkapan air (arus air menuju suatu titik dan tertahan, oleh karena berada di daratan/pedalaman hanya dapat menyusut di musim kemarau. Oleh karena kawasan ini merupakan kombinasi hutan hujan tropis di Kawasan ketinggian (Bukit 12) dan Kawasan gambut, maka Kawasan Bukit 12 terbilang habitay yang sangat lengkap untuk berbagai fauna. Namun yang lebih penting dari itu adalah bahwa Kawasan sekitar Bukit 12 ini memiliki sejarah zaman kuno tersendiri.


Adanya kawasan gambut di pedalaman, mengindikasikan suatu kawasan di masa lampau sebelum terbentuk daratan/gambut adalah kawasan perairan semacam danau besar atau teluk besar yang terjebak karena terbentuknya daratan di hilir sungai Tembesi dan sungai Batanghari. Pada masa ini di kabupaten Sarolangun dan kabupaten Tebo juga ditemukan potensi batubara yang sangat besar. Dalam ghal ini gamburt dan batubara adalah fosil dan tanah yang berupa pelapukan sampah vegetasi dalam jangka panjang

Pertanyaan yang muncul dalam hal ini adalah apakah kawasan gambut ini di zaman kuno adalah suatu danau besar atau teluk yang menjorok ke daratan yang mendekati Bangko/Pamenang (di kabupaten Merangin). Sebagaimana diketahui di Karang Berahi di Pamenang ditemukan prasasti yang berasal dari abad ke-7. Sebagaimana disebut di atas, kawasan Bukit 12 adalah daerah tangkapan air (sungai).


Posisi dimana daerah tangkapan air di Kawasan Bukit 12 haruslah dihubungkan dengan Kawasan gambut. Di arah utara Kawasan Bukit 12 elevasinya lebih tinggi jika dibandingkan di selatan Kawasan Bukit 12. Bandingkan elevasi antara beberapa titik berikut: Kota Pauh Sarolangun berada di ketinggian 60 m dpl (suatu daerah yang terbilang rendah yang jauh di pedalaman); bahkan di wilayah Mandingin hanya setinggi 40 m dpl. Sementara di Pamenang, Merangin dengan tinggi 51 m dpl (titik terendah di kabupaten Merangin). Sedangkan di wilayah kabupaten Tebo elevasinya lebih tinggi seperti kawasan di daerah aliran sungai Batanghari seperti Tebo Ilir 120 m dpl; Muara Tabir 100 m dpl.

Sebagai daerah tangkapan air, dimana terdapat Kawasan gambut yang luas, daerah di hilir Bangko/Pemenang dan Sarolangun diduga adalah kawasan perairan, boleh jadi suatu danau besar atau suatu teluk. Dalam konteks navigasi pelayaran dari laut dimungkinakan bisa mencapai wilayah Pamenang (51 m dpll) dan Sarolangun (52 m dpl). Dalam hal ini besar dugaan di zaman kuno (abad ke-7) Pamenang dan Saroloangun adalah pusat peradaban awal.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Taman Nasional dan Ekologi Penduduk Asli: Pemahaman Peradaban Zaman Kuno di Pantai Timur Sumatra

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar