Selasa, 20 September 2022

Sejarah Jambi (48): Rawas Menjadi Musi Rawas, Batas Kesultanan Jambi-Kesultanan Palembang;Sultan Jambi versus AV Michiels


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini  

Ada dua nama kota tempo doeloe di pedalaman Sumatra: Soerolangun di hulu sungai Batanghari dan Soeroelangun di hulu sungai Musi. Dua kota ini adalah awal navigasi ke hilir di masing-masing sungai. Dua kota ini dipisahkan oleh pegunungan, yang mana dari pegunungan itu sumber air sungai Tembesi dan sungai Rawas. Wilayah Rawas di hulu sungai Batanghari/sungai Tembesi.sungai Batang Kasai dan hulu sungai Musi/sungai Rawas pernah menjadi sengketa antara Kesultanan Jambi dan Pemerintah Hindia Belanda di Palembang.


Nama Tembesi dan naman ama Rawas diduga adalah nama-nama kuno sebagai penanda navigasi transportasi sungai. Di pertemuan sungai Tembesi dan sungai Batangasai terdapat kota Saroelangoen dimana di hulu sungai Batangasai terdapat kota Moera Limoen. Sementarea itu di pertemuan sungai Banoeng dengan sungai Rawas terdapat kota Moeara Roepit. Di daerah aliran sungai Baoeng ini terletak kota Saroelangoen. Antara sungai Bartangasai dan sungai Baoeng dipisahkan oleh pegunungan. Nama Tembesi dan nama Rawas (ditulis Rawa’s) mirip dengan nama Tambusai dan nama Rao/Rawa di hulu sungai Rokan Kanan dan sungai Rokan Kiri. 

Lantas bagaimana sejarah wilayah Rawas menjadi Musi Rawas, antara Kesultanan Jambi dan Pemerintah Hindia Belanda di Palembang? Seperti yang disebut di atas, wilayah Rawas berada di daerah perbatasan Kesultanan Jambi dan Kesultanan Palembang masa lalu. Lalu bagaimana sejarah wilayah Rawas menjadi Musi Rawas, antara Kesultanan Jambi dan Pemerintah Hindia Belanda di Palembang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Wilayah Rawas Menjadi Musi Rawas, Antara Kesultanan Jambi dan Palembang; Sultan Jambi versus AV Michiels

Wilayah Rawas adalah wilayah yang sangat jauh dari kota Palembang. Rawas juga sangat jauh dari kota Jambi. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa wilayah yang jauh ini menjadi rebutan antara Kesultanan Jambi dengan (kesultanan) Palembang pada permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Palembang. Rawas diduga adalah nama kuno, suatu wilayah peradaban awal di wilayah Provinsi Sumatra Selatan yang sekarang.


Penduduk di wilayah Rawas (terutama penduduk di wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara) lebih mengidentifikasi diri sebagai Orang Rawas daripada orang Melayu (di Palembang). Penduduk Rawa memiliki dialek sendiri dari dalam bahasa Melayu. Wilayah Rawas (Musi Rawa Utara) berada di daerah aliran sungai Rawas yang berbatasan dengan wilayah ulayat Orang Batin (sungai Batangasai dan sungau Batangtembesi di wilayah Sarolangun) di utara dan Orang Redjang dan Orang Lebong di arah barat, pluas Orang Kerintji di arah barat laut. Kelompok-kelompok populasi tersebutlah yang saling berdekatan satu sama lain, yang diduga sudah terbentuk sejak zaman kuno. Dari segi bahasa, (bahasa asli yang dipengaruhi bahasa Melayu), adat istiadat dan arsitektu bangunan satu sama lain memiliki kemiripan (bahkan dibandingkan di wilayah kota Jambi dan kota Palembang). Kosa kata elementer, seperti ibu, dalam bahasa Lampong adalah ‘indui’, dalam bahasa Rejang ‘indok’, bahasa Kerinci ‘indok’ dan bahasa Batin sebgai ‘indu’ yang mana disebut berbeda di wilayah kota Palembang dan di kota Jambi. Secara elementer ‘ sebutan ibu sebagai ‘indok/indu’ haruslah dianggap sebagai sebutan asli yang sudah berumur tua, jauh sebelum bahasa-bahasa tersebut dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Dalam sejarahnya, Ketika pusat peradaban baru terbentuk di wilayah Jambi dan di wilayah Palembang yang mana terbentuk kerajaan-kerajaan kuat, wilayah-wilayah pedalaman yang berada di Kawasan yang sama menjadi subjek dari Sultan Palembang dan subjek dari Sultan Jambi.

Persoalan politik mengemuka di wilayah Rawas pada awal pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Palembang. Pangkal masalahnya diduga bermula, Ketika otoritas Kesultanan Palembang dilikuidasi, pangeran Palembang melakukan perlawanan dan bergeser hingga ke wilayah Rawas. Tidak ada keterangan yang jelas mengapa pangeran Palembang memilih wilayah Rawas, kecuali bahwa wilayah Rawas ini bisa diakses melalui transportasi sungai dari8 kota Palembang melalui sungai Musi yang kemudian memasuki daerah aliran sungai Rawas yang mengarah ke wilayah yang menjadi subjek Sultan Jambi.


Satu kota/kampong utama di arah hulu sungai Rawas adalah Surulangun. Di arah utara kota Surulangun (kini masuk wilayah provinsi Sumatra Selatan) ini juga terdapat kota/kampong yang disebut Sarolangun (kini masuk wilayah provinsi Jambj). Jarak antara dua kota ini begitu dekat, hanya dibatasi oleh Kawasan yang lebih tinggi, yang mana dari Kawasan yang lebih tinggi sungai-sungai kecil mengalir ke sungai Rawas di selatan dan ke sungai Batangasai di utara (yang mana sungai Asai ini bermuara di sungai Tembesi dimana terdapay kota/kampong Sarolangun. Dalam situasi dan kondisi inilah pangeran Palembang yang mengambil posisi di wilayah Rawas dikejar pasukan/militer Pemerintah Hindia Belanda (lihat Bataviasche courant, 18-12-1824). Pengejaran ini dipimpin Overste Castel, komandan militer Palembang. Pertempuran terjadi malam 22 November 1824 dilancarkan oleh 300 hingga 400 Orang Rawas yang dipimpin oleh Pangeran Palembang. Perlawanan ini dipersenjatai dengan tombak dan klewang, hanya sedikit yang dilengkapi dengan senjata untuk menyerang kekuatan Eropa, Berit ini disampaikan oleh Residen Palembang, Rejnst. Sebelumnya pangeran Soera di Laga telah diutus dari Palembang ke wilayah Rawas pada bulan Augustus untuk bernegosisiasi dengan perlawanan itu, namun gagal hingga pasukan/militer dikerahkan dari Palembang yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Castel. 

Dalam perkembangannya perlawanan yang terjadi di wilayah Rawas terhadap otoritas Pemerintah Hindia Belanda di Palembang dapat diredam. Boleh jadi, sejak inilah di dalam peta wilayah administrasi wilayah Residentie Palembang dimasukkan wilayah Rawas. Meski wilayah (kersultanan) Jambi masuk wilayah Residentie Palembang, tetapi secara defakto wilayah di luar (eks otoritas Sultan Palembang) tetap dianggap sebagai wilayah independent di bawah otoritas Sultan Jambi. Dengan kata lain, otoritas Sultan Jambi diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan tetap berkuasa (secara indenpendin) di wilayah Kesultanan Jambi. Eks Kesultanan Palembang sudah menjadi wilayah otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Hubungan antara Sultan Jambi dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui Residen Palembang hanya bersifat koordinatif. Namun dalam perkembangannya sifat hubungan bilateral tersebut berubah menjadi persoalan politik karena Pemerintah Hindia Belanda menganggap Sultan Jambi telah melakukan invasi di wilayah Rawas (yang dianggawap wilayah otoritas eks Kesultanan Palembang).


Pada tahun 1833, Sultan Jambi menghadapai kesulitas sendiri di wilayahnya di daerah aliran sungai Batanghari. Hal ini bermula para bajak laut dalam beberapa tahun terakhir yang mengambil tempat di hilir sungai Batanghari (di sekitar Moeara Sabak). Tentu saja saat itu tidak ada pejabat pemerintahan Hindia Belanda yang ditempatkan di Jambi (karena bersifat independent). Oleh karena akses Sultan Jambi terhalang ke dunia luar, karena kegiatan para bajak laut di wilayah hilir, lalu Sultan Jambi meminta bantun kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengusir para bajak laut. Berhasil. Sultan Jambi Kembali leluasa di wilayahnya sendiri. Namun pada paruh kedua tahun 1833 diberitakan Sultan Jambi melakukan invasi di wilayah Rawas (tentu saja Resident Palembang yang telah menempatkan patrol/pengawas di wilayah Rawas terusir). Mengapa Sultan Jambi melakukan invasi di wilayah Rawas kurang terinformasikan. Namun diduga Sultan Jambi menganggap Rawas masuk dalam subjeknya. Jalan negosiasi antara Residen Palembang dan Sultan Jambi mengalami deadlock. Akhirnya kekuatan militer yang berpusat di Palembang tidak mampu mengatasi persoalan di Rawas sehingga harus didatangkan satu pasukan dari Batavia yang dipimpin oleh Overste AV Michiels. Pasukan perlawanan Jambi takluk. Inilah yang menjadi sebab muncul perjanjian antara Sultan Jambi yang baru dengan Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian pada tahun 1834 Pemerintah Hindia Belanda mewakili Resident Palembang mulai berkoloni di wilayah Jambi dengan menempatkan pejabatnya di Moera Kompeh. Dalam perjanjian Pemerintah Hindia Belanda di Moeara Kompeh memungut bea dan cukai terhadap perdaganagn masuk dan keluar di daerah aliran sungai Batanghari. Kini, Sultan Jambi tidak lagi menguasasi sepenuhnya nilai transaksi perdagangan di daerah aliran sungai Batanghari (minus Pemerintah Hindia Belanda di Moera Kompeh).

Pasca kerusuhan di wilayah Rawas, di daerah aliran sungai Rawas yang berbatasan dengan wilayah subjek Sultan Jambi, nama Rawas kemudian diidentifikasi sebagai Musi Rawas. Memang fakta bahwa sungai Rawas adalah salah satu cabang dari sungai Musi, tetapi di masa sebelumbnya apakah wilayah daerah aliran sungai Rawas adalah subjek Sultan/Kesultanan Palembang? Dan mengapa pula Sultan/kesultanan Jambi menganggap wilayah Rawas adalah subjeknya? Tentu saja dalam hal ini diperlukan penyelidikan sejarah yang lebih mendalam. 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sultan Jambi versus Komandan Overste AV Michiels di Wilayah Rawas: Rawas Menjadi Musi Rawas

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar