Senin, 24 Oktober 2022

Sejarah Lampung (12):Danau Ranau, Antara Residentie Palembang, Residentie Bengkulu dan Residentie Lampung; Danau di Sumatra


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini 

Danau adalah ranau? Ranau adalah danau. Nama danau Ranau tidak hanya di (pulau) Sumatra, juga ada di pulau Mindanao. Ada danau terbentuk di dataran rendah, ada juga di dataran tinggi, dan tentu saja ada danau du puncak gunung. Ada juga danau yang hilang, karena proses sedmientasi menjadi daratan dan ada juga hilang karena jebol. Danau Ranau berada di dataran tinggi pulau Sumatra. Satu yang penting, danau-danau di Sumatra adalah pusat-pusat peradaban awal di Sumatra. Danau terbesar di Siumatra adalah danau Toba di Sumatra Utara. Bagaimana dengan danau di Sumatra Selatan.


Danau Ranau adalah danau terbesar kedua di Sumatra setelah danau Toba. Danau ini terletak di perbatasan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatra Selatan dan Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Danau ini tercipta dari gempa besar dan letusan vulkanik dari gunung berapi yang membuat cekungan besar. Secara geografis topografi danau Ranau adalah perbukitan yang berlembah hal ini praktis menjadikan danau Ranau memiliki cuaca yang sejuk. Danau terkenal sering para nelayan untuk mencari ikan seperti mujair, kepor, kepiat, dan harongan. Tepat di tengah danau terdapat pulau yang bernama Pulau Marisa. Disana terdapat sumber air panas yang sering digunakan para penduduk setempat ataupun para wisatawan yang datang ke pulau tersebut, terdapat air terjun, dan penginapan. Danau ini juga menjadi objek wisata andalan dari Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Ada tiga tempat tujuan utama bagi para pengunjung Danau Ranau, Pantai Sinangkalan (Sumatera Selatan), Pantai Pelangi (Sumatera Selatan) Pantai Bidadari (Sumatera Selatan) Wisata Air Panas (Sumatera Selatan) Icon Ranau (Sumatera Selatan) dan Wisata Lombok (Lampung). Beberapa gangguan ekosistem yang terjadi di danau Ranau, salah satunya matinya ikan yang disebabkan pelepasan belerang H2S ke dalam air. Hal tersebut terjadi pada tahun 1962, 1993, 1998, dan pada 2011 (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah danau Ranau, diantara Residentie Palembang, Residentie Bengkulu dan Residentie Lampung? Seperti disebut di atas, danau Ranau adalah salah satu danau pegunungan di (pulau) Sumatra. Danau Ranau milik dua atau tiga provinsi? Lalu bagaimana sejarah danau Ranau, diantara Residentie Palembang, Residentie Bengkulu dan Residentie Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Danau Ranau, Diantara Residentie Palembang, Residentie Bengkulu dan Residentie Lampung; Danau di Sumatra

Sebelum mendeskripsikan danau Ranua, ada baiknya mengidentifikasi danau-danau di pulau Sumatra. Namun sebelum mengidentifikasi danau Ranau ada baiknya memahami bentuk permukaan bumi Sumatra. Dalam konteks itulah, danau Ranau dihubungkan dengan orang Lampoeng sendiri yang telah terbagi ke dalam suku-suku (Aboeng, Peminggir, Toelangbawang, Poebian dan Lampoeng).


Pada masa ini dalam peta Sumatra yang memanjang dari utara (Atjeh) ke selatan (Lampoeng), terbagi ke dalam dua wilayah geomorfologis. Bagian wilayah barat terdiri pegunungan yang sambung menyambung, bagian wilayah timur terdiri daratan rendah yang umumnya terbentuk dari tanah alluvial. Pada bagian wilayah pegunungan umumnya terbentuk dari batuan andesit, yang juga merupakan konstribusi dari aktivitas vulkanik di masa lampau. Diantara pegunungan tersebut kini masaih banyak gunung-gunungnya yang masih aktif (alias berapi). Di antara rantai pegunungan, yang disebut pegunungan Bukit Barisan terdapat sejumlah danau besar.  

Danau Ranau adalah danau besar di wilayah pegunungan yang berada di daerah antoropologis dari district Lampoeng paling selatan pulau Sumatra. Sementara danau pegunungan Sumatra paling utara pada masa ini adalah danau Tankengon (danau Laut Tawar). Diantara dua danau tersebut terdapat danau-danau yang masih eksis pada masa ini, antara lain danau Toba dan danau Siais (di Sumatra Barat), danau Maninjau dan danau Singkarak; danau Kerntji (Djambi).


Diantara danau-danau pegunungan yang pernah eksis pada zaman doeloe, ada yang sudah hilang. Danau tersebut hilang karena jebol sehingga menguras isi semua danau sehingga membentuk daerah rawa-rawa dan daratan kering. Danau Tangse di Atjeh yang kini membentuk kota Tangse diduga kuat adalah suatu danau besar di zaman lampau. Pada masa itu sejumlah kampong/kota berada di pinggir danau seperti kampong/kota di danau yang masih eksis pada masa ini. Danau Tangse ini diduga telah jebol karena aktivitas gempa (tektonik atau vulkanik) sehingga menjadi kering, yang lalu di bagian eks danau menjadi Kota Tangse yang sekarang, sementara kampong/kota zaman doeloe menjadi perkampungan di pinggir kota. Satu lagi danau yang hilang adalah danau Siabu di Angkola Mandailing (Tapenoeli). Kasusnya juga diduga sama dengan kasus eks danau Tangse. Kawasan eks danau Siabu ini masih menyisakan wilayah rawa-rawa yang luas.

Di wilayah danau-danau pegunungan pulau Sumatra inilah di masa lampau bermula peradaban orang Sumatra bermula, tumbuh dan berkembang sehingga membawa penduduk masing-masing di kawasan danau ke tingkat peradaban yang lebih maju. Sebab secara teoritis sulit peradaban awal terbentuk di garis pantai (pesisir) karena ekosistem tidak stabil dan populasi penduduk yang masih sedikit rawan terhadap ancaman orang asing dari lautan. Sebaliknya, Kawasan pedalaman yang kaya sumber daya alam (hasil hutan dan tanah-tanah yang subur) plus perikanan danau sebagai penganti perkianan laut, penduduk hidup tenang, berkecukupan dan populasi berkembang pesat, yang memungkinkan kelompok populasi membentuk peradaban sendiri dan mengembangkannya. Dalam konteks inilah kita berbicara penduduk asli Sumatra seperti orang Aboeng, orang Redjang, orang Pasemah, orang Kerintji, orang Minangkabau, orang Batak, orang Gajo dan sebagainya.


Dalam konteks ini pula kita berbicara orang Melayu yang mana orang Melayu sendiri belum terbentuk di wilayah pantai/pesisir. Secara geomorfologis, wilayah pulau Sumatra bagian timur semakin meluas karena proses sedimentasi jangka panjang yang membentuk daratan baru. Sungai-sungai kecil yang turun dari lereng-lerang gunung dan danau-danau pegunungan, menjadi memanjang seiring dengan meluasnya daratan kea rah timur. Pad fase inilah orang asing berdatangan untuk berdagang dengan kelompok populasi yang hidup di pegunungan. Koloni-koloni yang terbentuk di muara-muara sungai terjadi percampuran (orang asing dengan orang pedalaman) yang kemudian membentuk populasu sendiri, yang secara umum disebut kelompok populaso orang Melayu. Hal itulah mengapa orang Melayu cenderung dibedakan dengan berbagai kelompok populasi di pedalaman karena perbedaan bahasa. Bahasa Melayu sendiri adalah transformasi percmapuran bahasa asing Sanskerta sebagai lingua franca dengan bahasa setempat dari kelompok populasi penduduk asli. Hal itulah mengapa di district Lampoeng kelompok populasi penduduk asli hanya disebut antara lain Aboeng, Toelangbawang dan Poebian. Sementara yang lainnya Jawa, Banten dan Melayu dianggap sebagai orang asing (pendatang).  

Sejarah kelompok penduduk asli di suatu wilayah (seperti di wilayah distrik Lampoeng) selalu dihubungkan ke masa lalu pada suatu titik di wilayah pedalaman terutama di wilayah pegunungan dimana terdapat danau, dalam hal ini danau Ranau. Danau dalam hal ini menjadi awal terbentuknya peradaban baru (adat, tradisi dan budaya penduduk asli) yang kemudian mulai tercampur dengan budaya asing seiring dengan perpindahan penduduk ke dataran rendah seiring dengan terbentuknya daratan baru (terutama kea rah timur). Dalam konteks inilah kita berbicara varian kelompok populasi diantara penduduk asli seperti orang Aboeng, orang Toelangbawang dan orang Poebian atau orang Peminggir. Varian populasi ini membentuk dialek bahasa yang berbeda-beda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Danau di Sumatra: Danau Hilang Danau Gunung, Danau Dataran Rendah dan Danau Buatan

Danau Ranau pada masa kini dapat dikatakan sebagai warisan orang Lampoeng. Mengapa? Dari seputar danau Ranau inilah, orang asal Lampong menyebar ke wilayah yang lebih rendah ke segala arah, ke barat (district Kroei/residentie Bengkoelen), ke timur (district Toelangbawang) dan ke selatan (district Lampoeng, kemudian district Teloek Betoeng) dan ke utara (district Moeara Doea/residentie Palembang). Orang asal Lampong dari seputar danau tersebut kemudian mebentuk kelompok-kelompok populasi penduduk baru dengan dialek-dialek bahasa yang berbeda.  


Sungai adalah navigasi perpindahan penduduk ke wilayah yang lebih rendah. Demikian sebaliknya para pendatang dari lautan melalui muara-muara sungai besar. Danau Ranau mengalirkan airnya ke arah timur melalui sungai yang di hilir disebut sungai Martapura (yang kemudian ke hilir bermuara di sungai Musi di Palekmbang). Orang-orang asal Lampoeng di masa lampau yang mendirikan kampong/kota Martapura (orang Abaoeng). Di pegunungan sekitar danau Ranau dari lereng-lereng gunung terbentuk sungai-sungai yang lebih kecil yang mana salah satu sungai ke hilir disebut sungai Ompoe yang kemudian ke hilir bermuara ke sungai Way Kiri dan yang kemudian ke hilir terbentuk sungai Toelangbawang. Di daerah aliran sungai Ompoe dan sungai Toelangbawang inilah penduduk asal Lampoeng dari daerah danau Ranau bermigrasi (orang Toelangbawang). Sungai-sungai lainnya yang bermuara ke timur antara lain sungai Sepeotih/sungai Pengabuah dan sungai way Sekampoeng. Sementara itu, hal serupa, sungai Musi terbentuk dari sungai-sungai di wilayah hulu yang mana sungai Rawas, sungai Lematang dan sungai Martapura bermuara ke sungai Musi. Satu yang penting hulu sungai Musi sendiri berada jauh di pedalaman di pegunungan Bukit Barisan di wilayah Tjoeroep (kini provinsi Bengkulu). Di wilayah Tjoeroep inilah terbentuk peradaban orang Redjang di zaman doeloe. Kawasan kota Tjoeroep yang sekarang diduga di masa lampau adalah eks danau pegunungan (seperti halnya danau Tangse di Atjeh dan danau Siabu di Tapanili Selatan). Sedangkan sungai Batanghari, idem dito dengan sungai Musi dan sungai Toelangbawang, terbentuk dari berbagai sungai di pedalaman di wilayah pegunungan Bukit Barisan. Salah satu sungai yang bermuara ke sungai Batanghari adalah sungai Bangko melalui sungai Tembesi. Sungai Bangko sendiri berhulu di danau Kerintji (yang membentuk peradaban orang Kerintji). Hulu sungai Batanghari sendiri berada di danau Singkarak (yang membentuk peradaban Minangkabau).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar