Senin, 02 Januari 2023

Sejarah Surakarta (11): Pendidikan di Kota Surakarta, Bagaimana Bermula? Sekolah Guru (Kweekschool) di Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Selain situasi dan kondusi keamanan yang kondusuf dan ketersediaan infrastruktur dasar terutama jalan dan jembatan, pada era Pemerintah Hindia Belanda, masalah status kesehatan dan penyebaran pendidikan modern (aksara Latin) termasuk yang diprioritaskan. Secara khusus dalam bidang pendidikan penyelenggaraan pendidikan modern (aksara Latin) dan pembangunan sekolah menjadi sangat penting. Pendidikan yang kita miliki sekarang bermula dari situ.   


Kweekschool adalah salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda dengan pengantar Bahasa Belanda (sejak 1865). Di Belanda sendiri, lembaga tersebut kini dijuluki Pedagogische academie voor het basisonderwijs ("akademi pedagogis untuk pendidikan dasar"). Pada 1834, berdiri sekolah pendidikan guru (kweekschool) diselenggarakan di Ambon (hingga 1864). Sekolah serupa didirikan zending di Minahasa tahun 1852 dan 1855 di Tanahwangko (Minahasa). Bahasa pengantar yang digunakan sekolah di Ambon dan Minahasa adalah bahasa Melayu. Keputusan Raja, 30 September 1848, tentang pembukaan sekolah dasar negeri maka untuk memenuhi kebutuhan guru dibuka sekolah guru pertama 1852 di Surakarta atas keputusan pemerintah 30 Agustus 1851. Sebelumnya, pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru (Normaal Cursus). Sekolah guru di Surakarta bahasa pengantarnya bahasa Jawa dan Melayu. Setelah pendirian Sekolah guru di Surakarta berturut-turut didirikan sekolah sejenis di Bukittinggi (Fort de Kock) pada 1856, Tanah Baru (Tanobato), Tapanuli 1864 (dan kemudian tahun 1866 di Bandoeng) dan selanjutnya di berbagai tempat. Pada tahun 1873 dibuka sekolah guru di Tondano, Ambon 1874, Probolinggo 1875, Banjarmasin 1875, Magelang 1875, Makassar 1876, dan Padang Sidempuan 1879. Seiring dengan itu tahun 1874 sekolah guru di Tanobato ditutup 1874 (digantikan di Padang Sidempoean) dan 1875 di Soerakarta ditutup (penggantinya di Magelang). Lalu kemudian kweekschool ditutup di Tondano 1875, Padang Sidempuan (1891), Banjarmasin (1893), dan Makassar (1895) (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah pendidikan di kota Surakarta, bagaimana bermula? Seperti disebut di atas, sekolah guru untuk pribumi (kweekschool) yang pertama didirikan di Soerakarta pada era Pemerintah Hindia Belanda. Apakah hal itu memiliki relasi dengan awal introduksi pendidikan modern (aksara Latin)? Lalu bagaimana sejarah pendidikan di kota Surakarta, bagaimana bermula? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pendidikan di Kota Surakarta, Bagaimana Bermula? Sekolah Guru Kweekschool Soerakarta Era Pemerintah Hindia Belanda

Bagaimana pendidikan sekolah dasar Eropa/Belanda sudah lama terselenggara dengan baik termasuk di Soerakarta (bersifat nasional). Bagaimana penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar bagi pribumi tidak terinformasikan. Meski senyap, tetapi ada. Penyelenggaraan pendidikan pribumi bersifat local, yang hanya dibicarakan antara Residen/Asisten Residen dengan para pemimpin local (dengan anggaran daerah).


Pada tahun 1846 Residen Padangsch Bovenlanden di Fort de Kock menginisiasi pendirian sekolah pribumi dengan Pendidikan modern (aksara Latin). Tampaknya berjalan dengan baik. Hal ini juga terungkap dari laporan akhir masa jabatan Asisten Residen Angkola Mandailing (Residentie Tapanoeli) 1846 agar di wilayahnya didirikan sekolah untuk pribumi. Sekolah di Angkola Mandailing baru terselenggara pada era Asisten Residen AP Godon (mulai ditempatkan tahun 1848). Bagaimana kurikulum sekolah pribumi juga tidak terinformasikan. Yang jelas sudah pasti berbeda dengan sekolah dasar Eropa/Belanda yang mengikuti kurikulum di Belanda (dengan modifikasinya). Namun yang jelas bahwa di sekolah dasar pribumi diajarkan bahasa daerah dan bahasa Melayu (dengan sendirinya siswa diharapkan bisa berbahasa Melayu). Bagaimana dengan di Jawa?

Sehubungan dengan tujuan untuk memperluas pendidikan bagi pribumi, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menginisiasi pendirian sekolah guru pribumi di Soerakarta. Permintaan untuk menjadi kepala sekolah guru kepada W Palmer van den Broek di Koninklijk Akademie di Delft berdasarkan surat tertanggal 26 September 1849 No.3/085. Sehubungan dengan permintaan kepada P van dern Broek, pemerintah juga telah meminta sejumlah individu di Belanda untuk menulis buku pelajaran dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa (juga bahasa Soenda) dalam aksara Latin untuk bidang-bidang tertentu seperti buku lakon dan bacaan, buku artimatika. Juga buku bacaan dalam aksara Jawa. Selanjutnya, Palmer van den Broek diketahui bahwa saat ini di akademi di Delft sedang bersiap untuk segera berangkat ke Jawa, dan ditempatkan disana menjadi kepala sekolah normal untuk guru-guru Jawa (lihat De Nederlander: nieuwe Utrechtsche courant: (staatkundig- nieuws-, handels- en advertentie-blad) / onder red. van J. van Hall, 16-11-1850). Palmer van den Broek saat ini tengah menyelesaikan studi doktornya di bidang teologi di Groninger Hoogeschool.


Javasche courant, 03-09-1851: ‘Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Batavia, den 30 Augustus 1851 (No. 1.) setelah mendengar Dewan Hindia Belanda disetujui dan dipahami: (a) Dalam rangka menunggu kedatangan kepala sekolah yang akan diutus dari Belanda menyiapkan persiapan yang diperlukan untuk pendirian sekolah guru bagi orang tua guru di kalangan pribumi di Jawa, dan melanjutkan endidikan disana setelah kedatangan kepala sekolah; (1) bahwa sekolah guru ini akan didirikan di ibu kota Soerakarta, dan ditempatkan di bawah pengawasan Residen disana, yang akan berkomunikasi langsung dengan Gubernur Jenderal mengenai urusan sekolah tersebut; (2) bahwa lima belas peserta pertama akan dilatih disana, yang akan mendapatkan tunjangan dari kas negara sebesar sepuluh gulden sebulan, yang akan dinaikkan menjadi lima belas gulden sebulan jika mereka membuat kemajuan yang baik; (3) bahwa pertama-tama tidak akan diterima peserta didik lain selain orang pendidikan yang layak; (4) bahwa peserta didik itu harus sudah berumur lima belas tahun. (b) memintan Residen Soerakarta, agar mengajukan usul untuk membeli gedung perguruan dan kebutuhan pertama, untuk itu berkonsultasi dan pejabat pegawai negeri JLWilhens, dan dengan memperhatikan asas kesederhanaan yang ditentukan dalam rencana awal dalam hal ini; (c) meminta para kepala pemerintahan daerah untuk mencalonkan orang-orang itu kepada Gubernur Jenderal sebelum akhir Desember mendatang, dengan surat terbukti bakatnya dan memiliki persyaratan lain, adalah yang paling memenuhi syarat untuk menjadi guru di sekolah pelatihan di Soerakarta di kalangan pribumi, dan memberikan serinci mungkin tentang alasan-alasan yang mendasari dianggap cocoknya orang-orang yang akan dinominasikan untuk tujuan ini: Gubernur Jenderal akan membuat pilihan yang baik dari berbagai kandidat.

Tampaknya inisiatif pendidikan modern aksara Latin dimulai di Pantai Barat Sumatra. Di Jawa sendiri tidak terinformasikan hingga diketahui hubungannya dengan pendirian sekolah guru di Jawa (lihat Nederlandsche staatscourant, 22-12-1849). Disebutkan Ketua Komisi Pendidikan, setelah melalui pertimbangan yang matang, telah disahkan oleh Pemerintah; ini telah dikomunikasikan kepada subkomite terkait dimana untuk menerima pemuda Jawa dari kelas yang terhormat ke sekolah dasar negeri (sekolah Eropa/Belanda), sampai sekolah guru pribumi telah didirikan di Jawa sebagaimana dimaksud dalam ikhtisar yang dimuat dalam Javasche Courant April lalu, dan hingga kepala sekolah yang dipanggil dari Belanda untuk sekolah guru telah tiba. Beberapa Residen telah diberitahu bahwa sumber daya dapat diusulkan kepada pemerintah untuk menyediakan pendidikan penduduk asli untuk sementara.


Sebagaimana dikutip di atas, agak berbeda dengan kenyataan. Disebutkan dalam kutipan di atas: ‘Keputusan Raja, 30 September 1848, tentang pembukaan sekolah dasar negeri maka untuk memenuhi kebutuhan guru dibuka sekolah guru pertama 1852 di Surakarta atas keputusan pemerintah 30 Agustus 1851. Sebelumnya, pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru (Normaal Cursus). Sekolah guru di Surakarta bahasa pengantarnya bahasa Jawa dan Melayu. Setelah pendirian Sekolah guru di Surakarta berturut-turut didirikan sekolah sejenis di Bukittinggi (Fort de Kock) pada 1856, Tanah Baru (Tanobato) Tapanuli.’ Fakta bahwa belum ada guru di Jawa (khususnya Soerakarta) sebelum pendirian sekolah guru. Kandidat siswa sekolah guru, untuk sementara dititipkan di sekolah dasar Eropa/Belanda. Di Soerakarta sendiri sudah ada sekolah dasar Eropa/Belanda.

Agak membingungkan penunjukan Palmer van den Broek untuk diangkat sebagai kepala sekolah guru pertama di Hindia Belanda. Saat penunjukkannya van den Broek tengah mengambil studi dokto di bidang teologi di Groninger Hoogeschool. Apakah tidak ada guru-guru berpengalaman lainnya yang tidak harus level doctor? Palmer van den Broek (lahir di Jukwerd) lulus dengan gelar doctor pada tanggal 30 Juni 1851 dalam bidang teologi setelah mempertahankan disertasi berjudul Continens commentarium in Ezcchielis prophetiarum capitis I versus 14 priores cum apparatu critica (lihat Rotterdamsche courant, 03-07-1851).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sekolah Guru Kweekschool Soerakarta Era Pemerintah Hindia Belanda: Mengapa Didirikan?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar