Sabtu, 14 Januari 2023

Sejarah Surakarta (35): Kongres Pers di Soerakarta, 1939; Sarikat Jurnalis Pribumi hingga Persatuan Wartawan Indonesia-PWI


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Pers sudah lama di Indonesia (baca: sejak Hindia Belanda). Ada pers (berbahasa) Belanda dan ada pers berbahasa Melayu (baca: bahasa Indonesia) dan bahasa daerah. Diantara per berbahasa Belanda dan berbahasa Melayu/Daerah kemudian terbentuk pers pribumi (sepenuhnya di bawah control stakeholder pribumi). Dalam konteks inilah kita membicarakan kongres pers di Indonesia dan secara khusus Kongres Pers di Soerakarta yang diadakan tahun 1939. Sarikat jurnalis pribumi sendiri sudah terbentuk jauh sebelumnya.


Monumen Pers Nasional adalah museum khusus pers nasional Indonesia di Surakarta. Koleksinya meliputi teknologi komunikasi dan teknologi reportase, seperti penerbangan, mesin ketik, pemancar, telepon, dan kentongan besar. Museum ini didirikan tahun 1978. Kompleks monumen antara lain terdiri atas gedung societeit lama, dibangun 1918, dan digunakan untuk pertemuan pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Monumen Pers Nasional memiliki koleksi yang terdiri dari lebih dari satu juta koran dan majalah serta berbagai benda bersejarah yang terkait dengan pers Indonesia. Bangunan dulunya bernama "Societeit Sasana Soeka". Pada tahun 1933, Sarsito Mangunkusumo dan sejumlah insinyur lainnya bertemu di gedung ini dan merintis Solosche Radio Vereeniging, radio publik pertama yang dioperasikan pribumi. Pada tanggal 9 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di gedung ini. Tanggal 9 Februari 1956, dalam acara perayaan sepuluh tahun PWI, menyarankan pendirian yayasan yang akan menaungi Museum Pers Nasional. Yayasan ini diresmikan tanggal 22 Mei 1956. Nama "Monumen Pers Nasional" ditetapkan tahun 1973 dan lahannya disumbangkan ke pemerintah tahun 1977. Museum ini resmi dibuka tanggal 9 Februari 1978. Museum ini dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bagian depan ruang depan dihiasi pahatan kepala tokoh-tokoh dalam sejarah jurnalisme Indonesia, termasuk Tirto Adhi Soerjo, Djamaluddin Adinegoro, Sam Ratulangi, dan Ernest Douwes Dekker. Diorama kedua memperlihatkan pers di era kolonial, termasuk surat kabar pertama era VOC Memories der Nouvelles (1615) dan surat kabar Bataviasche Nouvelles (1744), dan surat kabar bahasa Jawa pertama, Bromartani (1855) (Wikipedia)..

Lantas bagaimana sejarah Kongres Pers di Surakarta, 1939? Seperti disebut di atas, kongres pers di Surakarta adalah kongres pers pribumi, suatu stakeholder pers yang berada di bawah control orang-orang Indonesia. Dalam hubungan ini garis continuum dari Sarikat Jurnalis Pribumi (Perdi) hingga Persatoean Wartawan Indonesia (PWI). Lalu bagaimana sejarah Kongres Pers di Surakarta, 1939? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kongres Pers di Surakarta, 1939; Sarikat Jurnalis Pribumi hingga Persatoean Wartawan Indonesia (PWI) 

Tidak ada sarikat surat kabar. Tidak ada sarikat surat kabar (berbahasa) Belanda dan juga tidak ada sarikat surat kabar (berbahasa) Melayu. Tentu saja tidak ada sarikat surat kabar pribumi. Pada level jurnalis juga tidak ada sarikat jurnalis. Demikianlah adanya selama ini di Batavia yang sudah memasuki satu abad pers di Hindia Belanda (baca: Indonesia).


Sebaliknya yang terjadi adalah sudah banyak surat kabar, yang nyaris semuanya berbahasa Melayu yang berada di bawah kendali orang pribumi, yang terkena delik pers yang kemudian surat kabar yang bersangkutan dibreidel, termasuk surat kabar yang dipimpin oleh Parada Harahap di Padang Sidempoean, surat kabar berbahasa Melayu, Sinar Merdeka yang dibreidel tahun 1922. Sejak itulah Parada Harahap hijrah ke Batavia dan kemudian mendirikan surat kabar berbahasa Melayu, Bintang Hindia.

Kapan sarikat jurnalis dan sarikat surat kabar terbentuk? Di Batavia, ini bermula dari kasus delik pers di Semarang yang mana jurnalis (pemimpin redaksi) surat kabar berbahasa Melayu, Warna Warta, Lauw Kong Hoey diadili di Raad van Justitie Semarang (lihat De locomotief, 19-09-1925). Tuduhannya disebut dalam dua edisi akhir Juni/awal Juli memuat tulisan yang dianggap mengandung permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Wakil pemimpin redaksi Keng Po di Batavia juga ditangkap dalam isu yang sama. Dari sinilah bermula begitu pentingnya mengapa para jurnalis bersarikat.


De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Atas penangkapan editor Warna Warta dan wakil pemimpin redaksi Keng Po, di Batavia, didirikan asosiasi wartawan pribumi dan Cina. Pertemuan diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di Weltevreden, dipimpin oleh editor Hindia Baru, Tabrani. Hasil pertemuan ini mengusulkan dewan asosiasi agar mengirimkan utusan ke Jaksa Agung. Parada Harahap, redaktur Bintang Hindia meminta menahan diri dulu karena kasusnya masih dalam penyelidikan dan menunggu hingga pengadilan. Namun, menurut Parada Harahap, segera setelah penyelidikan pendahuluan ini selesai, tetapi editor Warna Warta Lauw Giok Lan tetap berada dalam tahanan protektif, sambil menunggu sidang kasusnya di hadapan hakim, maka sudah tiba waktunya bagi serikat kita untuk bertindak seperti yang diusulkan. Yang penting sekarang menurut Parada Harahap kita menyusun manifesto dulu. Setelah pertemuan ditutup kemudian dihasilkan manifesto, isinya: 1. Keluhan dari masyarakat pribumi dan China terhadap aksi bagian dari pejabat pemerintah di seluruh wartawan membuat, termasuk sehubungan dengan penangkapan Lauw Giok Lan, 2. Mengirim utusan kepada Jaksa Agung (dalam advokasi selama masa penahanan) ditambah untuk lebih menahan diri dari tulisan-tulisan yang mengandung penuh kebencian)’.

Pembentukan sarikat jurnalis di Batavia menjadi menarik karena, sejauh yang dapat ditelusuri, sebelumnya belum ada indikasi sarikat jurnalis, baik diantara jurnalis pribumi maupun diantara jurnalis Cina. Sarikat jurnalis yang sudah ada sejauh ini adalah sarikat jurnalis pribumi di Medan yang masih eksis tahun 1920 (lihat De Sumatra post, 10-03-1920). Lalu kemudian di Soerabaja dibentuk sarikat jurnalis pribumi yang baru tahun 1922 (lihat Deli courant, 07-10-1922). Dalam hal ini dapat dikatakan di Batavia, baru tahun 1925 ini diduga kuat dibentuk sarikat jurnalis pribumi maupun sarikat jurnalis Cina, yang atas dasar itu, untuk merespon kasus editor Warna Warta dibentuk asosiasi gabungan antara sarikat jurnalis pribumi dan Cina.


Bagi Parada Harahap pembentukan sarikat jurnalis di Batavia, tentu bukan hal yang baru dalam hal yang sama. Pada saat Parada Harahap di Medan tahun 1918 sebagai editor surat kabar Benih Merdeka sudah terlibat dalam pembentukan sarikat jurnalis di Medan. Seperti disebut di atas, pada tahun 1919 surat kabar itu dibreidel, lalu Parada Harahap pulang kampong dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Pada tahun 1922 surat kabar Sinar Merdeka dibreidel lalu Parada Harahap hijrah ke Batavia dan mendirikan surat kabar Bintang Hindia tahun 1923. Kemudian pada tahun 1925 Parada Harahap di Batavia mendirikan kantor berita pribumi pertama yang diberi nama dengan singkatan Alpena, dimana yang menjadi editor diangkat WR Soepratman. Di kantor berita Alpena inilah rapat pembentukan sarikat gabungan sarikat jurnalis pribumi dan sarikat jurnalis Cina.

Parada Harahap sudah lama menarik jarak dengan pemerintah. Hal itulah yang menyebabkan surat kabarnya di Padang Sidempoean dibreidel, karena berita-berita merugikan pejabat dan menguntungkan penduduk. Di Batavia, Parada Harahap mulai menarik jarak dengan para jurnalis (pers) Belanda. Hal ini karena pers Belanda mulai memprovokasi. Parada Harahap di Batavia sudah beberapa kali berpolemik dengan para jurnalis (pers) Belanda.


De Indische courant, 17-09-1925 (Indisch fascisme. Het blanke front): ‘Mr. Parada Harahap, editor Bintang Hindia, menulis dalam Java Bode tanggal 10 lalu dengan judul Kranten en Klanten (Koran dan Pelanggan) setelah posisi Lokomotif diambil oleh Soerabija HBL dengan operasi pasar di Semarang. Artikel ini di Soerabajasch Handelsblad dan Algemeen Handelsblad di Semarang. Parada Harahap mengatakan: ‘Sebagai pribumi, kemajuan negara-negara ini sangat dekat dengan hati saya, dan berusaha agar masyarakat tetap harmonis dari semua lapisan di HIndia, harus mencatat bawah saya pikir saya memiliki pemahaman, setidakanya mewakili wartawan dari pers Melayu. Mohon ijin saya harus member pendapat yang sama dikhususkan pada Soer. Hbld hari ini yang kesannya sikap yang diambil membahayakan kerjasama yang harmonis masyarakat di Hindia. Ini telah lama mengancam kepercayaan umum penduduk pribumi niat baik dari Belanda akan hilang di sini di Hindia, oleh tindakan beberapa pers Eropa/Belanda dan masyarakat ETI, terutama oleh cepat meluncurkan mereka dari tuduhan senegara mereka sendiri, yang mendukung keselamatan India dan rakyatnya dengan cara mereka, jika mereka bersalah mengkhianati rakyat dan negara mereka sendiri. Kesenjangan antara Timur dan Barat dan tidak sedikit duri (tindakan yang dimaksudkan Anda dari Soer. Hbld) untuk membentuk sebuah front kosong, yang begitu banyak memiliki untuk menandakan tantangan resmi yang ditujukan kepada umat berwarna di Hindia. Bagaimana Pribumi dan disini yang mana Locomotif, Cina berpikir, sempurna akrab bagi saya. Lokomotif adalah salah satu organ, menekankan sopan santun yang baik bagi kita. Dalam hal ini bagi kami adalah bukti bahwa tidak semua Belanda memusuhi kami, baik antar penduduk asli termasuk Cina, bahwa semua orang Eropa di Hindia kepercayaan rakyat tidak pantas berada sendirian dengan menunjuk ke item yang yang terdapat di Soer. Hbld. dan simpatisan nya. Memang benar bahwa Soer. Hbld. tidak hitam-putih terhadap pribumi, tetapi efek yang diperoleh oleh sesama seperti Mr Ant Lievegoed menunjuk sebagai anti-Belanda atau orang berbahaya bagi Nederlandsene di Hindia tidak berbeda dengan semakin yakin terletak di antara pribumi bahwa setiap pelatih asal Belanda, yang berusaha untuk kemajuan dan pengembangan tanah dan orang, dan yang tidak memperkuat depan putih, dan antagonisme abaian putih dan coklat, dengan bangsanya sebagai pengkhianat. Ini sekarang jelas tilisan anda  lebih berbahaya daripada tulisan wartawan pribumi. Pers ETI bergema di dunia asli tapi resonansinya jauh dari menguntungkan untuk hubungan timbal balik di Hindia. Menurut pendapat saya tugas pers putih sekarang jauh lebih besar dari sebelumnya, sekarang jadi harus memperhitungkan jutaan orang di Hindia, yang oleh pers sendiri dan melalui komunikasi yang lebih baik dan karena itu lebih menjamin kontak di antara mereka sendiri, akan diinformasikan diberitahu tentang apa yang terjadi di pers ETI tercermin apa yang mereka percaya sebagai yang kulit putih di wilayah ini. Anda telah mendorong ke arah fasisme. Hal ini unsur-unsur, seperti komunis, akan datang untuk mengeksploitasi pernyataan tidak membantu seperti dan taktik dasar merusak mereka kemudian turun, dan digunakan sebagai alat propaganda. Soer. Hbld. Telah berusaha kebohongan, bahwa ada lebih kecurigaan terangsang antara pribumi melawan Belanda di Hindia? Bukankah sekarang delapan orang datang waktu untuk menahan suara seseorang dari journalistieken diucapkan sikap simpatik terhadap penduduk pribumi menunjukkan sikap yang menurut banyak pihak, melihat orang Barat telah mulai menaruh minat kompromi. Tapi kemajuan daerah ini telah membuat kemajuan besar juga, sudah ada terlalu banyak intelektual asli yang merupakan penilaian independen untuk mengetahui untuk membuat peristiwa politik saat ini dari yang klik taruhan reaksioner akan berani secara terbuka untuk keluar orang untuk prinsip-prinsip etika hanya sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, adalah komunisme jika diperlukan untuk membenarkan kampanye…Ada yang mau mengikut Aku, yang akan menyelesaikan pekerjaan saya ini?’. [artikel ini juga dilansir De Sumatra post, 24-09-1925].

Dalam hubungan itulah posisi dan peran Parada Harahap di Batavia dalam urusan jurnalis bersarikat dan perlunya pembentukan sarikat jurnalis pribumu yang kemudian diintegrasikan dengan sarikat jurnalis Cina. Babak baru sarikat jurnalis di Hindia Belanda dimulai di Batavia. Sarikat gabungan ini kemudian diformalkan dengan status hukum (lihat De locomotief, 13-10-1925).


De locomotief, 13-10-1925: ‘Sarikat Jurnalis Pribumi. Hari-hari ini, beberapa wartawan surat kabar berbahasa Melayu dan berbahasa Melayu-Cina, para pegiat pers di Volkslectuur bertemu di gedung kantor berita Alpena, Pasar Baroe, Weltevreden, di bawah pimpinan redaksi Hindia Baroe, Tabrani. Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk mencapai pembentukan definitif persatuan jurnalis pribumi dan Cina di Hindia. Semua orang Asia, yang secara permanen sebagai editor senior, editor, reporter atau kontributor surat kabar dan majalah berbahasa Melayu dan berbahasa Melayu-Cina, dapat bergabung dengan asosiasi tersebut. Setelah beberapa diskusi dilakukan, diputuskan untuk menamai asosiasi tersebut 'Journaiistenbond Asia'. Dewan dipilih untuk pertama kalinya: Tabrani (Hindia Baroe), ketua; Wakil Ketua Kwee Kek Beng (Sin Po); WR Soeratmas (Persb. Alpena), sekretaris; Boen Joe On (Perniagaan), bendahara pertama; RS Patindih (Berita), bendahara ke-2, serta sebagai komisaris Parada Harabap (Bintarig Hindia), Lieg Ying Chen (Sin Po), Kuoe Bou Sioe (Keng Po), Giuw Tjoen (Sin Po) dan Achmad Wongsosewojo (Sastra Rakyat). Setelah itu, disepakati beberapa amandemen, draf statuta disetujui, dan jumlah kontribusi serta biaya masuk ditentukan. Pertemuan tersebut menerima proposal untuk memberi kuasa kepada Parada Harahap, yang akan melakukan perjalanan kedua ke Sumatera dan Singapura hari Minggu depan, untuk membuat propaganda atas nama serikat jurnalis di tempat-tempat dimana para jurnalis berada. Di Medan telah didirikan asosiasi dan sekarang telah turut bergabung. Hal serupa akan diatur di tempat lain di Jawa dan di tempat lainnya di Hindia’.

Parada Harahap dan Mohamad Tabrani adalah dua jurnalis senior dan junior di Batavia. WR Soepratman dapat dikatakan senior karena sebelumnya sudah berkiprah di surat kabar yang terbit di Bandoeng yang kemudian bergabung dengan Parada Harahap pada saat pendirian kantor berita Alpena. Sementara Mohamad Tabrani baru beberapa bulan di Batavia sehubungan dengan reorganisasi surat kabar Neratja menjadi Hindia Baroe. Parada Harahap sendiri sebelum mendirikan Bintang Hindia tahun 1923 adalah redaktur surat kabar Neratja. Mohamad Tabrani sendiri sebagai pendatang baru di Batavia. lulus sekolah OSVIA di Bandoeng tahun 1924.


De Indische courant, 23-12-1925: ‘Sungguh luar biasa bagaimana kuat hari ini jumlah majalah Jawa meningkat. Banyak yang tutup tetapi lebih banyak yang muncul. Semakin berwarna (nasionalis, keagamaan) dan juga khusus perempuan. Wartawannya juga bertambah pesat, bahkan wartawan Sumatra sudah mencapai 700 anggota. Sangat disayangkan oleh Parada Harahap dari Bintang Hindia dan kantor berita Alpena, yang merupakan wartawan terbaik dari Europeescbe pers, bahwa majalah aksara Jawa kurang diperhatikan oleh komunitasnya. Perjalanannya melalui Sumatera dan Semenanjung baru-baru ini manjadi saksi ini’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sarikat Jurnalis Pribumi hingga Persatoean Wartawan Indonesia (PWI): Kongres ke Kongres

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar