Selasa, 18 April 2023

Sejarah Banyumas (50): Margono Soekarjo, Nama RSUD Purwokerto; Dokter Pribumi Studi ke Belanda, Siapa Raih Gelar Doktor?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Nama Margono Soekarjo sangat terkenal di wilayah Banyumas di kota Purwokerto. Margono Soekarjo, putra Banyumas telah ditablkan menjadi nama RSUD di Purwokerto. Margono Soekarjo adalah seorang dokter, disebut lulusan sekolah kedokteran di Batavia (STOVIA) yang kemudian melanjutkan studi ke Belanda. Bagaimana Riwayat lengkapnya? Mari kita lacak. 


Prof. Dr. Margono Soekarjo (Banyumas, 29 Maret 1897-Jakarta, 1970) salah satu perintis pembedahan jantung di Indonesia. Margono Soekarjo, dokter bumiputra pertama diakui Pemerintahan Hindia Belanda. Lahir di Kebutuh, Sokaraja, Banyumas 29 Maret 1897, menempuh pendidikan di ELS (1904-1910), melanjutkan ke Sekolah Kedokteran STOVIA. Karena kecerdasannya, tahun 1927 melanjutkan pendidikannya di Universitas Amsterdam Belanda dengan memperoleh gelar Artz, dan menekuni spesialisasi bedah hingga diberi kesempatan vedah bersama Prof. Sauerburch, Prof Van Hebeer, Prof Schiieden serta Prof Volcker. Selama 3 tahun, berkecimpung dibagian bedah di negara Kincir Angin Belanda. Sekembalinya dari Belanda, Margono Soekarjo menjadi Asisten di GHS. tapi hanya beberapa waktu karena ia harus menjadi dosen NIAS menggantikan Dr. Wieberdink.  Ia juga pernah menjabat direktur CBZ Semarang (1944-1947), yang kemudian berubah nama menjadi Pusat Rumah Sakit Rakyat (PURUSARA). Kariadi diangkat Kepala bagian Laboratorium. Kemudian pada 25 Januari 1947, ia diangkat Guru Besar bidang Ilmu Bedah oleh FKUI. Ia wafat 1970 dimakamkan di Kebutuh. Namanya diabadikan nama rumah sakit di tanah kelahirannya di Kec. Purwokerto, Banyumas (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Margono Soekarjo dan nama RSUD di Purwokerto? Seperti disebut di atas nama dokter Margono Soekarjo telah ditabalkan sebagai nama nama RSUD di Porwokerto. Margono Soekarjo lulusan sekolah kedokteran dan salah satu dokter-dokter pribumi semasa Pemerintah Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah Margono Soekarjo dan nama RSUD di Porwokerto? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Margono Soekarjo dan Nama RSUD di Purwokerto; Dokter Pribumi Studi ke Belanda Bahkan Raih Gelar Doktor   

Pada bulan Juli 1913 di sekolah kedokteran STOVIA di Batavia diadakan ujian transisi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-07-1913). Salah satu yang lulus di kelas tiga tingkat persiapan adalah Margono Soekarjo. Ini berarti, pada tahun ajaran berikut Margona akan berada di kelas satu tingkat medik. Sementara itu di atas mereka yang lulus ujian kelas satu tingkat medik antara lain Boentaran, Mohamad Djoehana dan Sjoeib Proehoeman.


Siswa yang diterima di sekolah kedokteran STOVIA adalah lulusan sekolah dasar Eropa (ELS). Lama studi adalah tiga tahun di tingkat persiapan dan enam tahun di tingkat medik. Setelah menyelesaikan tingkat praktek lulusan sekolah STOVIA mendapat gelar Indisch Arts (Dokter Hindia). Berbeda dengan lulusan Eropa/Belanda dengan gelar Arts.

Margono Soekarjo lulus ujian kelas satu tingkat medik pada tahun 1914 (lihat De Preanger-bode, 13-07-1914). Pada ujian transisi tahun 1915 Margono Soekarjo harus mengalami her untuk bahasa Jerman bersama Soebjono (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-07-1915). Sementara itu Sjoeib Prohoemoen naik dari kelas dua ke kelas tiga tingkat medik. Yang lulus di tingkat tertinggi tingkat medik ke kelas enam antara lain Achmad Mochtar. Pada tahun 1916 Margono ujian transisi dari kelas tiga ke kelas empat tingkat medik mengalami her psikologi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-06-1916). Sjoeib Proehoeman dkk lulus ujian dari kelas empat ke kelas lima tingkat medik.


Sementara itu Achmad Mochtar lulus tepat waktu di STOVIA tahun 1916. Dr. Achmad Mochtar langsung ditempatkan di Medan untuk ikut membantu Kepala Inspektur Dinas Kesehatan di Sumatra, Dr. W. Schüffnerm (lihat De Preanger-bode, 05-07-1916). Dengan kapal Melcior Treub Achmad Mochtar berangkat dari Batavia ke Medan tanggal 25 Juli (De Sumatra post, 26-07-1916). Dalam manifest kapal tercatat Achmad Mochtar dengan istri. Kepastian Dr. Achmad Mochtar ditempatkan ke Medan terhitung tanggal 1 Juli 1916 berdasarkan berlit No.5460 oleh Hoofdinspecteur, Chef van den Burgerlöken Geneeskundigen Dienst, Dr. W. Schuffner yang berkedudukan di Medan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-10-1916). Dr. Achmad Mochtar kemudian ditempatkan di Tapanoeli di Taroetoeng dan Padang Sidempoean (kampong halaman orangtuanya).

Pada tahun 1917 Margono lulus ujian transisi naik dari kelas tiga ke kelas empat medik (lihat De locomotief, 18-06-1917). Ini mengindikasikash Margono tahun sebelumnya tinggal kelas (boleh jadi tidak memenuhi ujian her yang diberikan). Sementara itu Sjoeib Proehoeman dkk naik dari kelas lima ke kelas enam tingkat medik.


Sjoeib Proehoeman tidak lama kemudian diberitakan lulus ujian akhir di STOVIA tahun pada akhir tahun 1917 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-12-1917). Yang lulus bersamaan dengan Sjoeib Proehoeman antara lain Mohamad Djoehana, Aulia dan Johan Nainggolan. Pada tahun 1918 Sjoeib Proehoeman diangkat sebagai dokter pemerintah ditempatkan di kantor pusat di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. 03-06-1918). Pada tahun 1919 Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (lihat De Sumatra post, 26-06-1919). Tidak lama kemudian Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Panjaboengan, tempat asal orang tuanya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1919).

Pada tahun 1919 Margono lulus ujian transisi di STOVIA naik dari kelas lima ke kelas enam tingkat medik (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-05-1919). Ini berarti Margono Soekarjo tinggal selangkah lagi untuk meraih gelar dokter Indisch Arts. Yang lulus ujian bersama dengan Margono antara lain WZ Johannes, Tengkoe Mansjoer, Soesilo, Badril Moenir dan Toepamahoe. Pada awal 1920, seperti yang diharapkan Margono lulus ujian praktek pertama (lihat De nieuwe courant, 28-01-1920). Akhirnya Margono lulus ujian akhir dengan gelar dokter (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-05-1920). Ini menambah dokter asal Banjoemas di dunia dunia kedokteran pribumi. Nama yang dari generasi pertama asal Banjoemas adalah Raden Soepardan, lulus dari Docter Djawa School tahun 1898 (lihat Bataviaasch Nieuwsblad, 22-12-1898). Dengan demikian semakin banyak nama-nama dokter asal resident Banjoemas sebagaimana artikel sebelumnya Dr Goeteng dari Poerbalingga, dan dokter Raden Soeleiman dari Bandjarnegara.


Pada bulan Juni dokter pemerintah Hindia WZ Johannes, Tengkoe Mansoer dan Mas Soekarjo telah ditempatkan sebagai asisten leraaren di rumah sakit di Soerabaja (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1920). Sementara fokter pemerintah Hindia Baderil Moenir dan Zainal telah dikirim ke Stovia di Weltevreden sebagai asisten dosen. Juga ditempatkan sebagai asisten dosen di STOVIA Toepamahu. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-09-1908

Dalam perkembangannya setelah selesai membantu Dr. W. Schuffner dalam penelitian dan pemberantasan penyakit malaria dan penyakit tropis epidemik lainnya di Sumatra, Dr. Achmad Mochtar kembali ke Batavia di BVG. Dr. Achmad Mochtar kemudian mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda. Dr. Achmad Mochtar berangkat studi ke Belanda dengan menumpang kapal Jan Pieterszoon Coon tujuan Amsterdam pada tanggal 1 September 1923 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1923). Dalam manifest tercatat atas nama Dr. Achmad Mochtar, istri dan dua anak.


Sjoeib Proehoeman diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1926). Beberapa teman-temannya yang sudah pulang ke tanah air adalah Soewarno (lulus 1919), Sardjito dan Mohamad Sjaaf (1923), JA Latumeten (1924); R Soesilo dan HJD Apituley (1925). Teman-teman lain yang masih berada di Belanda adalah Achmad Mochtar, AB Andoe, T. Mansoer, RM Saleh, MH Soelaiman, M. Antariksa dan Seno Sastroamidjojo. Sjoeib Proehoeman berangkat dengan kapal Tambora dari Batavia tanggal 23 Juni 1926 menuju Rotterdam (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-06-1926). Sjoeib Proehoeman bersama istri dan satu anak. Tanggal 17 Juli tiba di Rotterdam (lihat Algemeen Handelsblad, 20-07-1926).

Bagaimana dengan Dr Margono Soekarjo? Setelah beberapa lama sebagai asisten dosen di sekolah kedokteran NIAS Soerabaja, Dr Soekarjo dipindahkan ke rumah sakit pusat CBZ di Weltevreden (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-06-1927). Boleh jadi ini sebagai sementara. Sebab beberap wakti sebelum ini Dr Soeakrjo dibebastugaskan dari pekerjaan (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 21-03-1927). Dr Soekarjo akan melanjutkan studi ke Belanda.


Nun jauh di sana, di Belanda pada tahun 1927 ini Ida Loemongga Nasoetion berhasil memperoleh gelar sarjana kedokteran di Universiteit Utrecht. Dr Ida Loemongga Nasoetion adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar dokter. Ida Loemongga adalah anak seorang dokter di Lampoeng, Dr Haron Al Rasjid Nasoetion kelahiran Padang Sidempoean, lulusan Docter Djawa School tahun 1902. Ida Loemongga Nasoetion menyelesaikan sekolah dasar Eropa (ELS) di Telok Betoeng, lalu kemudian melanjutkan studi ke sekolah Prins Hendrik School (PHS) di Batavia. Ida Loemongga lulus HBS 5 tahun di PHS afdeeling B (IPA) tahun 1922 dan kemudian melanjutkan studi kedokteran ke Belanda di Universiteit Utrecht. Dr Ida Loemongga Nasoetion tidak segera pulang ke tanah air, tetapi langsung melanjutkan studi ke tingkat doctoral di Universiteit Amsterdam.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dokter-Dokter Pribumi Semasa Pemerintah Hindia Belanda: Studi Kedokteran di Belanda

Kepastian Dr Margono Soekarjo berangkat studi ke Belanda dapat diperhatikan berita kapal ms Indrapoera yang akan berangkat dari Batavia tanggal 3 Agustus 1927 dengan tujuan akhir Rotterdam (lihat De koerier, 02-08-1927).  Dalam daftar penunpang tercatat nama Dr Mas Soekarjo dan istri. Dari ratusan penumpang, nama orang Indonesia lainnya adalah I Gede Wajan Pangkat, RM Gondo Soemarjo dan istri, Guow Sam Hong dan Soetopo. Dr Margono Soekarjo di Belanda langsung diterima studi di universitas Amsterdam.


Di Universitas Amsterdam pada tahujn 1927 Dr. Achmad Mochtar berhasil mencapai gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran (lihat De Telegraaf, 11-02-1927). Sementara itu, Dr Margono Soekarjo tidak sendiri, juga yang kuliah bersama juga ada nama Mas Satiman Wirjosandjojo. Mereka berdua lulus ujian pertama bulan Juni 1928 (lihat De standaard, 20-06-1928). Satiman juga adalah lulusan STOVIA. Jika memperhatikan pada tahun 1914 Soekarjo lulus ujian transisi dari kelas satu ke kelas dua tingkat medik, Satiman lulus ujian dari kelas empat ke kelas lima tingkat medik (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-07-1914). Perlu dicatat, Satiman dalah salah satu pendiri utama Jong Java (golong muda Boedi Oetomo) di Batavia pada tahun 1915.

Pada bulan Juli 1929, Margono Soekarjo di Amsterdam lulus ujian akhir dengan gelar Arts (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 04-07-1929). Dalam berita kelulusan ujian di Amsterdam ini disebutkan Soekarjo kelahiran Banjoemas. Juga dalam berita ini disebut lulus ujian kandidat dokter R Sastromidjojo. Dalam berita ini juga disebut Satiman lulus ujian kandidta Indisch rechht. Apakah dalam hal ini mengindikasikan Satiman melakukan putar haluan dari studi kedokteran ke studi hukum?


Dr Margono Soekarjo setelah mendapat gelar dokter segera pulang ke tanah air. Ini dapat dilihat dari berita kapal Christiaan Hutgens berangkat tanggal 14 Januari 1930 dari Amsterdam dengan tujuan akhir Batavia (lihat De Telegraaf, 14-01-1930). Disebutkan Dr Soekarjo dengan istri. Setibanya di tanah air Dr Soekarjo ditempatkan di rumah sakit semula di Weltevreden (lihat De Indische courant, 21-03-1930). Pada tahun ini Dr. Sjoeib Proehoeman, meraih gelar doktor (Ph.D) dalam bidang kedokteran di Unversiteit Amstedam dengan desertasi berjudul ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’. Tidak lama kemudian setelah itu menyusul Ida Loemongga Nasution meraih gelar doktor (Ph,D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam 1931 dengan desertasi berjudul Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’.

Pada tahun 1931 Dr Soekarjo dipindahkan dari CBZ Batavia Centrum ke CBZ di Semarang (lihat De locomotief, 13-06-1931). Dalam perkembangannya Dr Soekarjo dari Semarang dipindahkan kembali ke CBZ Batavia. Pada tahun 1933 Dr Soeakrjo dari XBZ Batavia dipindahkan kembali ke CBZ Semarang (lihat De koerier, 11-01-1933).

 

Pada tahun 1933 jumlah orang Indonesia yang meraih gelar doctor (Ph.D) di Belanda semakin banyak, dan cukup banyak yang berhasil di bidang kedokteran. Orang Indonesia sendiri yang pertama meraih gelar doktor (Ph.D) adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913 di Univ. Leiden. Hingga tahun 1933 jumlah orang Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D) di negeri Belanda paling tidak sebanyak 25 orang dan hanya satu orang perempuan yakni Ida Loemongga Nasution di Utrecht.  Daftar lengkapnya adalah sebagai berikut: (1) Husein Djajadiningrat (Indologi, 1913); (2) Dr. Sarwono (medis, 1919); (3) Mr. Gondokoesoemo (hukum 1922); (4) RM Koesoema Atmadja (hukum 1922); (5) Dr. Sardjito (medis, 1923); (6) Dr. Mohamad Sjaaf (medis, 1923); (7) JA Latumeten (medis, 1924); (8) Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (hukum, 1925); (9) R. Soesilo (medis, 1925); (10) HJD Apituley (medis, 1925); (11) Soebroto (hukum, 1925); (12) Samsi Sastrawidagda (ekonomi, 1925); (13) Poerbatjaraka (sastra, 1926); (14) Achmad Mochtar (medis, 1927); (15) Soepomo (hukum, 1927); (16) AB Andu (medis, 1928); (17) T Mansoer (medis, 1928); (18) RM Saleh Mangoendihardjo (medis, 1928); (19) MH Soeleiman (medis, 1929); (20) M. Antariksa (medis, 1930); (21) Sjoeib Proehoeman (medis, 1930); (22) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (23) Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (24) Ida Loemongga Nasution (medis, 1931); (25) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan filsafat, 1933). Jumlah doktor terbanyak berasal dari (pulau) Djawa, yang kedua dari Residentie Tapanoeli. Cetak tebal adalah doktor-doktor asal Afdeeling (kabupaten) Padang Sidempoean, Tapanoeli Selatan. Catatan: Dr Sardjito menjadi nama rumah sakit di Jogjakarta dan Dr R Soesilo adalah adik Dr Soetomo.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar