Kamis, 18 Januari 2024

Sejarah Bahasa (244):Bahasa Wamesa Leher Semenanjung Doberai Kepala Burung Pulau Papua; Teluk Bintuni dan Teluk Wondama


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Wamesa adalah salah satu penduduk asli Papua Barat, terutama mendiami distrik Bintuni, kabupaten Teluk Bintuni provinsi Papua Barat. Suku Wamesa juga menjadi suku terbesar di kabupaten Teluk Wondama. Suku Wamesa memiliki bahasanya sendiri, yang disebut bahasa Wamesa, yang jumlah penutur diperkirakan sebanyak 5.000 jiwa tahun 1993. Berdasarkan dialeknya bahasa ini terbagi menjadi Wandamen (Wondama), Windesi, dan Bintuni.


Wamesa adalah bahasa Austronesia di Papua digunakan di leher Semenanjung Doberai atau Kepala Burung. Saat ini terdapat 5.000–8.000 pembicara. Meskipun secara historis digunakan sebagai lingua franca, saat ini bahasa tersebut dianggap sebagai bahasa yang terancam punah dan kurang terdokumentasi. Ini berarti semakin sedikit anak yang menguasai Wamesa secara aktif. Sebaliknya, Melayu Papua menjadi semakin dominan di wilayah tersebut. Bahasa ini sering disebut Wandamen dalam sastra; Namun, beberapa penutur dialek Windesi menyatakan bahwa Wandamen dan Wondama mengacu pada dialek yang digunakan di sekitar Teluk Wondama, dipelajari oleh misionaris awal dan ahli bahasa. Mereka menegaskan bahwa bahasa tersebut secara keseluruhan disebut Wamesa, yang dialeknya adalah Windesi, Bintuni, dan Wandamen. Meskipun bahasa Wamesa digunakan di Papua Barat, Wamesa bukanlah bahasa Papua melainkan bahasa Halmahera Selatan-Papua Barat (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Wamesa di leher Semenanjung Doberai Kepala Burung Pulau Papua? Seperti disebut di atas bahasa Wamesa dituturkan di wilayah Wamesa. Teluk Bintuni dan Teluk Wondama. Lalu bagaimana sejarah bahasa Wamesa di leher Semenanjung Doberai Kepala Burung Pulau Papua? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Wamesa di Leher Semenanjung Doberai Kepala Burung Pulau Papua; Teluk Bintuni dan Teluk Wondama

Bagaimana bahasa Wamesa? Wamesa tempo doeloe dikenal sebagai Idore. Pada masa ini distrik Wamesa di kabupaten Teluk Bintuni memiliki 4 kampung: Mamuranu, Wasema I, Wasema II dan Yansey. Nama Idore pada masa ini hanya sebagai kampong di desa Tamoge distrik Nikiwar, kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Idore berada di perbatasan distrik Nikiwar (Teluk Wondaman) dan distrik Kuri (Teluk Bintuni).


Pada peta navigasi 1916, kampong Idora berada di lereng suatu gunung (puncak 805 M) yang berakses ke teluk Bintoeni. Dari kampong Idara melalui sungai kecil terus ke sungai Inseh dan kemudian melalui selat Modan ke perairan laut teluk Bintoeni. Tetangga kampong Idora adalah Randepandai, Mongko dan Woroberei. Di pulau Modan ada kampong Modan di selat. Tidak jauh di sungai/selat Aramasa terdapat kampong Aredo. Wilayah Modan, Aramasa dan Aredo ini kini menjadi wilayah distrik Kuri (kabupaten Teluk Bintoeni).

Nama-nama yang tetap eksis di wilayah bahasa Wamesa pada Peta 1925 adalah kampong Idore, Windose dan Aredo. Secara geografis tiga kampong ini seakan menjadi penghubung antara teluk Wondaman di tumur dan teluk Bintoeni di barat. Idore dan Aredo terhubung melalui sungai ke Teluk Bintoeni.


Wilayah ini sebenarnya sudah lama dikenal. Hal itu karena wilayah ini merupakan tanah genting (tanah sempit, leher kepala burung) yang diperlukan dalan pengetahuan navigasi. Hondius van Herwerden menyebutkan kelokan sungai Jakati tajam baginya. Horst dan Hondius mengarungi Solling, sungai antara Jakati dan Insee. Pulau Modan oleh Hondius dicatat Modam yang memiliki panjang 13 Km. Tonjolan titik barat daya dapat dilihat di keduanya (lihat Rohide vd Aa, Reize naar Nieuw-Guinea, Den Haag 1879). Dengan memasukkan pulau Modan tanah genting sekitar 36,8 Km, dari titik pulau tersebut lurus ke timur (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1903).       

Situasi dan kondisi wilayah Modan dan sekitarnya dijelaskan oleh JW van Hilde dalam bukunya Reizen in West Nieuw-Guinea, 1907. Disebutkan di selatan Noesawamar terdapat daerah rawa besar lainnya, dari sana muncul pulau tinggi Modan yang meliputi seluruh DAS Sowarawara dan berada di sebelah timur dibatasi oleh pegunungan di tepi kiri Insé, yang terletak di sepanjang tepi kanan sunga boven Aramasa. Pulau Modan yang sekarang tidak berpenghuni.


Pulau Modan menjadi salah satu penanda navigasi terpenting di Kawasan.  Penting karena jalur perairan (selat Modan) menjadi arah navigasi dari teluk Bintoenie melalui sungai Inse ke wilayah daratan tanah genting di kampong Idore. Sungai Inse ini terhubung ke utara sungai Mongko. Seperti disebut di atas, kampong Idore di arah teluk Bintoeni dan kampong Windesi di di arah teluk Wondaman.

JW van Hilde menyebut di masa lalu, rumah di sebelah timur sungai terakhir kampoeng Insé tempat tinggal Mayor tinggal yang mana saat ini semuanya disebut Mangkoi, dan berada di bawah Sangadji. Lantas mengapa disebut kampong Idore? Apakah nama ini merujuk pada nama Tidore? Kampong Idore ini terkesan strategis sebagai hub antara jalur navigasi pelayaran perdagangan (kerajaan Tidote) melalui teluk Bintoeni dan teluk Gelvin. Di Windesi sudah ada seorang misonaris J. A. van Balen (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1911).


Wilayah Papua pada tahun 11911 ini terbagi dua yang mana bagian barat dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan bagian timur oleh Jerman. Penarikan batas sudah dilakukan kedua belah pihak yang kini menjadi batas Indonesia dan Papua Nugini. Seperti kita lihat nanti saat perang dunia pertama di Eropa, wilayah Papua Nugini ini diinvasi oleh Australia (dari Jerman).

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Teluk Bintuni dan Teluk Wondama: Bahasa Wamesa Dua Sisi Navigasi Pelayaran Perdagangan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar