Jumat, 06 Januari 2023

Sejarah Surakarta (19): Aksara Jawa dan Pengembangan Aksara di Soerakarta; Aksara Latin Diantara Aksara Batak - Aksara Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Ada dua aksara yang mewakili dua bentuk aksara nusantara, yakni aksara Jawa dan aksara Batak. Bentuk aksara Jawa terdapat di daerah Sunda, Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Bentuk aksara Batak terdapat di Kerinci. Rejang, Lampung dan di wilayah Sulawesi dan pulau-pulau di Filipina. Diantara dua bentuk aksara tradisi nusantara ini kemudian diintroduksi dua aksara baru yang dapat berdampingan aksara tradisi nusantara yakni aksara Jawi (Arab gundul) dan aksara Larin (Eropa). 


Aksara Jawa dan Sejarahnya dalam Lingkungan Pemerintahan Kota Surakarta. Aksara Jawa atau yang juga dikenal dengan huruf hanacaraka adalah merupakan salah satu aksara tradisional di Indonesia yang berkembang di daerah Jawa. Aksara yang banyak digunakan pada jaman-jaman kerajaan ini, dulunya diciptakan oleh Aji Saka dari kerajaan Medang Kamulan. Ajisaka mengabadikan kisah Dora dan Sembada dalam ukiran aksara kuno yang sekarang dikenal aksara Jawa. Selain memiliki sejarah, makna filosofi yang terkandung dalam aksara berjumlah dua puluh huruf utama. Hanacaraka memiliki filosofi bagaimana manusia memiliki Tuhan. Hanacaraka merupakan warisan budaya yang sangat besar, memiliki makna mendalam, dan harus dilestarikan generasi di masa depan m. Selain masih aktif diajarkan di sekolah-sekolah, dan dipublikasikan sebagai muatan lokal. Ternyata ada juga beberapa daerah yang secara nyata mengaplikasikan hanacaraka, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah Kota Solo, dimana pada sekitar tahun 2007 dan 2008, Pemerintah Kota Surakarta mewajibkan setiap papan nama di perkantoran Pemkot Surakarta harus ditulis dengan aksara jawa. Kebijakan untuk melestarikan aksara kuno ini semakin tampak jelas setelah Walikota Solo saat itu yaitu Joko Widodo secara simbolis meresmikan beberapa penambahan aksara jawa di beberapa tempat publik Kota Solo seperti Bank Indonesia, Solo Grand Mall, SMP 27, dan Balai Kota Surakarta (https://surakarta.go.id)

Lantas bagaimana sejarah aksara Jawa dan pengembanganya di Soerakarta? Seperti disebut di atas, aksara Jawa adalah salah satu diantara aksara nusantara, seperti halnya aksara Batak masih tetap dilestarikan. Introduksi aksara baru (aksara Latin) tampaknya tidak menghilangkan aksara Batak dan aksara Jawa. Lalu bagaimana sejarah aksara Jawa dan pengembanganya di Soerakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 05 Januari 2023

Sejarah Surakarta (18):Candi Sukuh Gunung Lawu, Residentie Soerakarta (Karanganyar); Perbedaan Candi AntarWilayah AntarWaktu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Apakah ada candi di Surakarta? Tentu saja bukan yang dimaksud candi putih yang berlokasi di Vihara Dhamma Sundara jalan Ir. H. Juanda, Pucangsawit, Jebres. Yang dimaksud candi di Surakarta adalah candi yang berada di wilayah Residentie Soerakarta pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini wilayah residentie telah menjadi kabupaten/kota diantaranya Kota Surakarta/Solo dan kabupaten Karanganyar. Salah satu candi yang menjadi perhatian adalah candi Sukuh di lereng gunung Lawu. Candi lainnya di sekitar adalah candi Cetho yang berada pada ketinggian 1.400 M di lereng Gunung Lawu.


Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi Hindu secara administrasi di wilayah desa Berjo, kecamatan Ngargoyoso, kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena penggambaran alat-alat kelamin manusia secara eksplisit. Situs candi dilaporkan pertama kali pada masa pendudukan Inggris tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran dimulai tahun 1928. Lokasi candi di lereng kaki Gunung Lawu ketinggian 1.186 M dpl. Candi ini berjarak kurang lebih 20 Km dari Kota Karanganyar dan 36 Km dari Surakarta. Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan dan berbeda dengan candi-candi besar di Jawa Tengah seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur bangunan juga terkesan bentuk-bentuk piramida di Mesir. Candi ini menarik perhatian arkeolog Belanda, WF Stutterheim tahun 1930. Pintu utama memasuki gapura terbesar terlihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah candi Sukuh di gunung Lawu, residentie Soerakarta (Karanganyar)? Seperti disebut di atas, di wilayah residentie Soerakarta tempo doeloe dikenal candi di lereng gunung Lawu di kampong Soekoe. Candi gunung ini menjadi menarik karena ada perbedaan candi antar wilayah antar waktu. Lalu bagaimana sejarah candi Sukuh di gunung Lawu, residentie Soerakarta (Karanganyar)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (17): Bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta; Batak Instituut hingga Java Instituut (kini era LIPI)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Seperti halnya bahasa Batak, bahasa Jawa menjadi sangat penting dalam berbagai penelitian pada era Hindia Belanda. Tatabahasa pertama bahasa-bahasa di Hindia Belanda adalah bahasa Batak terbit tahun 1857 yang ditulis oleh Dr NH van der Tuuk. Tidak cukup sampai disitu pada tahun 1906 didirikan Lembaga Batak dimana anggotanya antara lain Charles Adriaan van Ophuijsen yang telah menyusun kamus dan tata bahasa Melayu. Lalu bagaimana dengan bahasa Jawa? Sudah sejak lama didirikan Het Instituut voor de Javasche taal di Soerakarta. Bagaimana dengan Jawa Insituut sendiri.? Ini bermula tahun 1918 (lihat De locomotief, 02-01-1919). Disebutkan pada akhir tahun 1918 diadakan pertemuan di Jogja untuk mempersiapkan pendirian Java Instituut. 


Java Instituut: Lembaga Ilmiah Pertama Hindia Belanda. Kumparan.com. Keseriusan Mangkunegoro VII untuk melindungi dan melestarikan budaya Jawa, pada 1918 mengantar pada pembentukan Komite Pembangunan Kebudayaan Jawa yang mempersiapkan suatu konferensi tentang budaya Jawa. Konferensi isukses digelar, para utusan dari 50 organisasi, Jawa maupun Eropa, datang ke Solo. Seribu dua ratus orang menghadiri konferensi itu, dengan Mangkungegoro sebagai ketua kehormatan. Java Instituur, yang didirikan setahun kemudian, merupakan hasil langsung dari konferensi ini. Java Instituut merupakan lembaga ilmiah pertama yang berdiri di Hindia Belanda, didirikan pada 4 Agustus 1919 di Surakarta. Statuta lembaga ini disahkan Gubernur Jenderal tanggal 17 Desember 1919 No 75. Pendirinya antara lain PAAP Prangwadono (Mangkunegoro VII), Dr. Hoesein Djajadiningrat, R. Sastrowijono, dan Dr. EDK Bosch, sedangkan pengurus yayasan pertama kali diketuai oleh Dr. Hoesein Djajadjningrat, sedangkan Dr. FDK Bosch sebagai sekretaris. Tujuan utama perkumpulan ini ialah mendorong perkembangan budaya Jawa, Madura, Sunda, dan Bali dalam arti yang seluas-luasnya. Guna mencapai tujuan ini, lembaga tersebut akan mengumpulkan dan menyebarkan segala macam informasi mengenai seluruh aspek kebudayaan Jawa, Sunda, Madura dan Bali baik yang mutakhir maupun yang lama. Kegiatan-kegiatan Java-Instituut yang cukup menonjol dan dapat menyumbangkan banyak hal bagi pengembangan intelektualitas antara lain, diadakannya Kongres Kebudayaan dan Sejarah, menerbitkan empat majalah, yaitu Djawa, Poesaka Djawi, Poesaka Sunda, dan Poesaka Madhoera, dan didirikannya museum Sana Budaya pada 1935 (https://kumparan.com/potongan-nostalgia/java)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta? Seperti disebut di atas bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Jawa adalah tiga diantara bahasa-bahasa nusantara yang dipejari pada era Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hubungan ini terkait dengan lembaga yang akan menaungi yakni pendirian kelembagaan. Dalam konteks inilah dipahami Batak Instituut hingga Java Instituut (kini era LIPI). Lalu bagaimana sejarah bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 04 Januari 2023

Sejarah Surakarta (16): Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, Residen di Soerakarta Masa ke Masa;Seberapa Penting Surakarta di Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Dalam struktur pemerintah khususnya era Pemerintah Hindia Belanda, Gubernur Jenderal adalah kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda, membawahi beberapa gubernur dan sejumlah residen. Gubernur Jenderal kurang lebih setara dengan gubernur tetapi sedikit ditinggikan, demikian juga gubernur setara dengan residen, tetapi gubernur sedikit ditinggikan. Dalam hubungan inilah terdapat relasi antara Gubernur Jenderal dengan Gubernur/Residen, termasuk Residen di Residentie Soerakarta. Jabatan di bawah Residen nada Asisten residen dan Controeleur..


Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Gouverneur-generaal van Nederlandsch-Indie) adalah jabatan tertinggi dalam pemerintahan Hindia Belanda. Konon, jabatan ini baru dibentuk pada tahun 1691. Sebelumnya gelar jabatan ini lain istilahnya. Penguasa Hindia Belanda sebelumnya berarti hanya duta VOC saja di Jakarta dan kemudian Batavia. Setelah bangkrutnya VOC pada tahun 1799, aset-aset VOC di Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintahan Belanda, sehingga mulai saat itu seorang Gubernur Jenderal benar-benar menjadi wakil daripada pemerintahan Belanda. Jabatan Gubernur Jenderal hanya ada di jajahan Belanda di Hindia Belanda. Di Suriname dan jajahan Belanda yang lain, gelar ini hanya disebut Gubernur saja. Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir Jhr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, ditangkap Jepang tahun 1942. Setelah itu, yang memakai gelar Gubernur Jenderal yaitu Hubertus Johannes van Mook, tetapi jabatannya sebagai Gubernur Jenderal secara legal diragukan. Gubernur Jenderal pertama diangkat oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) tetapi pada era Pemerintah Hindia Belanda Gubernur Jenderal diangkat oleh kerajaan Belanda. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, sebagian besar Gubernur Jenderal adalah Belanda, sedangkan pada era VOC sebagian besar Gubernur Jenderal adalah pemukim yang menetap di Hindia Timur. Di masa pendudukan Inggris (1811–1816), posisi yang setara adalah Letnan-Gubernur (Thomas Stamford Raffles). Antara tahun 1942 dan 1945, di saat Hubertus Johannes van Mook menjabat sebagai Gubernur Jenderal (nominal), wilayah Indonesia berada di bawah kendali Jepang. Setelah tahun 1948, dalam negosiasi kemerdekaan, posisi yang setara diangkat sebagai komisaris tinggi kemahkotaan di Hindia Belanda (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Residen Soerakarta masa ke masa? Seperti disebut di atas, wilayah Soerakarta adalah salah satu wilayah yang sangat khusus sejaka era VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda. Hal itulah mengapa Gubernur Jenderal Hindia Belanda terbilang kerap ke Soerakarta. Lalu bagaimana sejarah Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Residen Soerakarta masa ke masa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Surakarta (15): Kraton Soerakarta dan Soesoehoenan Soerakarta; Riwayat Raja Raja Tempo Doeloe Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Riwayat kraton dan raja-raja tempo doeloe antara satu dengan yang lain berbeda-beda. Kraton-kraton dan raja-raja sudah eksis sejak zaman kuno hingga kehadiran orang Belanda ke Indonesia (baca: Hindia Timur). Orang Belanda sejak era VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda sangat mengutamakan arti penting kraton dan raja-raja, terutama para pangeran yang memiliki kekinginan untuk bekerjasama. Dalam hal ini kraton dan raja-raja di Soerakarta salah satu yang terpenting sejak era VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda.


Keraton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kesunanan Surakarta Hadiningrat di Kota Surakarta, didirikan Sri Susuhunan Pakubuwana II tahun 1744, pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan tahun 1743. Secara tradisional Dinasti Mataram diteruskan oleh kerajaan Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Wilayah keseluruhan keraton Surakarta 147 hektar, meliputi seluruh area di dalam benteng Baluwarti, Alun-Alun Lor, Alun-Alun Kidul, Gapura Gladag, dan kompleks Masjid Agung Surakarta. Sementara luas dari kedhaton (inti keraton) 15 hektar. Ini bermula Kesultanan Mataram kacau akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibu kotanya oleh Sri Susuhunan Amangkurat II dipindahkan di Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana II, Mataram mendapat serbuan pemberontakan orang-orang Cina yang mendapat dukungan dari orang Jawa anti VOC tahun 1742, dan Mataram yang berpusat di Kartasura saat itu mengalami keruntuhan. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat (Bangkalan) sekutu VOC. Sri Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, memutuskan untuk membangun istana baru sebagai ibu kota Mataram yang baru. Dalam hal ini Sri Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan VOC, JAB van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru, di desa Sala berjarak 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, dekat Bengawan Solo. Nama desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Di istana ini penyerahan kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kesunanan Surakarta (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah kraton Soerakarta dan Soesoehoenan Soerakarta? Seperti disebut di atas, kraton Soerakarta terbilang salah satu kraton di Indonesia yang masih eksis dan terawatt dengan baik hingga masa ini. Kraton Soerakarta juga terbilang kraton tua. Dalam hubungan kraton ini di masa lampau riwayat raja-raja khususnya pada era Pemerintah Hindia Belanda berbeda-beda. Lalu bagaimana sejarah kraton Soerakarta dan Soesoehoenan Soerakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 03 Januari 2023

Sejarah Surakarta (14): Dr Moewardi dan Perguruan Tinggi di Hindia Belanda; Nama Moewardi Jadi Nama Rumah Sakit Daerah


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Dr Moewardi dan perguruan tinggi di Hindia Belanda adalah satu hal. Rumah sakit di Soerakarta adalah hal lain lagi. Bagaimana keduanya terhubung sehingga nama rumah sakit daerah di Surakarta diberi nama RSUD Dr Moewardi. Yang jelas di berbagai kota di Indonesia pada masa ini nama-nama tokoh penting yang bergelar dokter dijadikan nama rumah sakit pusat maupun daerah seperti di Jogjakarta (RSUP Dr Sardjito) dan di Semarang (RSUP Dr Kariadi).


Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi disingkat RSDM adalah rumah sakit pemerintah provinsi Jawa Tengah di Surakarta juga berfungsi sebagai RS pendidikan. Di masa lalu, di Surakarta, selain Rumah Sakit zending Jebres yang didirikan 1912 oleh Gereja Gereformeerd Delft dan Gereja-gereja Zuid Holland ten Noorden, terdapat dua rumah sakit lain Rumah sakit Ziekenzorg, yang berkedudukan di Mangkubumen dengan nama Partikelir Inslandscziekenhuis der verregniging ziekenzorg. Pada tahun 1907 rumah sakit yang dikelola oleh Vereeniging voor zieken verpleging in Nederlandsch-Indie (VZNI) ini sudah mendapatkan subsidi. Panti Rogo ini pada masa awalnya merupakan tempat perawatan yang dikhususkan untuk kerabat Keraton Surakarta, seiring dengan seringnya terjadi wabah penyakit yang dialami oleh masyarakat di Surakarta maka rumah sakit ini kemudian menerima pasien dari kalangan umum. Diperkirakan rumah sakit ini didirkan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X. Singkatnya pada tanggal 1 Februari 1949 rumah sakit ini diserahkan kembali kepada pemilik semula yaitu partikelir Inslandscziekenhuis der vereeniging ziekenzorg yang pada waktu itu berganti nama menjadi Perhimpunan Bale Kusolo. Sejak saat itu rumah sakit ini bernama rumah sakit Bale Kusolo. Sementara itu rumah sakit milik Keraton Kasunanan (Rumah Sakit Pantirogo) pada periode ini seiring dengan berubahnya orientasi masyarakat pemakainya, berganti nama menjadi Rumah Sakit Kadipolo. Rumah sakit ini diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia untuk keperluan perjuangan pada masa revolusi. Singkatnya lagi, kemudian muncul suatu rencana untuk mendirikan suatu Rumah Sakit Pusat di Surakarta akhirnya nama Bale Kusolo dinilai layak untuk dijadikan nama sekaligus identitas bagi rumah sakit di Surakarta. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 2 Maret 1950. menetapkan nama Rumah Sakit Bale Kusolo diganti dengan nama Rumah Sakit Pusat Surakarta. Akhirnya Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 24 Oktober 1988 ditetapkan nama menjadi RSUD Dr. Moewardi Surakarta (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Dr Moewardi dan perguruan tinggi di Hindia Belanda? Seperti disebut di atas nama Dr Moewardi menjadi nama rumah sakit daerah di Soerakarta. Moewardi sendiri adalah lulusan dari sekolah kedokteran (STOVIA) di Batavia. Lalu bagaimana sejarah Dr Moewardi dan perguruan tinggi di Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.