Selasa, 29 Mei 2018

Sejarah Kota Padang (51): Riwayat Dua Keluarga Tiga Generasi di Padang; Keluarga Abdoel Hakim dan Keluarga Achmad Saleh


Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini

Di Kota Padang terdapat dua keluarga yang terbilang hebat, yakni keluarga Abdoel Hakim dan keluarga Achmad Saleh. Dokter Abdoel Hakim memiliki saudara-saudara yang sukses dan ada juga yang dokter; demikian juga, Dokter Achmad Saleh juga memiliki saudara-saudara yang sukses dan ada juga yang dokter. Dua keluarga ini juga sukses dari hulu (generasi pertama) dan juga sukses ke hilir (generasi ketiga). Ayah Abdoel Hakim seorang lulusan sekolah guru (kweekschool), ayah Achmad Saleh juga seorang lulusan sekolah guru (kweekschool). Anak Dr. Abdoel Hakim seorang sarjana hukum, Mr. Egon Hakim; anak Dr. Achmad Saleh juga seorang sarjana hukum, Mr. Chaerul Saleh. Dua sarjana hukum beda generasi ini ini juga sama-sama dekat dengan Ir. Soekarno. Kedua tokoh ini sama-sama memiliki peran penting: Egon Hakim menyelamatkan Ir. Soekarno saat pendudukan Jepang di Padang; Chaerul Saleh dan Adam Malik menculik Soekarno dan Mohammad Hatta jelang proklamasi kemerdekaan RI. Uniknya, Soekarno pada akhirnya (sejak 1963) hanya mempercayai lima orang:: Mr. Chaerul Saleh (bidang ekonomi pembangunan), Adam Malik (perdagangan), Jenderal Abdoel Haris Nasution (pertahanan dan keamanan) dan Mr. Arifin Harahap, adik Amir Sjarifoeddin (anggaran). Pada saat besamaan Chaerul Saleh merangkap Ketua MPR dan Zainul Arifin Pohan sebagai Ketua DPR.

Kota Padang tempo doeloe adalah ibukota Province Sumatra’s Westkust (Provinsi Pantai Barat Sumatra). Saat itu terdiri dari tiga residentie: Residentie Padangsch Benelanden ibukota di Padang; Residentie Padangsch Bovenlanden ibukota di Fort de Kock; dan Residentie Tapanoeli ibukota di Sibolga. Kota-kota utama di provinsi ini, selain yang tiga kota tersebut adalah Sawahloento, Padang Pandjang, Fort van der Capellen, Panjaboengan, Padang Sidempoean dan Batangtoroe. Di kota-kota inilah terbilang adanya orang Eropa/Belanda dan Tionghoa. Oleh karena satu provinsi, warga kota-kota tersebut tanpa halangan berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Demikian juga para pejabat pemerintah, guru, djaksa dan dokter. Oleh karena itu, ketika lulusan ELS Padang Sidempoean sudah memenuhi kuota ke Docter Djawa School (cikal bakal STOVIA), lulusan ELS Padang Sidempoean dapat mengikuti seleksi melalui (persaingan) kuota di Kota Padang (ibarat SBMPTN pada masa ini).

Lantas apakah dua keluarga ini memiliki hubungan kekerabatan? Bagaimana asal-usul mereka, bagaimana riwayat dua keluarga tiga generasi ini berlangsung? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik untuk diperhatikan, hal ini mengingat dua keluarga ini sangat berpengaruh di Residentie West Sumatra. Mari kita lacak.

Docter Djawa School di Batavia: Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Achmad Saleh

Saat Achmad Saleh masuk di Docter Djawa School di Batavia tahun 1905, Abdoel Hakim dan Abdoel Karim lulus. Abdoel Hakim dan Abdoel Karim lulus ELS Padang Sidempoean sejak tingkat pertama hingga lulus satu kelas dengan Tjipto Mangoenkosoemo. Pada tahun ini juga guru Soetan Casajangan berangkat studi ke negeri Belanda (untuk mendapatkan akta kepala sekolah).

Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902
Sumatra-courant:nieuws-en advertentie blad, 28-01-1899: ‘seorang  pemuda belia bernama Abdoel Hakim, murid sekolah Eropa di Padang Sidempoean akan diambil sebagai murid sekolah untuk pelatihan dokter pribumi (docter djawa)’.

Satu tahun  sebelumnya (1904) Abdoel Rasjid masuk Docter Djawa School. Pada tahun 1902 Haroen Al Rasjid dan Mohammad Hamzah lulus di Docter Djawa School dan pada tahun 1903 ditempatkan di kota Padang (Haroen Al Rasjid) dan Mohammad Hamzah ditempatkan di Telok Betong. Dr. Haroen Al Rasjid adalah sepupu Abdoel Hakim; dan Dr. Mohammad Hamzah adalah sepupu Soetan Casajangan. Pada tahun 1901 Mohammad dan Isja masuk Docter Djawa School. Setahun setelah Achmad Saleh masuk Docter Djawa School pada tahun 1906 Radjamin masuk di Docter Djawa School (sekelas dengan Soetomo). Semua yang disebut berasal dari Sumatra sedangkan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetomo berasal dari Jawa.

Docter Djawa School dibuka tahun 1851. Tahun sebelumnya sudah dibuka sekolah guru (kweekschool) di Soeracarta. Pada tahun 1854 dua siswa dari Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s Westkust bernama Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School. Dua siswa ini merupakan siswa-siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Pada tahun 1856 didirikan kweekschool di Fort de Kock (sekolah guru yang kedua di Hindia Belanda). Pada tahun 1857 adik kelas Si Asta dan Si Angan bernama Si Sati berangkat studi ke negeri Belanda untuk mendapatkan akta guru. Setelah lulus tahun 1861, Si Sati yang telah mengubah namanya menjadi Willem Iskander pulang ke kampung dan tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato (sekolah guru yang ketiga di Hindia Belanda). Ayah Haroen Al Rasjid dan Abdoel Hakim serta ayah Soetan Casajangan adalah alumni Kweekschool Tano Bato, murid langsung dari Willem Iskander. Sedangkan Soetan Casajagan adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887 (dibuka tahun 1879 sebagai pengganti Kweekschool Tanobato) murid langsung Charles Adriaan van Ophuijsen. Murid lainnya Charles Adriaan van Ophuijsen di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Dja Endar Moeda, lulus tahun 1885 (mertua Dr. Haroen Al Rasjid di Padang) dan Mangaradja Salamboewe lulus tahun 1892 (anak dari Dr. Asta, alumni pertama Docter Djawa School dari luar Jawa).     

Gambaran ini sekadar menunjukkan bahwa Afdeeling Mandailing dan Angkola yang beribukota di Padang Sidempoean sudah surplus dokter dan guru sejak lama. Dengan populasi penduduk yang relatif sedikit Afdeeling Mandailing dan Angkola hanya membutuhkan dua dokter (di Panjaboengan (onderafdeeling Mandailing) dan di Padang Sidempoean (onderafdeeling Angkola). Sementara kebutuhan guru cukup 15 orang saja (minimal satu guru dari 15 sekolah yang ada di Afdeeling Mandailing en Angkola. Jumlah sekolah di Afdeeling Mandailing dan Angkola hingga tahun 1892 sebanyak 15 sekolah (Algemeen Handelsblad, 23-11-1892).

Setelah selesai ‘kuliah’ di Docter Djawa School, Dr. Asta ditempatkan di afdeeling Mandailing en Angkola untuk meningkatkan status kesehatan penduduk, sementara Dr. Angan dikirim ke Padangsch Bovenlanden. Pada tahun 1856 dua siswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola diterima lagi di Docter Djawa School, Si Dorie dan Si Napang dan setelah lulus kuliah Si Dorie pulang kampong untuk membantu Dr. Asta, sementara Si Napang dikirim ke Padangsch Benelanden. Demikian seterusnya secara periodik siswa-siswa asal Mandailing dan Angkola direkrut ke Docter Djawa School. Salah satu dokter asal Mandailing dan Angkola yang terkenal adalah Dr. Madjilis yang lulus tahun 1886 (Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1886). Dr. Madjilis bahkan lebih terkenal daripada Dr. Wahidin (pengagas Boedi Oetomo). Siswa-siswa lulusan Afdeeling Mandailing dan Angkola cukup populer sejak lama. Ukuran lain adalah Kweekschool Tanobato (dengan guru Willem Iskander) adalah sekolah guru terbaik di Hindia Belanda (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865) dan juga Kweekschool Padang Sidempoean (dengan guru Charles Adrian van Ophuijsen) juga adalah sekolah guru terbaik di Hindia Belanda (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 16-12-1884). Siswa pribumi pertama studi ke Belanda (1857) adalah Willem Iskander (lulus 1861); dan guru pribumi pertama yang melanjutkan studi ke Belanda (1905) adalah Soetan Casajangan (lulusan Kweekschool Padang Sidempoean, 1887). Oleh karena itu bukan aneh jika Dr, Madjilis adalah dokter pribumi terbaik di Hindia Belanda. Dr. Madjilis setelah lulus di Docter Djawa School ditempatkan di Oostkust Sumatra. Pada tahun 1896, Dr. Madjilis dipindahkan dari Tandjong Balai ke Moko-Moko di Bengkoelen (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-08-1896). Posisi yang ditinggalkan oleh Dr. Madjilis ditempati oleh Dr. Abdoel Rivai lahir di Moko-Moko, Bengcoelen yang lulusa Docter Djawa School tahun 1894. Dr. Madjilis setelah beberapa kali pindah dipindahkan kembali ke Tandjong Balai. Dr. Madjilis dari Tandjong Balai terakhir dipindahkan ke Padang Sidempoean (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21-02-1906). Setelah mengabdi selama dua dasawarsa, Dr. Madjilis akhirnya meminta pensiun dini dikampungnya di Padang Sidempoean terhitung tanggal 6 November 1906 (Bataviaasch nieuwsblad, 06-11-1906). Pada tahun 1907 keluar beslit Dr, Madjilis yang mengizinkan membuka praktik untuk kedokteran, operasi dan farmasi (Bataviaasch nieuwsblad, 06-07-1907). Besar dugaan Dr. Madjilis adalah dokter pribumi pertama yang diizinkan membuka Dokter Praktik (klinik). Setelah itu, Dr. Madjiis kerap bolak-balik ke Tandjong Balai. Nama, Dr. Madjilis terdeteksi terakhir sebagai dokter di perusahaan perkebunan yang berkantor di Tandjong Balai (De Sumatra post, 07-08-1917).

Berdasarkan situasi dan kondisi awal tersebut guru-guru dan dokter asal Afdeeling Mandailing dan Angkola sudah menyebar luas di berbagai tempat di Province Sumatra’s Westkust dan juga di Residentie Atjeh, Sumatra’s Oostkust, Riaouw, Bengkoelen dan Zuid Sumatra. Oleh karenanya bukan aneh muncul tokoh-tokoh asal Mandailing dan Angkola yang lahir dirantau.

Sekadar contoh, beberapa dari mereka adalah Mr. Ida Lomongga, Ph.D (Nasution) lahir di Padang 1905 (perempuan Indonesia pertama bergelar doktor, Amsterdam 1930); SM Amin (Nasution) lahir di Lho Nga, Atjeh, 1904 (Gubernur Sumatra Utara 1948); Sjoeman Hs (Hasibuan) lahir di Bengkalis, Riaouw 1904 (sastrawan); Abdoel Hakim (Harahap) lahir di Saroelangoen Djambi, 1905 (Wakil Perdana Menteri RI dan Gubernur Sumatra Utara pertama pasca pengakuan kedaulatan RI, 1951); Abdoel Abbas (Siregar) lahir di Medan, 1906 (anggota PPKI, 1945); Amir Sjarifoeddin (Harahap) lahir di Medan 1907 (Perdana Menteri RI 1947-1948); Gele Haroen (Nasution) lahir di Sibolga 1910 (Residen pertama Lampong); Arifin Harahap lahir di Sibolga 1915 (Menteri terlama di era Presiden Soekarno); Adam Malik (Batoebara) lahir di Pematang Siantar 1917 (Menteri Luar Negeri dan Wakil Presiden); FKN Harahap lahir di Depok, Batavia 1917 (orang Indonesia pertama yang mengalahkan juara Catur Belanda, Max Euwe 1933 dan mengikuti turnamen catur Internasional, 1935, anggota dan pengurus Perhimpoenan Indonesia Belanda 1939-1946 dan Ketua Percasi 1956); Overste (Letkol) Dr. Irsan Radjamin (Nasution) lahir di Semarang, 1917 (pejuang 11 Novemper di Soerabaja 1945); Boehanoeddin Harahap lahir di Medan 1917 (Ketua Masyumi dan Perdana Menteri RI 1955-1956); Sakti Alamsjah (Siregar) lahir di Soengai Karang, Deli 1922 (Pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung, 1950 dan 1966); Mochtar Lubis lahir di Soengei Penoeh, Djambi 1922 (Pendiri surat kabar Indonesia Raja di Djakarta 1950); Kolonel Zulkifli Lubis lahir di Kota Rada, Atjeh 1923 (yang mendesain struktur TNI 1946 dan Kepala Staf TNI, 1953); Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D lahir di Sibolga 1924 (doktor hukum, lulusan suma cum laude di Leiden 1943, penasehat hukum Soekarno dan Mohammad Hatta. Intelektual Indonesia yang pertama ditembak mati Belanda dalam serangan agresi Belanda ke Djogjakarta, 1948); Hasjrul Harahap lahir di Pematang Siantar 1931 (Menteri); Ida Nasution lahir di Sibolga tahun 1924 (pendiri organisasi Persatoean Mahasiswa Universiteit Indonesie, di Djakarta 1947, dan Lafran Pane, lahir 1922 pendiri HMI, di Djogjakarta 1947); Andi Hakim Nasution lahir di Buitenzorg (Bogor) 1932 (Rektor IPB Bogor 1978-1987); Mr. Aida Dalkit Harahap lahir di Batavia 1933 (perempuan Sumatra pertama sarjana hukum, 1957); Arifin Siregar lahir di Medan 1934 (Gubernur Bank Indonesia dan Menteri); Ucok Datoe Andalas (Harahap) lahir di Soerabaja 1942 (pionir musik rock Indonesia yang dikenal sebagai Ucok AKA); Sheila Madjid, penyanyi Malaysia, lahir di Selangor 1965, keturunan pendiri Kota Kuala Lumpur, Sutan Puasa; Johansyah Tagor Harahap lahir di Soekaboemi 1927 (anak dari Sorip Tagor Harahap, dokter hewnn Indonesia pertama di Utrecht, 1920, pendiri Sumatra Sepakat bersama Tan Malaka di Belanda, 1917 dan kakek dari Inez/Risty Tagor); dan lainnya. Mereka ini bersama-sama dengan yang lahir di kampung halaman tergabung menjadi diaspora Mandailing dan Angkola di perantauan (tidak kembali lagi; hanyut).

Kweekschool Padang Sidempuan ditutup tahun 1892. Hal ini karena anggaran pemerintah mengalami defisit. Sejak itu, anak-anak usia sekolah yang potensial di Afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya disebut Afdeeling Mandheling en Ankola) diperbolehkan masuk ke sekolah dasar Eropa (ELS) di Padang Sidempoean. Alumni ELS Padang Sidempuan banyak yang masuk ke Docter Djawa School di Batavia (cikal bakal STOVIA). Untuk anak-anak yang lulus sekolah dasar pemerintah yang ingin menjadi guru diarahkan untuk mengikuti pendidikan di sekolah guru terdekat di Kweekschool Fort de Kock. Namun diantara anak-anak Afdeeling Padang Sidempoean masih banyak yang tetap tertarik menjadi guru. Kweekschool For de Kock kemudian menjadi cukup terkenal di Padang Sidempoean karena Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, alumni Kwekschool Padang Sidempoean (1887), melanjutkan studi ke Belanda (1905), pendiri perhimpunan pelajar di Belanda Indisch Vereeniging (1908) dan lulus akta kepala sekolah di Haarlem (1913) lalu diangkat sebagai Direktur Kweekschool Fort de Kock (1914-?). Catatan: Jabatan terakhir Soetan Casajangan sebelum pensiun jadi guru tahun 1929 adalah Direktur Normaal School di Meester Cornelis, Batavia.

Beberapa lulusan Kweekschool Fort de Kock asal Afdeeling Padang Sidempoean adalah sebagai berikut: Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng masuk Kweekschool Fort de Kock tahun 1895 (dan lulus 1898). Setelah berpindah-pindah sebagai guru di Tapanoeli dan berhasil menulis sejumlah buku pelajaran dipromosikan sebagai penilik sekolah di Medan (1915). Pada tahun 1918 Radja Goenoeng menjadi anggota dewan (gemeenteraad) Medan yang berasal dari pribumi melalui mekanisme pemilihan umum (semacam pilkada). Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan masuk Kweekschool Fort de Kock tahun 1909. Setelah lulus Kweekschool Fort de Kock, Soetan Kenaikan tidak menjadi guru, tetapi berangkat ke Buitenzorg untuk melanjutkan pendidikan pertanian di Sekolah Pertanian (Lndbouw School). Soetan Kenaikan lulus tahun 1914 di Middelbare Landbouwschool (statusnya diubah dari Landbouw School tahun 1913). Setelah Abdul Azis Nasution lulus diangkat pemerintah sebagai advisor pertanian di berbagai tempat: Tapanoeli, Priaman, Painan, Pajacombo, dan Atjeh. Tugas ini dilaksanakan Abdul Azis Nasution beberpa tahun hingga akhirnya diangkat pemerintah menjadi Kepala Sekolah Pertanian (Landbownormaalscholen) di Padang Pandjang. Namun dalam perjalanannya, sekolah ini harus ditutup karena kondisi keuangan pemerintah. Meski sekolah pertanian di Padang Panjang macet, Abdul Azis Nasution tidak kehilangan akal. Abdul Azis Nasution kemudian lalu berinisiatif mendirikan sekolah pertanian swasta di Loeboeksikaping, Pasaman. Uniknya, sekolah pertanian ini kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan pertanian, pendidikan agama dan praktik dengan sistem asrama. Karena itu orang Belanda menyebutnya sebagai Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut dari Sekolah Pertanian Bogor sedangkan guru-guru agama dari Universitas Al Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925). Sukses Soetan Kenaikan membangun pertanian di West Sumatra, namanya menjadi sangat populer dan kemudian menjadi anggota Minangkabaoeraad tahun 1938 (satu-satunya yang berasal dari Tapaneli). Gading Batoebara alias GB Joshua setelah lulus Kweekschool Fort de Kock melanjutkan studi ke Hogere Kweekschool (KHS) di Poeworedjo dan lulus 1923. Setelah lulus, Gading Batoebara pulang kampung dan menjadi guru sementara di HIS swasta Sipirok (kampung halamannya). Kemudian Gading Batoebara pindah menjadi guru di Tandjoengpoera (Langkat). Tidak lama di Tandjongpoera, GB Josua tertarik atas tawaran untuk memajukan sekolah HIS swasta di Doloksanggoel. Kehadirannya membuat sekolah HIS Doloksanggoel maju pesat hingga akhirnya diakuisisi oleh pemerintah menjadi HIS negeri. Sukses GB Josua merancang HIS di Doloksanggoel membuat namanya diperhitungkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam perkembangannya, Gading Batoebara diangkat menjadi guru pemerintah dan ditempatkan di Medan (De Sumatra post, 17-09-1928). GB Joshua juga mendirikan sekolah swasta (Joshua Instituut). Pada tahun 1929 GB Josua melanjutkan lagi studi ke Negeri Belanda di Groningen. Setelah mendapat akte Lager Onderwijs (1931) GB Josua kembali ke Medan (1932). Pada tahun 1933 lulusan GB Joshua Instituut cukup banyak diterima di MULO Medan (lihat De Sumatra post, 27-04-1933). Joshua Instituut memiliki gedung baru tahun 1934 (De Sumatra post, 03-05-1934). GB Joshua terpilih menjadi anggota dewan kota Medan tahun 1936 (De Sumatra post, 04-04-1936). Joshua Instituut kemudian membuka sekolah MULO. Mr. Gading Batoebara Joshua kelak menjadi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatra Utara (Joshua Instituut di Medan masih eksis hingga ini hari).

Setelah lulus Docter Djawa School tahun 1905, Dr. Abdoel Hakim (yang kelak menjadi Wali Kota Padang) pertama kali ditempatkan di Padang Sidempoean, kampong kelahirannya. Pada tahun 1910 Abdoel Hakim dipindahkan ke Bindjai (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-04-1910). Lalu kemudian dipindahkan ke Tandjoengpoera. Pada tahun 1914, Djamin Harahap (ayah Amir Sjarifoeddin) diangkat sebagai Adj-hoofddjaksa di Tanjoeng Poera (Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1914). Lalu kemudian pada tahun 1915 Djamin Baginda Soripada dipindahkan ke Sibolga sebagai Hoofddjaksa.Achmad Saleh lulus di STOVIA tahun 1915 (Bataviaasch nieuwsblad, 13-02-1915). Untuk sementara Achmad Saleh ditempatkan di Burgerlyken Geneeskundigen Dienst (Rumah Sakit di Batavia). Achmad Saleh sedang dipersiapkan untuk menempati tugas baru di Padang (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-02-1915).

Setahun sebelumnya, tahun 1914, setelah lulus, Abdoel Rasjid ditempatkan di rumah sakit Batavia (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-07-1914). Pada tahun ini tiga pemuda memulai perkuliahan di Belanda: Dahlan Abdoellah dan Tan Malaka alumnsi Kweekschool Fort de Kock; dan Sorip Tagor alumni Veartssen School di Buitenzorg.

Achmad Saleh kemudian dipindahkan ke Taloe (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-03-1916). Taloe adalah kampung halaman Achmad Saleh, ayah Achmad Saleh berasal dari Taloe. Dr. Achmad Saleh cukup lama bertugas di distrik Taloe en Tjoebadak (kini Kabupaten Pasaman Barat). Saat Dr. Achmad Saleh di Taloe, adiknya Oesman Saleh diterima di STOVIA.

Anak Achmad Saleh ada lima orang. Anak Achmad Saleh yang pertama adalah Chaeroel Saleh. Di dalam berbagai literatur, Chaeroel Saleh disebut lahir di Sawahloento tanggal 13 September 1916. Ini mungkin sedikit membingungkan, karena kenyataannya Dr. Achmad Saleh tidak pernah bertugas di Sawahloento. Besar dugaan Dr, Achmad Saleh membawa istrinya jelang melahirkan ke Sawah Loento, karena di Sawah Loento terdapat rumah sakit yang bagus (bahkan saat itu rumah sakit Sawahloento lebih baik dari rumah sakit di Padang).  Kelak Chaeroel Saleh dikenal sebagai tokoh penting. Chaeroel Saleh, Adam Malik dan lainnya menculik Soekarno dan Mohammad Hatta jelang proklamasi kemerdekaan RI. Chaeroel Saleh (dari Taloe) dan Adam Malik (dari Kotanopan) sangat dekat satu sama lain.

Di daerah distrik Taloe en Tjoebadak dan kini Pasaman Barat terdapat cukup banyak etnik Mandailing. Berdasarkan SP 2010, secara nasional, populasi etnik Mandailing sebanyak 1.746,893 jiwa. Sebanyak 521.150 jiwa berada di luar Provinsi Sumatera Utara. Populasi terbesar etnik Mandailing di luar Sumatra Utara terdapat di Provinsi Sumatera Barat yakni sebanyak 168.283 jiwa. Di Kabupaten Pasaman terdapat sebanyak  52.418 jiwa dan di Kabupaten Pasaman Barat sebanyak 104.652 jiwa. Dua kabupaten ini berbatasan langsung dengan kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara. Persentase populasi etnik Mandailing di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat sebesar 93.34 persen dari seluruh Provinsi Sumatra Barat. Sedangkan sebesar 6.66 persen tersebar di kabupaten/kota lainnta  yang mana di Kota Padang terdapat sebanyak 4.126 jiwa dan Kota Bukit Tinggi sebanyak 1,213 jiwa.

Kongres Jong Sumatranen Bond di Padang

Dr. Abdoel Hakim setelah beberapa waktu bertugas di Oost Sumatra ditempatkan ke West Sumatra. Pada tahun 1919 Dr. Abdoel Hakim diangkat sebagai kepala ‘dinas kesehatan’ di West Sumatra (lihat De Preanger-bode, 30-05-1919). Dr. Abdoel Hakim juga adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang.

Pada tanggal 1 Januari 1917 mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di bawah arahan seorang mahasiswa senior membentuk Sumatra Sepakat. Mahasiswa senior yang mengambil bidang studi kedokteran di Utrecht bernama Sorip Tagor (Harahap). Pembentukan organisasi daerah ini lebih pada untuk merespon adanya euphoria Boedi Oetomo dan Jong Javanen yang tengah tumbuh di Jawa. Dewan Sumatra Sepakat adalah sebagai berikut: Presiden, Sorip Tagor; Wakil, Dahlan Abdoellah; Sekretaris merangkap bendahara, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Salah satu anggota bernama Tan Malaka (lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Di Batavia lalu didirikan Jong Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Sumatra. Jong Sumatranen Bond di Batavia didirikan pada tanggal 8 Desember 1917. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918).

Dr. Abdoel Hakim menjadi pembina Kongres Jong Sumatranen Bond di Padang. Salah satu pembicara dalam kongres tersebut adalah Rama Saleh (adik Dr. Achamd Saleh). Sehabis kongres, Dr. Abdoel Hakim mengundang komite kongres Jong Sumatranen makan siang di Hotel Central.

Het nieuws van den dag voor NI, 09-07-1919
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-07-1919: ‘Kongres Jong Sumatranen yang pertama diadakan di Padang yang dihadiri 3000 peserta dari berbagai daerah. Pada hari pertama dibuka oleh Amir. Bahder Djohan menjelaskan tujuan kongres. Setekah istirahat kongres dilajutkan yang salah satu bahasan adalah pendirin sekolah HIS di Padang. Pada hari kedua berbicara Amir tentang gerakan Jong Sumatranen Bond dan Rama Saleh tentang nasionalisme. Pada hari ketiga dilanjutkan yang ditutup pada pukul 12. Lalu diadakan parade dan sekaligus peletakan batu pertama monumen di dekat Michiel plein. Pukul 13 selesai. Kepada anggota komite kongres, Dr, Abdoel Hakim menjamu makan siang di Hotel Central’.

Dalam kongres Jong Sumatranen Bond ini besar kemungkinan Dr. Achmad Saleh hadir. Hal ini karena adiknya Rama Saleh menjadi salah satu pembicara. Topik yang dibicarakan Rama Saleh cukup berat yakni tentang Nasionalisme. Sulit dibayangkan bagaimana seorang perempuan di saat itu berani berbicara nasionalisme (persatuan nasional untuk semua suku bangsa) dalam rangka mengusir penjajah Belanda. Apakah tema ini terkait dengan asal-usul darimana keluarga Rama Saleh? Ramah Saleh saat ini adalah mahasiswa tingkat persiapan STOVIA yang baru naik dari kelas dua ke kelas tiga bersama Gindo Siregar (De Preanger-bode, 27-05-1919). Mahasiswa lainnya yang naik dari tingkat persiapan dari kelas satu ke kelas dua adalah Amir Hoesin Siagian, Djamaloeddin dan Hoemala. Sementara Aminoedin Pohan, Moerad Loebis dan Bahder Djohan dari kelas tiga naik ke tuingkat satu medik. Sedanhkan yang naik ketingkat dua medik adalah Djabangoen, Untuk yang naik ke kelas tiga Aboebakar dan Anas. Untuk yang naik ke kelas empat Amir dan Marie Thomas. Untuk yang naik ke kelas lima Abdoel Moenir dan Mohammad Djamil. Yang naik ke kelas enam adalah Mansoer dan Baderil Moenir.

De Preanger-bode, 28-10-1919 melaporkan bahwa Achmad Saleh dari Taloe yang telah disebutkan ke Weltevreden, dengan ketersediaan untuk komite kesehatan di sana. Lalu kemudian Achamd Saleh dipindahkan ke Tandjong Karang.Lalu kemudian Achmad Saleh pada tahun 1920 dipindahkan dari Tandjong Karang ke Tandjoeng Poera (De Sumatra post, 02-12-1920). Masih pada tahun 1920 Abdoel Radjid dipindahkan ke Padang Sidempuan, untuk menggantikan Soeib Paroehoeman yang dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Solok. Soeib Paroehoeman lulus STOVIA tahun 1917 (adik kelas Dr. Achmad Saleh). Paroehoeman kemudian dipindahkan ke Batavia (1920) dan dipindahkan lagi tahun 1921 ke Manado. Achmad Saleh dipindahkan dari Tandjong Poera ke Laboehan Deli (De Sumatra post, 19-12-1921). Sjoeib Paroehoeman kemudian dipindahkan lagi tahun 1924 ke Midden Java lalu atas prestasinya tahun 1926 . Sjoeib Paroehoeman ditugaskan untuk melanjutkan studi ke Belanda. Sjoeib Paroehoeman lulus dari Universiteit Amsterdam pada tahun 1930 dengan promotor Prof. Dr. Schuffner.

Dalam perkembangannya Volksraad yang baru, dimana pribumi diakomodir melalui pemilihan, tetapi (pulau) Sumatra hanya dijadikan satu ‘dapil’ dan hanya satu wakil ke Volksraad di Pedjambon. Meski demikian adanya, kandidat dari Sumatra yang muncul sangat banyak dalam ‘pemilu’ pertama tersebut (lihat De Sumatra post, 05-01-1921). Salah satu kandidat yang muncul adalah Dr. Abdoel Hakim di Padang.

Dalam daftar kandidat ini adalah Abdoel Hakim, dokter swasta di Padang,  Abdoel Moeis, wartawan di Weltevreden, Dr. Abdoel Rasjid Siregar, Inlandsch Docter di Penjaboengan (Tapanoeli); Abdoel Rivai, dokter swasta, Darwis gelar Datoek Modjolelo, demang di Manindjau, res. SWK,  Ibrahim Datoek Tan Malaka, guru di Senembah, Tandjong Morawa, lsmail, guru di Medan, Kajamoedin Harahap  gelar  Radja Goenoeng, penilik sekolah di Medan, Loetan gelar Datoek Rangkaja Maharadja, demang di SWK, Abdoel Firman Siregar galar Mangaradja Soangkoepon, anggota dewan kota di Sibolga, Hadji A. Salim, editor Neratja di Djocjakarta, Soetan Mohamad Zain, pemimpin redaksi Volkslectuur di Weltevreden, Mohamad Roesad gelar Soetan Pepatih di Padang, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, guru di Kota Nopan (Tapanoeli)’. Nama-nama tersebut merupakan tokoh-tokoh penting di West Sumatra, Tapanoeli dan Oost Sumatra. Dari daftar ini terdapat empat alumni Belanda: Abdoel Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Tan Malaka dan Mohammad Zain.  

Dalam kongres berikutnya tahun 1921 turut hadir ketua Jong Sumatranen (Bond) cabang Tapanoeli, Parada Harahap dan ketua cabang West Sumatra, M. Hatta. Pembina Sumatra Bond di Padang adalah Dr. Abdoel Hakim, sedangkan Pembina Sumatranen Bond di Sibolga adalah Dr. Abdoel Karim (Abdoel Hakim dan Abdoel Karim sama-sama sekelas di Docter Djawa School di Batavia).

De Sumatra post, 14-01-1922
Dr. Abdoel Hakim juga adalah ketua NIP West Sumatra (De Sumatra post, 14-01-1922). Nastional Indisch Partij didirikan oleh Dr. Tjpto Mangoenkosoemo dan kawan-kawan. Untuk ketua NIP Tapanoeli adalah Dr. Abdoel Karim. Sebagaimana diketahui Dr. Abdoel Hakim dan DR. Abdoel Karim adalah teman sekelas Dr. Tjipto di Docter Djawa School (berubah nama menjadi STOVIA).

Dr. Abdoel Hakim dipindahkan ke Boyolali. Namun tidak lama kemudian, Dr. Abdoel Hakim dipindahkan ke Laboehan Deli (De Preanger-bode, 10-07-1923). Dr. Abdoel Hakim gelar Soetan Isrinsah menggantikan Dr. Achmad Saleh yang dipindahkan ke Medan. Dr. Abdoel Hakim juga bertanggung jawab untuk layanan medis di koloni kusta di Poelaoe Si Tjanang (pusat rehabilitasi kusta ini didirikan oleh Dr. Mohammad Daoelaj pada tahun 1910 yang sekarang telah diakuisi oleh pemerintah). Jabatan Achmad Saleh di Kota Medan adalah direktur Stadsverband, rumah sakit kota (De Sumatra post, 07-08-1923). Pada saat habis masa jabatan Radja Goenoeng sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Kota Medan, muncul beberapa kandidat diantaranya Dr. Achmad Saleh dan guru Tjik Nang (De Sumatra post, 19-11-1923). Radja Goenoeng selain anggota dewan juga masih merangkap sebagai penilik sekolah di Residentie Oostkust Sumatra.

Komite Kota penyelenggaran pemilihan di Medan dibentuk tahun 1917 sebagai wujud dari permulaan sistem pemilihan secara demokrasi (tidak lagi ditunjuk). Komite ini (semacam KPU masa ini) bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan. Anggota dewan kota pertama yang terpilih untuk Kota Medan adalah Radja Goenoeng. Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng adalah mantan guru di Tapanoeli, penilik sekolah di Medan, alumni Kweekschool Fort de Kock. Radja Goenoeng lulus di Fort de Kock tahun 1899 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-01-1899). Kelak pada tahun 1909 Abdoel Azis gelar Soetan Kenaikan diterima di Kweekschool Fort de Kock. Setelah lulus Kweekschool Fort de Kock, Abdul Azis tidak menjadi guru seperti Radja Goenoeng, tetapi berangkat ke Buitenzorg untuk melanjutkan pendidikan pertanian di Sekolah Pertanian (landbouwschool). Abdul Aziz Nasoetion pada tahun 1913 lulus tingkat dua dan naik ke tingkat tiga (Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1913). Sekolah yang lama kuliahnya tiga tahun ini, pada tahun 1913, namannya diubah menjadi Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool). Abdul Aziz lulus pada tahun 1914. Ini berarti Abdul Azis Nasution adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian Bogor (Middelbare Landbouwschool).

Dalam proses pemilihan  anggota dewan kota (gemeenteraad) di Medan akhirnya yang terpilih adalah dokter Achmad Saleh (De Sumatra post, 27-11-1923). Dr. Achmad Saleh mengalahkan guru Tjik Nang. Ini dengan sendirinya, Dr. Achmad Saleh akan menggantikan seniornya Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng. Mengapa Dr. Achmad Saleh dapat memenangkan suara pemilih secara telak?

Kota Medan, sudah sejak lama dipenuhi oleh migran dari Angkola dan Mandailing. Ini sehubungan dengan pemisahan Residentie Tapanoeli dari Province Sumatra’s Westkust pada tahun 1905. Residentie Tapanoeli menjadi berdiri sendiri. Sejak itu tujuan migran Tapanoeli mulai bergeser dari ibukota Padang. Para pengusaha asal Mandailing dan Angkola sebagian investasinya dipindahkan dari Padang ke Medan. Salah satu pengusaha tersebut adalah Dja Endar Moeda (pemilik surat kabar Pertja Barat dan majalah Insulinde). Warga Mandailing dan Angkola di Medan pada tahun 1907 mendirikan organisasi Sarikat Tapanoeli untuk mengimbangi kekuatan ekonomi orang-orang Tionghoa. Ketua Sarikat Tapanoeli adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda dan wakilnya Mohammad  Jaqoub Nasution alias Sjech Ibrahim (namanya populer setelah pulang dari Mekkah). Sarikat Tapanoeli kemudian pada kahir tahun 1909 mendirikan surat kabar Pewarta Deli sebagai organ sarikat. Pada tahun 1909 ini juga Kota Medan diringkatkan menjadi Kota (Gemeente), Lurah pertama di Kota Medan, Pasar Kesawan diangkat yakni Sjeh Ibrahim. Pada tahun 1915 Residentie Oostkust Sumatra yang beribukota Medan ditingkatkan menjadi provinsi (dan sebaliknya Province Sumatra;s Westkust dilikuidasi menjadi hanya setingkat residentie yang namanya menjadi Residentie West Sumatra). Pada tahun 1917 sehubungan dengan sistem demokrasi pemilihan anggota dewan, anggota dewan dipilih (tidak ditunjuk lagi). Tidak semua warga memilih. Para pemilih adalah individu din dalam kota yang ditentukan berdasarkan tingkat pendapatan tertentu. Jumlah pemilih yang cukup banyak dari Mandailing dan Angkola di Medan yang menjadi faktor penting terpilihnya Radja Goenoeng dan Dr. Achmad Saleh.  

Pada tahun 1924 Abdoel Hakim dipindahkan kembali ke Padang (kembali) sebagai kepala dinas kesehatan Padangsch Benelanden. Pada saat kembali ke Padang ini, anak Dr. Abdoel Hakim, bernama Egon Onggara Hakim diberangkatkan studi ke Belanda (lihat De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 05-07-1924). Egon Hakim masih belia baru tamat ELS. Amir Sjarifoeddin sudah sejak tahun 1921 berada di Belanda. Amir Sjarifoeddin juga melanjutkan sekolah menengah ke Belanda setelah lulus ELS di Medan. Egon Hakim tidak sendiri tetapi bersama saudara sepupunya yang tamat ELS di Tandjong Karang bernama Gele Haroen (anak Dr. Haroen Al Rasjid). Mereka berdua menyusul kakak Gele Haroen bernama Ida Loemongga (kelahiran Padang) yang diterima di fakultas kedokteran di Universiteit Amsterdam tahun 1922 (Mohammmad Hatta setelah kongres Jong Sumatranen di Padang 1921 langsung berangkat ke Amsterdam). Sementara itu, Abdoel Hakim kembali menjadi anggota dewan Kota Padang.

Sorip Tagor pendiri Sumatra Sepakat di Belanda tahun 1917, setelah selesai studi kembali ke tanah air tahun 1921 dengan gelar dokter hewan (Dr) di Utrecht. Sorip Tagor sebelumnya adalah alumni dan asisten dosen di Veartsen School di Buitenzorg (lulus 1912). Pada tahun Sorip Tagor pulang, Alinoedidn Siregar gelar Radja Enda Boemi, lulus Recht School di Batavia dan menjadi pegawai di Landraad Medan berangkat ke Belanda studi tingkat doktoral. Radja Enda Boemi meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang Hukum di Universiteit Leiden tahun 1925. Tahun 1926 Dr. Sjoeib Paroehoeman tiba di Belanda untuk studi dokter spesialis. Beberapa tahun kemudian, Ida Loemongga (sepupu Egon Hakim) juga meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran tahun 1930 di Universiteit Amsterdam. Setahun sebeumnya (1929) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sepupu Amir Sjarifoeddin) menyusul tiba di Belanda untuk studi doktoral (meraih gelar Ph.D tahun 1933). Pada tahun 1931 menyusul Dr. Aminoedin Pohan dan Dr. Diapari Siregar untuk mengambil dokter spesialis di Belanda.

Dr. Achmad Saleh dari Medan dipindahkan ke Fort de Koek (De Sumatra post, 09-11-1926). Pada saat yang bersaman Dr. Pirngadi asisten dosen di STOVIA dipindahkan ke rumah sakit Kota Medan. Setahun sebelumnya (1925), di Loeboeksikaping (Pasaman) didirikan sekolah pertanian oleh Abdul Azis Nasution. Sekolah ala Abdul Azis Nasution ini tidak hanya unik, tetapi juga mampu memberi manfaat langsung bagi siswa-siswanya. Dalam praktek, sambil terus belajar, siswa-siswa diminta kerjasama dengan masyarakat sekitar untuk menyediakan lahan dan para siswa yang mengerjakan dengan ilmu yang dipelajari dengan cara bagi hasil. Hasil pendapatan siswa lalu ditabung di kantor pos agar nantinya ketika mereka lulus para lulusan sudah memiliki modal sendiri.

Setelah Abdul Azis Nasution lulus Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg, diangkat pemerintah sebagai advisor pertanian di berbagai tempat: Tapanoeli, Priaman, Painan, Pajacombo, dan Atjeh. Tugas ini dilaksanakan Abdul Azis beberpa tahun hingga akhirnya diangkat pemerintah menjadi kepala sekolah pertanian (landbownormaalscholen) di Padang Panjang. Namun dalam perjalanannya, sekolah ini macet karena kondisi keuangan pemerintah. Meskipun sekolah pertanian di Padang Panjang macet, Abdul Azis Nasution tidak kehilangan akal. Guru tetaplah guru, pertanian juga tetaplah pertanian. Anak-anak Padang Sidempuan, sebagaimana alamiahnya, akan terus berkembang dan akan berkonsentrasi pada bidangnya dimanapun mereka berada. Abdul Azis kemudian lalu berinisiatif mendirikan sekolah pertanian swasta di Loeboeksikaping, Pasaman. Uniknya, sekolah pertanian ini kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan pertanian, pendidikan agama dan praktek dengan sistem asrama. Karena itu orang Belanda menyebutnya sebagai Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut dari Sekolah Pertanian Bogor sedangkan guru-guru agama dari  Universitas Al Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925). Surat kabar tersebut mengutip berita tersebut dari koran berbahasa Melayu, Bintang Timoer, pimpinan Parada Harahap. Diceritakan di Koran ini bahwa di Lubuk Sikaping telah didirikan sekolah pertanian swasta dengan kurikulum Islam. Ini adalah bagian dari perjalanan jurnalistik ke Sumatra, ketika berada di Lubuk Sikaping, Parada Harahap cukup lama di sekolah Abdul Azis Nasution ini. Saat itu jumlah keseluruhan siswa ada sebanyak 55 siswa, yang berasal dari Bengkulu, Palembang, Aceh, Lampoengsche serta dari afdeeling-afdeeling pantai Sumatra bagian barat dan bagian timur. Disebutkan kurikulum tidak berbeda dengan kurukulum Normaalschool. Beberapa pelajran seperti botani, zoologi, fisika, geografi, aritmatika, bahasa Melayu, sejarah umum Hindia, geometri dan menggambar, diluar kimia, pengetahuan tentang penyakit tanaman, pengetahuan tentang penyakit peternakan dan ternak, geologi, ekonomi, survei, pertolongan kesehatan, pertanian teoritis dan praktis, dengan budidaya tertentu seperti kopi, karet, kelapa, kakao, padi, kentang,  vanili, jagong, dll. Untuk kelas pertama diajarkan bahasa Arab dan sebagai dasar untuk pengetahuan Islam. Dalam pendidikan agama kelas dua pendidikan agama sudah advance. Juga kurikulum mencakup bahasa Inggris, bahasa Belanda dan pelajaran adat istiadat. Artikel-artikel ini kemudian menjadi bagian dari buku yang diterbitkan oleh Parada Harahap dengan judul Dari Pantai ke Pantai yang terbit tahun 1926 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-07-1926). Buku ini menjadi ringkasan dari pengalaman yang diperoleh oleh pengalaman Parada Harahap selama perjalanannya dari Bengkulu ke Aceh, Pulau Penang, Kuala Lumpur, Singapura dan kemudian Jambi dan Palembang. Bagian pertama adalah wacana yang diberikan pada pantai timur Sumatra dan sisanya akan dibahas dalam bagian kedua dengan banyak ilustrasi yang memberikan pembaca wawasan bidang sejarah, ekonomi dan politik dari bagian wilayah-wilayah yang dijelaskan, termasuk di dalamnya tentang legenda tentang asal-usul Minangkabau dan kasus poligami yang berkuasa, disamping kondisi di Batak tentunya.

Adik Dr. Achmad Saleh bernama Ramah Saleh yang dulu hadir dalam kongres Jong Sumatranen pada tahun 1919 dengan topik Nasionalisme tidak meneruskan studinya di STOVIA. Ramah Saleh lebih memilih untuk kuliah di sekolah guru di Batavia. Setelah lulus sekolah guru, Ramah Saleh mengikuti pendidikan akta guru Hulpacte dan lulus (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-06-1925). Pada tahun 1925 Ramah Saleh diangkat menjadi guru kelas tiga di HIS Padang terhitung tanggal 12 Juli 1925 (Bataviaasch nieuwsblad, 01-07-1925). Pendirian sekolah HIS Padang merupakan salah satu usulan yang muncul dalam kongres Jong Sumatranen tahun 1919 di Padang.

Ramah Saleh setelah beberapa waktu di HIS Padang dipindahkan ke HIS Meester Cornelis (kini Jatinegara). Selain menjadi guru Ramah Saleh di Batavia Ramah Saleh ikut komite perempuan termasuk di dalam komite ini Marie Thomas dan Djajadiningrat (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 11-08-1928). Ramah Saleh guru kelas tiga di HIS Meester Cornelis dipindahkan menjadi guru kelas dua di HIS Oengaran (De Indische courant, 30-06-1930). Selanjutnya guru Ramah Saleh dipindah dari Oengaran ke Blora (De Indische courant, 27-09-1932). Berdasarkan permintaan sendiri guru kepala sekolah Ramah Saleh di Blora pensiun. Setelah pensiun dari guru pemerintah, Ramah Saleh akan mengajar di Kartinischool di Cheribon (Bataviaasch nieuwsblad, 22-06-1934).

Ramah Saleh telah mengikuti jejak seniornya Alimatoes Saadiah. Namun Alimatoes Saadiah tidak menjadi guru pemerintah tetapi guru swasta di Padang. Alimatoe Saadiah lulus dari sekolah guru (Kweekschool) di Fort de Kock (lihat Leeuwarder courant, 22-06-1903). Sekolah swasta ini didirikan tahun 1895 oleh seorang pensiunan guru, Dja Endar Moeda. Inisiatif pendirian sekolah swasta ini di Padang karena banyak penduduk usia sekolah tidak tertampung d sekolah negeri (pemerintah). Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi percetakan dan surat kabar Pertja Barat dan tahun itu mendirikan surat kabar Tapian Na Oeli dan majalah Insulinde. Dengan adanya percetakan, guru Dja Endar Moeda banyak menulis buku umum dan buku pelajaran. Saleh Harahap gelar (Mengara)Dja Endar Moeda juga membuka toko buku di Padang. Dja Endar Moeda adalah ayah dari Alimatoes Saadiah.

Alimatoes Saadiah menikah tahun 1903 di Kota Padang.dengan Dr. Haroen Al Rasjid (saudara sepupu Dr. Abdoel Hakim). Haroen Al Rasjid yang lulus Docter Djawa School tahun 1902 ditempatkan di Kota Padang. Anak mereka yang pertama lahir di Padang yang diberi nama Ida Loemongga. Keluarga muda ini kemudian pindah ke Sibolga. Di Sibolga adik Ida Lomongga lahir tahun 1910 yang diberi nama Gele. Setelah delapan tahun mengabdi sebagai dokter pemerintah (di Padang dan Sibolga), Dr. Haroen Al Rasjid meminta pensiun dini dan kemudian pindah ke Telok Betong untuk membuka dokter praktek. Ida Lomongga tahun 1930 meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam. Alimatoes Saadiah sudah lama tidak menjadi guru tetapi ikut membantu suami mengelola klinik di Telok Betong dan Tandjong Karang, tetapi paling tidak telah berhasil membimbing pendidikan putrinya menjadi perempuan Indonesia pertama bergelar Ph.D. Juga berhasil membimbing putranya Gele Haroen meraih sarjana hukum (Mr) di Universiteit Leiden (Gele Haroen kelak menjadi Residen Lampoeng).

Keluarga-keluarga tersebut telah bertransformasi menjadi keluarga transnasional. Dalam praktek mengikuti pepatah baru: dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Dalam penamaan kode (silsilah) keluarga juga mengalami modifikasi: Egon Hakim (dari Abdoel Hakim); Gele Haroen (dari Haroen Al Rasjid); dan Chaerul Saleh (dari Achmad Saleh); dan kemudian Eny Karim (dari Abdoel Karim).

Locoburgemeester Gemeete Padang dan Minangkabauraad

Setelah Dr. Abdoel Hakim dari Deli dipindahkan kembali Padang tahun 1924, Dr. Abdoel Hakim kembali menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang. Ini untuk periode yang kedua kali Abdoel Hakim sebagai anggota dewan di Kota Padang. Ini dengan sendirinya Dr. Abdoel Hakim akan disebut sebagai anggota senior (wethouder). Demikian juga Dr. Achmad Saleh yang dipindahkan sebagai dokter pemerintah dari Deli ke Fort de Kock tahun 1926, lalu kemudian Dr. Achmad Saleh diangkat menjadi anggota dewan (gemeenteraad) Fort de Kock (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-07-1927). Dr. Achmad Saleh juga disebut wethouder karena sebelumnya di Deli, Achmad Saleh sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan.

Di dewan kota Medan terdapat anggota dewan kota senior bernama Abdoel Hakim Harahap yang mengawali anggota dewan pada tahun 1930. Abdoel Hakim Harahap adalah rekan seperjuangan Dr. Achmad Saleh di dewan kota. Saat Dr. Achmad Saleh dipindahkan ke Fort de Kock Abdoel Hakim Harahap kelahiran Saroelangoen, Djambi masih tetap terpilih untuk periode ketiga. Abdoel Hakim Harahap adalah alumni sekolah ekonomi (handelschool) di Batavia, lulus tahun 1927. Abdoel Hakim Harahap menyelesaikan sekolah MULO di Kota Padang sebelum melanjutkan studi ke Batavia (kelak Abdoel Hakim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama pasca pengakuan kedaulatan RI). Pada tahun 1927 di Batavia, Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem lulus ujian bagian pertama akte notaris dan kemudian tahun 1929 lulus ujian bagian kedua akte notaris dan berhak mendapat lisensi register notaris. Umunya notaris adalah orang Eropa/Belanda tetapi ada lima orang pribumi yang bestatus notaris termasuk Soetan Pane Paroehoem. Kelak ketika Mr. Egon Hakim dan kawan-kawan mendirikan Universitas Pantjasila di Padang tahun 1951 (cikal bakal Universitas Andalas) dan Gubernur Sumatra Utara Abdoel Hakim Harahap mendirikan Universitas Sumatra Utara tahun 1952 yang membuat akte pendiriannya adalah Soetan Pane Paroehoeman.

Portofolio Dr. Abdoel Hakim juga semakin tinggi mengingat baru-baru ini lima utusan pribumi ke Belanda termasuk diantaranya Abdoel Hakim di Padang. Utusan ini untuk membahas program mayoritas penduduk pribumi di Hindia Belanda. Empat tokoh pribumi lainnya adalah Husein Djajadiningrat (West Java), Raden Hadiwidjojo (Midden en Oost Java), Ratoelangi (Manado/Minahasa) dan Mr. Todoeng Harahap dari Tapanoeli (lihat De Indische courant, 11-04-1928). Dalam hal ini Dr. Abdoel Hakim mewakili West Sumatra.

Trio Volksraad van Padang Sidempoean
Popularitas Dr, Abdoel Hakim di Padang dan sekitarnya juga diperkuat dengan sangat dekatnya Abdoel Hakim ke berbagai lapisan masyarakat. Dr. Abdoel Hakim juga adalah Presiden sarikat sepakbola Minangkabau dan IPE=Inlandsch Padang Elftal (lihat De Sumatra post, 08-12-1928). Sementara itu, sukses Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan untuk meningkatkan pendidikan pribumi di West Sumatra mendapat apresiasi tinggi di Afdeeling Padang Sidempuan. Pada tahun 1929, dalam periode pemilihan kandidat untuk dewan pusat (Volksraad) tahun 1930, nama Abdoel Azis Nasution muncul sebagai kandidat wakil Tapanoeli (dari afd. Mandheling en Ankola), bersama Dr. Abdul Rasjid dan Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D untuk bersaing dengan incumbent Dr. Alimoesa Harahap yang telah berada satu periode di Pejambon (lihat De Indische courant, 24-10-1929). Inilah cara masyarakat di Mandheling en Ankola menghargai prestasi para anak-anak Padang Sidempuan di rantau. Namun, Abdul Azis Nasution kalah bersaing dengan Dr. Abdul Rasjid yang terpilih menggantikan posisi Dr. Alimoesa Harahap di Pejambon. Untuk posisi anggota Volksraad dari Oostkust Sumatra kembali terpilih Mangaradja Soeangkoepon (abang kandung dari Dr. Abdoel Rasjid Siregar). Satu lagi yang menjadi anggota Volksraad mewakili golongan pendidikan adalah Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, Direktur Normaal School di Meester Cornelis (posisi yang pernah dipegang oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan). Total ada tiga kelahiran Padang Sidempoean di Volksraad. Jika memperhatikan peci hitam (lihat foto): terkesan ada kode antara MH Thamrin, Dr. Abdoel Rasjid, Mr. Mangaradja Soeangkoepon dan Ir. Soekarno (yang tengah berada di pengasingan di Flores).

Gebrakan pertama Dr. Achmad Saleh sebagai anggota dewan di Fort de Kock adalah memimpin tujuh orang komite di Fort de Kock untuk melakukan protes terhadap keanggotaan Minangkabau di Volksraad (De Indische courant, 13-09-1929). Anggota Volksraad yang mewakili Minangkabaou, Mr. Datoek Kajo dianggap tidak representatif. Untuk pemilihan Volksraad tahun 1930 harus dicari jalan keluar. Sementara itu, di Kota Padang Dr. Abdoel Hakim tahun 1931 dipilih dan diangkat pemerintah untuk menjabat Wakil Wali Kota (locoburgemeester) Kota Padang (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-12-1931). Pengangkatan Dr. Abdoel Hakim ini dianggap suatu kejutan.

Het nieuws van den dag voor NI, 09-12-1931
Wakil Wali Kota sangat tidak memungkinkan bagi pribumi. Hal ini karena anggota dewan kota senior (wetjouder) yang berasal dari golongan Eropa/Belanda cukup banyak. Sebelumnya, baru satu orang pribumi yang menjadi locoburgemeester yakni MH Thamrin di Batavia. MH. Thamrin diangkat sebagai Wakil Wali Kota untuk menggantikan orang Eropa yang mengundurkan diri. De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-01-1930 Batavia, Januari 21 (Aneta). Dalam pertemuan pagi ini Dewan Walikota dan Aldermen, Mr Thamrin diangkat wakil walikota kedua Batavia’. Dr. Abdoel Hakim dipilih dan diangkat pemerintah sebagai Wakil Walikota Kota Padang karena wakil yang sebelumnya juga mengundurkan diri.

Sebagaimana MH. Thamrin menjadi Wakil Wali Kota Batavia yang juga anggota dewan, maka di Kota Padang pribumi yang memiliki portofolio tertinggi adalah Dr. Abdoel Hakim. Satu-satunya warga Padang yang layak untuk memimpin warga Kota Padang sebagai Wakil Wali Kota adalah Dr. Abdoel Hakim. Di Batavia, MH Thamrin hanya menjadi locoburgemeester sebentar saja, tetapi Dr. Abdoel Hakim memegang posisi ini hingga tahun 1942 (suatu waktu yang sangat lama; Dr. Abdoel Hakim tidak tergantikan).

Sebuah pertemuan diadakan di gedung Kweekschool di Fort de Kock yang dihadiri sebanyak 400 delegasi. Pertemuan ini merupakan pertemuan yang mengundang semua asosiasi Eropa dan asosiasi pribumi dari Port de Koek, Fort van der Capellen dan Padang. Pertemuan ini dipimpin oleh Residen West Sumatra. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh sebanyak 400 orang turut hadir Mr. Ripin Anggota Volksraad dan Dr. Achmad Saleh (De Sumatra post, 04-01-1932). Pertemuan ini dalam rangka reformasi pembangunan di daerah Minagkabau.

Anak Dr. Abdoel Hakim, Egon Hakim akhirnya menyelesaikan studi di Universiteit Leiden di bidang hukum dan mendapat gelar Meester (MR) tahun 1933. Egon Hakim kelahiran Sibolga pulang ke tanah air dan lalu kemudian diangkat sebagai pengacara (advocaat en procureur) di Kantor Raad van Justitie di Kota Padang (De Indische courant, 31-05-1935). Pada tahun-tahun ini Egon Hakim menikah dengan putri MH Thamrin. Dua pribumi yang menjadi locoburgemeester menjadi ‘besanan’.

Dr. Achmad Saleh atas kesetiaannya dan pengabdiannya diberi bintang de Ksetrie gouden ster (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1935). Dr. Achmad Saleh kemudian dipindahkan dari Fort de Kock ke Sibolga sebagai kepala Dienst Volksgezondheid (De Indische courant, 12-06-1936). Dr. Achmad Saleh menggantikan posisi Dr. Sjoeib Paroehoeman (lulusan dokter spesialis tahun 1930 di Belanda) yang dipindahkan ke Riouw untuk bertindak sebagai dokter regional di tempat Dr. Gremmee (De Sumatra post, 01-07-1936). Selanjutnya, Dr. Achmad Saleh dipindahkan dari Sibolga ke Gouvernements Centrale Burgerlijke Ziekenlweg di Soerabaia, sebagai dokter Gouvernements Indisch di Kantor Layanan Kesehatan Masyarakat (De Indisch courant, 16-08-1937). Pada bulan Desember 1941 ketika militer Jepang sudah mulai merangsek ke Indonesia, Dr. Achmad Saleh termasuk salah satu dokter yang ikut dimobilisasi untuk mengantisipasi korban perang di Soerabaja (Soerabaijasch handelsblad, 16-12-1941).

Setelah sekian tahun, nama Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan muncul ke ranah publik di Minangkabau dan dicalonkan untuk menjadi anggota dewan daerah yang disebut Minangkabau Raad (lihat Sumatra post, 26-07-1938). Abdul Azis yang sudah populer dan merakyat itu dengan mulus menuju Padang (lihat De Sumatra post, 14-01-1939). Boleh jadi, dari 32 orang anggota dewan, Abdul Azis Nasution bukan satu-satunya yang berasal dari Tapanoeli yang menjadi anggota dewan di ranah Minangkabau.

Anggota dewan umumnya orang-orang Belanda dan tokoh-tokoh Minangkabau. Tionghoa diwakili oleh satu orang bernama Tjo Sim Soe (Letnan China). Dalam sidang-sidang selanjutnya, Abdul Azis Nasution memimpin rekan-rekannya di dewan agar pemerintah menarik buku 'Lakeh Pandai' sebagai buku pelajaran atau buku bacaan di ranah Minangkabau (lihat De Sumatra post, 15-06-1939). Mengapa buku tersebut ingin ditarik dari peredaran tidak dijelaskan.

Keluarga Abdoel Hakim di Padang dan Keluarga Achmad Saleh di Medan

Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Achmad Saleh diberi umur panjang. Pada tahun 1905, saat Achmad Saleh masuk Docter Djawa School, Abdoel Hakim dan Abdoel Karim lulus Docter Djawa School. Pada saat pendudukan Jepang, Dr. Abdoel Hakim membuka klinik kesehatan di Padang, sebagaimana saudara sepupunya di Lampoeng, Dr. Haroen Al Rasjid.

Sementara, Dr. Achmad Saleh di Soerabaja membantu adik kelasnya di Docter Djawa School, Dr. Radjamin Nasution. Achmad Saleh masuk Docter Djawa School tahun 1905 sedangkan Radjamin Nasution masuk Docter Djawa School tahun 1906. Radjamin Nasution adalah alumni ELS Padang Sidempoean seperti Dr. Abdoel Hakim. Setelah lulus Radjamin Nasution ditempatkan di bea dan cukai untuk urusan kesehatan. Setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, pada tahun 1929 Radjamin Nasution kemudian terpilih menjadi anggota dewan (gemeenteraad) Soerabaja tahun 1931. Pada tahun ini juga Dr. Radjamin Nasution bersama teman dekatnya di STOVIA, Dr. Soetomo menidirikan Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan pada tahun 1935 PBI mengajak Boedi Oetomo bergabung dan kemudian PBI berubah nama menjadi Partai Rakyat Indonesia (Parindra). Pada tahun 1938 Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota Volksraad dari Parindra bersama MH Thamrin. Pada saat pendudukan Jepang di kota Soerabaja yang memiliki portofolio tertinggi adalah Dr. Radjamin Nasution lalu diangkat pemerintah militer Jepang sebagai Wali Kota Soerabaja. Sementara Dr. Achmad Saleh pada tahun 1937 dipindahkan dari Sibolga ke dinas kesehatan Soerabaja. Pada tahun ini seorang lulusan NIAS, Dr. Amir Hoesin Siagian gelar Mangaradja Parlaoengan ditempatkan di dinas kesehatan Soerabaja (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-01-1937). Dokter muda asal Sipirok ini kemudian menikah dengan salah satu putri Dr. Radjamin Nasution yang juga seorang dokter lulusan NIAS (kelak menjadi guru besar Fakultas Kedokteran UI). Pada tahun 1941 seorang lulusan sekolah apoteker di Batavia bernama Ismail Harahap ditempatkan di Soerabaja. Ismail Harahap yang lahir di Padang Sidempuan adalah ayah dari Andalas Harahap gelar Datoe Oloan atau lebih dikenal sebagai Ucok AKA.  Andalas Harahap lahir di Soerabaja, 25 Mei 1943. Sebagaimana etnik Mandailing dan Angkola cukup banyak di Taloe en Tjoebadak (Pasaman); di Soerabaja dan sekitarnya juga cukup banyak etnik Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Selatan). Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Jawa Timur yang berasal dari Tapanuli Selatan (subetnik Angkola dan subetnik Mandailing) tercatat sebanyak 30.904 jiwa. Jumlah ini memang tidak ada artinya dibandingkan dengan etnik Jawa sebanyak 29.824.950 jiwa dan etnik Madura sebanyak 6.568.438 jiwa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan etnik non Jawa/Madura (pendatang), maka penduduk asal Tapanuli Selatan di Jawa Timur adalah nomor tiga terbanyak setelah etnik Tionghoa  (236.124 jiwa) dan etnik Sunda (45.262 jiwa). Etnik Bali sendiri yang cukup dekat dengan Jawa Timur hanya sebanyak 19.316 jiwa.

Kini, di akhir hidup mereka, Dr. Abdoel Hakim tetap di Padang, Dr. Achmad Saleh kembali ke Medan. Dr. Abdoel Hakim yang sudah mulai pensiun dan lebih dekat dengan cucu-cucu di Padang, namun karena terjadi kekosongan pimpinan setelah tertembaknya wali kota Aziz Chan, Dr. Abdoel Hakim kembali dipanggil untuk menjadi Wali Kota Padang (lihat Algemeen Indisch dagblad, 09-08-1947). Ketika diumumkan gencatan senjata, dan mulai dilakukan proses konferensi KMB di Den Haag, Dr. Abdoel Hakim mulai lega. Dr. Abdoel Hakim yang umurnya yang sudah menua, sedikit tersenyum karena situasi dan kondisi akan menjadi damai . Kini, anaknya Egon Hakim mulai memainkan peran di Kota Padang.

Di Kota Padang, dalam proses penyerahan kedaulatan RI (27 Desember 1949), Egon Hakim duduk sebagai sekretaris dan ayahnya Dr. Abdoel Hakim sebagai wakil ketua komite Sumatra Barat (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-12-1949). Komite ini bertugas untuk serah terima dari pihak Belanda kepada pihak RI dibawah pengawasan PBB. Sementara di Fort de Kock (Bukittinggi) pada saat penyerahan kedaulatan RI oleh Belanda tanggal 7 Desember Komite yang menerima di pihak Republik adalah Mr. Nasroen, Eny Karim dan Basjrah Lubis (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-12-1949). Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1949) Eny Karim, anak Dr. Abdoel Karim (teman sekelas Dr. Abdoel Hakim di Docter Djawa School) diangkat sebagai Wali Kota Bukittingi, sedangkan Basjrah Lubis diangkat menjadi pembantu Gubernur di Sumatra Utara. Basjrah Lubis berasal dari Taloe. Di Padang Sidempoean yang menerima penyerarahan kedaulatan RI adalah Moeda Siregar dan Radja Djoengdjoengan Lubis. Moeda Siregar diangkat menjadi Bupati Tapanoeli Selatan di Padang Sidempoean (1950-1951) dan digantikan oleh Radja Djoengdjoengan Lubis (1951-1954). Moeda Siregar menjadi Residen Sumatra Timur (1951-1954) dan Wali Kota Medan (1954-1958). Radja Djoengdjoengan Lubis menjadi Bupati Tapabuli Tengah (1954-1958). Basjrah Lubis menjadi Wali Kota Medan (1961-1964). Radja Djoengdjoengan Lubis menjadi Gubernur Sumatra Utara (1960-1963). Radja Djoengdjoengan adalah abang kandung Basjrah Lubis. Di wilayah lainnya, yang menerima penyerahan kedaulatan RI Lampoeng adalah Mr. Gele Haroen (sepupu Egon Hakim) lalu diangkat menjadi Residen Lampoeng. Sementara di Bengkoelen yang menerima penyerahan kedaulatan adalah Mr. Dr. Hazairin Harahap. Catatan: Hazairin lahir di Fort de Kock, setelah memperoleh gelar doktor hukum diangkat menjadi Ketua Landraad di Padang Sidempoean tahun 1938. Pada masa pendudukan Jepang, Hazairin Harahap diangkat menjadi Ketua Dewan Tapanuli Selatan. Pada tahun 1946 diangkat menjadi Bupati Tapanuli Tengah menggantikan Soetan Koemala Pontas. Pada masa pasca agresi militer Belanda pertama (1947) Amir Sjarifoeddin Harahap, Menteri Pertahanan mengangkat Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer Sumatra (bagian) Utara; Hazairin diangkat sebagai Wakil Gubernur Militer Sumatra (bagian) Selatan; dan Mr. Nasroen sebagai Gubernur Militer Sumatra Tengah. Mr. Hazairin dan Mr. Nasroen sekelas dengan Amir Sjarifoeddin di Rechts Hoogeschool Batavia.

Setelah pengakuan kedaulatan RI, Dr. Abdoel Hakim tetap menjadi Wali Kota Padang (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 13-01-1950). Dr. Abdoel Hakim adalah republiken sejati. Meski berada di dalam kerangkeng ‘Belanda’ Dr. Abdoel Hakim masih berjiwa nasionalis. Dr. Abdoel Hakim memulai karir politiknya sebagai Ketua National Indisch Partiji di West Sumatra (pimpinan Dr. Tjipto Mangoen koesoemo). Namun, Dr. Abdoel Hakim diminta datang ke Djakarta untuk menemui Mohamad Hatta (Perdana Menteri). Mohammad Hatta meminta Dr. Abdoel Hakim tetap menjadi Wali Kota (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-02-1950). Hubungan baik Mohammad Hatta dan Abdoel Hakim sudah terbentuk sejak lama, sejak kongres Jong Sumatranen di Padang tahun 1919 (Dr. Abdoel Hakim sebagai pembina kongres).

Setelah tiba di Padang, meski M. Hatta meminta untuk tetap menjadi Wali Kota, namun keputusan keluarga agar Dr. Abdoel Hakim bersitirahat untuk penyembuhan sakitnya. Keluarga tampaknya memutuskan agar Abdoel Hakim melepaskan jabatan wali kota tersebut. Keputusan ini telah disampaikan ke Dewan dan dewan menerima lalu disetujui (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-02-1950). Dr. Abdoel Hakim lengser kepabon dengan status pension.

Pada saat pengakuan kedaulatan RI, Dr. Achmad Saleh diangkat sebagai kepala dinas kesehatan di Residentie Madioen (Nieuwe courant, 22-03-1950). Dr. Achmad Saleh sudah lama bertugas sebagai dokter di Jawa Timur, pindah dari Sibolga tahun 1937. Sementara itu di Padang Mr. Egon Hakim bersama teman-temanya mendirikan sekolah tinggi hukum (yang menjadi cikal bakal Universitas Andalas).

Het nieuwsblad voor Sumatra 22-08-1951: ‘Perguruan Tinggi di Padang. Hari ini, perguruan tinggi hukum pertama di Sumatera ‘Pancasila’ di Padang resmi dibuka. Pada upacara tersebut hadir Prof. Dr. Hazairin Harahap. Para dosen yang akan memberikan kuliah di sekolah tinggi itu Dr. Haroen al Rasyid, Mr. Prawoto, Mr. Egon Hakim, Mr. Mak Kin San dan Mr. Nazaruddin. Sejauh ini sudah 80 mahasiswa yang terdaftar’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-08-1952: ‘Di hadapan lima menteri dan pengunjung sangat banyak pagi ini secara resmi membuka fakultas kedokteran dari Universitas Sumatera Utara di Medan oleh Ketua Dewan Pimpinan Yayasan, Gubernur Abdoel Hakim Harahap. Dalam pidatonya Abdoel Hakim Harahap menenkankan tentang pentingnya pembentukan fakultas ini untuk Sumatera Utara dan menyatakan harapan bahwa inisiatif penting ini akan menghasilkan buah yang baik. Ada keinginan untuk mencapai tujuan ini, karena sebuah universitas di Medan adalah keinginan dari orang-orang dari seluruh Sumatera Utara, ini ditunjukkan keinginan yang tercermin dalam sumbangan sukarela dari Rp. 1 per orang dari semua penduduk. Gubernur Abdoel Hakim Harahap mengharapkan kerjasama yang baik dari semua pihak dalam mempersiapkan pelaksanaan pekerjaan penting ini. Batu pondasi lalu diletakkan’.

Dr. Achmad Saleh dari Residentie Madioen dimutasi menjadi kepala dinas kesehatan di Malang (De vrije pers : ochtendbulletin, 02-02-1952). Boleh jadi Gubernur Abdoel Hakim Harahap berharap Dr. Achmad Saleh kembali ke Medan untuk membantunya di bidang kesehatan. Kini, Abdoel Hakim Harahap yang menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara sejak 12 Januari 1951 memerlukan putra-putra daerah yang terbaik di bidangnya, termasuk Dr. Achmad Saleh untuk membangun sistem kesehatan yang baru di Provinsi Sumatra Utara. Pendirian Fakultas kedokteran Universitas Sumatra Utara dananya sedang dikumpulkan dari seluruh masyarakat Sumatra Utara. Namun, Dr. Achmad Saleh awalnya akan dipindahkan ke Palembang (De vrije pers : ochtendbulletin, 08-07-1954) tetapi baru tahun 1954 Dr. Achmad Saleh dipromosikan menjadi Inspektur Kesehatan di Provinsi Sumatera Utara (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-10-1954). Satu per satu anak rantau akhirnya kembali ke Medan. Abdoel Hakim Harahap kelahiran Sarolongen, Djambie 15 Juli 1906 dan Dr. Achmad Saleh kelahiran Taloe, Sumatra’s Westkust 1890. Lalu kemudian menyusuk  Ir. Tarip Abdullah Harahap, alumni THS Bandoeng 1939 diangkat tahun 1957 menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sumatra Utara.

Belum lama (kembali) di Medan, Dr Ahmad Saleh dikabarkan telah meninggal dunia (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1955). Dr. Achmad Saleh gelar Engkoe Radja Machoedoem meninggal di Medan tanggal 19 Desember 1954 dalam usia 65 tahun. Almarhum Dr. Achmad Saleh dimakamkan disamping kuburan putrinya Maidaniah (yang meninggal tahun 1926 ketika Dr. Achmad Saleh berdinas di Medan. Dr. Achmad Saleh meninggalkan seorang istri, Noerisam dan empat orang anak: Chairul Saleh di Bonn; Boechari Saleh di Djakarta; Hafidz Saleh di Djakarta; Raisis Saleh di Djakarta; dan Afwani Saleh di Bandoeng. Catatan: Hafisz Saleh diterima di HBS di HBS Soerabaja tahun 1939 (De Indische courant, 22-05-1939); Raisis Saleh naik kelas dua di HBS Soerabaja (Soerabaijasch handelsblad, 03-06-1941). Bertunangan di Bandoeng Afwani Saleh dari Madioen dengan R. Soebiantoro (De vrije pers: ochtendbulletin, 08-08-1952). Boechari Saleh dan Raisi Saleh lulus sekolah mode dan kecantikan Selecta di Soerabaja. Guru untuk kecantikan Ny. Soetan Parlaoengan sementara untuk guru mode  adalah Go Giok Nio (De vrije pers: ochtendbulletin, 19-01-1953). Menikah R. Soebiantoro dan Afwani [Saleh] (Djakarta) (De vrije pers: ochtendbulletin, 22-06-1953).

Generasi Ketiga: Mr. Egon Hakim dan Mr. Chaerul Saleh

Egon Hakim dan Chaerul Saleh adalah generasi ketiga dari dua keluarga dokter di Padang. Kakek Egon Hakim adalah lulusan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato di Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s Westkust. Kakek Chaerul Saleh adalah lulusan sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock, Afdeeling Agam, Residentie Padangsch Bovenlanden, Province Sumatra’s Westkust.

Kweekschool Fort de Kock didirikan tahun 1856 oleh Asisten Residen Afdeeling Agam, JAW van Ophuijsen (mantan Controleur Afdeeling Natal, Residentie Tapanoeli). Kweekschool Fort de Kock adalah sekolah guru kedua di Nederlandsch Indie (yang pertama didirikan si Soeracarta, 1851). Pada tahun 1857 adik kelas Dr. Asta (dokter pribumi pertama dari laur Jawa) Willem Iskander melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan akta guru berlisensi Eropa. Setelah lulus tahun 1861, Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Tanobato tahun 1862. Pada tahun 1864 pemerintah mengakui keunggulan sekolah guru yang diasuh oleh Willem Iskander dan kemudian diakuisi pemerintah menjadi kweekschool negeri (sekolah guru yang ketiga di Nederlandsch Indie). Pada tahun 1873 Kweekschool Tanobato ditutup karena Willem Iskander diminta pemerintah di Batavia membawa tiga guru muda untuk studi di Belanda (Banas Lubis dari Tapanoeli, Raden Soerono dari Soeracarta dan Sasmita dari Madjalengka). Di Belanda Willem Isaknder juga melanjutkan studi untuk mendapatkan akte kepala sekolah lisensi Eropa, yang akan diproyeksikan menjadi direktur sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean tahun 1879. Salah satu guru di Kweekschool Padang Sidimpoean, Charles Adrian van Ophuijsen (anak JAW van Ophuijsen) dipromosikan menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempoean. Charles Adrian van Ophuijsen selama delapan tahun di Padang Sidempoean lima tahun terakhir menjadi direktur. Tiga murid terbaik Charles Adrian van Ophuijsen adalah Dja Endar Moeda, Soetan Casjangan dan Mangaradja Salamboewe. Guru Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan berangkat studi ke Belanda tahun 1905 dan pada tahun 1908 mendirikan perhimpunan Indonesia (Indisch Vereeniging) yang menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta (1926-1930). Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe adalah anak Dr Asta (dokter pertama yang berasal dari luar Jawa) editor pribumi kedua di Pertja Timoer di Medan (1902-1908). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah editor pribumi pertama di Pertja Barat di Padang tahun 1897. Dja Endar Moeda adalah mertua Dr. Haroen Al Rasjid (sepupu Dr. Abdoel Hakim). Dja Endar Moeda juga adalah kakek Dr. Ida Loemongga, Ph.D, perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D) tahun 1930 di Universiteit Amsterdam di bidang kedokteran.   

Sejak tahun 1892 tidak ada lagi sekolah guru di Afdeeling Mandailing dan Angkola, karena Kweekschool Padang Sidempoean ditutup karena anggaran pemerintah defisit. Namun pemerintah membuat kebijakan bahwa anak usia sekolah di Mandailing dan Angkola diberi kesempatan memasuki sekolah Eropa, ELS Padang Sidempoean. Untuk siswa yang lulus sekolah negeri (pribumi) diarahkan untuk melanjutkan studi ke Kweekschool di Fort de Kock. Lulusan ELS Padang Sidempoean umumnya melanjutkan studi ke Docter Djawa School.

Sejumlah lulusan Kweekschool Fort de Kock asal Mandailing dan Angkola yang terkenal antara lain Radja Goenoeng, Soetan Kenaikan dan GB Joshua. Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng masuk Kweekschool Fort de Kock tahun 1895 dan lulus akhir tahun 1898 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-01-1899). Setelah berdinas cukup lama di Tapanoeli, Radja Goenoeng yang sudah menulis banyak buku pelajaran diangkat menjadi penilik sekolah di Medan tahun 1915. Pada tahun 1918 Radja Goenoeng terpilih sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan, pribumi yang pertama. Sementara Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan masuk Kweekschool Fort de Kock tahun 1909. Abdul Azis tidak menjadi guru seperti Radja Goenoeng, tetapi berangkat ke Buitenzorg untuk melanjutkan pendidikan pertanian di Sekolah Pertanian (landbouwschool). Abdul Aziz Nasoetion pada tahun 1913 lulus tingkat dua dan naik ke tingkat tiga di Landbouw School (Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1913). Pada tahun ini Lanbouw School diubah menjadi Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool). Abdul Aziz lulus Middelbare Landbouwschool pada tahun 1914 dan kemudian diangkat pemerintah sebagai advisor pertanian di berbagai tempat: Tapanoeli, Priaman, Painan, Pajacombo, dan Atjeh. Tugas ini dilaksanakan Abdoel Azis beberapa tahun hingga akhirnya diangkat pemerintah menjadi kepala sekolah pertanian (landbownormaalscholen) di Padang Pandjang. Namun dalam perjalanannya, sekolah ini macet karena kondisi keuangan pemerintah. Meskipun sekolah pertanian di Padang Pandjang macet, Abdoel Azis Nasution tidak kehilangan akal. Guru tetaplah guru, pertanian juga tetaplah pertanian. Abdul Azis kemudian lalu berinisiatif mendirikan sekolah pertanian swasta di Loeboeksikaping, Pasaman. Uniknya, sekolah pertanian ini kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan pertanian, pendidikan agama dan praktek dengan sistem asrama. Karena itu orang Belanda menyebutnya sebagai Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut dari Sekolah Pertanian Bogor sedangkan guru-guru agama dari  Universitas Al Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925). Sejak itu nama Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan menjadi sangat populer di West Sumatra dan terpilih menjadi anggota Minangkabau Raad tahun 1938. Sedangkan Gading Batoebara atau GB Joshua setelah lulus Kweekschool Fort de Kock melanjutkan studi ke Hogere Kweekschool di Poeworedjo dan lulus 1923. Setelah lulus, Gading Batoebara pulang kampung dan menjadi guru di HIS swasta di Sipirok (tempat kelahirannya). Setelah beberapa kali mutasi, GB Josua di Medan karena berhasil merancang HIS di Doloksanggoel, pemerintah memberi apresiasi dan memberi beasiswa kepada GB Joshua untuk melanjutkan studi tahun 1929 ke Belanda di Groningen. Setelah mendapat akte Lager Onderwijs tahun 1931 GB Josua kembali ke Medan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 01-12-1931). Di Medan, GB Joshua mendirikan HIS swasta ((De Sumatra post, 02-07-1932). Pada tahun 1934 sekolah ini menjadi Joshua Instituut (De Sumatra post, 03-05-1934). Sekolah ini meluluskan siswa-siswa yang mampu bersaing memasuki sekolah MULO. Dalam pemilihan anggota dewan kota di Medan tahun 1936 GB Josua dan Abdoel Hakim Harahap terpilih (lihat De Sumatra post, 04-04-1936). Kelak, GB Joshua tahun 1952 diangkat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Noord Sumatra (De nieuwsgier, 29-04-1952). Sementara yang menjadi Gubernur Sumatra Utara adalah Abdoel Hakim Harahap (rekannya dulu di dewan kota Medan). Sebagaimana telah disebutkan Dr. Achmad Saleh diangkat menjadi Inspektur Kesehatan Provinsi Sumatra Utara tahun 1954.

Mr. Egon Hakim dan Mr. Chaerul Saleh adalah kelanjutan generasi awal, generasi guru dari kakek masing-masing. Dari generasi guru melahirkan generasi dokter (Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Achmad Saleh). Dan, kini muncul generasi ketiga, generasi ahli hukum: Mr. Egon Hakim dan Mr. Chaerul Saleh. Mereka ini adalah bagian dari tokoh-tokoh penting antar generasi. Salah satu sepupu Egon Hakim adalah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D, lulusan Universiteit Leiden dengan suma cum laude yang menjadi penasehat hukum Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta di Djogjakarta. Dalam agresi militer Belanda tahun 1948, Masdoelhak Nasution diculik intel/polisi Belanda dan kemudian ditembak mati di Djogjakarta (PBB di New York marah besar, karena militer Belanda membunuh intelektual muda). Selain itu, ahli hukum yang juga terkenal adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi meraih gelar doktor (Ph.D) di Universiteit Leiden pada tahun 1925 (pribumi pertama ahli hukum bergelar doktor). Pada generasi ketiga ini, selain Mr. Egon Hakim, Mr. Masdoelhak Nasoetion, Ph.D  dan  Mr. Chaerul Saleh serta Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D, juga terdapat ratusan tokoh-tokoh yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Mr. Amir Sjarifoeddin, Jenderal Abdoel Haris Nasution, Kolonel Zulkifli Lubis, Adam Malik dan Mr. Boehanoeddin Harahap serta Arifin Harahap (adik Amir Sjarifoedin, menteri terlama di era Soekarno).

De Tijd De Maasbode, 21-10-1967
De Tijd De Maasbode, 21-10-1967: ‘...Evenals generaal Nasoetion is Adam Malik afkomstig van de Batakstam, die zich door de jaren heen heeft gekenmerkt door een hoog percentage van leidinggevende figuren in het Indonesische leven... Seperti Jenderal Nasution, Adam Malik berasal dari suku Batak, yang telah menjadi ciri khas selama bertahun-tahun dengan persentase tinggi tokoh-tokoh terkemuka dalam semua bidang di Indonesia..’.

Generasi-generasi ini telah berkembang sejak era guru Willem Iskander dan guru Charles Adrian van Ophuijsen. Charles Adriaan van Ophuijsen (Indo Belanda) meneruskan cita-cita Sati Nasution alias Willem Iskander. Semnagat membangun Charles Adrian van Ophuijsen kemudian diteruskan oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda dan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Sangat menarik apa yang pernah dikatakan oleh Soetan Casajangan, bahwa setiap orang harus tekun agar tetap intelek, karena menurutnya dalam filosofi Batak jiwa itu berada di kepala (bukan di hati).

Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya mengutip beberapa saja di sini): ‘…Mengapa Anda mengambil risiko jauh studi kesini (Belanda) meninggal kesenangan di kampungmu, calon koeria (raja), yang seharusnya sudah pension jadi guru dan Anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang setia menunggumu?…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru [Charles Adrian van] Ophuijsen….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada semua sendi kehidupan (akibat penajajahan)... Saya punya rencana pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch Indie (baca: bangsa Indonesia)...Saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke sini (Belanda) agar bisa belajar lebih banyak..di kampong saya kehidupan pemuda statis, baik laki-laki dan perempuan..dari hari ke hari hanya bekerja di sawah (laki-laki) dan menumbuk padi (perempuan)…mereka menghibur diri dengan menari (juga tortor) yang diringi dengan musik, simbal, klarinet, gitar dan ensambel gong….Anda tahu dalam filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami harus tekun agar tetap intelek…’

Spirit Willem Iskander sangat melekat pada jiwa penduduk muda di Afdeeling Mandailing en Angkoloa (Agdeeling Padang Sidempoean). Buku karya Willem Iskander berjudul Siboeloe-boeloes, Siroemboek-roemboek yang terbit tahun 1872 hingga kini masih digunakan di sekolah-sekolah. Sudah barang tentu, Soetan Casajangan juga sangat hormat kepada Willem Iskander, karena ayah Soetan Casajangan (dan juga ayah Dr. Abdoel Hakim) adalah murid langsung Willem Iskander.

Pemahaman yang dimaksud Soetan Casajangan bahwa jiwa itu ada di kepala menunjukkan setiap orang harus terus mengasah pikiran dan menguji pemikiran. Dalam konteks masa tersebut, Soetan Casajangan mencoba mensintesis bahwa belajar dan berorganisasi adalah faktor penting kemajuan. Persatuan dan kesatuan dengan dilandasi oleh intelektualitas adalah modal utama meningkatkan kemakmuran pribumi (dan mengentaskan penjajah). Setiap orang dapat berpartisipasi bahwa dengan jiwa itu ada di kepala maka setiap orang dapat menuntut ilmu walaupun itu jauh ke negeri Belanda, Fort de Kock, Batavia, Buitenzorg. Setiap orang dapat mengaplikasikannya dimanapun berada. Prinsip dasar ini menjadi khas orang-orang Mandailing dan Angkola yang dengan sendirinya menjadi terbiasa merantau tidak kembali, hanyut bagaikan air sungai (perantau hanyut). Oleh karenanya pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung sangat sesuai dengan perantau Tapanoeli umumnya, khususnya Mandailing dan Angkola. Bumi dan lagit itu ada di Padang Sidempoean, Fort de Kock, Padang, Sawahloento, Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Djogjakarta, Soerabaja, Medan dan lainnya. Dengan begitu sangat memungkinkan terciptanya persatuan dan kesatuan nasional. Prinsip dasar inilah yang kelak memunculkan nama-nama tokoh besarL Abdoel Hakim di Padang, Haroen Al Rasjid di Telok Betong, Parada Harahap di Batavia dan Radjamin Nasution di Soerabaja serta Sakti Alamsjah di Bandoeng.

Mr. Egon Hakim dan Mr. Chaerul Saleh sebagai generasi ketiga sangat dekat satu sama lain dengan Adam Malik. Ini karena faktor Parada Harahap. Penggagas pendirian organisasi nasional adalah Parada Harahap tahun 1927. Organisasi nasional tersebut disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI. Organisasi ini diketuai oleh MH Thamrin dan sekretaris adalah Parada Harahap. Kantor/gedung PPPKI dibangun di lahan yang disediakan oleh MH Thamrin di Gang Kenari. Parada Harahap yang mempertemukan Mr. Egon Hakim (putra Dr. Abdoel Hakim) dengan putri MH Thamrin (kebetulan MH Thamrin dan Dr. Abdoel Hakim sama-sama locoburgemeester). Parada Harahap sangat mengenal dua keluarga ini. Parada Harahap, ketua Jong Sumatranen Tapanoeli yang turut hadir dalam kongres 1919 dam 1921 di Padang sudah mengenal keluarga Dr. Abdoel Hakim. Saat itu pembina kongres Jong Sumatranen adalah Dr. Abdoel Hakim. Parada Harahap sejak 1927 adalah kepala kantor/gedung PPPKI (Parada Harahap, pengusaha termasuk donator kuat bersama pengusaha MH Thamrin dalam pembangunan gedung PPPKI). Oleh karena rumah mertua Mr. Egon Hakim tidak jauh dari kantor/gedung PPPKI, Mr. Egon Hakim, alumni sekolah hukum di Belanda tahun 1934 sangat intens bertemu, terutama pemuda-pemuda asal Sumatra di gedung PPPKI ini (gedung pertemuan orang-orang politik), termasuk Amir Sjarifoeddin, Mohammad Jamin, Hazairin, SM Amin Nasution dan Abdoel Abbas Siregar (tokoh-tokoh pemuda yang terlibat langsung Kongres Pemuda 1928), tentu saja Chaerul Saleh dan Adam Malik (anak buah Parada Harahap di bidang pers; dan anak buah Amir Sjarifoeddin dan Mohammad Jamin di bidang partai politik). Ir. Soekarno juga kerap bertandang dari Bandoeng ke gedung Gang Kenari ini. Di kantor ini hanya tiga foto yang dipajang Parada Harahap di dinding, yakni: Diponegoro, Soekarno dan Mohammad Hatta (Parada Harahap sudah mengenal Mohammad Hatta di kongres Jong Sumtranen tahun 1919 dan 1921).

Chaerul Saleh naik dari kelas satu ke kelas dua di HBS Medan (De Sumatra post, 29-04-1932). Chaerul Saleh naik dari kelas tiga ke kelas empat (De Sumatra post, 26-05-1934). Satu kelas dengan Chairoel Saleh hampir semua adalah Eropa/Belanda dan Tionghoa dan hanya beberapa pribumi antara lain Aminoeddin Jacharia Pohan, Amir Hamzah Harahap dan Amir Hamzah Siregar. Chairoel Saleh pindah ke Koning Willem III School di Batavia. Chairoel Saleh lulus ujian akhir tahun 1937 (Bataviaasch nieuwsblad,          15-06-1937). Pada tahun 1937 ayah Chairoel Saleh (Dr, Achmad Saleh) dipindahkan dari Sibolga ke Soerabaja. Chairoel Saleh langsung melnjutkan studi ke Rechtshoogeschool Batavia. Setahun kemudian, Chairoel Saleh lulus tingkat pertama (De Indische courant, 06-10-1938). Chairoel Saleh ikut kompetisi tenis mahasiswa berpasangan dengan Nasution (Bataviaasch nieuwsblad, 27-11-1939). Pada tahun imi, Arifin Harahap (adik Amuir Sjarifoeddin) lulus sekolah hukum (Recht Hooge School) di kampus Chaerul Saleh (lihat De Indische courant, 19-08-1939).Amir Sjarifoeddin sendiri lulus Rechts Hoogeschool tahun 1935. Chairoel Saleh belum sempat menyelesaikan studinya sudah muncul Jepang yang menaklukkan Belanda (1942).   

Parada Harahap yang dulu (sejak 1927 lahirnya PPPKI) menggadang-gadang Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai kandidiat pemimpin Indonesia, akhirnyanya diselesaikan oleh Chaeroel Saleh, Adam Malik dan kawan-kawan dari kelompok pemuda Menteng 31. Chaeroel Saleh dan kawan-kawan menculik Soekarno dan Mohammad Hatta dan memaksanya untuk membacakaan Prokamasi Kemerdekaan Indonesia esoknya pada pagi tanggal 17 Agustus 1945. Adam Malik memberikan teks proklamasi kepada Mochtar Lubis untuk membawanya ke Bandoeng. Pada malam hari pukul 7 Sakti Alamsjah Siregar, penyiar Radio Bandoeng di Malabar membacakan teks proklamasi yang dibawa Mochtar Lubis. Siaran Radio Bandoeng tersebut kemudian terdeteksi di Djogjakarta dan di Australia. Sejak itu, kabar Indonesia telah merdeka menjadi tersebar luas.

Parada Harahap adalah inisiator para revolusiner untuk bekerjasama dengan Jepang. Sejak sahabatya, sejatinya ‘anak didik politik praktis’ Parada Harahap yakni Ir. Soekarno ditangkap tahun 1933 dan akan dibuang ke Flores, Parada Harahap yang tidak memiliki hutang kepada Belanda marah besar dan lalu memimpin tujuh revolusioner ke Jepang, termasuk diantaranya Mohammad Hatta yang baru pulang ke tanah air setelah selesai studi di Belanda. Parada Harahap dan kawan-kawan berangkat tanggal 13 November 1933. Ketika rombongan kembali dari Jepang dan turun di pelabuhan Tnadjong Perak Soerabaja tanggal 7 Januari, bersamaan juga di Batavia Ir. Soekarno diberangkatkan ke Flores. Setelah beberapa waktu di Soerabaja (yang dikawal oleh Radjamin Nasution dan Dr. Soetomo) para revolusioner dari Jepang kembali ke rumah masing-masing di Batavia, Medan, Bandoeng dan Pekalongan. Namun tidak lama kemudian Parada Harahap dan Mohammad Hatta ditangkap di Batavia. Di pengadilan, Parada Harahap dan Mohammad Hatta lolos karena konsulat Jepang ikut memberikan kesaksian bahwa Parada harahap dan kawan-kawan tidak terbukti bersalah. Namun Mohammad Hatta masih dikenakan pasal lain yang menjeratnya seperti Soekarno. Mohammad Hatta dikaitkan tulisan di media Daulat Rakjat, organ Pendidikan Nasional Indonesia. Setelah ditangkap pagi hari, tempat tinggal Mohammad Hatta di Gang Kebon Djerok No 37, Sawah Besar digeledah. Mohammad Hatta dibawa ke markas besar Polisi untuk menjalani interogasi awal dan kemudian ditahan di penjara di Struiswijk (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1934. Akhirnya Mohammad Hatta diasingkan ke Digoel. Pada tahun 1938 Parada Harahap dan MH Thamrin (besan  Dr. Abdoel Hakim) mencoba jalur politik di parlemen untuk meringankan hukuman Soekarno dan Mohammad Hatta. Saat itu anggota Volksraad yang pro demokrasi antara lain MH Thamrin, Mangaradja Soengkoepon, Dr. Abdoel Rasjid dan Soetan Goenoeng Moelia. Akhirnya keringanan hanya diberi pemindahan tempat pengasingan: Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir dari Digoel ke Banda dan Soekarno dari Flores ke Bengkoelen. Pilihan tempat Bengkolen awalnya untuk Soekarno dan Mohammad Hatta, namun karena Mohammad Hatta berasal dari Sumatra, akhirnya hanya Soekarno yang ke Bengkoelen. Pilihan Bengkoelen dimaksudkan, meski terkesan tempatnya terpencil, tetapi sangat memungkinkan bagi tokoh-tokoh revolusioner untuk berkomunikasi ke Bengkoelen dari tempat terdekat. Di Telok Bentoeng terdapat dua pengacara revolusioner Mr. Gele Haroen dan Mr. Abdoel Abbas Siregar; di Padang terdapat pengacara revolusioner Mr. Egon Hakim (anak Dr. Abdoel Hakim). Pada tahun ini beslit Amir Sjarifoeddin sebagai pengacara baru keluar dengan wilayah kerja Soekaboemi. Di kota ini sudah sejak lama bermukim Sorip Tagor. Amir Sjarifoeddin dan Mohammad Jamin kemudian membuka firma hukum di Batavia. Parada Harahap adalah mentor politik praktis semua pengacara revolusioner ini. Pada saat pendudukan Jepang, mudah ditebak: semua orang Belanda merangsek dan terkonsentrasi ke selatan Jawa dan barat Sumatra. Saat-saat panik Belanda atas kedatangan militer Jepang, pemerintah kolonial Belanda di Sumatra mengumpul ke Kota Padang (pelaboehan Telok Bajoer); yang berada di Jawa bagian barat mengumpul di Bandoeng dan Soekaboemi (pelaboehan Pelaboehan Ratoe). Semua itu agar memungkinkan evakuasi Belanda ke Australia. Saat-saat evakuasi Belanda inilah Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir ke Soekaboemi dan Soekarno ke Padang. Saat-saat situasi tidak menentu inilah Parada Harahap melakukan kontak ke Soekabomi  dengan tokoh revolusioner (Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin) dan Egon Hakim menyelamatkan Soekarno di Padang. Dalam perkembangannya terjadi proses kerjasama Parada Harahap, Soekarno dan Mohammad Hatta dengan pemimpin militer Jepang (inilah kerjasama kedua para revolusioner dengan Jepang, yang pertama tahun 1933). Namun dalam proses kerjasama ini Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir menolak.       

Jelang hari kemerdekaan Indonesia, sejatinya, tokoh revolusioner Indonesia pemegang portofolio tertinggi adalah Amir Sjarifoeddin, namun sulit ditemukan para pemuda karena Amir Sjarifoeddin berada di tahanan militer Jepang di Malang yang dijaga ketat. Hal ini karena, sejatinya, Soekarno dan Mohammad Hatta portofolionya di mata pemuda sudah sangat menurun karena telah bekerjasama dengan militer Jepang. Sementara para pemuda yang digalang oleh Chaeroel Saleh dan kawan-kawan sudah melakukan perlawanan, sebagaimana juga telah dilakukan oleh Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir di masa pendudukan Jepang. Para kelompok pemuda yang bekerja di media militer Jepang (di bawah koordinasi Parada Harahap) seperti BM Diah (Pohan), Adam Malik Batoebara), Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (Siregar). Akhirnya hanya Sakti Alamsjah yang bertahan dan dimutasi ke Radio Bandoeng.

Perlawanan yang dilakukan oleh Amir Sjarifoeddin sangat keras di Soerabaja. Akibatnya intel/polisi militer Jepang menangkap Amir Sjarifoeddin dan menahannya bulan Januari 1943. Pemerintah militer Jepang memutuskan Amir Sjarifoeddin harus dihukum mati. Mengetahui hal ini, Parada Harahap, Soekarno dan Mohammad Hatta yang telah bekerjasama dengan Jepang melakukan lobi dan akhirnya Amir Sjarifoeddin hanya dikenakan hukuman seumur hidup dan kemudian di tahan di kamp militer Jepang di Malang. Lagi-lagi, Parada Harahap berusaha meringankan hukuman bagi para revolusioner, seperti sebelumnya terhadap Sokarno dan Mohammad Hatta.     

Setelah sekutu/Amerika Serikat menjatuhkan bom di kota Hirosima dan Nagasaki, pemerintah Jepang mengalami sock. Kaisar Jepang dengan terpaksa menyerah. Pada saat pengumuman menyerah ini oleh Kaisar, di negara-negara jajahannya seperti Indonesia pidato kaisar tersebut sengaja disembunyikan. Pada tanggal 14 Agustus saat pidato kaisar itu semua jaringan listrik padam. Namun kapal-kapal besar yang bersandar di Tandjong Priok yang memiliki sistem listrik masih bisa mendengar siaran radio dari negara lain. Berita-berita orang kapal inilah yang beredar ke daratan, termasuk para pemuda. Chaeroel Saleh mulai mengambil peran dalam menculik Soekarno dan Mohammad Hatta dan memaksa untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dalam situasi menegangkan ini juga berperan Adam Malik dan BM Diah.

De West, voor Suriname, 08-03-1951
De West : nieuwsblad uit en voor Suriname, 08-03-1951: ‘Pada tanggal 14 Agustus 1945 pada pukul sebelas tiba-tiba listrik padam seluruh Java sekitar tiga jam... ada orang-orang yang berpikir untuk sabotagc.. tidak ada pemberitahuan pemadaman sebelumnya..pada pukul 12 kaisar akan mengumumkan melalui radio penghentian perang di seluruh kuasa militer Jepang karena kalah dari sekutu... Pimpinan tentara Jepang di Jawa, yang telah menerima pesan tanggal 13 malam bahwa pada 14 Agustus bahwa Jepang akan menyerah ...banyak orang tidak percaya bahwa Jepang telah menyerah, bahkan para pelaut yang tengah berada di kapal mereka di Priok yang dari situ berita beredar ke darat..bahkan dua Boeng (Soekarno dan Mohammad Hatta) juga tidak percaya ketika dikonfirmasi padahal mereka baru 10 haru sebelumnya bertemu Jenderal Terauchi di Saigon... Tetapi sekelompok pejuang revolusioner yang sudah lama bekerja di bawah tanah, termasuk Soekarni, Adam Malik, BM Diah, Wikana D. Asmoro dan Mr. Iwa Kusoemasoemantri dan Mr. Soebardjo percaya pada kekalahan Jepang dan mulai sibuk membuat rencana. Para siswa diantara mereka dengan bersemangat mendorong maju dengan pemimpinnya Chairoel Saleh, seorang mahasiswa hukum. Kelompok revolusioner mengadakan pertemuan rahasia pada malam tanggal 15 Agustus 1945 di Wilhelminainstituut, Pengangsan Timur 15. Kepemimpinan ditugaskan kepada  Chairoel Salem. Diputuskan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak harus bergantung pada orang lain atau Kerajaan [Jepang]. Untuk menyatakan bahwa rakyat Indonesia siap untuk merdeka dan mempertimbangkan momen ini untuk melakukannya, satu-satunya jalan keluar adalah memproklamasikan kemerdekaan dengan cara proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri, tanpa campur tangan asing. Dua utusan Wilkana dan Darwis diperintahkan untuk mengunjungi Soekarno dan Mohammad Hatta dan menanyakan apakah mereka akan memproklamasikan kemerdekaan dan memutuskan semua hubungan dengan Jepang... Pada pukul sepuluh malam, dua utusan diterima di Pegangsan Tinur 56. Setelah mereka memberi pesan mereka meminta Sukarno tentang posisinya. Dia menjawab: ‘Saya tidak percaya kekalahan Jepang, sementara pihak resmi [Jepang] belum memberitahu saya. Sejauh menyangkut kemerdekaan, Indonesia pasti akan merdeka karena masalah ini sekarang hanya menunggu waktu tepat karena persiapan yang hampir selesai’. Singkatnya pertemuan lebih lanjut Soekarno dengan yang lain diadakan 9malam itu)..Sementara dalam pertemuan tersebut hanya datang Drs. Moh. Hatta, Mr. Soebardjo dan Dr Boentaran. Hatta dan  Mr Soebardjo sudah mendengar berita tentang penyerahan Jepang dan ia merumuskan posisinya: ‘saya harus setuju bahwa kami (Soekarno, Hatta) 'masalah proklamasi kemerdekaan, sebelum kita lakukan  resmi kita harus mendengar pandangan pemerintah Jepang terlebih dahulu apa yang telah dijanjikan’, Pada tanggal 15 Agustus pada pukul 12 malam hari suatu pertemuan para konspirator di alamat jalan Tjikini 71, dimana laporan didengar dari utusan yang menemui Soekarno, Hatta. Pertemuan itu  dibawah kepemimpinan Chairoel Saleh. Diputuskan bahwa proklamasi dalam hal apapun harus dilakukan, jika perlu tanpa izin dari Soekarno dan Hatta. Bagaimanapun, kedua pemimpin ini akan dibawa ke luar kota. Chairoel Saleh, Sukarni, J. Koento, Dr. Moewardi dan Singih akan mengambil penculikan itu. Hatta dibangunkan pada jam empat pagi. Terkejut, dia bertanya apa maksudnya. Sukarni mengatakan bahwa ia [Moh. Hatta] perlu dibawa keluar kota sehubungan dengan situasi tegang. Hatta, meskipun marah, mengikuti. Dr. Moewardi yang telah diinstruksikan untuk membangunkan Soekarno, ragu-ragu karena [Soekarno] tidur sangat nyenyak. Dia [Moewardi] menunggu Chairoel Saleh, yang sebentar kemudian muncul dengan Hatta di mobilnya. Setelah Soekarno terbangun awalnya juga bertanya mengapa. Chairoel Saleh dan Soekarni mengatakan telah mengatakan kepadanya hal yang sama kepada Hatta. Kemudian meninggalkan [Djakarta] pukul setengah dua dengan mobil menuju Rengas Dengklok, sebelah timur Djakarta sekitar 90 km sebelah barat dari Krawang. Pada malam tanggal 16 sampai 17 Augustin 1945, warga Djakarta tidur dengan tenang, Soekarno dan Hatta dibawa kembali ke Jakarta, dimana mereka ditampung di perumahan Laksamana Maeda di Orange-Nassau Boulevaard. Soekarno dan Hatta mengusulkan untuk menandatangani proklamasi, hari berikutnya untuk mengirimkannya kepada panitia persiapan kemerdekaan Indonesia yang dibentuk oleh Jepang yang anggotanya agar berkumpul di Djakarta (baca: PPKI), Namun usulan itu ditolak oleh Chairoel Saleh dan Soekarni dengan kata-kata: ‘Kita tidak akan memiliki tubuh berbau Jepang’. Selanjutnya, Soekarno dan Mohammad Hatta meminta waktu untuk berunding dengan pejabat tertinggi Jepang. Usulan ini juga ditolak. Kemudian teks proklamasi diubah sehingga menjadi kurang tajam. Teks ini diketik oleh Sajoeti dan ditandatangani pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di hadapan Chairoel Saleh, Soekarni, Soebardjo, Iwa Koesoemamantri, Soediro, BM Diah, Sajoeti, [Adam] Malik dan Semaun Bakrie. Lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya’.

Pada saat permulaan kemerdekaan Indonesia ini, saat pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno dan Mohammad Hatta menyusun struktur pemerintahan dan menjalankan rekonstruksi nasional, tiba-tiba Belanda/Nica menguntit di belakang sekutu/Inggris yang melakukan proses pembebasan interniran Belanda dan pelucutan senjata dan evakuasi militer Jepang. Sementara di pihak sekutu/Inggris yang terkesan memberi angin kepada Belanda/Nica yang dipimpin van Mook (di pengungsian di Australia), di pihak republiken mulai muncul perseteruan (kolompok) siapa yang akan memimpin (perang) revolusi. Kelompok Chaeroel Saleh mulai mengemuka.

Saat pembentukan pemerintahan pasca proklamasi kemerdekaan, Soekarno dan Mohammad Hatta tidak pede. Mereka berdua dalam posisi dilematis. Soekarno dan Mohammad Hatta cooperative selama pendudukan Jepang harus berhadapan dengan sekutu/Inggris yang tengah bertugas pembebasan interniran Belanda dan pelucutan senjata dan evakuasi militer Jepang. Untuk meyakinkan sekutu/Inggris, Soekarno dan Mohammad Hatta mau tak mau harus meminta militer Jepang untuk membebaskan dan menjemput Amir Sjarifoeddin yang masih berada di kamp militer Jepang di Malang. Posisi yang diinginkan Soekarno yang ideal bagi Amir Sjarifoeddin di kabinet yang baru adalah Menteri Informasi. Dengan penempatan ini maka Amir Sjarifoeddin (yang anti Jepang, yang kalah dalam perang) akan sering muncul di publik (dan menjadi sinyal baik bagi sekutu/Inggris sebagai pemenang perang). Amir Sjarifoeddin bersedia, selamatlah muka Soekarno dan Mohammad Hatta.

Kelompok Chaeroel Saleh yang netral (melawan Jepang, juga anti Sekutu) melihat kepemimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta sangat lemah dan dianggap kurang berintegritas. Ketika Soekarno dan Mohammad Hatta mempersilahkan dengan baik sekutu/Inggris melakukan tugasnya, dan Amir Sjarifoeddin yang muncul sebagai propagandis Republiken yang anti Jepang, Kelompok Chaeroel Saleh justru mulai melancarkan serangan terhadap kantong-kantong sekutu/Inggris.

Itu ternyata tidak cukup bagi pemerintahan Soekarno. Struktur pemerintahan akhirnya diubah dari pemerintahan presidentil menjadi pemerintahan parlementer (partai). Kabinet Soekarno dibubarkan dan kemudian muncul tokoh revolusioner lainnya yang mana Soetan Sjahrir (yang sehaluan dengan Amir Sjarifoeddin yang anti Jepang) menjadi perdana menteri pada tanggal 14 November 1945 (tiga hari setelah puncak perang Soerabaja). Amir Sjarifoeddin memiliki posisi yang semakin menguat, tidak hanya Menteri Penerangan (nama sebelumnya Menteri Informasi) tetapi juga sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Dua pemimpin PSI (Partai Sosialis Indonesia) Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin menjadi dua matahari dalam kabinet. Soetan Sjahrir juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Fungsi mereka berdua menjadi sangat sentral saat itu (persoalan politik ditangani Soetan Sjahrir dan persoalan keamanan ditangani oleh Amir Sjarifoeddin. Dari daftar kabinet, termasuk Menteri Pengadjaran (kini Pendidikan) yang diisi oleh Mr. Soetan Goenoeng Moelia (sepupu Amir Sjarifoeddin).  

Soetan Sjahrir (Linggarjati): Chaeroel Saleh Ditangkap

Kabinet Soetan Sjahrir menghadapi persoalan yang semakin kompleks. Di satu sisi, tugas sekutu/Inggris terhadap pembebasan inteniran Belanda dan pelucutan militer Belanda belum selesai, sudah mulai Belanda merecokin yang dipimpin van Mook. Sementara di sisi lain, perlawanan rakyat terjadi dimana-mana terhadap sekutu/Inggris, juga perlawanan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang meragukan pemimpin Indonesia yang ada. Perdana Menteri Soetan Sjahrir, yang anti Jepang terkesan membuka ruang kerjasama dengan Belanda terus melakukan manuver di belakang sekutu/Inggris. Kelompok-kelompok yang menganggap lebih patriot, seperti Kelompok Chaeroel Saleh mengesampingkan kehadiran Soetan Sjahrir dan terus melakukan upaya-upaya untuk membebaskan rakyat dari kehadiran penjajah. Akhirnya Soetan Sjahrir diculik.

Dalam situasi dan kondisi ini, perlawanan rakyat terus digalang seperti Kelompok Pemoeda Chaeroel Saleh dan Volksfront (yang dipimpin Tan Malaka). Pada fase ini Amir Sjarifoeddin terus mengkonsolidasikan barisan keamanan rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Soedirman. TKR perhatiannya menjadi terbagi selain untuk membantu evakuasi militer Jepang juga harus berada di tengah penduduk yang memunculkan laska-laskar rakyat. Orang-orang Kelompok Chaeroel Saleh dan orang-orang Jerman di Batavia banyak yang ditangkap dan dijebloskan ke kamp sekutu/Inggris di Pulau Onrust (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 05-02-1946). Hal ini juga menambah beban bagi kabinet yang dipimpin Soetan Sjahrir. Lalu kabinet Soetan Sjahrir dirombak dan beberapa nama kementerian diubah (Maret 1946). Menteri Informasi diubah menjadi Menteri Penerangan yang dijabat Moh. Natsir. Menteri Keamanan Rakyat diubah menjadi Menteri Pertahanan yang (tetap) dijabat Amir Sjarifoeddin. Menteri Pengajaran Soetan Goenoeng Moelia menjadi Menteri Muda Pengajaran. Pada saat ini di Jawa (saja) terdapat 36.653 orang Jepang, sedangkan para interniran Belanda sebanyak 14.000 yang ditangkap Jepang dan 16.000 yang ditangkap Republiken dan kelompok-kelompok independen lainnya. Orang Jepang akan dievakuasi ke (pulau) Galang (selatan Singapoera) dan interniran ke Batavia, Semarang dan Soerabaja.

Pejabat Pemerintah 1945: Sumatra Barat/Mandailing-Angkola
Menteri Penerangan mengatakan sudah menangkap para pemimpin politik (17 Maret 1946) antara lain Chaeroel Saleh, Tan Malaka dan Mohammad Jamin, Abikoesno, Gatot, Wamiseno Yusuf, Suprapto dan Soekarni dan akan diadili. Mereka dituduh telah melanggar persatuan di antara orang-orang Indonesia dan akan diadili pada waktunya. TKR yang berada di bawah Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin berubah nama menjadi TRI bermarkas di Djogjakarta. Panglima adalah Soedirman dan wakilnya TB Simatoepang. Untuk divisi Djogja adalah Soedarsono dan divisi Bandoeng adalah Abdoel Haris Nasution.

Nieuwe courant, 06-07-1946: ‘Tan Malakka menyiapkan kudeta. Radio Djokja malam lalu yang dianggap organ Republik memberitakan tentang penculikan Sjahrir. Menurut radio Djokja, Tan Malaka Soebardjo, Soekarni, Muhammad Yamin dan Mr. Iwa Koesoema Soemantri yang dianggap para pemimpin oposisi. Menutur rencana mereka akan dieksekusi oleh komandan divisi dari TRI di Djokja, Soedarsono, (harus dibedakan dengan Menteri Soedarsono). Sementara pernyataan yang relevan dari republik di Departemen Penerangan, kemarin diumumkan. Pernyataan itu mengatakan bahwa dalam lingkungan pemerintahan republik gelagat kemungkinan tindakan Tan Malaka telah lama diramalkan dan karena itu ditangkap beberapa waktu lalu terhadap Tan Malaka Abikoesno dan Charoel Saleh. Selama penangkaran mereka didapatkan keterangan untuk mendapatkan Soebardjo, Gatot, Soemantri dan lain-lain, di mana mereka akan mempersiapkan coup d'etat, Tan Malaka dan para pembantunya menyebar agitasi bahwa dengan mengklaim bahwa Sjahrir dan orang-orang Indonesia lainnya cooperative Belanda dan  telah menjual Indonesia dan hanya hanya memberi pengakuan secara de facto republik (hanya) di Jawa dan Sumatera. Rencana lainnya bahwa Wakil Presiden (Mohamamd Hatta) dan menteri lainnya akan dibebaskan dari jabatan mereka, sementara Presiden (Soekarno) dan komandan tertinggi akan dipertahankan untuk sementara waktu, sampai kabinet yang baru dibentuk dan cukup kuat. Lalu kemudian akan menyingkirkan presiden dan panglima tertinggi. Para konspirator memiliki sendiri komposisi kabinet baru sebagai berikut: Presiden Minister, Tan Malaka; Wakil, Soebardjo: Menteri Dalam Negeri, Soediarto; Kehakiman, Soepomo; Agama, Wahid Hasim; Sosial, Chairoel Saleh; Keuangan: Maramis; Pendidikan, Ki Hadjar Dewantoro; Informasi. Moh. Yamin. Menurut pernyataan dari Kementerian Pendidikan (Soetan Goenoeng Moelia) pemerintah percaya bahwa konspirasi ini memiliki banyak fakta pendukung. Aksi sudah ada sejak 3 Oktober tahun lalu, dimulai ketika Sukarni memberi tahu presiden bahwa menurut dia, Tan Malakka adalah orang yang tepat untuk memimpin revolusi. Tak lama setelah itu muncul eenheidsgroep (satuan kelompok) yang berarti fakta bahwa menciptakan kesenjangan antara rakyat dan pemerintah. Kudeta itu sudah pada bulan Februari tahun ini terlihat selama pertemuan KNI pusat di Solo. Mereka gagal, namun,  Kementerian Informasi kemarin membuat pernyataan yang meminta orang-orang untuk membantu republik dalam penangkapan elemen berbahaya bagi republik’.

Dalam situasi dan kondisi yang komplek tersebut RI semakin terdesak oleh Belanda/NICA. Ibukota RI terpaksa dipindahkan ke Djogjakarta. Di Djogjakarta struktur kabinet diubah lagi (tanggal 2 Oktober 1946). Posisi Amir Sjarifoeddin tetap sebagai Menteri Pertahanan. Untuk meredakan ketegangan, pada tanggal 7 Oktober 1946 diadakan perundingan Indonesia-Belanda dan hasilnya disepakati persetujuan gencatan senjata tanggal 14 Oktober yang kemudian diagdendakan perundingan lebih lanjut (yang nantinya disebut Perundingan Linggarjati tanggal 11 November 1946 dan hasilnya ditandatangani 15 November 1946 dan perjanjian kedua belah pihak ditandatangani tanggal 25 Maret 1947.

Rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Jakarta.Batavia ke Djogjakarta dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap (adik Amir Sjarifoeddin, Menteri Pertahanan). Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari rombongan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Penerangan dan Kementerian Perhubungan (Komunikasi). Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Djogja yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946). Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin bersama Letkol Zulkifli Lubis mulai merancang desain organisasi TNI.

Benar apa yang telah diperjuangkan oleh Kelompok Chaeroel Saleh dan elemen lainnya bahwa Indonesia telah tergadai. Isi perjanjian Linggar Jati tiga butir pertama: (a) Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura; (b) Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949; dan (c) Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS. Sejak itu suara-suara pro kontra makin meruncing. Sejumlah partai tidak setuju termasuk Masjumi dan PNI.

Tekanan terhadap pemerintah RI mencapai puncaknya. Kabinet Perdana Menteri Soetan Sjahrir harus berakhir. Pada tanggal 3 Juli 1947 Amir Sjarifoeddin diangkat menjadi Perdana Menteri (untuk menggantikan Soetan Sjahrir). Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin tetap merangkap sebagai Menteri Pertahanan.

Amir Sjarifoeddin (Renville): Chaeroel Saleh Berjuang 100 Persen

Seperti halnya saat Soetan Sjahrir menjadi Perdana Menteri, Amir Sjarifoeddin juga menghadapi berbagai persoalan, persoalan yang tidak kunjung reda bahkan persoalan semakin komplek, baik dalam upaya menekan penetrasi Belanda maupun permasalahan yang muncul di internal republik Indonesia. Pada tanggal 15 Juli 1947 muncul instruksi HJ van Mook agar RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Instruksi ini diabakain RI lalu muncul ultimatum van Mook. Dengan meningkatnya jumlah personil militer Belanda, lalu kemudian Belanda melakukan operasi militer di Jawa dan Sumatera. Operasi ini dimulai 21 Juli 1947 (dan berakhir 5 Agustus 1947). Operasi militer Belanda yang disebut aksi polisional dianggap pemerintah RI telah melanggar butir Perjanjian Linggarjati. Tindakan aksi polisionil Belanda ini bahkan mengabaikan peringatan PBB.

Dewan Keamanan PBB lalu membentuk Komisi Tiga Negara untuk menyelesaikan permasalahan Belanda vs Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1947 Pemerintah RI dan Belanda menerima Resolusi PBB dan dilakukan gencatan senjata (lagi) pada tanggal 25 Agustus 1947. Dalam fase ini struktur kabinet Amir Sjarifoeddin dirombak (November 1947). Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia dipimpin PM Amir Sjarifoeddin (sebagaimana sebelumnya PM Soetan Sjahrir ke perundingan Linggarjati). RI yang semakin tertekan hanya dapat memperjuangkan hasil yang lebih sedikit. Perjanjian yang disebut Perjanjian Renville lalu ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Isi perjanjian itu adalah (1) Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Jogjakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia, (b) Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda, dan (3) TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Dampak dari perjanjian yang semakin tidak menguntungkan ini, kabinet Amir Sjarifoeddin harus dibubarkan dan digantikan dengan kabinet baru yang dipimpin oleh Mohammad Hatta (pada tanggal 29 Januari 1948).

Mohammad Hatta (KMB/RIS): Pejuang Kemerdekaan Amir Sjarifoeddin Ditembak Mati

Konsekuensi dari perjanjian Renville mau tak mau juga harus dituruti oleh PM Mohammad Hatta. Yang paling kentara adalah Divisi Siliwangi yang berbasis di Jawa Barat yang berada dibawah komando TNI Kolonel Abdoel Haris Nasution harus mengungsi ke Jawa Tengah/Djogjakarta. Pelaksanaan hijrah ini selesai pada 22 Februari 1948. Rombongan pertama tiba di Jogjakarta pada 11 Februari 1948 yang disambut Panglima Jenderal Soedirman. Sementara itu beberapa kelompok perlawanan rakyat melakukan gerilya, seperti Hizbullah dengan komandannya Zainul Arifin Pohan dan Kelompok Kartosoewirjo. Sementara Chaeroel Saleh, Adam Malik dan kawan-kawan masih berada di tahanan.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) didesain oleh Amir Sjarifoeddin dan Kolonel Zulkifli Lubis pada tahun 1946 di Djogjakarta. Pada saat itu Amir Sjarifoeddin masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan (sebelumnya benama Menteri Keamanan Rakjat) dalam Kabinet Soetan Sjahrir. Organisai TNI ini kemudian disempurnakan oleh Menteri Pertahanan Hamengkoeboewono IX (kabinet Hatta I) dan Kolonel Abdoel Haris Nasution (lihat Algemeen Handelsblad, 07-02-1958).

Sebagaimana halnya, Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin yang terus mendapat tekanan, pemerintah di bawah pimpinan PM Mohammad Hatta semakin panik. Belanda hanya mengakui Djogjakarta dan Jawa (sebagian) Tengah dan sisanya di Sumatra membuat ruang bergerak semakin sempit. Saat inilah para tahanan Kelompok Chaeroel Saleh dari persidangan terakhir tanggal 3 Juli 1946 disidangkan kembali (lihat Nieuwe courant, 17-04-1948). Dewan Perang di Djokjakarta memutuskan untuk menjatuhkan hukuman, antara lain: Soedarsono 12 tahun penjara, Moh. Yamin 12 tahun, Iwa Kusoema Soemantri 6 tahun, Dr. Bcentaran 6 tahun, Chaeroel Saleh 5 tahun dan  Adam Malik 3 tahun. Pembela HAM mengajukan semacam banding dan sesi pengadilan akan diadakan lagi pada tanggal 29 April.

Fungsi penghubung antara Belanda dan Republik Indonesia tetap dipertahankan keberadaan Sekretariat Republik Indonesia (semancam kedubes). Kepala kantor sekretariat untuk Djokja adalah Setiadjit dan di Batavia tetap dijabat oleh Mr. Arifin Harahap (Nieuwe courant, 27-04-1948).

Kabinet Mohammad Hatta di Djogjakarta terus mendapatkan tekanan tidak hanya dari luar (Belanda) tetapi juga dari elemen bangsa. Di Madioen terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para elemen oposisi. Pemberontakan ini lebih dikenal sebagai Pemberontakan PKI 1948 atau Peristiwa Madioen. Peristiwa pemberontakan komunis ini terjadi tanggal 18 September 1948. Pemberontakan ini merupakan reaksi dari pihak oposisi terhadap hasil Perjanjian Rinville semasa Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, tetapi tetap dituruti oleh kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Para elemen oposisi ini menginginkan RI 100 persen, tidak hanya Djogjakarta/Midden Java dan sebagian kecil Sumatra. Untuk mengatasi persoalan ini TNI melakukan penumpasan yang dipimpin oleh Kolonel Abdoel Haris Nasution.

Sementara TNI terbelah perhatiannya, Belanda mulai melancarkan serangan ke kubu RI dan menghabisi TNI. Belanda tidak peduli lagi dengan isi Perjanjian Renville. Serangan dimulai di Djogjakarta pada pagi tanggal 19 Desember 1948. Dalam serangan militer ini, intel/polisi juga menyusup dan yang pertama diculik adalah Mr. Masdoelhak, Ph.D di rumahnya di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak Nasution (penasehat hukum Soekarno dan Mohammad Hatta) di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah. Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat (lihat De waarheid, 25-02-1949). Dewan Keamanan PBB marah besar. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa yang berkantor di New York meminta sebuah tim netral di Belanda untuk melakukan penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion di Djogjakarta 21 Desember 1948. Reaksi cepat badan PBB ini untuk menanggapi berita yang beredar dan dilansir di London sebagaimana diberitakan De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949. Koran ini mengutip pernyataan pers dari kepala kantor Republik Indonesia di London yang pernyataannya sebagai berikut: ‘sejumlah intelektual terkemuka di Indonesia, diantaranya Masdulhak, seorang penasihat pemerintah dibunuh hingga tewas tanpa diadili’. Instruksi PBB segera dituruti Kerajaan Belanda dan kemudian dilakukan sidang pengadilan (lihat De waarheid, 25-02-1949). Sementara itu pemimpin RI (Sokarno dan Mohammad Hatta diatangkap lalu diasingkan ke Bangka dan Brastagi/Parapat.

Dalam kekosongan pemerintahan ini kemudian muncul pemerintahan darurat RI di Bukittinggi. TNI sendiri masih menjalankan fungsinya di berbagai tempat untuk melawan agresi militer Belanda. Dalam hal ini, sesuai kebijakan baru Jenderal Spoor, TNI harus dimusnahkan, tetapi dalam kenyataannya militer Belanda tidak berhasil di sejumlah tempat terutama di wilayah Tapanuli Selatan yang dipimpin oleh Letkol Kawilarang dan Major Ibrahim Adji (anak buah Kolonel Abdoel Haris Nasution). Belanda yang telah melanggar perjanjian Renville kemudian mendapat kecamatan internasional termasuk PBB. Kelompok-kelompok di luar TNI juga melakukan perlawanan.

Algemeen Handelsblad, 21-11-1949: ‘Pertemuan Kelompok Tan Malaka, Daeoel Islam Kartosuwirjo dan Gerilya 17 Agustus. Pertemuan di Soekaboemi dihadiri oleh Chairul Saleh (penghubung antara Tan Malaka dan Darul Islam), Wahidin Nasution (komandan Divisi Gerilya 17 Agustus) dan perwakilan dari Kartosuwirjo (pemimpin Darul Islam di Jawa Barat). Kemudian muncul tanggal perebutan kekuasaan yang bergeser hingga 1 Februari 1950. Kesatuan Divisi Gerilya 17 Agustus meliputi antara lain komponen Bamburuntjing dan API-88 dan sudah beroperasi di selatan Batavia di Buitenzorg, sebagian  Krawang,  dan di beberapa wilayah Bandung’.

Akhirnya dilakukan gencatan senjata dan diagendakan untuk melakukan konferensi (KMB) di Den Haag. Gencatan senjata ini mengakhiri pertempuran di Benteng Huraba di Padang Sidempoean, suatu benteng yang tidak pernah tertembus militer Belanda menuju ibukota RI di pengungsian di Bukittinggi. Benteng Huraba ini tidak jauh dari kampung halaman Kolonel Abdoel Haris Nasution.

Persiapan dan pelaksanaan konferensi ini akhirnya berakhir pada tanggal 2 November 1949. Isi perjanjian KMB ini adalah sebagai berikut: (1) Keradjaan Nederland menyerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat. (2) Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya; rancangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Nederland (3) Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
   
Penyerahan kedaulatan RI ini oleh Belanda terlaksana pada tanggal 27 Desember 1949. Sebelumnya, telah dibentuk pemerintahan yang disebut Pemerintahan RIS pada tanggal 20 Desember 1949 yang mana sebagai Presiden adalah Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta.

Ternyata tidak semua elemen bangsa menerima isi perjanjian KMB tersebut. Salah satu kelompok yang menolak keras isi perjanjian tersebut adalah kelompok Chaeroel Saleh. Kelompok yang dipimpin Chaeroel Saleh ini masih konsisten dengan perjuangan 100 persen RI. Dalam isi perjanjian KMB masih ada keterlibatan asing (Belanda) dan tidak utuhnya Indonesia karena Irian Barat masih sepenuhnya bagian Belanda. Untuk itu kelompok Chaeroel Saleh melakukan gerilya di selatan Buitenzorg dan Banten. Sayap militer kelompok Chaeroel Saleh ini disebut Brigade 17 Agustus 1945 dibawah komandan Wahidin Nasution.  

Kolonel Abdoel Haris Nasution (NKRI): Chaeroel Saleh Disekolahkan ke Swiss dan Jerman

Negara Republik Indonesia yang diperjuangkan sejak 1927 dan diproklamiskan pada 17 Agustus 1945, berdasarkan perjanjian KMB negara menjadi terbelah dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang pada intinya RI hanya sebagian kecil (yang terdapat di Djogjakarta sekitarnya dan sebagaian wilayah pantai barat Sumatra) dan lainnya sebagai negara-negara federal yang justru menjadi negara boneka Belanda. Pada masa pemerintahan RIS ini pasukan Divisi Silewangi mulai melancarkan aksi penumpasan yang bertentangan dengan pemerintah (TNI).

De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 17-02-1950: ‘Pemimpin perlawanan ditangkap di Banten. Kepada UP Polisi Indonesia di Djakarta telah menangkap Chaerul Saleh, yang menyebut dirinya panglima tertinggi Tentara Rakjat, organisasi militer oposisi yang memiliki wilayah operasinya di Provinsi Banten, yang dianggap merupakan pendukung (gerakan 100 persen) Tan Malakka, yang dulu telah melakukan dalam penculikan mantan Perdana Menteri Soetan Sjahrir pada tanggal 3 Juli 1946. Selama perang gerilya melawan angkatan bersenjata Belanda (Agresi Militer Belanda 1948), Chaeroel Saleh memimpin sekelompok pejuang di Banten, dan baru-baru ini TNI memulai aksi (penumpasan) terhadap formasi militernya’.

Terhadap penangkapan Chaeroel Saleh in Mochtar Lubis berupaya melakukan persuasi kepada pemerintah dan TNI. Boleh jadi ini dimaksudkan Mochtar Lubis jangan sampai kecolongan kembali TNI/Pemerintah justru membunuh pejuangnya sendiri tanpa diadili lebih dahulu seperti yang dilakukan terhadap (mantan perdana menteri) Amir Sjarifoeddin.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-02-1950: ‘Surat kabar Indonesia Raja, pimpinan Mochtar Lubis merasa sedih bahwa saat ini tidak ada persatuan yang erat antara pemerintah dan rakyat. Alasan kesenjangan antara pemerintah dan rakyat adalah perjanjian KMB itu sendiri, yang telah mendesak rakyat Indonesia oleh keberadaan pengaruh asing. Terlepas dari BFO, sebagian besar penduduk tidak setuju dengan perjanjian KMB, konflik telah muncul di pihak-pihak yang mendukung perjanjian KMB, dan orang Masyumi menentang dan juga kelompok-kelompok oposisi yang menentang dan menolak perjanjian KMB. Penerimaan perjanjian KMB dapat dianggap sebagai taktik perang. Pemerintah juga harus berani mengambil langkah-langkah untuk menghindari konsekuensi yang merugikan. Kami tidak melihat mengapa pemerintah menangkap Chairul Saleh yang megusung konstruksi negara berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. Pada intinya, soal inilah yang terjadi. Yang merupakan bagian besar dari masyarakat Indonesia. Selama ada pertarungan hukum untuk cita-cita dan tidak ada senjata digunakan melawan RIS, tidak ada alasan untuk menangkap Chairul Saleh, karena langkah tersebut tidak membawa orang lebih dekat ke aturan; sebaliknya, justru karena inilah celah antara pemerintah dan kelompok oposisi semakin melebar’.

Pembebasan yang dilakukan terhadap Chaeroel Saleh dan kawan-kawan tanpa proses sempat menimbulkan reaksi. Pembebasan ini sebelumnya telah disetujui parlemen. Jumlah tahanan politik yang dibebaskan sebanyak 950 orang. Sejumlah perwira marah dan menganggap pembebasan ini sewenang-wenang (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 12-06-1951). Perdana Menteri Soekiman dan beberapa menteri juga ternganga. Namun reaksi yang terus mengalir akhirnya hanya 400 orang yang dibebaskan termasuk Chaeroel Saleh. Atas reaksi itu kembali Chaeroel Saleh ditangkap (De Volkskrant, 15-06-1951). Upaya-upaya pembebasan baru sedikit mulus ketika Menteri Pertahanan dijabat Hamengkoboewono IX (teman dekat Abdoel Haris Nasution). Akhirnya Chaeroel Saleh dibebaskan dan Chairul Saleh akan dikirim ke Swiss dengan tugas belajar (De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-09-1952).

Kepala Staf Angkatan Darat Abdoel Haris Nasution tampaknya anteng saja. Boleh jadi yang bereaksi keras adalah para anak buahnya yang dalam hubungan ini telah ikut dalam operasi ketika menangkap Chaeroel Saleh. Pikiran Abdoel Haris Nasution seakan sudah disuarakan oleh Mochtar Lubis. Lantas mengapa semudah itu membebaskan tahanan politik? Saat itu yang menjadi ketua komisi pertahanan di parlemen adalah Zainul Arifin, mantan panglima Hizbullah di Jawa Barat. Apakah pembebasan ini telah menjadi ada pembicaraan secara adat? Bukankah Abdoel Haris Nasution berasal dari Kotanopan, ibu Zainul Arifin juga dari Kotanopan; dan ayah Chaeroel Saleh dari Taloe (dekat Kotanopan)? Dan, Chaeroel Saleh tidak hanya dibebaskan, juga dikirim ke laur negeri untuk tugas belajar. Alasan ditangkap Chaeroel Saleh pada tahun 1950 karena sebelumnya Chaeroel Saleh menentang hasil KMB yang dipimpin oleh Mohammad Hatta lalu bergerilya di luar Djakarta. Secara politis saat itu Chaeroel Saleh menentang pemerintahan Perdana Menteri (RIS) Mohammad Hatta. Nasib Chaeroel Saleh nyaris seperti yang dialami oleh pejuang kemerdekaan Amir Sjarifoeddin (berjuang RI 100 persen, ditangkap, tanpa diadili lalu ditembak mati). Chaeroel Saleh, pejuang kemerdekaan tidak sempat ditembak mati malahan diberi tugas belajar ke luar negeri. Bagaimana ini bisa terjadi? Hukum adat diberlakukan.

Sistem pemerintah meski disebut RIS (negara-negara federal plus RI) dalam kenyataannya para republiken tetap menganggap RI masih eksis. Akibatnya ketika RIS presidennya adalah Soekarno dengan Perdana Menteri Mohammad Hatta yang beribukota di Djakarta di satu pihak, di pihak lain RI juga memiliki presiden sendiri yakni Assat.dengan Perdana Menteri Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Andoel Hakim Harahap yang beribukota di Djogjakarta. Ketika RIS dibubarkan dan kembali ke RI dengan membentuk NKRI, Soekarno dan Mohammad Hatta kembali menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kabinet Mohammad Hatta (RIS) dan kabinet Abdoel Halim (RI) juga bubar. Kabinet baru dibentuk tanggal 6 September 1950 dengan perdana menteri yang baru (NKRI) yakni Mohammad Natsir.

Para Republiken di Sumatra Timur melakukan protes terhadap dua pemerintahan ini. Lalu muncul kongres rakyat di Medan pada bulan April 1950. Kongres Rakyat ini dipimpin oleh Dr. Djabangoen Harahap dan GB Joshua Batubara. Keputusan Kongres adalah membubarkan Negara Sumatra Timur (NST) dan dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari sinilah muncul istilah NKRI kali pertama. Melihat gejolak di Sumatra Timur, kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Mohammad Hatta mulai gamang. Lobi-lobi yang dilakukan Wali NST Dr. Tengkoe Mansoer dan pemimpin Negara Indonesia Timur untuk tetap berbentuk RIS hampir diterima Mohammad Hatta. Saat inilah Soekarno berubah pikiran. Soekarno telah menyadari telah mengingkari cita-cita para pejuang (membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan). Soekarno juga melihat (seperti yang dilihat para Republiken di Sumatra Timur) ada kejanggalan isi perjanjian KMB dan bentuk negara RIS. Pentolan-pentolan Republiken di Sumatra Timur ini terhubungan dengan Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta Abdoel Hakim Harahap. Akhirnya Soekarno setuju dengan gerakan republiken di Sumatra Timur dan lalu membubarkan RIS dan berupaya untuk merebut Irian Barat. Proses politik yang berjalan alot sehingga semua negara federal dibubarkan dan terbentuklah NKRI dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dengan terbentuknya NKRI, juga dengan sendirinya pemerintah RI di Djogjakarta membubarkan diri. Ibukota RI kembali ke Djakarta.

Abdoel Hakim Harahap tidak lama menganggur. Ketika proses pembentukan Provinsi Sumatra Utara selesai (pasca dibubarkannya negara federal NST) pada tanggal 25 Januari 1951 Abdoel Hakim Harahap diangkat sebagai Gubernur Sumatra Utara yang pertama. Abdoel Hakim Harahap pada saat itu adalah pemilik portofolio paling tinggi untuk posisi Gubernur Sumatra Utara. Selain Abdoel Hakim Harahap sebagai inisiator pembentukan NKRI (sewaktu masih menjabat Wakil Perdana Menteri terakhir di Djogjakarta), Abdoel Hakim Harahap juga adalah mantan Residen Tapanoeli (di era agresi militer Belanda II). Abdoel Hakim Harahap dan Mohamamad Natsir juga sama-sama tokoh Masyumi.

Abdoel Hakim Harahap menyelesaikan pendidikan MULO di Padang, lalu dilanjutkan ke Prins Hendrik School di Batavia. Selanjutnya Abdoel Hakim Harahap mengikuti pendidikan ekonomi/perdagangan di Batavia, lulus tahun 1927 dan langsung ditempatkan di Bea dan Cukai di Kota Medan. Sudah barang tentu Abdoel Hakim Harahap telah mengenal Abdoel Hakim sebagai anggota dewan di kota Padang. Boleh jadi Abdoel Hakim Harahap di Padang semasa MULO (yang juga sekolah Mohammad Hatta) sebagai bagian dari Jong Sumatranen cabang Padang (yang telah melakukan kongres di Padang tahun 1919 dan 1921). Di Batavia, sewaktu SMA di Prins Hendrik School (juga sekolah Mohammad Hatta) Abdoel Hakim Harahap juga menjadi anggota Islamieten Bond. Delegasi ke KMB yang dipimpin oleh Mohammad Hatta tahun 1949, Abdoel Hakim Harahap bertindak sebagai penasehat ekonomi delegasi Indonesia. Saat itu selain Abdoel Hakim Harahap adalah Residen Tapanoeli, juga sangat berpengalaman di bidang ekonomi di era kolonial Belanda. Setelah tujuh tahun menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan (1930-1937), Abdoel Hakim Harahap sebagai pejabat Bea dan Cukai di Medan dimutasi ke Kementerian Ekonomi di Batavia. Selanjutnya Abdoel Hakim Harahap dipromosikan menjadi kepala bidang ekonomi di Province West Java dan kemudian dipindahkan sebagai kepala bidang ekonomi di Groot Indie (Indonesia Timur) di Makassar hingga pendudukan Jepang (militer Jepang tetap mempertahankan jabatannya). Saat ayah Abdoel Hakim Harahap, Mangaradja Gading meninggal dunia di Padang Sidempoean, keluarga Abdoel Hakim Harahap berangkat ke padang Siempoean. Namun Abdoel Hakim Harahap tidak kembali ke Makassar, tetapi militer Jepang di Tapanoeli mengangkat Abdoel Hakim Harahap sebagai Ketua Dewan Tapanoeli yang berkedudukan di Taroetoeng. Pengalaman-pengalaman praktis inilah yang menyebabkan Abdoel Hakim Harahap menjadi penasehat ekonomi delegasi Indonesia ke Den Haag (Mohammad Hatta sendiri meski sarjana ekonomi tetapi secara praktik di pemerintahan belum teruji). Keutamaan lain sebagai penasehat delegasi, Abdoel Hakim Harahap juga menguasai tiga bahasa: Belanda, Inggris dan Perancis (bahasa yang diperlukan dalam konferensi di Den Haag).      

Saat Chaeroel Saleh studi di luar negeri muncul persoalan baru. Chaeroel Saleh tidak dalam posisi melawan pemerintah. Akan tetapi Mochtar Lubis dengan surat kabarnya Indonesia Raja menuntut Soiekarno bertanggung jawab terhadap ribuan orang Indonesia secara sia-sia selama pendudukan Jepang. Persoalan yang diapungkan oleh Mochtar Lubis bukan soal cooperative dengan Jepang, tetapi kebijakan Soekarno sebagai pemimpin PUTERA yang mengorganisir tenaga kerja paksa (romusha) yang menyebabkan banyak yang meninggal. Akibat tuduhan itu perseteruan Soekarno dan Mochtar Lubis makin hari makin meningkat. Surat kabar Indonesia Raja dibreidel. Mochtar Lubis kemudian memimpin demonstrasi kebebasan pers. Mochtar Lubis pada akhirnya ditangkap, ditahan dan diajukan ke meja hajau. Dari barisan militer yang dipimpin Kepalda Staf AD Kolonel Abdoel Haris Nasution juga melakukan aksi demonstrasi yang melawan pemerintah yang mulai melenceng dari cita-cita proklamasi kemerdekaan RI. Sejumlah anggota parlemen terlalu dalam merecokin pemerintah dan beberapa menteri dituduh melakukan korupsi (saat mana kondisi ekonomi pemerintah dan masyarakat yang belum kunjung membaik). Untuk tetap mendukung merebut kembali Irian Barat dari Belanda, para petinggi militer tetap mengkonsolidasikan persatuan. Sebab tidak mungkin merebut Irian Barat jika tidak ada persatuan.

Aksi militer yang dilakukan ini dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952. Tuntutan Abdoel Haris Nasution dan kawan-kawan adalah bubarkan parlemen dan ganti kabinet yang baru. Soekarno tidak bergeming. Akhirnya Kolonel Abdoel Haris Nasution dipecat dan Soekarno mengabil alih pimpinan militer. Uniknya, Soekarno mengangkat Bambang Sugeng sebagai pengganti Abdoel Haris Nasution namun tidak kapabel. Lalu diangkat Kolonel Zulkifli Lubis tetapi pelantikannya gagal karena tidak ada petinggi militer yang menghadiri upacara pengangkatan (lihat Algemeen Handelsblad, 07-02-1958). Pada saat terjadi demo tanggal 17 Oktober 1952 di depan Istana Merdeka, Kolonel Zulkifli Lubis berada di dalam istana bersama Presiden Soekarno. Kemudian, tidak hanya Abdoel Haris Nasution yang dipecat, juga Major Jenderal TB Simatoepang. Pada akhirnya juga Menteri Pertahanan, Hamengkoeboewono IX diganti di jajaran kabinet (sejak 2 Juni 1953). Posisi Hamengkoeboewono langsung diambil alih Perdana Menteri Wilopo pada tanggal 2 Juni 1953 (lihat Algemeen Handelsblad, 07-02-1958).Sejak itu di beberapa wilayah terjadi pemberontakan.

Abdoel Haris Nasution boleh jadi merasa sudah bersekolah tinggi di bidang militer hingga mencapai pangkat Jenderal, tetapi juga sadar bahwa Chaeroel Saleh belum menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum. Pendidikan adalah dasar kemajuan seperti dalam filosofi Batak bahwa jiwa itu ada di kepala yang pernah disebut Soetan Casajangan. Demikian juga Sati Nasution alias Willem Iskander yang mendorong setiap orang pergi ke sekolah (1873). Spirit itulah yang dengan sendirinya cara Abdoel Haris Nasution mengasingkan Chaeroel Saleh ke Swiss/Jerman. Di Swiss/Jerman akan dapat diterima karena Chaeroel Saleh tidak memiliki masalah dengan Jerman. Dengan situasi dan kondisi yang tidak terganggu di Jerman, Chaeroel Saleh dapat dengan tenang menjalankan studi di bidang hukum.

Saat-saat dirumahkan ini, Abdoel Haris Nasution menyusun kurikulum sendiri di rumah untuk menulis buku. Buku yang ditulis Abdoel Haris Nasution ini selama menganggur dikenal dengan judul Pokok-Pokok Perang Gerilya. Chaeroel Saleh dan Abdoel Haris Nasutin sibuk dengan sednirinya menghadapi kesibukan masing-masing dengan kajian masing-masing.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap: Abdoel Hakim Harahap Mendamaikan Militer

Situasi dan kondisi bernegara setelah Persitiwa 17 Oktober 1952 dan Kolonel Abdoel Haris Nasution dicopot dari jabatannya semakin memburuk. Pemerintahan semakin gamang, rakyat semakin menderita dan situasi di wilayah-wilayah tertentu semakin memanas. Dampaknya dalam pemerintahan, kabinet Wilopo harus dibubarkan dan digantikan kabinet baru, Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet ini juga tidak bertahan lama, akhirnya PNI dan Ali Sastroamidjojo menyerah dan muncul kabinet baru dari mayoritas Masyumi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap.

Chaeroel Saleh setelah menyelesaikan studinya di Bonn, kembali ke tanah air. Chaeroel Saleh tidak sempat melihat hari-hari terakhir ayahnya Dr. Achamd Saleh.  Sejak tahun 1952 Chaeroel Saleh tidak diizinkan pulang karena statusnya sebagai orang yang diasingkan. Dr. Achmad Saleh meninggal dunia di Medan tanggal 19 Desember 1954.

100 Tokoh Asal Mandailing dan Angkola
Boerhanoeddin Harahap meminta Menteri Negara (bidang pertahanan) Abdoel Hakim Harahap mengisi kembali jabatan KASAD. Lalu Abdoel Hakim Harahap mengumpulkan semua kolonel dari seluruh Indonesia. Dalam pertemuan seluruh kolonel tersebut Abdoel Hakim Harahap meminta untuk memilih Komandan sendiri untuk mengisi jabatan KASAD yang kosong. Muncul dua kubu, yakn kubu Kolonel Abdul Haris Nasution dan kubu Kolonel Zulkifli Lubis. Saat itu juga hadir Kolonel Mohammad Dahlan Djambek dan Kolonel Maludin Simbolon (Major Jenderal TB Simatupan yang juga turut dipecat Soekarno bersama Abdoel Haris Nasution tahun 1952) tentu tidak hadir, karena Abdoel Hakim Harahap harus memotong level pangkat paling  tinggi cukup kolonel). Lantas siapa yang dipilih jika muncul dua kubu? Abdoel Hakim Harahap adalah Residen Perang di era agresi militer Belanda kedua di Tapanoeli. Jadi Abdoel Hakim Harahap paham soal kemiliteran TNI. Lagi pula, pimpinan dua kubu kolonel adalah dua adik-adiknya pula: Nasution vs Lubis. Karena itu, Abdoel Hakim Harahap tidak gamang diantara semua kolonel yang hadir.

Apakah ini pilihan sulit? Jelas sulit. Saat demosntrasi tahun 1952 di depan Istana, Kolonel Abdul Haris Nasution ada di tengah-tengah para demonstran, sedangkan Kolonel Zulkifli Lubis menemani Soekarno di dalam istana. Dari demosntrasi ini Major Jenderal TB Simatupang dan Kolonel Abdoel Harris Nasution dicopot, sedangkan Kolonel Zulkifli Lubis tetap menjadi setia Soekarno. Dalam pilihan ini Abdoel Hakim Harahap dengan berbagai pertimbangan memilih Abdoel Haris Nasution dan menyodorkan nama kepada PM Boerhanoeddin Harahap. Apakah ini membuat gusar Soekarno? Jelas. Akan tetapi Boerhanoeddin Harahap tidak mau sendiri ke Istana menghadap Soekarno dengan membawa Kolonel Abdoel Haris Nasution. Boerhanoeddin Harahap mengajak ketua parlemen bidang pertahanan, yang juga mantan komandan laskar Hizbullah di Jawa Barat di era perang kemerdekaan yang mempelopori berdiriya Partai NU bernama Zainul Arifin Pohan. Presiden Soekarno sangat dekat dengan Zainul Arifin Pohan (PNI dan Partai NU lagi bulan madu) ketika partai Masyumi pimpinan Boerhanoeddin Harahap memimpin kabinet. Zainul Arifin Pohan, kelahiran Barus dari pihak ibu masih memiliki hubungan kerabat dekat dengan keluarga Abdoel Haris Nasution di Kotanopan. Inilah alasan mengapa Abdoel Hakim Harahap memilih Kolonel Abdoel Haris Nasution daripada Zulkifli Lubis. Soekarno akhirnya setuju dengan jaminan Boerhanoeddin Harahap dan Zainul Arifin Pohan. Posisi KASAD terisi kembali, pangkat Abdoel Haris Nasution dinaikkan menjadi Major Jenderal. Bagaimana dengan Kolonel Zulkifli Lubis? Mendongkol. Kelak, Zainul Arifin Pohan (1963) tertembak disamping Soekarno yang mana yang menjadi target sebenarnya adalah Soekarno, lalu meninggal dunia. Kolonel Zulkifli Lubis mendukung gerakan PRRI/Permesta. Abdoel Haris Nasution tetap setia kepada Soekarno (hingga munculnya G30 S/PKI 1965). 

Akhirnya studi Chaeroel Saleh selesai di Jerman tahun 1955. Situasi dan kondisi yang panas di Indonesia sebelumnya sudah mulai mereda. Kepemimpinan dalam tubuh militer sudah normal kembali. Abdoel Haris Nasution sudah kembali ke posisi jabatannnya. Sudah waktunya Chaeroel Saleh kembali ke tanah air.

Tunggu dekripsi lengkapnya

Dwi Tunggal, Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal: Abdoel Haris Nasution, Chaeroel Saleh dan Adam Malik Menjadi Kepercayaan Soekarno

Tunggu dekripsi lengkapnya

Semakin menguatnya posisi Soeharto (dan semakin melemahnya posisi Soekarno), kelompok Soeharto menyingkirkan pendukung Soekarno, kecuali Abdoel Haris Nasution dan Adam Malik. Sebanyak 15 menteri Soekarno ditangkap pada tanggal 18 Maret 1966. Mereka ini ditahan tanpa proses pengadilan. Chaeroel Saleh dalam penderitaanya di penjara. Diberitakan meninggal di penjara tanggal 8 Februari 1967.

Apa yang dialami oleh Chaeroel Saleh (di bawah pemerintahan Soeharto) seakan berulang setelah sebelumnya pada era pemerintahan Perdana Menteri Mohammaad Hatta (Kabinet Hatta I: 29 Januari 1948 sampai dengan 4 Agustus 1949) yang mana Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawan ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 19 Desember, beberapa orang  yang akan dieksekusi yang pertama ditembak mati adalah Amir Sjarifoeddin. Amir Sjarifoeddin tewas ditembak mati pada tanggal 19 Desember 1948. Dua hari sesudahnya pada tanggal 21 Desember 1948 Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D, penasehat hukum Soekarno dan Mohammad Hatta ditembak mati oleh intel/militer Belanda. Agresi Militer Belanda dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948, pada momen pertama sejumlah intelektual Indonesia diculik dan yang pertama ditembak mati adalah Masdoelhak Nasution. Cara yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap Amir Sjarifoeddin sama persis apa yang dilakukan oleh militer Belanda terhadap Masdoelhak Nasution. Metode fasis. Itu belum cukup. Sebagaimana aparat (oknum) pemerintah RI yang telah membunuh anak bangsanya sendiri Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawan dan juga Chaeroel Saleh dan kawan-kawan, intel/militer Belanda juga telah melakukan pembunuhan keji terhadap intelektual muda Indonesia Ida Nasution yang diculik dan lalu dibunuh pada Maret 1948. Ida Nasution adalah seorang esais, kritikus andal, Ida Nasution saat itu bestatus mahasiswa Universiteit Indonesie, pendiri dan presiden Persatoen Mahasiswa Universitas Indonesie (PMUI). Sangat tragis.

Posisi Chaeroel Saleh sebelum ditangkap adalah Wakil Perdana Menteri III/Wakil Perdana Menteri/Ketua MPRS. Untuk mengisi kekosongan ketua MPRS ini diangkat Abdoel Haris Nasution. Namun persoalan masih tersisa. Chaeroel Saleh secara perlahan-lahan dibunuh dan akhirnya meninggal di penjara. Mohammad Hatta pernah mengataan setelah hubunganya retak dan berpisah dengan Soekarno pada tahun 1958 ‘Revolusi telah gagal’. Yang jelas revolusi telah memakan korban: Amir Sjarifoeddin, Masdoelhak Nasution dan Chaeroel Saleh. Sebagaimana terlihat nanti: Meninggalnya Soekarno juga telah menjadi korban revolusi yang gagal.

Masdoelhak Nasution telah dianugrahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2006. Ir. Soekarno gelar Pahlawan Nasional bari diberikan pada tahun 2012. Bagaimana dengan pejuang kemerdekaan, Amir Sjarifoeddin dan Chaeroel Saleh? Apakah hanya Tuhan yang mengetahui dan memberi kehormatan kepada Amir Sjarifoeddin? Yang jelas Amir Sjarifoeddin telah mendapat gelar adat di kampungnya dengan gelar Soetan Goenoeng Soaloon. Catatan: soaloon=tidak terkalahkan.

Diantara pejuang kemerdekaan (Angkatan 1945) dari golongan pemuda-pemuda yang dulu memicu Proklamasi RI yang antara lain Chaeroel Saleh, Adam Malik dan BM Diah hanya Adam Malik yang terus berkarir sebagai bagian dari pemerintahan.BM Diah bari mendapat posisi menteri pada Kabinet Ampera I (07-1966/10-1967) BM Diah sebagai Menteri Penerangan. BM Diah juga masih dipercaya sebagai Menteri Penerangan pada kabinet Ampera II (10-1967/06-1968).

Dalam rezim Soekarno hanya empat orang yang menjabat paling lama yakni Abdoel Haris Nasution, Chaeroel Saleh, Arifin Harahap dan Adam Malik. Keempat orang ini seakan menunjukkan orang-orang yang paling setia dengan Soekarno. Pada rezim Soeharto, Chaeroel Saleh dan Abdoel Haris Nasution tamat. Ketika Chaeroel Saleh dikirim ke bui, Abdoel Haris Nasution masih dipercaya rakyat untuk menjadi Ketua MPRS (menggantikan posisi Chaeroel Saleh). Arifin Harahap, adik Amir Sjarifoeddin masih dipercaya oleh Presiden Soeharto dengan mengangkat Mr. Arifin Harahap sebagai Duta Besar Indonesia untu negara Alzajair.  

Pada kabinet-kabinet selanjutnya (kabinet Pembangunan Presiden Soeharto) hanya Adam Malik yang terus eksis. Karir Adam Malik tidak tergantikan sejak era Soekarno sebagai Menteri Luar Negeri sebelum dipilih untuk mendampingi Presiden Soeharto dengan posisi sebagai Wakil Presiden RI pada Kabinet Pembangunan III (03-1978/03-1983). Adam Malik, kelahiran Pematang Siantar, tokoh satu-satunya yang selalu dipercaya oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Puncak karir politiknya sebagai Wakil Presiden (yang ketiga setelah Mohamamd Hatta dan Hamengkoeboewono). Adam Malik (Batubara) adalah kerabat Dr. Abdoel Hakim (Nasution) dari pihak ibu, dan juga sahabat karib Mr. Chaeroel Saleh (anak Dr. Achmad Saleh).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.



Empat Orang Kepercayaan Presiden Soekarno

Kabinet
Chaeroel Saleh
Abdoel Haris
Nasution
Arifin Harahap
Adam Malik
Djuanda
04-1957
07-1959
Menteri Negara Urusan Veteran
Kepala Staf AD


Kerja I
07-1959
02-1960
Menteri Pembangunan/ Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan
Menteri Keamanan dan Pertahanan
Menteri Muda Perdagangan

Kerja II
02-1960
03-1962
Menteri Pembangunan/ Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan
Menteri Keamanan Nasional/Menteri/Kastaf AD
Menteri Perdagangan

Kerja III
03-1962
11-1963
Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan/ Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Serikat (MPRS)
Wakil Menteri Pertama/Koordinator Pertahanan/Keamanan’ Menteri/Kepala Staf Angkatan Darat
Menteri Urusan Anggaran Negara

Kerja IV
11-1963
08-1964
Wakil Perdana Menteri III/ Menteri Koordinator Pembangunan/ Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan/ Ketua MPR
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan
Menteri Urusan Anggaran Negara
Menteri Perdagangan
Dwikora I
08-1964
02-1966
Wakil Perdana Menteri III/ Menteri Koordinator Pembangunan/ Menteri Urusan Minyak & Gas Bumi/ Ketua MPRS
Menteri Koordinator/Kepala Staf Angkatan Bersenjata
Menteri Negara
Menteri Koordinator Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin
Dwikora II
02-1966
03-1966
Wakil Perdana Menteri III/ Wakil Perdana Menteri/Ketua MPRS

Menteri diperbantukan pada Menteri Urusan Bank Sentral
Wakil Perdana Menteri III (ad interim)/ Menteri Luar Negeri & Hubungan Ekonomi Luar Negeri (ad interim)/ Menko Diperbantukan Pada Presiden Urusan Hubungan Ekonomi Luar Negeri
Dwikora III
03-1966
07-1966

Ketua MPRS
Asisten II Waperdam untuk Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan
Wakil Perdana Menteri untuk urusan Sosial dan Politik/ Menteri Luar Negeri
Ampera I
07-1966
10-1967

Ketua MPRS

Menteri Utama bidang Politik/ Menteri Luar Negeri
Ampera II
10-1967
06-1968

Ketua MPRS

Menteri Luar Negeri
Pembangunan I
06-1968
03-1973



Menteri Luar Negeri
Pembangunan II
03-1973
03-1978



Menteri Luar Negeri
Pembangunan III
03-1978
03-1983



Wakil Presiden
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar