Minggu, 14 April 2019

Sejarah Kota Ambon (9): Sejarah Boven Digul, Merauke; Kota Tanah Merah dan Tahanan Politik Indonesia pada Era Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Ambon dalam blog ini Klik Disini
 

Pada era kolonial Belanda, semua nama tempat di Maluku dan Papua terhubung dengan Kota Ambon. Salah satu kota penting di barat daya Papua adalah Merauke. Pada tahun 1927 sebuah area di hulu sungai Digoel (Boven Digoel) di Tanah Merah menjadi tiba-tiba populer, karena menjadi tempat pengasingan para tahanan politik Indonesia. Kota Merauke yang sudah dibangun sejak lama juga terangkat karena popularitas Boven Digoel.

Kamp Interniran Tanah Merah, Boven Digoel, 1927
Pada masa kini, Boven Digoel menjadi nama sebuah kabupaten baru dengan ibukota Tanah Merah (lihat UU No. 26 Tahun 2002). Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat adalah pemekaran dari Kabupaten Merauke. Ibukota kabupaten (Distrik Merauke) adalah Merauke, suatu kota yang tumbuh pada era kolonial Belanda relatif bersamaan dengan Kota Tual (ibukota Maluku Tenggara). Jalur transportasi laut Ambon Merauke melalui Kota Tual.

Lantas mengapa Boven Digoel dipilih pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat pengasingan tahanan politik Indonesia sejak 1927? Penetapan Boven Digoel sebagai pusat tahanan politik juga menandai era baru dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Papua. Lalu bagaimana dengan Tanah Merah sendiri menjadi kota. Mari kita telusuri berdasarkan sumber-sumber tempo dulu.

Kamp Interniran Tanah Merah, Boven Digoel, 1935
Boven Digul dan Tanah Merah adalah titik penghubung di Tanah Papua dengan tempat-tempat para revolusioner Indonesia dalam berjuang melawan Belanda. Pusat perjuangan para revolusioner Indonesia berada di Batavia (kini Jakarta). Para revolusioner Indonesia yang diasingkan ke Boven Digoel tidak hanya dari Batavia, juga dari kota-kota lainnya seperti Padang, Medan, Soerabaja dan Bandoeng. Oleh karenanya Boven Digoel menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan para revolusioner Indonesia.

Boven Digoel 1927

Seorang tahanan politik Indonesia menulis dari Tanah Merah, ibukota baru (nieuwe hoofdstad) Boven Digoel yang dimuat di surat kabar Bahagia yang terbit di Semarang pada tahun 1927. Dalam hal ini tahanan politik Indonesia yang diasingkan ke Boven Digoel disebut pers Belanda sebagai Digoeler. Berikut isi surat tersebut yang disarikan kembali De Sumatra post, 18-11-1927.

Kapal uap dan kano di Tanah Merah, Boeven Digoel, 1928
Sungai Digul adalah aliran yang luas, enam kali lebih lebar dari [sungai] Serajoe, dekat Tjilatjap. Tepi kiri dan kanan sungai menawarkan banyak keindahan kepada kita. Penulis surat itu tampaknya tidak merasa seperti orang buangan, ia pasti akan menikmati lingkungannya dengan kano. Buaya sangat banyak, jika kapal berlayar lewat, mereka menunjukkan diri mereka dengan jelas atau menghindar diri mereka keluar dari air. Kami berlayar selama berjam-jam ke [Boven] Digul, dan kemudian kami mencapai Tanah Merah, ibukota baru Boven Digoel, dan, menurut pendapat penulis itu Tuhan menciptakan bagi orang-orang berwarna merah, karena selain itu kota ini dihuni oleh banyak anggota partai komunis, tanah disini juga berwarna merah, itulah sebabnya tempat itu sudah disebut Tanah Merah sebelum kedatangan orang partai komunis, dan rumah-rumah didirikan oleh genie (zeni) di Tanah Merah. 

Kamp Interniran dan sungai Digoel di Tanah Merah, 1928
Rumah-rumah itu terlihat seperti bangunan gudang tembakau di Djogjakarta dan Solo. Setiap orang buangan masing-masing menerima tikar, bantal, selimut, dan tempat tidur. Yang belum menikah ditempatkan di dalam ruangan yang panjang, yang menikah masing-masing mendapatkan kamar. Hingga akhir Agustus [1927] sudah ada 2.950 orang di Digoel, termasuk 92 wanita dan 87 anak-anak. Menurut berita yang diterima di sana akan ada total 5.000 jiwa; 140 tentara, dibawah komando dua letnan, menjaga perintah. Para interniran dibayar tunjangan harian 72 sen, dimana 42 sen dikurangkan untuk beras, dendeng dan sejenisnya, sehingga hanya 32 sen dibayar tunai. Tanah Merah sudah memiliki sebelas toko Cina. Pekerjaan orang-orang buangan terdiri dari mereka pergi ke hutan setiap hari untuk menanam kebun dan menebang kayu untuk kayu bakar, dll. Enam puluh bidang lahan telah ditanami dan sepuluh bidang ditanam dengan padi dan sisanya dengan apa yang disebut tanaman kedua seperti katjang, ketella, uebi, kedele, kubis, dll. Selain sayuran, pisang, bangkoang, semangka dan buah-buahan lainnya juga ditanam disana. Adakalanya ketika sebuah kapal datang dari Jawa, kapal itu membawa kiriman dari departemen Landbouw’.

Di dalam barak interniran di Tanah Merah, Digoel 1928
Gambaran tentang Tanah Merah dan Digoel berbeda dengan yang sering digambarkan pada masa ini. Kenyataannya Tanah Merah di Boven Digoel pada permulaannya tahun 1927 bukan lingkungan buruk bagi para tahanan (Digoeler), tetapi secara sosial-politik boleh jadi benar (jauh dan terasingkan dari rekan-rekan mereka seperjuangan di Jawa dan Sumatra). Di Tanah Merah Boven Digoel ada kehidupan baru yang nyata, mereka bertani bahkan sudah ada toko-toko yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa. Pada tahun 1927 sudah ada populasi tahanan sekitar 3.000 orang. Jumlah ini pada masa itu bukan populasi kecil, boleh jadi satu-satunya kota terpadat di Papua, bahkan lebih padat daripada kota Merauke sendiri.

Jalan di Merauke 1930
Kota Merauke, paling tidak pada tahun 1905 sudah memiliki sebuah garnisun (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-02-1905). Ini mengindikasikan sudah banyak populasi Eropa/Belanda di Merauke. Adanya garnisun menunjukkan posisi sebuah ibukota wilayah dimana pusat pemerintahan (kolonial Belanda) berada. Tentara dari garnisun ini juga kerap mendampingi para ilmuwan dalam ekspedisi geologi dan botani ke pedalaman. Di Merauke berkedudukan seorang Controleur. Di kota ini juga sudah ada (tempat) penginapan dan klinik kesehatan yang dipimpin oleh seorang dokter. Orang-orang Eropa/Belanda dan pendatang lainnya melakukan perdagangan dengan orang-orang orang Papua. Kapal antar kota yang sering mengunjungi kota ini adalah kapal uap Falcom dan Flamingo yang membawa penumpang dan surat-surat. Pelayaran cukup intens antara Ambon dan Merauke dan sebaliknya via Tual. Dalam hal pembangunan terutama untuk konstruksi banyak kuli didatangkan dari Tual dan sekitarnya. Juga ada rute pelayaran ke Timor di Koepang. Kehidupan di Kota Merauke disebutkan memiliki harapan.

Keluarga petani Digoel, 1915
Penemuan Tanah Merah di Boven Digoel sebagai tempat yang ditetapkan untuk para tahanan politik bukan tanpa alasan. Tanah Merah berada sangat jauh di pedalaman Papua yang harus ditempuh berjam-jam melewati sungai yang berliku-liku. Hanya ada transportasi kapal uap milik orang Eropa/Belanda di sepanjang sungai. Muara sungai Digoel di pantai menjadi satu-satunya pintu masuk ke Boven Digoel melalui sungai. Di Tanah Merah potensi untuk mengolah lahan untuk usaha pertanian cukup baik. Sebagai area untuk tempat tahanan politik, area baru ini juga dikembangkan menjadi daerah pertanian. Departemen pertanian juga dilibatkan dalam program ini. Secara spasial, Tanah Merah di hulu sungai Diegoel boleh jadi diarahkan pemerintah Hindia Belanda untuk pusat percontohan pertanian di tengah-tengah pedalaman Papua. Setiap biaya memang harus menghasilkan manfaat.

Tunggu deksripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

2 komentar:

  1. "Kapal uap dan kano di Tanah Merah, Boeven Digoel, 1928": (1) salah tulis 'Boeven' (dalam bhs Belanda, boeven = orang jahat); seharusnya 'Boven'. (2) Tentu foto ini bukan di Tanah Merah, melihat lereng gunung di belakang kapal, dan bentuk perahu: di Tanah Merah tidak ada gunung, dan bentuk perahu itu jauh berbeda dari bentuk perahu orang Papua. Lagi pula orang yang di dalam perahu itu bukan orang Papua. Bentuk Perahu mirip perahu di Banda Neira, mungkin saja foto ini diambil di situ. Kapal itu memang kapal Fomalhaut.

    BalasHapus