Rabu, 10 April 2019

Sejarah Yogyakarta (33): Universitas Gadjah Mada dan Menteri Pendidikan 1945/1946; Sutan Gunung Mulia, Ph.D (Ahli Pedagogi)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini  

Universitas Gadjah Mada adalah universitas negeri pertama di Indonesia. Disebutkan Universitas Gadjah Mada resmi didirikan pada tanggal 19 Desember 1949, tetapi faktanya peresmiannya dimulai pada tanggal 2 November 1949. Itu satu hal. Hal yang lainnya di dalam sejarah Universitas Gadjah Mada tidak disebutkan bagaimana proses yang sebenarnya tentang terbentuknya universitas di Jogjakarta. Tentu saja tidak ditemukan nama Menteri Pendidikan RI Soetan Goenoeng Moelia. Pada kenyataannya penulisan sejarah Universitas Gadjah Mada muncul dalam berbagai versi.

Nieuwe courant, 05-11-1949 dan Prif. SG Moelia, Ph.D
Pendirian Universitas Gadjah Mada terjadi pada era Republik Indonesia (bukan era RIS). Tepatnya setelah ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta. Perang kemerdekaan Indonesia, pasca Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 menyebabkan terganggungnya proses belajar dan mengajar. Akibatnya Universitas Gadjah Mada yang dibuka pertama kali tanggal 3 Maret 1946 dibuka lagi pada tanggal 2 November 1949. Sultan Hamengkoeboewono dalam pembukaan menyatakan jangan sampai Universitas Gadjah Mada dibuka untuk ketiga kalinya (lihat Nieuwe courant, 05-11-1949).    

Jika dilihat dari website resmi Universitas Gadjah Mada, sejarah Universitas Gadjah Mada hanya dimulai dari tanggal 19 Desember 1949. Kita tidak tahu alasannya. Artikel ini tidak membicarakan perihal sesudah tanggal tersebut, tetapi sebaliknya artikel ini hanya tentang sejarah Universitas Gadjah Mada sebelum tanggal 19 Desember 1949. Dengan demikian akan saling melengkapi. Untuk itu kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejatinya, Universitas Gadjah Mada didirikan pada 3 Maret 1946. Pada saat itu ibukota RI berada di Jogjakarta. Menteri Pendidikan RI saat itu adalah Prof. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ph.D (14 November 1945 sd 2 Oktober 1946). Prof. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ph.D meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1933 di Universiteit Leiden di bidang filsafat dan sastra. Sementara delegasi Indonesia ke konferesi KMB di Den Haag Prof. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ph.D memimpin delegasi Indonesia ke Sidang Umum PBB yang diadakan pada tanggal 20 September 1950 di New York. Setelah pengakuan kedaulatan Inonesia oleh Belanda pada tangga 27 Desember 1949, Indonesia kemudian menjadi anggota PBB tanggal 28 September 1950. Prof. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ph.D juga adalah penggagas pendirian Fakultas Pedagogik di Bandung tahun 1951 (cikal bakal Universitas Pendidikan Indonesia).

Pembentukan Universitas Republik Indonesia: Universitas Gadjah Mada

Mendirikan sebuah sekolah apalagi perguruan tinggi tidaklah mudah. Sangat berbeda dengan seseorang yang ingin melamar menjadi dosen atau merekrut dosen untuk tenaga pengajar. Proses ini sangat mudah. Akan tetapi membangun sebuah perguruan tinggi tidak hanya karena ketersediaan tenaga pengajar dan ketersediaan jumlah mahasiswa. Membagun sebuah perguruan tinggi harus dilakukan atau paling tidak diarahkan seorang yang memiliki kompetensi untuk itu. Intinya kompetensi untuk mengajar dan kompetensi untuk membangun dari nol sebuah perguruan tinggi memerlukan keahlian khusus dan pengalaman. Keahlian itu hanya dimiliki oleh Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D.

Pada saat era perang kemerdekaan Indonesia, hanya ada dua sarjana Indonesia yang memiliki keahlian di bidang pedagogik, salah satu diantaranya adalah Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D yang saat itu menjadi Menteri Pendidikan Republik Indonesia (menggantikan Ki Hadjar  Dewantara). Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D tidak hanya bergelar guru besar sebagai pengadjar di Rechthoogeschool (Fakultas Hukum) di era kolonial Belanda, Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D adalah lulus doktor (Ph.D) di bidang pendidikan kekhususan filsafat dan kesusatraan tahun 1933. Sebelum melanjutkan studi doktoral ke Belanda, Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D adalah Direktur sekolah guru (Normaalschool) di Meester Cornelir (kini Jatinagara) dan anggota Volksraad (lihat Nieuwe Apeldoornsche courant, 31-08-1927). Pada tahun 1929 Soetan Goenoeng Moelia juga diangkat anggota komite pendidikan nasional (satu-satunya pribumi). Setelah mendapat gelar Ph.D tahun 1933 Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D menjadi dosen di Rechthoogeschool di Batavia (kini Jakarta).

Pada saat era perang ketika ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta, mulai muncul kebutuhan untuk pengadaan sarjana yang lebih banyak. Untuk itu diperlukan suatu perguruan tinggi di Jogjakarta. Itulah mengapa muncul gagasan pembangunan sebuah perguruan tinggi yang kemudian disebut Universitas Gadjah Mada. Pendirian ini dtesmikan pada tanggal 3 Maret 1946. Menteri Pendidikan saat itu adalah Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, seorang akademisi yang masternya di bidang hukum (Mr) dan doktornya di bidang pendidikan filsafat dan sastra.

Het nieuws: algemeen dagblad, 13-03-1946
Peresmian pendirian Universitas Gadjah Mada ini dilakukan di Gedung KNIP yang mana gedung itu sebagian difungsikan sebagai ruang perkuliahan. Saat pendirian ini universitas hanya terdiri dari dua fakultas yakni Fakultas Hukum dan Fakultas Kesusasteraan. Dia fakultas yang didirikan ini merupakan bidang-bidang keilmuan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D.

Tidak lama setelah peresmiaan Universitas Gadjah Mada pada tangga 12 Maret 1946 dilakukan perubahan susunan kabinet (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 13-03-1946). Dalam susunan kabinet baru ini Soetan Goenoeng Moelia masih tetap dipercaya menjadi Menteri Pendidikan. Jabatan Menteri Pendidikan ini sudah dijabat oleh Soetan Goenoeng Moelia sejak 14 November 1945 (sebelum ibukota RI pindah dari Djakarta ke Jogjakarta)..

Peran Universitas Gadjah Mada tidak hanya untuk menyiapkan sarjana Indonesia, Universitas Gadjah Mada juga telah turut memberi kontribusi bagi pemerintah RI. Ini sehubungan dengan draf perjanjian Linggarjati yang dari pihak Indonesia juga dibahas di Universitas Gadjah Mada (lihat Friesch dagblad, 26-11-1946). Sebagaimana dalam awal peresmiannya Universitas Gadjah Mada telah memiliki Fakultas Hukum.

Tidak semua sarjana Indonesia ikut pindah ke Jogjakarta karena alasan yang berbeda-beda. Ada yang tetap Republiken tetapi lebih memilih di Djakarta dan ada juga yang berada di Djakarta ingin berkolaborasi dengan Belanda. Salah satu Republiken yang hijrah ke Jogjakarta adalah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D yang menjabat sebagai penasehat pemerintah (Soekarno dan Mohamad Hatta). Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D adalah sarjana hukum yang meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1942 di Univeristeit Leiden. Besar dugaan di luar dinas Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D juga menjadi pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D yang teridentifikasi Republiken bergelar doktor hukum di Jogjakarta adalah Mr. Soepomo, Ph.D dan Mr. Djokosoetono, Ph.D. Keutamaan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dalam hal ini karena masih muda dan meraih gelar Ph.D dengan predikat Cum Laude.    

Setelah perguruan tinggi Universitas Gadjah Mada dibuka, lalu dalam perkembanganya didirikan beberapa akademi diantaranya Akademi Kepolisian dan Akademi Ilmu Politik. Juga tidak lama kemudian muncul Perguruan Tinggi Teknik. Semua perguruan tinggi yang didirikan di Jogjakarta ini dimaksudkan untuk memfasilitas para lulusan sekolah menengah untuk melanjutkan pendidikan dengan kurikulum Republik Indonesia di wilayah Republik Indonesia.

De waarheid, 25-03-1947
Dipindahkannya ibukota RI dari Djakarta ke Jogjakarta membuat kota Jogjakarta sangat ramai. Ada kehidupan baru, Jogjakarta yang sebelumnya tenang menjadi kota yang hiruk pikuk. Jumlah penduduk telah menjadi satu juta orang. Makanan melimpah yang kekurangan adalah ketersediaan perumahan. Pedagang sayur dan buah penjual makanan dari desa tetangga datang. Jalan Malioboro yang diterangi oleh lampu-lampu miyak dan banyak tempat-tempat makan dan warung kopi membuat sepanjang malam tetapi ramai. Meski demikian kota terus siaga karena dalam situasi perang, Para milisi (TRI) sesekali terlihat melintas. Universitas baru Universitas Gadjah Mada yang dibuka setahun yang lalu menambah jumlah pemuda yang datang dari jauh untuk kuliah seperti dari Bandung yang sudah lebih dari satu tahun diduduki Belanda. Kementerian Pemuda telah mendirikan banyak asrama. Pada tanggal ini adalah perjanjian Linggarjati ditandatangani. Di sejumlah titik dalam kota terdapat spanduk yang mengobarkan semangat (lihat De waarheid, 25-03-1947). Gambaran lain tentang Jogjakarta adalah semarak pendidikan. Radio (Dogja) terus menyiarkan dalam bahasa Melayu. Bahasa Melayu (mungkin maksudnya Bahasa Indonesia) adalah bahasa resmi. Bahasa Inggris (mungkin maksudnya untuk mengkontraskan penggunaan bahasa Belanda di era kolonial Belanda) dan bahasa Melayu diajarkan di sekolah-sekolah. Dari kelas tiga Sekolah Rakjat (LS) di tingkat sekolah menengah pertama (MULO), tingkat sekolah menengah atas (AMS) hingga Universitas Gadjah Mada (lihat Amigoe di Curacao: weekblad voor de Curacaosche eilanden, 25-06-1947),

Jogjakarta sebagai ibukota RI tidak hanya muncul sebagai kota pendidikan yang baru, Jogjakarta juga menjadi pusat perlawanan terhadap Belanda/NICA. Paling tidak hal itu telah disemanganti dengan berbagai spanduk di seumlah titik strategis di dalam kota. Perlawanan yang tiada henti di berbagai daerah telah menyulut Belanda untuk melakukan Agresi Militer yang dimulai pada tanggal 21 Juli 1947 di tiga daerah: Sumatra Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di tiga wilayah penyerangan Belanda ini terkenal dengan industri perkebunan (area yang dapat dibilang kaya dan strategis). Satu kejadian penting dalam Agresi Militer Belanda ini di Jogjakarta ditembaknya pesawat yang membawa persediaan obat-obatan dari Singapoera  di dekat lapangan terbang Magoewo. Beberapa Republiken di dalam pesawat tewas termasuk co-pilot Adi Soetjipto. Agresi ini berakhir pada tanggal 5 Agustus 1947.

Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta dalam situasi perang terus menjalankan misinya di bidang pendidikan untuk membentuk pemuda menjadi sarjana. Universitas Gadjah Mada selain memperkuat kurikulumnya juga secara terus menerus menambah dosen. Seperti yang diberitakan Radio Djogja yang dikutip Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-10-1948 bahwa mulai tanggal 1 November, Iwa Koesoemasoemantri telah diangkat sebagai profesor di Universitas Gadjah Mada. Ditambahkan kemungkinan Mr. Mohamad Jamin akan diangkat menjadi profesor di universitas ini.

Pihak Belanda kemudian melancarkan serang ke wilayah-wilayah Republik yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II yang dimulai tanggal 19 Desember 1948. Sasaran pertama serangan ini adalah lapangan terbang Magoewa untuk tujuan menduduki kota Jogjakarta. TNI yang bergerilya tersebar di seluruh wilayah Republik di Jawa dan Sumatra mengakibatkan kekuatan di Djogjakarta tidak maksimal. Serangan yang dilakukan lewat udara dengan menerjukan pasukan khusus tidak diduga. Akibatnya kota Jogajakarta mudah diduduki. Sejumlah pemimpin Indonesia ditangkap dan diinternir serta dibunuh. Para pemimpin utama kemudian diasingkan.

Dalam serangan tanggal 19 Desember 1948 sejumlah pemimpin Indonesia ditangkap seperti Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta. Juga tokoh penting lainnya seperti Agus Salim, Soetan Sjahrir, Pronggodigdo dan lainnya. Sejumlah intelektual muda juga ditangkap termasuk Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D yang ditangkap di rumahnya di Kaliurang (dekat kantor UNCL) kemudian pada tanggal 21 dieksekusi di ladang jagung di Pakem. Paling TNI Jenderal Soedirman juga tertangkap di Poerworedjo pada tanggal 19 Desember malam jelang dinihari lalu diinternir ke Jogjakarta. Para pemimpin yang berada di tempat tahanan di Jogjakarta kemudian diasingkan pada tanggal 22 Desember 1948 ke Bangka dan Brastagi. Soeltan Hemengkoeboewono tidak ditangkap tetapi diposisikan sebagai tahanan rumah di kraton Jogjakarta. Jenderal Soedirman yang dalam kondisi sakit parah mendapat pengobatan, tetapi beberapa waktu kemudian menghilang dan dilaporkan telah bergabung dengan pasukannya bergerilya di selatan Jogjakarta.

Setelah kota Jogjakarta diduduki Belanda aktivitas kota yang sebelumnya ramai menjadi sepi di jalan-jalan kota. TNI  yang tidak tertangkap mengundurkan diri ke luar kota memasuki hutan-hutan dan pegunungan untuk bergerilya. Diantara TNI ada juga yang menyerahkan diri termasuk Letnan Kolonel Lembong. Para pemimpin politik lainnya, para pemuda revolusioner dan juga para pelajar dan mahasiswa serta dosennya lambat laun mengungsi ke luar kota seperti Klaten.

Dalam situasi yang tidak kondusif ini selain pemerintahan (RI) terbilang sudah vakum, sekolah-sekolah dan Universitas Gadjah Mada juga vakum dalam kegiatannnya. Universitas Gadjah Mada secara tak langsung telah ditutup. Agresi militer Belanda ke Jogjakarta telah turut menghentikan kegiatan proses belajar mengajar di Universitas Gadjah Mada. Diantara mahasiswa-mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan terpaksa pindah ke kota-kota yang telah dikuasai Belanda untuk melanjutkan pendidikan seperti ke Djakarta, Bandung dan Soerabaja. Di kota-kota ini sudah terbentuk Universiteit van Indonesia yang dijalankan oleh para akademisi Belanda dan akademisi Indonesia yang fakultasnya tersebar selain di Djakarta juga di Bandoeng, Soerabaja dan Makassar.   

Setelah semakin intensnya tekanan internasional terhadap pendudukan wilayah RI oleh Belanda dan pengasingan sejumlah pemimpin maka pada bulan April 1949 muncul inisiatif internasional untuk mempertemukan kedua belah pihak (Belanda dan Indonesia) ke meja perundingan. Indonesia dalam hal ini dipimpin oleh Mohamad Roem. Perundingan ini dikenal Perundingan Roem-Royen. Hasil perjanjiannya yang terpenting adalah upaya gencatan senjata antara TNI dengan militer Belanda, pengembalian Republik dan para pemimpin RI ke Jogjakarta sambil mempersiapkan perundingan lebih lanjut di Belanda (Konferensi Meja Bundar) yang akan diadakan pada bulan Agustus 1949..

Implikasi dari hasil Perjanjian Roem Royen Republik kembali ke Jogjakarta. Pada tanggal 10 Juni 1949 Soekarno dan Mohamad Hatta serta tokoh lainnya kembali ke Jogajakarta. Lalu disusul pada tanggal 10 Juni Pemimpin Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya. Pada sore hari menyusul Jenderal Soedirman memasuki Jogjakarta.

Persiapan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda mulai dilakasanakan. Mohamad Hatta sebagai pimpinan delegasi ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag mulai menyiapkan sesuatunya baik pembicaraan dengan Belanda maupun dengan tokoh-tokoh RI. Konferensi KMB nantinya akan membicarakan butir-butir perjanjian dalam pembentukan negara dalam bentuk serikat yang diberi nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Dalam persiapan menuju konfersi KM, di lain pihak juga dibuat berbagai komite dalam kaitannya dengan bentuk negara baru RIS. Salah satu komite tersebut adalah Komite Sosial Budaya di Bandoeng. Ketua komitenya adalah Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D. Salah satu program dari komite ini adalah dalam rangka penyerahan Univesiteit van Indonesia kepada RIS. Dalam perkembangannya diketahui sebagaimana diberitakan surat kabar Trouw, 13-08-1949 Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D telah ditunjuk sebagai profesor sosiologi di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universiteit van Indonesia.

Delegasi Indonesia akhirnya berangkat ke Den Haag untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dipimpin Perdana Menetri RI Mohamad Hatta. Delegasi ini terdiri dari kelompok Republik Indonesia (Republiken) dan kelompok federal (Federalis). Dalam delegasi ini juga turut sejumlah indivisu sebagai peninjau dan para jurnalis Indonesia. Penasehat umum dalam delegasi Indonesia ke KMB adalah Abdul Hakim Harahap (Residen Tapanoeli).

Satu keuatamaan Abdul Hakim Harahap dalam delegasi Indonesia ke KMB di Den Haag adalah memiliki kemampuan tiga bahasa (Belanda, Inggris dan Prancis), Sebagaimana diketahui KMB juga diikuti oleh para peninjau negara lain dan juga para jurnalis di Eropa. Tentu saja tidak hanya itu, Abdul Hakim Harahap yang berada dalam barisan RI juga mewakili pemerintahan RI di Tapanoeli. Abdul Hakim Harahap juga memiliki keutamaan lain yakni berpengalaman sebagai Kepala Bidang Ekonomi di Indonesia Timur yang berkedudukan di Makasar pada era kolonial Belanda dan pada awal pendudukan Jepang. Pengalamannya sebagai birokrat pada masa Pemerintahan Hindia Belanda akan memperkaya pemahaman RI dalam sidang-sidang di KMB. .  

Selain delegasi besar ke konferenasi KMB juga dibentuk satu delegasi kecil. Delegasi kecil ini tidak berpartisipasi dalam KMB tetapi memiliki kaitan. Delegasi kecil ini pada awal September 1949 akan berangkat ke markas PBB di Lake Success, New York, Amerika Serikat. Delegasi ini dipimpin oleh Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-08-1949). Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D dan delegasinya akan menghadiri Sidang Umum Majelis PBB. Tugas delegasi ini juga dalam mempersiapkan negara baru (RIS) untuk menjadi anggota PBB. Boleh jadi Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D selama di Amerika Serikat menyempat diri berkunjung ke berbagai universitas.

Sutan Gunung  Mulia di Sidang PBB (kiri) Twentsch dagblad, 22-10-1949
Sementara itu di Jogjakarta Universitas Gadjah Mada sudah mulai diaktifkan kembali setelah beberapa bulan vakum karena adanya pengungsian setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. Namun perkuliahan belum diadakan. Universitas Gadjah Mada dalam proses konsolidasi ulang. Pada saat konsolidasi ini seorang guru besar Universitas Yale di Amerika Serikat Prof. Ralph Emund Thurner melakukan kunjungan ke Jogjakarta (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-10-1949). Prof. Ralph Emunid adalah seorang sejarawan Amerika yang datang ingin mempelajari sejarah dan budaya Indonesia. Disebutkan pada hari Jumat malam, Prof. Thurner juga memberikan presentasi (kuliah) umum di Universitas Gadjah Mada dengan judul ‘Prinsip-Prinsip Budaya Demokrasi’. Tidak diketahui apakah kunjungan Prof. Ralph Emund Thurner ke Indonesia terkait dengan Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D yang baru-baru ini ke Amerika Serikat untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB. Yang jelas Sutan Gunung Mulia adalah orang Indonesia pertama di sidang Majelis Umum PBB (lihat Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 22-10-1949).

Rencana pembukaan kembali Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta diberitakan oleh surat kabar De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,    27-10-1949. Disebutkan Universitas Gadjah Mada akan dibuka kembali pada tanggal 1 November 1949. Berita lainnya diketahui bahwa hari ini di Jogjakarta akan diadakan upacara di istana Presiden Soekarno untuk memperingati lagu Indonesia Raya Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-10-1949). Namun upacara pembukaan kembali Universitas Gadjah Mada yang dintegrasikan dengan pembukaan kembali dua akademi dilakukan pada tanggal 2 November 1948.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-11-1949:’Djokjakarta, 31 Oktober (Aneta): Sekretariat Universitas Republik di Djokja (Universitas Gadjah Mada) telah mengumumkan bahwa Rabu malam pembukaan kembali secara resmi perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Akademi Polisi, Akademi Ilmu Politik. Upacara ini dipimpin oleh Sultan Djokjakarta dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pengawas Akademi Polisi dan anggota Dewan Pengawas Akademi Ilmu Politik. Upacara pembukaan ini dilakukan di ruang penerimaan Sitihinggil yang menjadi bagian dari kraton Jogjakarta’.

Mr. Iwa Koesoemasoemantri adalah sekretaris Universitas Gadjah Mada (Limburgsch dagblad, 05-08-1949). Lantas siapa yang menjadi Presiden (rektor) Universitas Gadjah Mada? Tidak ada. Yang ada adalah Sekretaris Universitas Gadjah Mada yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Pendidikan. Oleh karenanya pada pendirian Universitas Gadjah Mada pada tanggal 3 Maret 1946 berada langsung di bawah Menteri Pendidikan (Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D). Namun dalam pelaksanaannya sehari-hari diangkat seorang sekretaris universitas. Ini ibarat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB yang bertindak sebagai kepala sekretariat yang dipilih berdasarkan Sidang Umum PBB (hal serupa dengan Sekretariat ASEAN). Demikian juga Sekretaris Universitas Gadjah Mada (yang dalam hal ini Mr. Iwa Koesoemasoemantri) dipilih berdasarkan sidang umum Universitas Gadjah Mada.

Dalam pidato Soeltan Hamengkoeboewono pada upacara pembukaan Universitas Gadjah Mada (dan dua akademi) menyatakan apresiasinya terhadap lembaga akademik ini selama pendudukan Belanda. Soeltan kemudian mengatakan bahwa pembentukan RIS tidak berarti bahwa tujuan pertarungan itu telah tercapai.  Kita harus melanjutkan perjuangan dengan bersatu. Perjuangan budaya baru saja dimulai dan kita sekarang harus membangun benteng untuk mempersiapkan perjuangan ini. Lebih lanjut Soeltan menjelaskan kemungkinan pembentukan universitas tunggal yang mencakup semua fakultas untuk mencapai front yang solid bagi perjuangan budaya yang akan datang (lihat Nieuwe courant, 05-11-1949). Selain apresiasinya terhadap tiga lembaga pendidikan tersebut Soeltan juga menyatakan kekecewaannya pada kenyataan bahwa selama pendudukan Belanda beberapa mahasiswa telah pergi ke tempat lain untuk melanjutkan studi mereka di sana. Pada akhir pidatonya Soeltan berharap bahwa universitas di Djokja (Universitas Gadjah Mada dan akademi-akademinya) tidak harus dibuka untuk ketiga kalinya (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-11-1949).

Java-bode, 09-12-1949
Itulah sejarah awal Universitas Gadjah Mada, suatu kejadian-kejadian dan juga yang bertalian dengannya tidak pernah terungkap selama ini. Universitas Gadjah Mada yang kemudian diresmikan sebagai universitas negeri pertama Republik Indonesoa haruslah dipandang sebagai universitas perjuangan. Sarjana perempuan pertama Universitas Gadjah Mada adalah Rosiah Sarjono (kebetulan namanya bersesuaian). Rosiah Sarjono lulus ujian sarjana di Fakultas Hukum pada tanggal 5 Desember 1949 dengan judul skripsi Hukum Antara Negara-Negara (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-12-1949). Mengapa kisah indah di awal keberadaan Universitas Gadjah Mada ini tidak terdapat dalam sejarah Universitas Gadjah Mada?

Sejarah Universitas Gadjah Mada di dalam website UGM hanya dimulai pada tanggal 19 Desember 1949. Disebutkan UGM diresmikan oleh Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1949. Tanggal ini seharusnya dipandang tanggal penting. Akan tetapi anehnya pada tanggal ini tidak ada bukti dalam pemberitaan pada surat kabar di sekitar tanggal tersebut. Lantas mengapa tanggal 19 Desember 1949 dinyatakan sebagai hari lahir Universitas Gadjah Mada? Tanggal ini jelas tidak valid.

Persoalan ini muncul karena terjadi proses politik yang cepat di seputar tanggal-tanggal tersebut. Secara defacto Universitas Gadjah Mada dibuka lagi pada tanggal 2 Desember 1949. Tidak lama kemudian Mohamad Hatta terpilih sebagai tim formatur pembentukan Kabinet RIS. Lalu posisi Perdana Menteri RI didelegasikan Mohamad Hatta kepada pelaksanan tugas. Pada tanggal 20 Desember 1949 Mohamad Hatta sebagai Perdana Menteri RIS mengumumkan susunan kabinet, tetapi secara dejure itu baru berlaku tepat pada tanggat 27 Desember 1949. Sehari sebelum penetapan susunan Kabinet RIS yakni tanggal 19 Desember 1949 enam fakultas yang yang ada di Jogjakarta digabungkan menjadi bagian dari universitas Republik Indonesia yakni Universitas Gadjah Mada (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-01-1950). Gabungan ini termasuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada beserta dua akademi yang dibuka pada tanggal 2 Desember 1949. Tanggal inilah yang diklaim Universitas Gadjah Mada pada masa ini sebagai hari jadi. Enam fakultas yang dimaksud adalah (1) Rechts- Hogeschool en de Academie voor Politieke Wetenschappen; (2) Technische Hogeschool; (3) Hogeschool voor Letteren en Wijsbegeerte; (4) Landbouw Hogeschool en de afdeling Bosbouw; (5) Hogeschool voor de Veeartsenij; (6) Geneeskundige Hogeschool en de afdelingen Pharmacie, Tandheelkunde en de onderwijzersacademie voor Scheikunde en Biologie.

Lantas mengapa penggabungan fakultas di Universitas Gadjah Mada terkesan buru-buru? Ini semua bermula karena pemerintahan yang baru (RIS) ingin mendirikan Universitas RIS di Djakarta. Universiteit van Indonesia tidak bisa diklaim oleh Pemerintah RIS, karena Universiteit van Indonesia memiliki badan hukum sendiri dari (pemerintah) Belanda. Selain itu, juga diantara para Republiken di Jogjakarta muncul penolakan jika ditransfer fakultas-fakultas tersebut kepada RIS. Pemerintah RI di Jogjakarta hanya melepaskan Akademi Militer dan Akademi Kepolisian, karena kedua akademi ini berada diluar wewenang Menteri Pendidikan RI di Jogjakarta. Lantas bagaimana nasib Universitas RIS? Itu adalah masalah tersendiri.

Last but but not least. Bagaimana dengan Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D sekarang setelah dibukanya kembali Universitas Gadjah Mada. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda yang secara resmi berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D lebih berkonsentrasi di Djakarta. Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D sebelum pengakuan kedaulatan sudah terlebih dahulu diangkat sebagai guru besar di Universiteit van Indonesia.

Pemerintah pada  tanggal  30 Januari  1950 mengeluarkan Undang-Undang  Darurat  No. 7 yang mengatur pendidikan tinggi di Indonesia yang mana undang-undang ini memberi kekuasaan kepada Menteri Pendidikan untuk mengambil langkah-langkah bagi pembinaan Perguruan Tinggi di Indonesia. Salah satu diantaranya peralihan Universiteit van Indonesia dari Belanda kepada Indonesia. Bersamaan dengan pengesahaan undang-undang ini Ir. Soerachman ditunjuk sebagai Presiden (Rektor) Universiteit Indonesia (sebelumnya bernama Universiteit van Indonesia). Ir. Soerachman adalah besan dari Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D.

Sementara Universitas Gadjah Mada sudah diresmikan sebagai universitas negeri, Universiteit Indonesia selama masa kepemimpinan Ir. Soerachman (sejak Februari 1950) masih dalam tahap tranisisi ke penegerian universitas. Dengan dibubarkannya RIS pada tanggal 18 Agustus 1950, proses penegerian Universiteit Indonesia semakin cepat lalu kemudian pada tahun 1951 secara resmi Universiteit Indonesia menjadi universitas negeri dengan nama baru Universitas Indonesia dengan Rektor Mr. Soepomo, Ph.D. Sementara itu di Bandoeng mulai dirintis fakultas pedagogik (Fakultas Pendidikan).

Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 23-01-1951: Rencana Fakultas Pedagogi di Bandoeng. Tiga opsi tersedia untuk ini; yaitu bahwa fakultas yang dimaksud didirikan oleh Pemerintah, oleh yayasan swasta atau oleh pemerintah kota Bandoeng. Namun, pendirian fakultas ini akan dihadapkan dengan kekurangan guru yang besar, terutama di bidang filsafat, psikologi, didaktik, sosiologi, dan pedagogi teoretis dan historis. Tentu saja, tenaga asing harus direkrut untuk mata pelajaran ini. Di Indonesia modern hanya ada dua orang Indonesia yang berwenang mengajar pedagogi, yaitu Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D di Jakarta dan Drs. Sigit, profesor di Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta. Namun, pendirian Fakultas Pedagogis di Bandoeng tidak akan menyebabkan banyak kesulitan, karena telah ada Kursus Pedagogis di sini selama dua tahun terakhir, dengan bantuan guru yang berkualitas (kebanyakan Belanda). Tujuannya adalah bahwa perkuliahan di Fakultas Pedagogi di Bandung ini akan berlangsung selama lima tahun’.

Fakultas Pendidikan (Fakultas Pedagogik) di Bandoeng kelak diketahui sebagai cikal bakal Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yaitu perguruan tinggi keguruan yang pertama di Indonesia.

Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lahir di Padang Sidempoean tahun 1896. Ayahnya bernama Mangaradja Hamonangan adalah seorang guru alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1892. Kakak kelas Mangaradja Hamonangan di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Pada tahun 1905 Soetan Casajangan melanjutkan studi ke Belanda dan pada tahun 1908 menggagas didirikannya organisasi mahasiswa yang disebut Indisch Vereeniging (cikal bakal Perhimpunan Indonesia).

Setelah menyelesaikan sekolah ELS di Padang Sidempoean dan Sibolga, Soetan Goenoeng Moelia melanjutkan studi ke negeri Belanda pada tahun 1911. Pada tahun ini Soetan Casajangan meraih gelar sarjana pendidikan. Soetan Goenoeng Moelia meraih sarjana pendidikan tahun 1918 dan sekembalinya ke tanah air diteptakan sebagai kepala sekolah HIS di Kotanopan. Pada tahun 1927 Mr. Soetan Goenoeng Moelia diangkap menjadi anggota Volksraad yang pada tahun yang sama Mr. Soetan Casajangan sebagai Direktur Normaal School (sekolah guru) di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Pada tahun 1929 Mr. Soetan Goenoeng Moelia menjadi satu-satunya pribumi sebagai anggota Komite Pendidikan Nasional. Pada tahun 1930 Mr. Soetan Goenoeng Moelia melanjutkan pendidikan doktoral dan meraih gelar Ph.D di Universiteit Leiden. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D adalah orang Indonesia pertama yang bergelar doktor di bidang pendidikan.

Demikianlah riwayat Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D.sedikit banyak telah memberi kontribusi terhadap perguruan tinggi di Indonesia termasuk pendirian Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta. Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, Menteri Pendidikan RI kedua anak seorang guru yang memulai karir sebagai guru HIS di Kotanopan pada tahun 1918 setelah menyelesaikan studi di Belanda.

Di Jogjakarta putra putri asal Padang Sidempoean tidak hanya Prof. Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D juga masih ada yang lainnya, yakni Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (Perdana Menteri RI 1947); Abdul Hakim Harahap (Wakil Perdana Meteri RI 1950); Arifin Harahap kedubes RI Jogjakarta di Djakarta (1946-1949); Drs. Lafran Pane  pendiri HMI dan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (1953); Burhanuddin Harahap sebagai Perdana Menteri RI 1955/1956 alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dan tentu saja Drs. Ashadi Siregar dosen di Kampus Biru Universitas Gadjah Mada pengarang novel terkenal berjudul Cintaku di Kampus Biru.

Guru tetaplah guru. Prof. Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D adalah Guru Pendidikan Indonesia.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar