Sabtu, 30 Mei 2020

Sejarah Yogyakarta (37): Raden Noto Soeroto dan Indische Vereeniging (1913; Pangeran Pakoe Alam van Djokjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Raden Noto Soeroto termasuk salah satu pangeran (Pakoe Alam) dari Djokjakarta yang terbilang terpelajar di awal era pendidikan tinggi. Seperti halnya penyair, gagasannya penuh dan beragam. Ini juga tergambar pada perjalanan hidupnya yang pasang-surut. Raden Noto Soeroto adalah sosok seorang pemimpin, paling tidak pernah menjadi Ketua Indische Vereeniging di Belanda (1912-1914), namun dalam urusan pendidikannya, Raden Noto Soeroto tidak sepenuhnya berhasil. Padahal semua ketua-ketua Indische Vereeniging berhasil dalam pendidikannya. Mengapa demikian? Untuk menambah pengetahuan, dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.

Kakek moyang Raden Noto Soeroto bekerjasama dengan Inggris (1811-1816), lahirlah Kadipaten Pakoealaman. Jaman telah berubah, Raden Noto Soeroto di Belanda justru lebih mempererat hubungan pribumi dengan Belanda. Visi Noto Soeroto ini berbeda dengan yang diusung oleh Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat di tanah air yang ingin memisahkan Hindia dari Belanda (tetapi bekerjasama dengan orang-orang Indo) yang kemudian lahir Indische Partij (1913). Soewardi Soerjaningrat kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.

Raden Noto Soeroto tetap dipandang sebagai mantan ketua Indische Vereeniging di Belanda. Suatu organisasi pelajar-mahasiswa pertama di Belanda. Sejak kepengurusan Hoesein Djajadingrat (Ketua Indische Vereeniging yang kedua), orientasi Indische Vereeniging mulai sedikit bergeser rel. Mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra yang dimotori Sorip Tagor Harahap sedikit agak gusar yang lalu membentuk sub organisasi Indische Vereeniging dengan nama Soematra Sepakat. Rel Indische Vereeniging baru betul-betul terselesaikan pada tahun 1922 pada era kepemimpinan Dr. Soetomo dkk (dengan nama baru Indonesische Vereeniging). Organisasi nasional mahasiswa yang diinisiasi oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Kasajangan di Leiden 1908 ini lebih disempurnakan oleh Mohamad Hatta dkk tahun 1924 dengan nama Perhimpoenan Indonesia.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Raden Noto Soeroto

Tidak seperti Raden Soemitro, anak bupati Koetoardjo yang berangkat studi ke Batavia tahun 1901 (di Gymnasium Willem III), Raden Noto Soeroto, pangeran (kadipaten) Pakoealaman, Djokjakarta justru berangkat studi ke Semarang. Raden Noto Soeroto menjadi salah satu dari 103 kandidat yang mendaftar di sekolah menengah HBS Semarang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-04-1901). Dari semua kandidat ini hanya empat orang pribumi dan dua orang Cina. Selain Raden Mas Noto Soeroro, tiga pribumi lainnya adalah Raden Bagoes Achmat, Raden Soedjono dan Raden Mas Aboeseno. Setelah lulus HBS Semarang tepat waktu pada tahun 1906, Raden Noto Soeroto segera berangkat studi ke Belanda.

Pribumi pertama yang diterima di sekolah HBS lima tahun di Semarang ini adalah Raden Mas Kartono tahun 1891 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-05-1891). Raden Mas Pandji Sosno Kartono lulus ujian HBS tahun 1896 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). RM Kartono, berangkat ke Batavia untuk test (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-07-1896). RM Kartono, anak ketiga bupati Djepara lalu melanjutkan studi Indologi ke politeknik di Delft (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1896). Namun Raden Kartono gagal di tahun ketiga. Raden Kartono tidak patah arang. Pada tahun 1901 Raden Kartono mendaftar di Universiteit Utrech dan diterima di faculteiten der godgeleerdheid enz (lihat Algemeen Handelsblad, 25-08-1901). Raden Kartono adalah abang dari RA Kartini.

De locomotief, 20-07-1906
Pada tahun 1905 Soetan Kasajangan yang sudah berada di Belanda sejak 1903 menulis di majalah dwimingguan berbahasa Melayu yang terbit di Amsterdam, menghimbau putra-putri terbaik pribumi untuk melanjutkan studi ke Belanda. Soetan Kasajangan memberikan penerangan dan bersama-sama dengan beberapa orang pribumi yang sudah di Belanda bersedia untuk membantu mencarikan perguruan tinggi dan akomodasi yang diperlukan. Boleh jadi, himbauan Soetan Kasajangan ini dibaca oleh siswa-siswa yang tengah berada di sekolah menengah HBS, termasuk Raden Noto Soeroto di Semarang. Soetan Kasajangan adalah alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887. Setelah mengabdi menjadi guru sekolah dasar di Padang Sidempoean selama 13 tahun, Soetan Kasajangan melanjutkan studi jauh ke negeri Belanda.

Raden Mas Noto Soeroto, setelah pamit ke orangtua di Jogjakarta, kembali ke Semarang untuk melakukan pelyaran jarak jauh ke Nederland. Dengan kapal uap ss Ophir untuk tujuan Amsterdam pada bulan Juli 1906 berangkat dari Semarang (lihat De locomotief, 20-07-1906). Pada manifest kapal hanya Raden Noto Soerono yang pribumi. Setelah singgah di Batavia dan Padang kapal ss Ophir yang ditumpangi Raden Noto Soeroto ini tiba tanggal 18 Agustus di Marseille (lihat Algemeen Handelsblad, 20-08-1906). Raden Mas Noto Soeroto di Belanda mendaftar di Universiteit Leiden.

Di Universiteit Leiden sudah lebih dahulu Raden Kartono (dari Djepara) dan Hoesein Djajadiningrat (dari Banten) terdaftar sebagai mahasiswa. Hoesein Djajadiningrat mengambil bidang bahasa dan sastra. Sedangkan Raden Mas Noto Soeroto dalam bidang hukum. Soetan Kasajangan sendiri mengikuti pendidikan guru di Rijkskweekschool di Haarlem.

Pada tahun 1908 mahasiswa senior, Soetan Kasajangan menginisiasi pembentuk organisasi pelajar-mahasiswa pribumi di Leiden. Raden Soemitro yang belum lama menjadi mahasiswa Indologi (di Leiden) diminta Soetan Kasajangan untuk mengirim undangan untuk pertemuan di tempatnya dalam pembentukan organisasi. Jumlah mahasiswa sebanyak 15 orang. Pada tanggal 25 Oktober di rumah Soetan Kasajangan dibentuk organisasi mahasiswa yang diberi nama Indische Vereeniging. Dalam pertemuaan ini turut hadir Raden Noto Soeroto. Secara aklamasi ketua terpilih Soetan Kasajangan dan sekretaris Raden Soemitro. Sejak adanya organisasi mahasiswa pribumi ini mulai muncul diantara orang-orang Belanda pro-kontra tentang tanah jajahan (Hindia Belanda).

Terdapatnya  organisasi kebangsaan Medan Perdamaian yang digagas Dja Endar Moeda dan sudah berdiri sejak 1900 di Padang, Sjarikat Tapanoeli di Medan dan kemudian disusul tahun 1908 Boedi Oetomo Batavia-Djokjakarta dan Indische Vereeniging di Belanda orang-orang Belanda mulai gelisah. Lebih-lebih setelah adanya diskursus tentang sistem pertahanan di Djawa apakah militer tetap orang Belanda atau melibatkan penduduk Jawa.

Majalah dwimingguan Bintang Hindia yang terbit sejak 1903 telah menurun reputasinya sehubungan dengan bertambahnya surat-kabar dan majalah berbahasa Melayu yang terbit di Hindia. Sebut saja Pertja Barat di Padang (editor Dja Endar Moeda), Pertja Timor di Medan (editor Mangaradja Salamboewe) dan Pembrita Betawi di Batavia (editor Tirto Adhi Soerjo). Bintang Hindia tutup tahun 1907. Hal ini juga sehubungan dengan editor terakhir Bintang Hindia Dr. Abdoel Rivai sudah melanjutkan studinya di Belanda.

C. Clockener Brousson, pemimpin Bintang Hindia memahami apa yang sedang terjadi lalu membentuk baru majalah dwimingguan yang diberi nama Bendera Wolanda pada tahun 1909. Misi C. Clockener Brousson menggantikan nama Bintang Hindia menjadi Bendera Wolanda mudah ditebak. Dalam upayanya, C. Clockener Brousson membujuk mahasiswa-mahasiswa pribumi untuk membantunya. C. Clockener Brousson bertindak sebagai kepala editor dan para editor adalah Soetan Kasajangan, Raden Noto Soeroto dan Amaroellah (pernah menjadi guru di Idie, Atjeh). Alasan perekrutan ini karena alasan C. Clockener Brousson akan berangkat ke Hindia selama dua tahun 1909 dan 1910. Namun para mahasiswa cepat menyadari.

Bukan Bendera Wolanda yang diperlukan. Tetapi bintang-bintang Hindia yang semakin banyak bersekolah di Belanda yang dibutuhkan. Pada bulan Agustus 1909 Raden Noto Soeroto menulis di surat kabar Nieuwe Rotterdam Courant tentang masalah pertahanan di Jawa. Raden Noto Soeroto menyindir yang lalu kemudian menjadi viral diantara orang-orang Belanda. Sementara Soetan Kasajangan terus melakukan diplomasi kepada perhimpunan orang-orang Belanda peminat Hindia Belanda untuk meningkatkan pendidikan pribumi. Seorang anggota parlemen Belanda Yzerman mencermati gerakan mahasiswa pribumi seperti dikatakannya: ‘suara-suara pribumi sudah ada di dalam negara kita sendiri (Belanda). Sementara anggota parlemen yang lain mengatakan ‘Kita orang Belanda lebih sadar diri, karena kita tentu saja tidak akan merekomendasikan keangkuhan, konsep dominasi (lihat De Sumatra post, 03-08-1909).

Lambat laun tiga editor yang ‘dibajak’ tersebut mundur satu per satu dari Bendera Wolanda. Soetan Kasajangan menjalin dengan investor baru (Fa. BJ Rubens & Co.) untuk menerbitkan majalah dwimingguan baru yang diberi nama Bintang Perniagaan (1910). Tampaknya Soetan Kasajangan mempertegas yang dibutuhkan pribumi adalah bintang-bintang pelajar semakin banyak yang memasuki perguruan tinggi di Belanda dan semakin cerdasnya pribumi untuk berniaga (ekspor-impor). Pada saat Soetan Kasajangan lulus studi dan mendapat gelar sarjana pendidikan tahun 1911, masih tetap menjadi redaktur Bintang Perniagaan. Raden Noto Soeroto terus memainkan penanya. Sementara Soetan Kasajangan juga banyak memenuhi permintaan untuk menjadi pengajar pertama dalam bahasa Melayu di sekolah bisnis (Handelsschool) yang berada di Rotterdam dan Haarlem. Guru tetaplah guru, tetapi kebutuhan pribumi masih diutamakan. Soetan Kasajangan sambil mengasuh Bintang Perniagaan dan mengajar bahasa Melayu di sekolah bisnis tentu saja cara yang memungkinkan untuk mempelajari cara berbisnis yang dapat diterapkan di Hindia.

Dua vokalis dari Indische Vereeniging, Soetan Kasajangan dan Raden Noto Soeroto terus bekerja untuk atas naa pribumi baik di Hindia maupun Belanda. Soetan Kasajangan masih melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi. Soetan Kasajangan dihadapan para pakar bangsa Belanda menuntut keadilan. Para pakar  ini tergabung dalam Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda). Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911 di Belanda, Soetan Kasajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

    ..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwi tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Pidato Soetan Kasajangan ini tentu saja disampaikan dengan santun, tetapi isinya sangat menohok. Soetan Kasajangan menyindir dengan kata-kata puitis. Hal serupa ini juga menjadi cara yang disampaikan oleh Raden Noto Soeroto di media-media Belanda. Saat itu kepengurusan Indische Vereeniging dipimpin oleh Ketua Hoesein Djajadiningrat (1910-1912).

Portofolio Raden Noto Soeroto semakin meningkat di Indische Vereeniging. Soetan Kasajangan yang telah lulus studi tahun 1911, setelah beberapa waktu bekerja di Belanda dan terus memperjuangkan pendidikan untuk pribumi, mulai bersiap-siap pulang ke tanah air setelah sekian tahun di Belanda. Soetan Kasajangan ingin mengaplikasikan pengetahuan dan pengalamannya di tanah air. Raden Noto Soeroto terpilih menjadi ketua Indische Vereeniging tahun 1912 dan Soetan Kasajangan pada bulan Juli 1913 pulang ke tanah air.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar