Minggu, 31 Mei 2020

Sejarah Yogyakarta (38): Goesti Raden Mas Dorodjatoen dan Perhimpoenan Indonesia, 1930; Riwayat Djogjakarta dan Tapanoeli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Goesti Raden Mas Dorodjatoen bukanlah orang biasa. Meski pembawaannya biasa-biasa saja tetapi cara berpikirnya sangat terbuka dan luar biasa. Pangeran mahkota Jogjakarta ini sejak dini sudah mendapat pergaulan Eropa, sejak ELS dan HBS (internasional). Ketika melanjutkan pendidikan tinggi di Belanda tahun 1930, pangeran muda dari Djokjakarta ini bergabung dengan Perhimpoenan Indonesia. Teman-teman baru yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia membuatnya paham tentang Indonesia yang sebenarnya. Pengalaman itulah yang menjadi bekalnya ketika menjadi salah satu pemimpin Indonesia kelak. Siapakah pangeran mahkota tersebut? Hamengkoeboewono IX.

Hamengkoeboewono IX (1940an)

Dr. Soetomo sepulang berdinas selama dua tahun di Tandjoeng Morawa, Deli pada tahun 1915 meminta diadakan rapat umum Boedi Oetomo di Afdeeling (cabang) Batavia. Saat itu dipimpin oleh golongan muda terpelajar. Ketuanya adalah Dr. Sardjito. Dalam rapat umum tersebut Dr. Soetomo meminta perhatian para hadirin: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri. Di luar Jawa di Deli orang Jawa sangat menderita. Banyak orang Tapanoeli yang terpelajar. Mereka ada dimana-mana. Kita tidak bisa lagi hidup sendiri. Tugas kita lebih luas dari yang kita pikirkan’.

Ada satu hal yang unik tentang Hamengkoeboewono IX yakni terbuka ke semua orang tetapi begitu dekat dengan orang-orang Pantai Barat Sumatra terutama orang-orang Tapanoeli. Mengapa? Nah, itu dia. Tentu saja saja itu bukan mengikuti perkataan Dr. Soetomo. Seberapa dekat kedekatannya? Tentu hal itu mudah ditebak. Ketika ibu kota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tahun 1946 Soeltan Hamengkoeboewono memfasilitasi secara serius Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Kolonel Zulkifli Loebis untuk mendesain pertahanan. Selanjutnya, pada saat militer Belanda evakuasi dari Djogjakarta Juni 1949 yang diminta Hamengkoeboewono IX untuk dicari adalah Kolonel TB Simatoepang untuk mengamankan Djokjakarta. Lantas mengapa yang menjadi ajudan pribadi yang dipilihnya Kapten M Karim Leobis? Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Hamengkoeboewono IX adalah salah satu pemimpin Indonesia terbaik di jamannya.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Goesti Raden Mas Dorodjatoen

Ada dua peristiwa penting di Djogjakarta pada tahun 1926. Pertama, Soeltan Djokja menyelenggarakan pertunjukan amal untuk mengunmpulkan dana bantu gempa yang terjadi di Pantai Barat Sumatra (lihat De Indische courant, 09-08-1926). Pertunjukkan yang diselenggarakan tersebut adalah wayang semalam suntuk (menampilkan wayang 1.000 buah). Terkumpul dana sebesar f1.500. Pertujukan ini dihadiri Residen dan Soeltan yang didampingi anaknya Raden Mas Dorodjatoen.

De locomotief, 25-05-1926
Kedua, perayaan khitanan tiga anak Soeltan yang berumur antara 14-17 tahun yakni Raden Mas Dorodjatoen, Bendoro Raden Mas Kartolo dan Bendoro Raden Mas Tingbarto yang diselenggarkan tanggal 5 Agustus (lihat De locomotief, 05-08-1926). Perayaan ini pada malam hari diselenggarakan pertunjukan wayangwong.

Itulah awal mula nama Raden Mas Dorodjatoen dikenal publik. Raden Mas Dorodjatoen yang berumur 14 tahun saat pengumpulan dana itu sudah mengenal arti sharing and caring. Raden Mas Dorodjatoen juga sudah dewasa dan telah mengenal arti modernisasi. Sebab Raden Mas Dorodjatoen dan dua saudaranya disunat tidak mengikuti ritual lama menggunakan pisau bambu dan tabung, tetapi secara sendirian oleh dokter kraton, Dr. Abdoel Kadir menyunat dengan menggunakan instrumen Eropa dan bahkan menggunakan anestesi.  Raden Mas Dorodjatoen sendiri belum lama diterima di sekolah HBS Semarang (lihat De locomotief, 25-05-1926).

De locomotief: Samarangsch handels blad, 21-08-1902
Soal berbagi dan saling membantu ini sudah sejak lama ada. Satu yang penting pada tahun 1902 organisasi kebangsaan yang pertama (Medan Perdamaian yang didirikan tahun 1900) di Padang mengumpulkan dana dari berbagai kegiatan banyaknya f14.000 untuk membantu peningkatan mutu sekolah pribumi di Semarang. Bantuan pendidikan diserahkan oleh ketuanya Dja Endar Moeda melalui direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra, Charles Adrian van Ophuijsen (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1884, sedangkan Charles Adrian van Ophuijsen adalah mantan guru Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean (selama delapan tahun Charles Adrian van Ophuijsen di Padang Sidempoean, lima tahun terakhir adalah direktur sekolah). Dja Endar Moeda menjelang kelulusannya dengan kawan-kawan pada tahun 1884 pernah mengumpulkan dana untuk membantu pendidikan keluarga yang tidak mampu (lihat Sumatra Courant (01-05-1884). Kelak, Charles Adrian van Ophuijsen menjadi guru besar di Universiteit Leiden, orang pertama yang menyusun tata bahasa Malayu (cikal bakal tata bahasa Indonesia). Charles Adrian van Ophuijsen menguasai bahasa Batak dan bahasa Melayu.

Pada tahun 1929 Raden Mas Dorodjatoen dan abangnya RM Tingarto diketahui telah mengikuti pendidikan di HBS Bandoeng (lihat Soerabaijasch handelsblad, 17-10-1929). Disebutkan Raden Mas Dorodjatoen berusia 17 tahun dan  RM Tingarto berusia 19 tahun. Jika Raden Mas Dorodjatoen masuk HBS Semarang pada tahun 1926, apakah setelah HBS tiga tahun di Semarang dilanjutkan ke HBS Bandoeng tidak diketahui secara jelas. Dalam berita ini juga keduanya akan berangkat pada bulan Maret 1930 ke Belanda untuk melanjutkan studi. Disebutkan bahwa keduanya di Belanda akan menyelesaikan pendidikan HBS terlebih dahulu. Kepastian keberangkatan semakin jelas (lihat De locomotief, 25-01-1930). Disebutkan tiket kapal sudah dipesan. Disebutkan kedua anak Soeltan ini selama di perjalanan dibimbing oleh oleh JJ. Hofland, administrator dari satu pabrik gula di Jogja, yang mana Raden Mas Dorodjatoen akan belajar hukum di Hoogeschool di Leiden, sedangkan abangnya akan menngikuti pendidikan di Lyceum di Haarlem. Di Belanda keduanya  di bawah pengawasan dari Ir Maurik Broekie, direktur HBS di Haarlem, teman lama Soeltan.

Raden Mas Dorodjatoen dan RM Tingarto berangkat tangggal 5 Maret di pelabuhan Tandjoeng Priok Batavia dengan kapal ss Christiaan Huygens pada pukul 12 siang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-03-1930). Di dalam manifest kapal yang terdiri ratusan penumpang tersebut juga terdapat nama JJ Hofland. Satu kapal dengan mereka adalah Raden Mas Marwata.Mangkoewinoto dan Dr, M Radjiman. Catatan: Dr. Radjïman Wedjoningrat adalah alumni STOVIA, dokter terkenal di Solo, salah satu pendiri Boedi Oetomo yang mendapat cuti dari pemerintah ke Eropa selama dua tahun (lihat De nieuwe vorstenlanden, 02-03-1929). Marwata.Mangkoewinoto adalah dokter yang bertugas di Palembang yang diberi cuti ke Eropa (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-03-1930). Raden Foto Raden Mas Dorodjatoen (Algemeen Handelsblad, 09-04-1930).

Tidak diketahui kapa kedua anak Soeltan mengikuti HBS di Belanda dan juga tidak diketahui masing-masing mereka memulai HBS di Belanda pada kelas berapa. Yang jelas pada libur tahun 1932 mereka kembali ke tanah air, Pada tanggal 20 Juli mereka berdua kebali ke Belanda dengan kapal ss Christiaan Huygens (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-07-1932). Pada bulan Juli 1934 keduanya dinyatakan sama-sama lulus di HBS Haarlem (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1934).

De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1934
Keterangan ini diduga keduanya di Belanda memasuki HBS pada tingkat yang sama. Jika selama mengikuti HBS di Haarlem keduanya sukses, dan lulus pada tahun 1934 maka mereka baru memulai studi pada tahun 1932. Antara kebrangkatan pertama tahun 1930 dan keberangkatan kedua tahun 1932 diduga masih masa orientasi. Masa studi HBS sendiri adalah lima tahun.

Dua bulan kemudian setelah kelulusan HBS, kedua anak Soeltan diterima pada faculteit van rechten en letteren di Universiteit Leiden (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 14-09-1934).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Soeltan Hamengkoeboewono IX

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar