Senin, 13 Juli 2020

Sejarah Lombok (37): Bahasa dan Aksara Sasak; Literatur Tentang Penduduk Sasak di Lombok dan Kamus Melayu-Sasak (1847)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Setiap kelompok penduduk memiliki bahasa sendiri-sendiri. Di Indonesia, paling tidak terdapat sebanyak 742 bahasa termasuk di dalamnya bahasa Sasak (yang umumnya digunakan oleh penduduk Sasak di pulau Lombok). Seperti kata sejarawan, bahasa seumur dengan usia kelompok penduduk (etnik). Ini berarti usia bahasa Sasak setua penduduk Sasak di Lombok, namun sulit diketahui seberapa tua. Aksara dan literatur adalah perkembangan lebih lanjut dari penggunaan bahasa itu sendiri. Dalam interaksi sosial di luar penutur bahasa, penulisan kamus dimaksudkan untuk mempermudah proses komunikasi orang asing dengan penduduk penutur bahasa.

Bahasa adalah elemen budaya yang paling mendasar dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti kata pepatah ‘bahasa menunjukkan bangsa’. Sementara aksara adalah sistem tulisan yang karakternya diimpor dari luar yang tetap dipertahankan atau dilakukan modifikasi. Tulisan dengan menggunakan aksara adalah cara mengkoding ucapan (berbahasa). Sedangkan tulisan dalam hal ini adalah wujud perkembangan sosial-budaya yang direkam ke dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa tersebut (dalam hal ini bahasa Sasak). Perekaman itu dapat ditulis pada batu (prasasti), daun lontar, bambu, kulit kayu dan tentu saja kertas yang umumnya digunakan oleh orang-orang Eropa-Belanda apakah berisi tentang sejarah, sastra dan lainnya.

Lantas bagaimana sejarah bahasa, aksara dan sastra penduduk Sasak di Lombok? Kurang terinformasikan karena jarang ditulis dalam bahasa Sasak. Literatur yang ada saat ini selalu dikaitkan dengan Babad Lombok yang disebutkan ditulis pada abad ke-18. Namun dalam artikel ini, sumber yang digunakan dari berbagai sumber (bahasa dan aksara) yang ditulis di kertas pada era VOC dan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa dan Aksara Sasak: Babad Lombok

Heinrich Zollinger (1847) menyatakan bahwa ada dua bahasa di Lombok, bahasa Sasak plus bahasa Bali. Penduduk Lombok tidak memahami kedua bahasa itu sekaligus. Orang Bali tidak bisa mengerti bahasa Sasak, namun ada banyak orang yang bisa berbicara kedua bahasa tersebut yakni umumnya para pemimpin penduduk Sasak. Semenetara itu di Lombok hanya sedikit yang bisa berbica bahasa Melayu, yang umumnya mereka adalah orang-orang seperti Eropa, Cina dan Bugis. Ada beberapa orang diantara orang Bali dan Sasak yang bisa berbahasa Melayu dengan baik. Raja Bali Selaparang hanya sedikit bisa memahami bahasa Melayu.

Lebih lanjut Heinrich Zollinger menyatakan bahwa bahasa Sasak memiliki banyak kata yang sama dengan bahasa Melayu dan bahasa Jawa [ini dapat dilihat dari kamus Melayu-Sasak yang disusunnya]. Secara keseluruhan bahasa Sasak lebih mirip dengan bahasa Bima dan bahasa Soembawa. Bahasa Sasak ditulis dengan menggunakan aksara Jawa yang dimodifikasi (seperti halnya di Bali, aksara Jawa dimodifikasi). Hanya para pemimpin Sasak yang bisa membaca dan menulis itu. Penduduk Sasak tidak dapat membaca dan menulis aksara itu.

Orang Sasak di Lombok memiliki bahasa sendiri, bahasa Sasak yang telah menyerap banyak kata dari bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Bahasa Sasak berbeda dengan bahasa Bali, bahasa Sasak cebderung mirip bahasa-bahasa di pulau Soembawa. Bahasa Sasak umumnya digunakan di kalangan mereka sendiri. Aksara Sasak adalah aksara Jawa yang dimodifikasi dan hanya para pemimpin yang bisa menulis dan membaca aksara Sasak.

Angka literasi penduduk Sasak dalam hal ini terbilang kecil, seperti disebutkan Heinrich Zollibger hanya terbatas pada para pemimpinnya (yang terhubung dengan kerajaan Bali Selaparang di Lombok). Tidak banyak kelompok penduduk di Nusanatra yang memiliki tingkat literasi tinggi. Menurut Heinrich Zollinger, orang Bali di Lombok berbicara sama dengan orang Bali (di Bali). Hampir semua orang Bali dapat membaca dan menulis bahasa mereka, bahkan orang-orang dari kelas terendah (kebanyakan wanita). Tingkat literasi yang tinggi juga ditemukan di Tapanoeli. Marsden dalam bukunya (The History of Sumatra, 1811): ‘penduduk Batak memiliki bahasa sendiri serta sastra dan aksara sendiri. Mereka memiliki kejeniusan berperilaku serta penduduknya lebih dari separuh mampu membaca dan menulis dalam aksara Batak yang melampaui kemampuan baca tulis Latin dari semua bangsa-bangsa di Eropa. Mereka menulis di bagian halus dari kulit pohon khusus dan menggunakan tinta yang terbuat dari jelaga damar yang dicampur dengan ekstrak air tebu’.  

Sehubungan dengan itu, menjadi menarik untuk diperhatikan ketika kita menghubungkan literatur Babad Lombok yang ditulis dengan penggunaan aksara Sasak (aksara Jawa dimodifikasi) dan penutur bahasa Sasak. Babad Lombok yang konon ditulis pada akhir abad ke-18 ditulis dalam ‘aksara Sasak’ tetapi menggunakan bahasa Jawa. Ini mengindikasikan bahasa Jawa dalam Babad Lombok hanya ditujukan secara terbatas, sebab penduduk Sasak berbahasa Sasak dan tidak begitu melembaga dengan aksara Sasak. Babad Lombok diduga eksis pada saat ketika para pemimpin Sasak memahami bahasa Jawa (sebelum bergeser dengan bahasa Bali).

Pada ekspedisi pertama Belanda ke Nusantara yang dipimpin Cornelis de Houtman (1597) mencatat mereka berlabuh di pelabuhan Lombok (teluk Lombok) dan telah bertemu dengan syahbandar. Dalam catatan Cornelis de Hourman ini disebut (kerajaan) Djepara telah membuat koloni di (pelabuha) Lombok sejak 1593. Orang-orang Djepara ini diduga adalah para pedagang Djepara dari (pulau) Jawa yang juga menjadi orang-orang pertama menyebarkan syiar Islam di Tanah Sasak (penduduk Sasak menyebut Tanah Sasak, bukan Lombok, karena Lombok untuk nama pulau adalah identifikasi oleh orang asing).

Orang-orang Jawa diduga kuat adalah koloni pertama di pulau Lombok yang mengintroduksi peradaban baru (Islam dan Jawa), jauh sebelum orang-orang Gowa (Makassar, Islam). Orang-orangf Jawa diduga telah memperkuat kerajaan Selaparang di Lombok (timur pulau). Dalam perkembangannya kerajaan (Islam) Selaparang mekar dan terbentuk sejumlah kerajaan (seperti halnya juga di pulau Bali). Salah satu kerajaan baru tersebut adalah kerajaan (Islam) Pedjanggik (selatan pulau).

Selain merujuk pada catatan Cornelis de Houtman (1597) tentang kehadiran (kerajaan) Djepara, kehadiran orang Jawa di Lombok juga dapat dihubungkan dengan munculnya nama-nama tempat di pulau Lombok seperti Selong, Soerabaja, Kediri, Mataram, Poh Gading, Wanasaba dan lainnya. Nama-nama ini adalah nama-nama tempat sudah dikenal di (pulau) Jawa.

Keberadaan orang-orang Jawa di Lombok ini diduga menjadi faktor penting mengapa kosa kata bahasa Jawa (dan bahasa Melayu) banyak terserap dalam bahasa Sasak. Sebagaimana diketahui bahasa Melayu adalah lingua franca (dalam perdagangan dan pelayaran). Orang-orang Jawa selain berbahasa Melayu juga tetap menerapkan pengetahuan mereka seperti seni dan aksara Jawa yang dimodifikasi. Seni seperti penggunaan gamelan dan bahasa seperti penggunaan aksara (paling tidak muncul dalam Babad Lombok).

Bijdragen tot de taal van Nederlandsch-Indie, 1913
Heinrich Zollinger menyatakan bahwa soal bahasa Sasak pada dasarnya tidak memiliki tingkatan seperti di Jawa (dan Bali). Hanya sejumlah kosa kata tertentu yang berlaku di kalangan atas (para bangsawan) berbeda dengan bahasa pada umumnya. Sementara itu, orang-orang Bali yang mulai membentuk koloni di Lombok (barat pulau) meski di Bali terdapat tingkatan bahasa (bahkan bahasa Kawi masih digunakan pada kalangan atas, lihat van der Tuuk, 1871) tetapi orang Bali di Lombok umumnya menggunakan bahasa Bali umumnya. Hal ini boleh jadi merujuk pada pernyataan Heinrich Zollinger meski orang Bali memilik empat kasta tetapi orang Bali di Lombok umumnya kasta kedua dan ketiga (yang cebderung keduanya berbaur), bahwa kasta terendah Soedra hanya dalam bilangan kecil.

Literatur Babad Lombok meski hanya satu-satunya, tetapi menjadi penting tentang memahami latar belakang sejarah bahasa dan aksara di tengah penduduk Sasak. Babad Lombok seperti diyakini banyak penulis ditulis pada akhir abad ke-18, mengindikasikan babad-babad lain (aksara dan bahasa Jawa) adalah akhir dari peradaban Jawa di Lombok. Hal ini karena introduksi peradaban Bali secara perlahan mulai menggeser peradaban Jawa (paling tidak untuk memperkaya yang sudah ada) apakah aksara, seni dan bentuk-bentuk peradaban lainny seperti pengembangan pertanian beririgasi.

Koloni orang-orang Bali di Lombok diduga dimulai ketika terjadi perang antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya di Lombok di era peradaban Jawa. Kerajaan Pedjanggik (Islam) telah meminta bantuan kepada kerajaan di Bali (Karangasem) untuk membantunya mempertahankan diri dari musuh-musuhnya di Lombok. Pasukan Bali di Lombok dapat dianggap sebagai aneksasi dimulai pada tahun 1740. Disebut aneksasi karena berdimensi perang (adanya pasukan). Sementara menurut sejumlah penulis Belanda, orang Djawa membentuk koloni di Lombok dengan damai (yang diartikan sebagai hanya motif perdagangan dan penyiaran agama Islam). Koloni orang Bali yang membantu kerajaan Pedjanggik inilah yang kemudian menjelma menjadi kerajaan (penempatan pangeran Karangasem Bali di Lombok). Meski demikian, kerajaan orang-orang Bali di Lombok masih terbatas di barat pulau (Mataram). Dalam hal ini orang Jawa khususnya di Mataram telah ‘terusir’ oleh orang Bali. Ampenan sendiri adalah pelabuhan internasional (segala bangsa/etnik). Jadi dalam hal ini kota Mataram adalah kota yang terbentuk karena kehadiran orang-orang Jawa seperti Kediri, Pohgading dan lainnya.

Pengaruh orang-orang keturunan Jawa (aksara dan bahasa) masih eksis di pulau Lombok meski eksistensi orang-orang Bali sudah semakin menguat di barat pulau Lombok. Pengaruuh Jawa kemudian menjadi hanya terbatas di timur pulau (sekitar kerajaan Selaparang). Untuk mendominasi seluruh pulau, kerajaan Karangasem Lombok mulai melancarkan perang frontal untuk menaklukkan kerajaan Selaparang. Indikasi ini ditemukan dalam surat yang dikirimkan radja Karangasem kepada pemerintah VOC di Batavia pada tahun 1892 dan surat tahun 1804 yang isinya terkait dengan perang di Lombok.

Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1882
Surat berbahasa Melayu (aksara Bali), Goesti Made dari Karangasem en Selaparang kepada Yang Mulia (Hunne Hoog Edelheden) diterima di Batavia pada 26 Januari 1792, tanpa cap. Isi suratnya adalah pemberitahuan pengiriman kapten Tiongkok di kapal yang memuat daging kering, kulit sapi, kayu cendana dan sarang burung...Terakhir kali orang Cina pergi dengan 100 budak Bali. Surat lainnya adalah surat berbahasa Melayu dengan cap merah dalam aksara Bali ditulis pada Shaban 1218 ke-18 diterima di Batavia pada tanggal 9 Mei 1804. Isi surat adalah permintaan untuk meminjam untuk jangka waktu tiga bulan untuk dikirim satu kapal layar, lima pentjalang besar dan sepuluh yang kecil dengan perlengkapannya, persenjataan dan amunisi yang terdiri dari serbuk, peluru, bom, granat dan semua hal seperti itu, yang sangat sulit didapat, karena ia ingin berperang dengan Sasak di Lombok dan pengawasan di laut. Setelah perang berakhir dengan pertolongan Tuhan (!), dia akan mengembalikan semua yang dipinjam dengan hadiah 300 hingga 400 budak.

Dari surat-surat terkesan bahwa kerajaan Karangasem (yang juga telah menguasai Selaparang, Lombok) sangat ambisius tidak hanya di Bali tetapi juga di Lombok. Memperhatikan surat tahun 1804 bahwa kerajaan Karangasem belum sepenuhnya menguasai Lombok karena masih ingin melancarkan perang (yang dengan demikian akan mendapat budak-budak baru untuk dijual ke Batavia). Boleh jadi setelah perang ini kerajaan Karangasem baru menguasai sepenuhnya Lombok (Bali Selaparang). Dalam hubungan ini Babad Lombok ditulis pada tahun-tahun terakhir pengaruh Jawa (sebelum digantikan oleh Bali).

Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1847
Sejak dominannya kerajaan Karangasem Lombok (Bali Selaparang) diduga kuat tidak ada lagi literatur yang muncul setelah Babad Lombok. Penduduk Sasak tenggelam di bawah tekanan kerajaan Bali Selaparang. Tekanan itu semakin menjadi-jadi ketika empat kerajaan orang Bali di Lombok berperang. Kerajaan induk Karangasem berhasil ditaklukkan oleh pangeran (kerajaan) Mataram pada tahun 1838. Kerajaan Mataram Lombok menjadi satu-satunya kerajaan di Lombok. Pada fase inilah Heinrich Zollinger melakukan studi ilmiah di Lombok yang menemukan bahwa hanya segilintir orang yang bisa membaca dan menulis dalam aksara Sasak. Ketika mengajukan pertanyaan tentang apakah ada buku tentang sejarah Bali, Lombok atau penduduk Sasak, dia selalu dijawab negatif (tidak satu pun yang membuktikan). Meski hampir semua penduduk Bali di Lombok bisa membaca menulis dalam aksara Bali, faktanya tidak ada produk mesyarakat yang terkait literatur (kecuali hanya dalam hubungannya dengan hukum dan peraturan). Oleh karena bahasa Bali di Lombok sama dengan di Bali, literatur berbahasa Bali diduga berasal dari Bali. Menurut Heinrich Zollinger penduduk Sasak tidak memiliki literatur asli, namun mereka memiliki beberapa karya yang ditulis di daun lontar dalam bahasa Djawa dan Bali dan dalam aksara bahasa-bahasa tersebut yang merupakan buku-buku sejarah atau romantis atau lainnya yang diterjemahkan dari bahasa Melayu atau Arab. Ringanis adalah yang terkenal dan paling banyak beredar. Juga ada yang menyebutkan Djabalkup (sejarah dari Emir Hamzah), Labankara, Suroetie, Tapsir, Djatie Sokara dan sejarah dari Ratoe Moeka. Buku-bukunya jarang dan sulit ditemukan.

Literatur Sasak diduga baru berkembang setelah berakhirnya era kerajaan Bali Selaparang (pasca  Perang Lombok 1894). Ini sehubungan dengan Pemerintah Hindia Belanda segera memperkenalkan aksara Latin dengan membangun sekolah untuk pribumi di Ampenan dan Selong. Penduduk Sasak telah mendapatkan setelah begitu lama di tanah sendiri (Goemi Sasak). Literatur Sasak tidak lagi ditulis dalam bahasa Jawa dengan  aksara Sasak pada daun lontar, tetapi ditulis dalam bahasa Sasak dengan aksara Latin pada kertas.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tulisan-Tulisan Mengenai Penduduk Sasak

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar