Minggu, 19 Juli 2020

Sejarah Lombok (45): Orang Sasak Lombok di Desa Tenganan Pegringsingan Pulau Bali; Monogami, Endogami dan Hukum Waris


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Di Lombok banyak orang Bali. Lantas apakah ada orang Sasak dari pulau Lombok di Bali? Ternyata ada. Mereka menetap sudah lama di kampong Tenganan Pegringsingan, Karangasem, pulau Bali. Bagaimana mereka bisa tinggal di Bali? Itu satu hal, Hal lain adalah ketika kerajaan Bali Selaparang mengirim pasukan asal Lombok untuk membantu kerajaan Karangasem dalam berperang melawan kerajaan Kloengkoeng. Hal lainnya adalah orang Sasak yang disebut Bodha ini menetap di kampong Tenganan Pegringsingan. Menurut S van Praag (1934) asal-usul penduduk Tenganan Pegringsingan sebagian berasal dari orang Sasak dari Lombok.

Pada masa ini desa Tenganan Pegringsingan lebih dikenal sebagai sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa Tenganan Pegringsingan berada di kecamatan Manggis, kabupaten Karangasem. Pada masa ini desa Tenganan Pegringsingan adalah salah satu dari tiga desa Bali Aga. Dua desa lainnya adalah desa Trunyan dan desa Sembiran. Bali Aga adalah penduduk asli Bali yang masih mempertahankan kepercayaan lama. Sedangkan penduduk asli Lombok adalah orang Sasak. Sebagian besar orang Sasak telah menganut agama Islam. Orang Bodha adalah orang Sasak yang masih mempertahankan kepercayaan lama (seperti halnya orang Bali Aga di Bali). Dua kelompok masyarakat memiliki kesamaan sehingga bisa berbaur.

Lantas bagaimana sejarah desa Tenganan Pegringsingan? Yang jelas menurut Dr VE Korn dalam monografnya berjudul De Dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan (1933) desa Tenganan Pegringsingan berbeda dengan desa-desa Bali umumnya. Desa Tnganan Pagringsingan menurut Dr VE Korn adalah Republik Desa yang mana penduduknya memiliki ciri khas yang unik: monogami, endogami dan hukum waris sendiri. Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

S van Praag (1934)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Republik Desa Tenganan Pegringsingan

Dr VE Korn (1933) memberi judul artikelnya De Dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan. Judul berlabel dorpsrepubliek (Republik Desa) memiliki arti sendiri dan ada maksudnya. Republik desa mengindikasikan bahwa desa itu bagai sebuah republik yang menjalankan otonomi sendiri dalam kehidupan bermasyarakat (desa) yang berbeda dengan desa-desa lain di sekitar. Ibarat suatu negara republik diantara bentuk-bentuk negara lainnya di sekitar seperti kerajaan-kerajaan. Desa Tnganan Pagringsingan adalah sebuah republik yang bukan beragama Hindoe diantara desa-desa di pulau Bali yang beragama Hindoe.

Dr VE Korn boleh jadi mengacu pada suatu desa republik yang lain di Hindia Belanda. Jauh sebelum Dr VE Korn mengunjungi (mempelajari) Bali, di hulu sungai Tjiliwong di selatan Batavia terdapat republik desa Depok. Republik desa Depok ini memiliki otonomi desa sendiri yang berbeda dengan desa-desa sekitar yang beragama Islam. Desa Depok sudah sejak lama dihuni oleh orang-orang yang berasal dari luar Depok yang mereka ini beragama Kristen. Asal-usul mereka tersebut banyak yang berasal dari Beli. Desa Kristen Depok ini diinisiasi oleh seorang pedagang-pejabat VOC Cornelis Chastelein pada tahun 1704. Desa Depok kemudian memiliki (sistem) pemerintahan sendiri bagaikan sebuah republik (semua penduduk desa yang dewasa berhak memilih siapa yang menjadi kepala desa.

Orang Bali yang sekarang menyebut penduduk desa T(e)nganan Pagringsingan sebagai orang Bali Aga. Orang Bali umumnya menganggap orang Bali Aga adalah penduduk asli pulau Bali yang tidak menganut agama Hindoe, Orang Bali Aga memiliki kepercayaan sendiri (agama tradisi, kepercayaan tertentu).

Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1901
Orang pertama yang melaporkan keberadaan desa Tenganan sebagai desa yang unik adalah Controleur Schwartz yang telah melakukan kunjungan ke (kerajaan) Karangasem pada tahun 1901 (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1901 halaman 851). Disebutkan di desa Tenganan dan Timbra, Schwartz menemukan orang Bali asli, yang disebut Bali Aga, yang masih membedakan diri mereka sendiri melalui moral, bahasa dan adat istiadat penduduk lainnya, tidak mengakui otoritas para pendeta Hindu, pedanda, dan mereka tidak membakar orang mati. Mereka diizinkan makan daging sapi.

Jauh sebelum menulis artikel De Dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan (1933), Dr VE Korn sudah menulis buku tentang Bali dengan judul Het adatrecht van Bali pada tahun 1924. Dalam hal ini Dr VE Korn adalah seorang ahli yang memahami secara konferehensif tentang Bali. Oleh karena itu Dr VE Korn tidak main-main membuat judul artikelnya De Dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan. Dr VE Korn adalah orang yang paling mengetahui seluk beluk Bali.

VE Korn, 1924
Penduduk (pulau) Bali tidak semuanya Hindoe. Ada sebanyak 16 persen yang beragama Islam. Desa Bali Islam dapat ditemukan di Karangasem (di Gèlgèl) dan di Koesamba (di Kloengkoeng) dihuni oleh keturunan Bandjar. di désa Kapaon (Badoeng); di désa Pegajaman, Tegallinggah, Bandjar Djawa (Boeleleng) dan cukup banyak di Djambrana dimana 16 persen dari populasi adalah Bali Islam.

Pagan masih tersebar di seluruh Bali. Mereka dikenal sebagai Bali-Aga dan Bali Moela, dimana kedua kelompok dibedakan, bahwa Bali Aga akan menjadi orang Bali asli yang asli, sedangkan Bali Moela berasal dari Jawa dari emigrasi sebelumnya dari yang menyeberang ke Bali setelah kehancuran Kekaisaran Madjapait. Bali Moela (yang berarti ‘orang asli Bali’ mungkin kurang memiliki surat-surat asli Jawa sendiri, dan mungkin memiliki cerita-cerita legendaris yang menunjukkan bahwa mereka langsung dari Brahma atau dari Déwa Agoeng pertama atau dari Déwa Agoeng pertama atau dewa Jawa lainnya turun dari Madjapahit. Orang asli Bali dibedakan dari yang lain oleh animisme yang agak tersembunyi yang disertai dengan cara pengiriman mayat yang berbeda; mereka memiliki dialek bahasa mereka sendiri, dimana perbedaan antara tinggi dan rendah tidak terjadi dan struktur administrasi desa mereka dan hak-hak dasar mereka mungkin juga berbeda dari daerah lain di Bali.

Bali Aga hidup di sejumlah besar desa, terutama di Krobokan, Sembiran, Tjempaga , Sidatapa, Pedawa, Goblèk, Bratan, Tigawasa, Bakoeng dan di Sangsit di Boelèlèng; Tnganan dan Timbrak di Karangasem, di Kutapang, Sental Kawan, Lembangan (di Noesa Penida); di sebagian besar wilayah danau Bali yaitu di desa Batur, Bantang, Daoesa, Songan, Tjatoer, Kintamani, Kedisan, Soekawana, Lampoe, Kembangsari, Kutadalem, Bajoeng, Abang, Sétra dan Troenjan, lebih jauh di Kajoebihi désa, Kajang dan Pangotan (Bali) dan désa Tigawasa, dan Tjekang dari distrik Soeshoet. Di Gijanjar mereka tinggal di desa Abéanbasé (Bali Moela), Tedoeng, Tjemenggaon, Pengaloe, Pasokan, Let dan Teboana. Di Tabanan di atas Marga, di Badoeng di Blahkioeh dan Plaga. Kamus van der Tuuk bahkan memberikan serangkaian nama tempat yang lebih panjang di Bali Aga dan pamentjangah dalem juga memberikan rangkaian panjang desa-desa tempat Bali Aga tinggal. Hampir dapat dipastikan bahwa bagian yang jauh lebih besar dari populasi Bali daripada yang sampai sekarang terbukti dianggap benar-benar diperhitungkan diantara Bali Aga. Karena nama ini, serta kata-kata Alifoeroe, Toradja, Dajak, memiliki kedekatan tertentu, menyangkal semua yang orang Bali adalah diantara orang-orang bushmen (pedalaman). Saya mengatakan bahwa Bali Aga sebagai sebuah agama yang memiliki animisme yang agak terselubung bagi orang-orang Bali lainnya, dengan pengecualian kasta, ini juga berlaku pada kenyataannya. Massa besar penduduk Bali Aga ini tidak mengerti doktrin pergerakan jiwa, juga tidak mengenal dewa-dewa dewa Hindu (lihat VE Korn, 1924).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Sasak Lombok di Tenganan Pegringsingan: Bali Aga dan Bodha

Menurut VE Korn (1924) ‘Oesana Bali’ dilestarikan oleh Desa Bali Aga Tnganan Pagringsingan sebagai ‘pijagem desa’. Itulah salah satu hal yang menjadi mengapa desa Tnganan Pagringsingan sangat penting di (pulau) Bali. Berdasarkan catatam S van Praag (1934) Tnganan Pragingsingan adalah salah satu dari 140 buah desa di (onderafdeeeling) Karangasem. Desa Tnganan Pagringsingan terletak di pantai timur pulau Bali, yang langsung berhadapan dengan pantai barat pulau Lombok.

Beberapa hal yang menjadi keunikan desa Tnganan Pagringsingan dibandingkan desa-desa Bali lainnya menurut VE Korn (1924) adalah hukum yang sudah lama berlaku bahwa ada penerapan hukum monogami dan endogami yang ketat, serta hukum waris di dalam komunitas yang berlaku untuk garis hukum kerabat. Suami dan istri adalah sama, keduanya sama kompetennya untuk bertindak dan sama-sama tunduk pada banyak aturan komunitas yang membatasi. Bagi desa, tidak masalah siapa pasangan yang mengalami kekurangan, bersama-sama mereka dipengaruhi oleh konsekuensinya. Hanya dalam hal tertentu yang bisa dikatakan bahwa lelaki itu adalah kepala keluarga. Ini terutama terlihat dari fakta bahwa semua anak diperhitungkan sebagai suku ayah dan bahwa pada saat kematian istri atau salah satu pemakaman anak-anak berlangsung di pemakaman (kerabat) ayah. Perluasan kelompok kerabat dengan adopsi tidak terjadi karena adopsi anak-anak dilarang dalam peraturan desa. Perceraian tidak dizinkan.

Pernikahan benar-benar monogami; jika Anda mengambil istri kedua, Anda berhenti menjadi dessalid dan tidak akan pernah bisa lagi. Desa juga endogami, siapa pun yang mencari pasangan di luar desa akan segera dikeluarkan dari desa itu. Juga secara alami tidak mungkin menikah dengan saudara dekat. Seorang gadis muda, yang belum memiliki suami, ditandai dengan sebuah kata, yang berarti ‘longgar’, istilah ‘longgar’ ini mengacu pada tata rambut. Selama gadis itu belum mengikat rambutnya, dia dianggap belum menikah. Seorang gadis belum menikah agak dipingit. Namun juga sudah ada pertunangan itu memberi gadis itu lebih banyak kebebasan bergerak. Seorang gadis yang tidak bertunangan seharusnya tidak pernah meninggalkan rumah orang tua tanpa pengawalan. Inilah kearifan desa Tnganan Pagringsingan dalam hal bagaimana keadaan hubungan seksual sebelum menikah. Ada ketentuan yang dapat menunjukkan kesederhanaan yang luar biasa. Gadis-gadis yang belum bertunangan disimpan terkunci dan hanya keluar di bawah pengawalan.

Sebagaimana pulau-pulau umumnya, pulau Bali juga pada dasarnya adalah pulau yang terbuka. Seperti dinyatakan beberapa peneliti terdahulu, Orang Bali Moela adalah penduduk asli Bali tetapi orang Bali Aga lebih asli lagi (lebih tua dari orang Bali Moela). Orang Bali Moela dihubungkan dengan emigrasi orang Jawa setelah jatuhnya kerajaan Madjapahit oleh pengaruh Islam.

Menurut catatan VE Korn (1924) di pulau Bali, selain orang Bali  terdapat sebanyak 6.213 orang Timur Asing (Cina, Arab, Kling dan lainnya), 243 orang Eropa-Belanda dan 7.356 orang pribumi (non-Sasak). Dari kelompok terakhir adalah orang Jawa (mereka membentuk suatu koloni pertanian di Djambrana dimana mereka merupakan 4,5 persen dari populasi), orang Bugis, orang Makasar. dan imigran lainnya dari Celebes yang juga tinggal bersama di desa mereka sendiri (rumah panggung) di pantai (Loloan di Djambrana, Pabéan, Kaliboekboek, Temoekoes dan Watoe Agoeng di Boelèlèng, Tuban, Benoa dan Serangan di Badoeng) dan Orang Madura (terutama di Djambrana) merupakan komponen populasi utama.

Di berbagai tempat di pulau Bali menurut catatan VE Korn (1924) terdapat sebanyak  4.110 Sasak, hampir semuanya tinggal di Karangasem, sebagai hasil dari imigrasi, yang biasanya diketahui oleh penguasa Karangasem, yang tampaknya muncul atas perintah radja-pangeran kerajaan Lombok (Bali Selaparang). Menurut Sosrowidjojo orang-orang Sasak ini tampaknya adalah pengikut Islam kuno waktoe teloe yang berbeda dengan pengikut Islam waktoe lima, yang hanya memiliki tiga waktu sholat setiap hari: shalat Magrib, Isa dan Soeboeh. Pernyataan Sosrowidjojo ini sesuai dengan pendapatAWL Vogelesang.

Secara keseluruhan jumlah populasi Islam di Bali hanya 13.027. Seperti yang dikutip VE Korn (1924) Lekkerkerker menilai bahwa elemen populasi ini tidak muncul melalui konversi, tetapi dengan cara berikut: ‘Jika seorang Bali telah dikompromikan karena dosa adat sebagai pelanggaran kasta atau sebaliknya di masyarakatnya sendiri. atau harus melarikan diri. jika karena alasan apa pun dia datang untuk hidup dan tahu dalam keterasingan antara orang-orang Mohammadan. bahwa tubuhnya tidak akan dibakar dengan benar nanti atau jika dia jatuh cinta dengan seorang gadis Islam. maka ada sedikit yang tersisa untuknya selain meninggalkan makan daging babi dengan daging sapi dan membiarkannya masuk ke lingkungan Islam. Meskipun tidak diragukan lagi kelompok Bali Islam diperkuat oleh pernikahan wanita Bali dengan Mohammedan adalah mungkin untuk hidup bersama dari muslim-muslim ini dalam desa mereka sendiri (mereka juga membentuk soebak mereka sendiri) dan di beberapa bagian Bali tertarik pada konsekuensi bahwa elemen Islam mungkin tidak muncul semata-mata melalui penyimpangan yang disebutkan di atas, tetapi mungkin juga telah membentuk inti pertobatan (konversi ke Islam secara sukarela). Julius Jacobs memberi tahu bahwa dahulu budak-budak Bali dibeli gratis jika mereka berjanji untuk memeluk agama Islam.

Lantas bagaimana dengan orang Sasak di desa Tnganan Pagringsingan. Sudah barang tentu bukan orang Sasak waktoe teloe (yang cenderung menjadi Islam waktoe lima di Bali). Satu kelompok orang Sasak yang lainnya yang disebut orang Bodha. Kelompok penduduk Sasak yang disebut orang Bodha adalah orang yang menganut kepercayaan bukan Islam dan juga bukan Hindoe. Mereka tidak berhasil dari pengaruh Islam maupun pengaruh Hindoe.

Menurut JC van Eerde, sebagaimana di dalam artikelnya berjudul Aanteekeningen over de Bodha's van Lombok yang dimuat pada majalah Tijdschrift voor Ind. Taal-, Land- en Volkenkunde, 1901, orang Bodha biasanya menikahi, mereka tidak mengambil gadis Muslim (Lombok) atau Bali (Hindoe) sebagai istri; sangat sedikit kasus yang diketahui bahwa gadis-gadis Bodha dibawa menjadi istri oleh Mohammadan Sasak, sedangkan orang-orang Bali merampasnya. Orang Bodha pada kenyataannya tidak berbeda dengan orang Sasak di sekitarnya. Mereka memiliki bahasa yang sama, pakaian yang sama, cara hidup yang sama, adat yang sama, ide yang sama tentang dewa dan menyembah Tuhan. Mereka adalah orang yang sama. Para Bodha dibedakan hanya oleh agama mereka, yaitu dengan tidak mengakui Islam, yang merupakan agama resmi orang Sasak. Dalam kehidupan sehari-hari perbedaannya adalah bahwa para Bodha memelihara babi, orang-orang Sasak tidak. Namun, babi makan keduanya; tapi orang Islam Sasak mengharamkannya. Selain itu, para Bodha tidak ada hubungannya dengan masjid dan mereka tidak disunat. Orang Bodha bukan orang penganut agama Budha, tetapi sebutan orang Sasak Islam terhadap orang Sasak yang masih pagan, yang memiliki kepercayaan sendiri.

Sebagaimana dinyatakan S van Praag (1934) bahwa penduduk desa Tnganan Pagringsingan sebagian berasal dari penduduk Sasak dari Lombok, maka kemlompok penduduk yang menjadi bagian desa ini adalah kelompok penduduk yang disebut orang Bodha. Ada kemiripan antara orang Bodha (Sasak-Lombok) dengan orang Bali Aga (pulau Bali). Dua kelmpok yang terbilang minoritas kemudian terbentuk komunitas tersedri di desa Tnganan Pagringsingan, Karangasem di pulau Bali.

Pertanyaan yang muncul adalah sejak kapan orang Sasak Lombok atau tepatnya orang Bodha migrasi ke pulau Bali dan berakulturasi dengan orang Bali Aga? Tidak ada catatan mengenai hal ini. Yang jelas kelompok penduduk Sasak yang disebut orang Bodha adalah sisa penduduk Sasak di Lombok yang masih tetap dengan kepercayaan kuno sebelum masuknya agama Islam yang dibawa dari Jawa. Idem dito dengan orang Bali dapat dikatakan sisa orang Bali yang masih menganut kepercayaan kuno sebelum agama Hindoe berkembang di pulau Bali. Menurut JC van Eerde (1901) orang Bodha populasi tidak banyak terdapat di Lombok bagian utara (Bajan dan Tandjoeng) dan juga ditemukan di Lombok selatan di sekitar teluk Laboehan Tring (kini pelabuhan Lembar).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Para Ahli yang Terhubung dengan Desa Tenganan Pegringsingan

Desa Tnganan Pagringsingan tidak hanya sebuah desa yang unik. Para ahli sangat tertarik dengan gambaran desa itu. Lekkerkerker.dalam risalahnya yang dimuat pada majalah Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1933 menyatakan bahwa studi tentang masyarakat Bali seharusnya tidak dimulai dari ujung yang salah, tidak dengan masyarakat kasta dan lembaga-lembaga Hindoe, tetapi di desa-desa, dimana banyak kelompok populasi kuno masih dapat ditemukan.

Schwartz menulis nama desa sebagai Tnganan. Menurut Lekkerkerker nama yang tepatadalah Tenganan, demikian juga Pasëdahan untuk Pasdahan dll. Penambahan Pagringsingan setelah nama Tenganan berfungsi untuk membedakannya dari Tenganan Pasedahan dan Tenganan Daoe Toekad. Kata pagringsingan ditambahkan ke nama desa karena kemampuan para wanita desa untuk membuat jaringan gring. Nama gringsing dijelaskan secara epistemologi sebagai bebas dari penyakit (gring = sakit, dan sing = tidak). Informasi lengkap mengindikasikan tentang pembuatan dan pentingnya kain gringsing Tenganan yang sangat spesial.

Menurut Lekkerkerker untuk desa Tenganan haruslah menyebut nama VE Korn. Hal ini karena secara etnografis, pekerjaan Korn adalah yang terbaik. Tentu saja juga tidak bisa dilupakan nama Schwartz sebagai orang pertama yang mengidentifikasi desa Tenganan. VE Korn tentu saja telah mengerjakan monografi desa Tenganan sebagai seorang ilmuwan.

De Maasbode, 18-10-1939: ‘Dr VE Korn. Mengangkat profesor luar biasa di Leiden. Telah terbit keputusan telah ditunjuk sebagai profesor luar biasa di Fakultas Hukum di Universitas Leiden untuk mengajar hukum adat, Dr VE Korn adalah mantan Residen Tapanoeli. Di Den Haag. D VE Korn akan menggantikan posisi Prof. FD Holleman yang baru-baru ini mengundurkan diri. Victor Emanuel Korn lahir 1 Juli 1892 di Den Haag. Pada 1910 ia terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Leidsche, tempat ia dilatih sebagai pegawai untuk Hindia Belanda. Sejak awal, Korn secara khusus tertarik pada hukum adat dan selama periode pelayanannya di Hindia Belanda pertamanya dari 1915 hingga 1924 ia menerbitkan sepuluh esai tentang tata kelola dan penegakan hukum adat di Zuid Celebes, Ternate dan Bali en Lombok. Ketika ia berangkat ke Belanda, pada tahun 1924 ia memperoleh gelar doktor di Universitas Leiden pada 18 November sebagai doktor hukum pada disertasi Recht Bali. Pada tahun 1933, ia menulis monograf tentang undang-undang  Republik desa Tnganan Pagringsingan di Bali. Setelah bekerja di Zuid Celebes ia diangkat menjadi Asisten Residen Solok, kemudian promosi menjadi Residen Djambi dan kemudian menjadi Residen Tapanoeli’.

Sebagai seorang sarjana yang dilatih untuk menjadi pegawai di Hindia Belanda, VE Korn dapat dikatakan sebagai salah satu pejabat sukses yang bisa menyeimbangkan pemikiran untuk administrasi pemerintahan dan kebutuhan ilmu pengetahuan. Untuk soal Bali khususnya desa Tenganan nama Korn begitu penting. Nama ilmuwan yang pertama terjun ke Bali adalah N van der Tuuk.

N van der Tuuk adalah sarjana pertama yang mendaftarkan nama-nama desa Bali Aga di pulau Bali. N van der Tuuk seorang ahli bahasa yang mendapat gelar doktor (Ph.D) di Leiden yang kemudian bekerja pertama kali di Tapanoeli untuk meneliti bahasa dan kamus Batak (1850). N van der Tuuk datang ke Bali pada tahun 1871 untuk mempelajari bahasa dan kamus Bali. Lalu kemudian menyusul R van Eck menulis risalah sejarah orang Bali dengan judul Scheten van het Eiland Bali yang dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1878. Dalam daftar desa Bali Aga dari van der Tuuk termasuk desa Tenganan dan R van Eck juga membahas tentang desa Tenganan.

Akan tetapi tampaknya van der Tuuk tidak sampai ke desa Tenganan (karena waktu itu kerajaan Karangasem belum termasuk wilayah yang langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Controleur Schwartz ke Karangasem tampaknya dalam rangka penjajakan kerajaan Karangasem bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Ketika Dr VE Korn diangkat sebagai guru besar (profesor) di Unibersiteit te Leiden tahun 1939 salah satu mahasiswa Prof. Korn seorang pribumi dari Hindia Belanda adalah Mr. Masdoelhak Hamonangan Nasoetion. Selepas tamat AMS di Batavia Masdoelhak Nasution berangkat kuliah ke Belanda tahun 1930 (lihat, Soerabaijasch handelsblad, 19-05-1930).Setelah menyelesaikan tingkat sarjananya di bidang hukum dan mendapat gelar Mr, Masdoelhak Nasution melanjutkan ke program doktoral. Salah satu mentornya adalah Prof. Korn (sebagai ahli hukum adat). Namun karena terjadi invasi Jerman ke Belanda tahun 1940 sempat perkuliahan terhambat tetapi kemudian berlanjut di bawah kekuasaan Jerman. Hubungan Prof Korn dengan Masdoelhak Nasution sangat dekat. Hal ini karena ketika Korn menjabat sebagai Residen Tapanoeli di Sibolga, ayah Masdoelhak Nasution adalah seorang pengusaha sukses di Sibolga. Masdoelhak lulus ujian doctoral sebagaimana dilaporkan Friesche courant, 27-03-1943 dengan mempertahankan desertasi yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Catatan: Mr Masdoelhak Nasution, Ph.D pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 diangkatmenjadi Residen Sumatra Tengah yang berkedudukan di Bukitinggi. Lalu kemudian Masdeolhak Nasution ditarik ke ibu kota RI di pengungsian di Jogjakarta sebagai penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta. Pada hari pertama pendudukan Jogjakarta (agresi militer Belanda) pada tanggal 19 Desember 1948 Mr Masdoelhak Nasution, Ph.D yang pertama diculik lalu dibunuh dirumahnya lalu dibunuh di Pakem beberapa hari kemudian. Mengapa?  Masdoelhak Nasution dianugerahi Pahlawan Nasional pada tahun 2006.

Penelitian Dr VE Korn di desa Republik Tenganan Pagringsingan, Bali (1924) dan buku bunga rampai S van Praag (1934) telah menginspirasi banyak peneliti dan mahasiswa tentang studi tentang kedudukan perempuan di Hindia Belanda. Soal-soal hukum (adat) secara umum tampaknya sudah selesai dan mulai bergeser ke isu tentang hubungan perempuan di masyarakat. Studi Korn tentang perempuan desa Tenganan Pagringsingan telah menjadi pembuka kotak pandora,

VE Korn meneliti tentang hukum adat Bali dan meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1924 di Universiteit Leiden. Desertasi tentang hukum adat Bali telah memperkaya studi-studi sebelumnnya tentang hukum adat di Hindia Belanda. Setahun kemudian pada tahun 1925 seorang seorang pribumi asal Hindia Belanda bernama Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi berhasil mempertahankan desertasinya di Universiteit Leiden dengan judul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pertama dari Tanah Batak dan orang Indonesia kedua yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum.

Sebagaimana disebut di atas Prof. Korn telah mengarahkan Mr. Masdoelhak Nasution untuk meneliti tentang hukum adat yang dihubungkan dengan kedudukan perempuan (dan berhasil meraih gelar Ph.D tahun 1942). Prof. Korn sendiri pada tahun tersebut menulis artikel tentang kedudukan perempuan di Minangkabau yang berjudul De Vrouwelijke Mama' in de Minangkabausche Familie (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1942).

Bagaimana gagasan Prof. Korn diikuti oleh Mr. Masdoelhak Nasution boleh jadi bukan hanya karena Prof. Korn sudah mengenal dekat ayah  Masdoelhak Nasution di Sibolga, boleh jadi karena juga terinspirasi dengan sepupunya Ida Lomongga Nasution yang telah meraih gelar doktor (Ph.D) pada bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam pada tahun 1930 (saat Masdoelhak Nasution tiba di Belanda). Ida Lomongga Nasution berangkat studi ke Belanda tahun 1922 dan berhasil menyelesaikan sarjana kedokteran pada tahun 1927, lalu kemudian melanjutkan ke tingkat doktoran. Dr Ida Loemongga Nasution adalah perempuan Indonesia pertama yang bergelar Ph.D.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar