Senin, 21 September 2020

Sejarah Manado (37): Letusan Gunung Api, Gempa dan Tsunami di Residentie Manado; Sangihe-Talaud hingga Palu-Donggala

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini 

Gunung api meletus, gempa dan tsunami adalah kejadian alam sangat berbahaya yang dapat menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang menyebabkan kerugian besar bagi penduduk. Kejadian-kejadian tersebut tidak pernah berhenti sejak doeloe. Kejadianya berulang, kapan waktunya terjadi tidak terduga. Pada masa ini tingkat kesiapan menghadapinya lebih teliti jik dibandingkan pada masa lampau. Namun kejadian tetaplah peristiawa sejarah. Mungkin tidak ada salahnya untuk mendokumentasikannya karena masih dapat dijadikan pedoman untuk menghindari bahaya yang ditimbulkannya di masa datang.

Sejarah letusan gunung api di wilayah Indonesia pada dasarnya berada pada garis tertentu---garis yang sudah terbentuk sejak jaman kuno yang sering disebut lintasan daerah cincin api Pasifik (ring of fire). Cincin api Pasifik itu meliputi wilayah Indonesia termasuk pada lintasan bagian utara Sulawesi---dari bagian barat Sumatra, selatan Jawa, laut Banda, Ambon, Halmahera, semenanjung Sulawesi dan kepulauan Sangihe dan Talaud. Peristiwa letusan gunung api juga dapat menimbulkan gempa yang pada gilirannya dapat mengakibatkan tsunami.

Lantas bagaimana sejarah gunung api meletus, gempa dan tsunami di bagian utara Sulawesi? Yang jelas tercatat dan terdokumentasikan namun kurang terinformasikan pada masa ini. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Beberapa catatan tertua gempa besar di Sangir dan Manado terjadi pada tahun 1695 dan 1707 (lihat Daghregister 6 Desember 1695 dan 28 Juni 1707). Namun catatan gempa yang terbilang lengkap yang termasuk awal dan paling mengerikan terjadi pada tahun 1856 dimana gunung Awu melatus di pulau Sangir yang membawa korban tewas lebih dari 2.800 jiwa (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 19-06-1856). Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Gunung Awu Meletus di Sangihe 1856

Sejarah letusan gunung api, gempa dan tsunami di Residentie Manado (Sulawesi bagian utara) adalah bagian dari sejarah letusan gunung api, gempa dan tsunami di Indonesia sejak era Hindia Belanda. Letusan gunung api Awoe di pulau Sangir tahun 1856 beritanya sampai ke Ternate yang di bawa oleh para pelaut, kemudian dikirim satu ekspedisi ke Taroena untuk mendapatkan gambaran situasi dan kondisi yang sebenarnya.

Hal yang mirip dengan ekspedisi dari Ternate ini sebelumnya terjadi pada era Inggris tahun 1815. Suara letusan yang besar terdengar di Makassar, namun tidak diketahui apa yang terjadi tetapi arah suara datang dari selatan. Seorang letnan dengan sejumlah orang memimpin ekspedisi untuk melakukan ekspedisi untuk melakukan penyelidikan ke arah selatan. Tim ekspedisi ini menemukan gunung Tambora meletus, bagian puncaknya yang sudah dikenal letnan ini telah hilang dan gelondongan kayu terbakar dan batu apung di sekitar pantai tidak dapat ditembus untuk menuju daratan (lihat artikel di blog ini pada serial artikel sejarah Makassar). Hal yang mirip juga terjadi setelahnya yang terjadi pada tahun 1883. Suara dentuman terdengar dari barat Batavia, tetapi tidak diketahui apakah gunung Karakatu telah meletus. Kapal ss Loudon yang tengah dalam pelayaran dari Padang ke Batavia mendengar suara di sekitar Kroei dan terus merangsek ke arah suara. Komandan kapal ini melaporkan di Batavia bahwa gunung Krakatao meletus dan permukaan gunung telah hilang di atas air. Kota Telok Betoeng tidak dapat dijangkau karena sampah dan batu apung menyelimuti seluruh teluk (liat artikel di blog ini pada serial artikel sejarah Jakarta).

Gunung Awoe di pulau Sangir melatus pada bulan Maret 1856, berdasarkan keterangan dari para pelaut yang dikumpulkan oleh Residen Manado diteruskan ke Ternate pada bulan April. Untuk melihat situasi dan kondisi di Sangir, suatu ekspedisi dikirim dari Ternate dengan kapal Sr MS (kapal perang) ss Semarang pada tanggal 2 Mei 1856. Kapal tersebut mencapai teluk Taroena pada hari ketiga. Pejabat yang menjadi pemimpin ekspedisi itu berhasil mengumpulkan para kepala suku (radja-radja) untuk mendapatkan keterangan dan menyusun rencana aksi. Bagaimana gambaran kejadian pada hari-hari letusan adalah sebagai berikut:

Wilayah (lanskap) yang terkena dampak letusan gunung Awoe meliputi lanskap Taroena, Kandbar dan Taboekan. Suara gemuruh gunung ini sudah sejak lama muncul, bahkan seorang Spanyol beberapa tahun sebelunya sudah mendaki ke arah puncak gunung Awoe. Dalam situasi ketidaknyamaan penduduk terus mengusahakan sawah ladang mereka, karena mereka percaya takhyul di gunung itu dan terus berdoa. Labat laun para penduduk tidak merasa takut hingga pada malam tanggal 2 Maret, antara pukul tujuh dan delapan sebuah ledakan hebat yang tak terduga terdengar, suatu pertanda letusan gunung yang membuat takut orang Sangir. Bersamaan dengan itu, lava bercahaya mengalir ke bawah berbagai arah membawa bersamanya semua yang dilalui dalam kecepatan tinggi yang menghancurkan dan teruis mendidih laut di mana lava itu bisa mencapainya. Mata air panas terbuka di banyak temjpat dan memyemburkan banjir air mendidih yang memakan dan menelan apa yang masih tersisa dari lalapan api. Sementara itu laut terseret mengikuti kekuatan yang luar biasa (gempa laut), menghancurkan bebatuan dengan raungan yang luar biasa, menghantam pantai salah satunya dan naik dengan ganasnya ke daratan seolah-olah untuk mengalahkan arus deras. Pemandangan kehancuran yang mengerikan ini, kengerian yang ditambah dengan erangan manusia dan hewan, deru angin badai, dan gemerisik ribuan orang yang terguling dan pohon-pohon yang tumbang; sekitar satu jam kemudian diikuti oleh hantaman keras yang mengguncang tanah dan mematikan pendengaran. Sebuah kolom hitam batu dan abu naik ke langit, kemudian naik dari gunung, dan, diterangi oleh pancaran lahar, jatuh di sekitar lingkungan seperti hujan api, disana menyebabkan kegelapan, yang hanya bergantian dengan petir, bahkan di sekitarnya bahkan orang terhalang dan tidak melihat apa pun, dan kebingungan serta keputusasaan merajalela. Batu-batu besar terlempar ke udara menghancurkan apa yang mereka lewati. Tempat tinggal dan ladang yang tidak hancur tertutup oleh abu dan batu, dan aliran lava gunung yang tersumbat membentuk danau yang kemudian secara massal yang, menghancurkan tepiannya dan segera menjadi penyebab baru kehancuran yang tidak terkira. Ini berlangsung selama beberapa waktu. Sekitar tengah malam suara-suara yang terdengar keras menjadi tenang; tetapi keesokan harinya terjadi lagi aktivitas penghancuran sampai tengah hari dengan kekuatan yang berulang. Sementara itu, terus turun hujan, dan pada hari itu cuaca masih pekat dan sangat kuat sehingga sinar matahari tidak dapat menembusnya dan kegelapan yang terjadi di tengah hari.

Gambaran letusan gunung Awoe sangatlah dahsyat. Ledakan besar, lapa pijar mengalir dengan kecepatan tinggi yang mencapai laut mebuat air laut mendidih. Goncangan pada air laut telah menyebabkan tsunami yang menghantam pantai dan menghanyutkan penduduk yang membawa kepada kematian. Hujan batu dimana-mana bahkan jatuhannya sampai ke pulau Mindanao menurut keterangan orang yang baru pulang dari Mindanao. Penduduk pada tanggal 17 Maret masih dikejutkan oleh letusan yang sejak itu tidak pernah terdengar lagi namun penduduk masih menemukan uap keluar dari rekan-retakan tanah. Aliran lahar belum sepenuhnya mendingin sehingga penduduk tidak berani bergerak lebih jauh dari teluk Taroena. Kampong utama Taroena menderita abu dan batu yang merusak rumah dan melukai penduduk. Kampong Taroena sedikit tertolong karena aliran lahar yang mengalir ke selatan menemui hambatan di lereng bukit, yang di sisi selatannya di teluk Taroena terletak kampung, dari sana ke arah barat lahar mengalir ke laut.

Desa Kolongan, tempat aliran lahar besar menuju ke laut, yang tertutup abu dan batu, telah hancur total. Seperti di Taroena, masyarakat Kandhar menderita abu dan batu, apalagi air panas yang mengalir dari segala sisi. Untungnya, bagaimanapun, mereka sedang berada di pemukiman selama letusan. Tetangga kampong besar Tariang, di kampong Pembalarain, Labakassin, Fatoen dan Hilang, telah hancur total oleh api. Negori Sawan dan Naha hanya sedikit menderita karena kondisi medan. Negori terakhir adalah perbatasan kehancuran di sisi Taboucan, yang mana negori utamanya (Taboekan) sedikit atau tidak terpengaruh. Secara keseluruhan setelah dilakukan pendataan oleh radja-radja di lanskap Taroena korban tewas sebanyak 722 laki-laki, perempuan dan anak-anak; di lanskap Kandhar korban tewas sebanyak 45 orang dan di lanskap Taboekan sebanyak 2.039 orang yang dengan demikian total 2.806 laki-laki, perempuan dan anak-anak.

Peristiwa letusan gunung api Awoe yang disertai gempa dan menyebabkan tsunami terbilang sangat dahsyat dan menimbulkan banyak kerugian materi dan korban jiwa. Beberapa tahun sebelumnya kejadian gempa (aardschok atau aardbeving) terjadi di Manado pada tanggal 8 Februari 1845 (lihat Javasche courant, 27-08-1845).

Keterangan ini tidak bersifat langsung, karena kejadiannya sudah berlalu lebih dari enam bulan. Pada tanggal-tanggal di sekitar kejadian pada bulan Februari tidak ada surat kabar yang memberitakan. Disebutkan gempa dahsyat yang terjadi di Manado ini telah memporak-porandakan banguaan dan rumah penduduk termasuk gereja. Keteranga yang dikutip Javasche courant, 27-08-1845 tentang kejadian gempa di Manado sehubungan dengan peresmian gereja baru untuk menggantikan gereja yang roboh.

Di pulau Sangir terjadi bencana alam pada tahun 1892 (lihat Het vaderland, 30-08-1892).  Bencana alamnya bukan gunung Awoe meletus tetapi gempa yang dahsyat yang dikirimkan berita dari Taroena pada tanggal 21 Juni melalui telegram yang diterima Residen Manado. Tidak disebutkan gempa ini apakah tektonik atau vulkanik, Hanya disebutkan bagian dari pulau dari seputar gunung Awoe hingga barat laut Taboekan hancur total. Sementara sisa pulau sangat menderita tetapi dalam enam bulan ke depan dapat dipulihkan.

Disebutkan lebih lanjut secara keseluruhan, sejauh ini diketahui, 2.000 orang tewas; 1.500 nama sudah dikenal sementara 500 orang masih hilang. Sekitar 100 korban luka masih menjalani perawatan di berbagai tempat. Untuk mencegah kelaparan dengan segera mengirimkan beras dan garam. Dalam 4 bulan pertama, kebutuhan tersebut masih harus dipenuhi. Bahan bangunan, tikar dan selimut dll akan diusahakan panitia bantuan untuk Sangir semaksimal mungkin. Kapal ss Zeemeeuw berangkat hari ini ke Menado untuk mengambil apa yang paling dibutuhkan dan kemudian segera kembali ke Taroena.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar