Rabu, 23 Desember 2020

Sejarah Aceh (18): Sejarah Daya, Kerajaan Kuno Pantai Barat Sumatra; Kota Pelabuhan Daya di Pantai, Kota Lamno di Pedalaman

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini

Dalam sejarah lama, ada disebut Kerajaan Daja. Pada peta-peta Portugis belum banyak nama tempat yang diidentifikasi di pulau Sumatra. Dari yang sedikit yang berada di pantai barat Sumatra diantaranya Labo (kini Meulaboh), Daya, Baros, Batahan atau Bathang (kini Batang Natal), Passaman, Ticoe dan Indrapoera. Pada era Belanda (VOC) nama Daya mulai meredup dan kurang terinformasikan. Pada era Pemerintah Hindia Belanda nama Lamno mulai populer.

 

Nama Lamno pada masa ini dijadikan sebagai salah satu mukim (kelurahan) di kecamatan Jaya kabupaten Aceh Jaya. Mukim Lamno ini berpusat di Pasar Lamno. Kabupaten Aceh Jaya sendiri dibentuk pada tahun 2002 sebagai pemekaran dari kabupaten Aceh Barat (yang beribukota di Meulaboh). Ibu kota kabupaten Aceh Jaya tidak berada di Lamno (kecamatan Jaya) tetapi di Calang, kecamatan Krueng Sabee. Pusat ibu kota kabupaten Aceh Jaya tidak di mukim Krieng Sabee tetapi di mukim Calang.

Daya adalah satu hal. Lamno adalah hal lain. Lantas bagaimana sejarah Daya dan bagaimana sejarah Lamno? Dalam sejarah kuno, Daya adalah kota pelabuhan yang berada di pantai. Lalu apakah hubungan Daya dengan Lamno? Kota Lamno yang kini berada di pedalaman sejatinya adalah kota Daya sendiri. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Daya, Sejarah Lama

Seperti disebut di atas pada peta-peta Portugis sudah diidentifikasi nama Daja di pantai barat Sumatra bagian utara. Pada Peta 1657 (era VOC) nama Daija diidentifikasi di suatu teluk. Seabad kemudian teluk ini tidak berbentuk lagi hanya diidentifikasi sebagai sungai yang muaranya cukup lebar (lihat Peta 1757). Namun demikian nama Daja yang ditulis Daija masih eksis sebagai suatu tempat yang penting (mungkin suatu kerajaan). Lalu seabad kemudian pada Peta 1860 nama Daja atau Daija masih teridentifikasi. Pada Peta 1886 di kawasan Daja ke arah hulu sudah muncul nama baru yang diidentifikasi sebagai Lam Noh.

Seperti yang ditunjukkan pada peta-peta awal (Portugis dan VOC) bahwa Daja berada di teluk. Diduga posisi nama tempat tersebut berada di dalam teluk. Oleh karena intensitas peroduksi di pedalaman teluk mengalami proses sedimentasi jangka panjang yang mengakibatkan teluk mendangkal. Sehubungan dengan meningkatnya tonase kapal dan proses sedimentasi yang berlanjut, kota pelabuhan Daja menjadi jarang dikunjungi oleh kapal para pedagang. Prsoes sedimentasi yang terus menerus menyebabkan teluk yang mulai mendangkal lambat laut menjadi rawa-rawa besar yang kemudian terbentuk daratan basah. Dua sungai yang tampak pada peta satelit (sungai Krueng Daja dan sungai Krueng Lam Beusoe) diduga adalah jalan air menuju laut dari rawa-rawa. Area rawa-rawa ini seiring dengan terbentuknya daratan mulai dihuni oleh penduduk. Hal inilah diduga nama Daja lambat laut meredup seiring dengan posisinya sudah jauh berada di belakang pantai di percabangan sungai (di sekitar Lamno yang sekarang). Catatan: Sungai utama adalah Krueng Lam Beuse, sedangkan Krueng Daja adalah jalan air yang lain menuju laut dan oleh karena melalui kota Daja maka disebut sungai Daja.

Sehubungan dengan pembentukan cabang pemerintahan Hindia Belanda (yang kemudian kemenangan Pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Atjeh di pantai barat Atjeh pada tahun 1899 dibuat peta kawasan yang lebih detail yang diterbitkan pada tahun 1899. Sebagaimana diketahui bahwa dalam perang di pantai barat Atjeh ini pada tahun 1899 Teuku Oemar wafat. Garis komando kemudian dilanjutkan oleh Panglima Polem.

Dalam peta ini dimana posisi Lamnoh semakin jelas. Dalam peta ini nama Daja hanya diidentifikasi sebagai nama kampong yang setara dengan kampong-kampong lain seperti Raneue di pantai. Tampaknya kampong Daja telah relokasi ke sisi seberang sungai. Moetara di cabang sungai, Lam No dan Lhok Batee di arah hulu. Di daerah aliran sungai Krueng Beusoe ini cukup banyak perkampongan suatu indikasi sebagai kawasan pemukiman yang padat sejak masa lampau. Dengan kata lain kawasan daerah aliran sungai Krueng Beusoe sebagai wilayah produksi (hasil hutan dan budidaya).

Untuk menekan perlawanan yang dilancarkan oleh Pasukan Panglima Polem, Komandan Militer Hindia Belanda di Atjeh Jo van Heutsz menempatkan satu detasemen infanteri di Lam No (lihat Haagsche courant, 13-07-1900). Dalam berita ini disebutkan dalam suatu pertempuran Panglima Polem terluka dalam melawan militer Hindia Belanda yang dipimpin van Daalen.Pada tahun 1903 di Lamno terjadi pengejaran terhadap T Mamat Lambeusoe yang menjadi pemimpin perlawanan di daerah aliran sungai Krieng Lambeusoe (lihat De locomotief 13-08-1903).

Yang menjadi seteru T Mamat Lambeusoe adalah Letnan Ten Klooster. Oleh karena penduduk sudah lelah, T Mamat yang takut lama-lama dikhianati penduduk, meninggalkan wilayah Dajahsche. Pengejaran diteruskan dan akhirnya terjadi pengepungan di rumah Teungkoe Hadji Oesuf (paman T Mamat) namun yang ditemukan hanya sisa senjata. Dalam berita ini disebutkan T Mamat yang telah melarikan diri ke seberang sungai berhasil dikejar dan terkenan tembakan dan tewas. Dala berita ini juga disebutkan bahwa bagi penduduk Boven Lageuën dan Daja kabar tewasnya T Mamat akan sangat melegakan. Beberapa pemimpin perlawanan seperti Keutjhi Hassan, Panglima Akob, dan T. Radja Putih kini berniat menyerahkan senjata mereka.

Besar dugaan setelah tewasnya T Mamat, pahlawan daerah aliran sungai Krueng Lambeusoe, situasi dan kondisi di daerah aliran sungai Krueng Labeusoe menjadi kondusif. Penduduk mulai bekerja kembali dengan tenang. Tidak ada lagi perang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Nama Lamno, Sejarah Baru

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar