Rabu, 09 Juni 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (57): Bahasa Era Zaman Kuno di Indonesia, Lingua Franca Sanskerta; Bahasa Batak, Jawa dan Melayu

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini

Bahasa pada dasarnya diturunkan. Bahasa tidak akan hilang sejauh populasi pemiliknya masih eksis. Namun bahasa pada populasi tertentu dapat digantikan oleh bahasa lain (karena adanya pengaruh budaya baru yang sangat masif). Populasi pengguna bahasa di wilayah pedalaman seperti Tanah Batak dan Tanah Jawa cenderung bertahan lama hingga ini hari. Bahasa-bahasa asli Indonesia itu pada zaman dulu diperkaya oleh bahasa Sanskerta melalui navigasi pelayaran perdagangan dari India (selatan). Bahasa Sanskerta inilah yang kemudian menjadi lingua frannca..

Bahasa Batak dan bahasa Jawa bukan lingua franca dalam navigasi pelayaran perdagangan. Interaksi bahasa Sankerta dengan bahasa Batak dan bahasa Jawa menyebabkan terjadi proses pembaruan bahasa Sanskerta sebagai lingua franca menjadi lingua franca yang baru yang keudian diidentifikasi sebagai bahasa Melayu Kuno. Pada fase ini tetap eksis bahasa Batak Kuno dan bahasa Jawa Kuno. Seiring dengan pergeseran lingua franca ini, berkembang aksara dari aksara Pallawa berbahasa Sanskerta menjadi aksara Batak Kuno, aksara Melayu Kuno dan aksara Jawa Kuno. Dalam perkebangannya, muncul peradaban baru era Islam. Aksara dengan bahasa Melayu kuno menjadi aksara Arab dengan bahasa Melayu. Sementara itu, aksara Batu Kuno dan aksara Jawa kuno yang lebih dipermodern tetap eksis. Dengan hadirnya aksara Latin berbahasa Melayu (sejak era Portugis), aksara Arab berbahasa Melayu menghilang menjadi aksara Latin berbahasa Melayu. Sekali lagi, aksara Batak Kuno dan aksara Jawa Kuno yang lebih dipermodern tetap eksis (bahakan hingga ini hari). Pada masa kini, lingua farnca (bahasa nasional) bukan lagi bahasa Melayu tetapi bahasa Indonesia. Bahasa Batak, Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu hanya diposisikan sebagai bahasa daerah,

Lantas bagaimana sejarah bahasa zaman kuno di Indonesia? Tentu saja sudah ada yang menulisnya tetapi tampaknya hanya sekadarnya. Seperti disebut di atas dua pengguna bahasa asli yang memiliki populasi besaradalah bahasa Batak dan bahasa Jawa. Kehadiran bahasa Sanskerta sebagai lingua franca menjadi sebab munculnya lingua franca yang baru bahasa Melayu (kuno). Lalu apa hubuugannya dengan perkembangan aksara? Setali tiga uang dengan bahasa. Sejauh mana pengaruh bahasa Batak Kuno dan bahasa Jawa Kuno? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Lingua Franca: Bahasa Sanskerta Diperkaya Bahasa Penduduk Asli

Pada prasasti-prasasti zaman kuno, jika ada sejumlah kosa kata yang tidak dimengerti berdasarkan bahasa Sanskerta, besar dugaan itu adalah kosa kata Batak Kuno atau Jawa Kuno. Banyak kosa kata Batak dan Jawa diserap dari kosa kata bahasa Sanskerta. Bahasa Melayu Kuno sendiri adalah perkembangan lebih lanjut bahasa Sanskerta yang menjadi lingua franca dalam navigasi pelayaran perdagangan. Seperti halnya bahasa Sanskerta, bahasa Melayu yang terbetuk bukanlah bahasa asli. Dua bahasa asli yang terpenting pada zaman kuno adalah bahasa Batak dan bahasa Jawa.

Bahasa asli awalnya menyebar di seluruh pulau-pulau, dari pulau-pulau di barat pulau Suatra hingga pulau-pulau di timur Papau. Dengan kehadiran migran asing (seperti pedagang-pedagang India dan Tiongkok) dan migran lokal terutama dari pulauan lain, penduduk dengan bahasa asli yang berada di sisi luar terdesak dari pantai atau muara sungai menjadi terkonsentrasi di belakang pantai (pedalaman). Penduduk asli di pulau Sumatra terdiri dari orang Gajo, Batak, Minangkabau (pra-Pagaroejoeng), Kerinci, Komering dan Lampung. Penduduk asli di pulau Jawa adalah orang Jawa.

Mengapa bahasa Batak dan bahasa Jawa dianggap bahasa asli terpenting zaman kuno, karena di wilayah penduduk berbahasa asli itulah terdapat peradaban baru zaman kuno yang ditandai dengan adanya candi-candi atau prasasti-prasasti atau temuan artefak yang berasal dari zaman kuno. Adanya candi-candi itu mengindikasikan adanya penduduk dengan populasi besar, resource yang kaya dan sudah terbentuknya sistem pemerintahan (kerajaan). Semua itu berawal dari kehadiran pedagang-pedagang (asing) dari India yang berbahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa. Kerajaan-kerajaan zaman kuno tersebut yang kita kenal pada masa ini sebagai Kerajaan Aru (Batak), Kerajaan Tarumanegara (Sunda) dan Kerajaan Kalingga (Jawa). Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa di pulau Jawa kurang lebih sama.

Kosa kata bahasa Batak pertama adalah hapur. Kosa kata ini terserap ke dalam bahasa Sanskerta sebagai kapur. Kosa kata kapur bahasa Sanskerta ini terserap ke dalam bahasa Arab dan Persia, yang menjadi sebab adanya kosa kata kafuura di dalam kitab suci Al Quran. Dari bahasa Arab, hapur, kapur, kafuura masuk ke dalam bahasa Latin sebagai camphora. Kosa kata bahasa Latin ini menjadi bagian dari kosa kata bahasa-bahasa yang terbentuk di Eropa seperti bahasa Inggris, Portugis dan Belanda. Pada era Portugis camphora terserap ke dalam baha Melayu sebagai kampar atau kamper untuk menggantikan kata spesifik dari kapur yang bersifat generik. Kamper ini disebut kapur Barus (kapur berasal dari pelabuhan Barus; pelabuhan Kerajaan Aru di Tanah Batak).

Bahasa Sanskerta sebagai lingua franca dalam navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno, (terutama kamper, kemenyan dan damar serta emas) juga digunakan penduduk asli Batak dan Jawa sehingga orang Batak dan orang Jawa bersifat bilingual (seperti kita pada masa kini selain bahasa Indonesia juga bahasa daerah). Pada fase inilah terjadi interaksi bahasa yang intens antara bahasa asli Batak dan Jawa dengan bahasa Sanskerta. Bahasa Batak dan bahasa Jawa diperkaya oleh bahasa Sanskerta, sebaliknya bahasa Sanskerta di Hindia Timur (jauh dari locusnya di India Selatan), bahasa Sanskerta bekembang sendiri yang menjadi bahasa Melayu Kuno.

Pada zaman kuno, tentu saja kerajaan-kerajaan belum banyak, kota-kota pelabuhan (yang diduga kuat terhubung dengan kerajaan di kawasan) juga belum banyak seperti pada masa ini. Oleh karena itu antar kota masih berjauhan dan antara pusat utama perdagangan dengan pusat utama perdagangan bahkan sangat jauh. Meski demikian, karena jumlahnya sedikit maka terjadi pertukaran berita apakah oleh para pedagang atau oleh para utusan kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain. Navigasi pelayaran perdagangan dari India dimungkinkan hingga ke Sumatra, maupun antara kerajaan di Sumatra dengan kerajaan di Jawa. Navigasi pelayaran ini berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung berapa kali melakukan persinggahan sementara.

Untuk memahami bahasa zaman kuno dapat dilihat pada beberapa prasassti yang ditemukan. Pada prasasti Kedukan Bukit bertarih 682 M. Beberapa kosa kata yang dapat dikenali pada masa ini dalam bahasa Indonesia (yang merujuk pada bahasa Melayu zaman kuno) seperti bulan, sampan, dari, dua, dengan, jalan, dua ratus, naik, datang, di, mata. Kata-kata inilah yang yang terus eksis menjadi Melayu (Kuno) dan kini bahasa Indonesia. Yang sulit kita pahami kita anggap bahasa Sanskerta yang tidak digunakan lagi. Namun beberapa kata yang tidak ada dalam bahasa Indonesia dapat dikenali dalam bahasa Batak seperti mangalap, marlapas, mamawa, sapulu dua, marbuat, banua. Beberapa kata tersebut telah bergeder menjadi lepas, bawa dan buat. Akan tetapi kata alap tidak ditemukan dalam bahasa Melayu (Indonesia) tetapi memiliki arti dalam bahasa Batak sebagai ambil atau jemput. Secara khusus awalan ma dan mar tidak ditemukan dalam bahasa Melayu (Indonesia), tetapi masih ditemukan dalam bahasa Batak sebagai me dan ber dalam bahasa Melayu (Indonesia). Lalu kemudian kita bandingkan mana yang lebih tua, yang tetap dipertahankan (ma dan mar dalam bahasa Batak) dan yang telah bergeser (menjadi me dan ber dalam bahasa Melayu).

Prasasti Kedukan Bukit 682 M (lihat Wikipedia): ‘svasti śrī śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śukla-klapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṃ nāyik di sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṃ maŕlapas dari minānga tāmvan mamāva yaṃ vala dua lakşa dangan kośa duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu tlurātus sapulu dua vañakña dātaṃ di mata jap (mukha upaṃ) sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vulan... (āsāḍha) laghu mudita dātaṃ marvuat vanua śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa nityakāla’.Terjemahannya: ‘Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 605, pada hari ke sebelas      paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di     sampan mengambil siddhayātra. pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga tamwan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang) sukacita pada hari ke lima paro-terang bulan....(Asada) lega gembira datang membuat wanua....Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna...’

Selain itu penyebutan bilangan sapulu dua tidak ditemukan dalam bahasa Melayu (Indoensia) tetapi dapat ditemukan dalam bahasa Batak. Sapalu dua dalam bahasa Batak pada masa ini sama dengan dua belas dalam bahasa Melayu (Indonesia). Sekali lagi, mana yang lebih tua sapulu dua (Batak) atau dua belas (Melayu). Satu yang penting lainnya dalam teks prasasti Kedukan Bukit ini nama tempat Minana. Nama ini tidak ditemukan (mirip) di tempat lain, tetapi ditemukan di Tanah Batak sebagai nama tempat Binanga (kini nama kecamatan di kabupaten Padang Lawas). Satu lagi banua dalam bahasa Batak diartikan sebagai negara atau wilayah yang sangat luas (namun adakalnya diartikan sebagai istana).

Dalam tulisan-tulisan masa kini, secara keseluruhan kata-kata yang digunakan dalam teks hanya disebut kata-kata bahasa Melayu Kuno, yang sering disebut dengan nama tunggal ‘ditulis dalam aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa Melayu Kuno’.  Bukankah yang lebih tepat disebut ‘menggunakan bahasa campuran (bahasa Sanskerta, bahasa Batak Kuno dan bahasa Melayu Kuno)’. Inilah akibatnya jika satu hal hanya dilihat dari satu sisi, bukan dari dua sisi atau banyak sisi. Last but not least: Jika bahasa Melayu Kuno adalah kelanjutan bahasa Sanskerta, bahasa Batak tetaplah bahasa Batak. Namun yang terlupakan adalah penduduk di Tanah Batak zaman kuno bilingual (seperti masa kini). Jika berdasarkan asumsi ini terbuka pertanyaan siapa yang membuat prasasti: Raja yang datang ke suatu tempat (Dapunta Hyang dari Binanga) atau yang menerima kedatangan (Sriwijaya di Hulu Upang).

Sumber data lainnya untuk memahami bahasa zaman kuno digunakan prasasti Talang Tuo di kaki Bukit Siguntang berangka tahun 684 M (dua tahun lebih muda dari prasasti Kedukan Bukit) yang juga ditulis dalam aksara Pallawa dengan berbahasa Melayu Kuno. Dalam teks prasasti dapat didaftarlan kosa kata yang disebut mirip bahasa Melayu (Indonesia). Beberapa kosakata bahasa Melayu Kuno yang digunakan dalam prasasti ini dan hingga kini masih dapat ditemukan dalam bahasa Indonesia. Ada banyak persamaan dengan sedikit perubahan antara lain awalan ni menjadi di dan awalan ma, mar, ma[ng] menjadi me, ber dan me[ng], akhiran na menjadi nya.

Daftar yang disebut mirip bahasa Melayu: wulan = bulan, tatkālāña = tatkalanya, niparwuat = diperbuat, sawañakña = sebanyaknya, nitanam = ditanam, ñīyur = nyiur, hanāu = enau, rumwiya = rumbia, dṅan = dengan,  nimakan = dimakan, wuaḥña = buahnya,  tathapi = tetapi, haur = aur, wuluḥ = buluh,  pattuŋ = betung, talāga = telag, puṇyaña = punyanya, tmu = temu, bertemu, mārgga = marga, sukha = suka, niminumña = diminumnya, wuatña = buatnya, maŋhidupi = menghidupi, prakāra = perkara,  jāṅan = jangan, waraŋ = barang, wuataña = buatannya, marwwaṅun = memban.

Sementara bahasa Batak dalam teks prasasti tersebut awalan ma, mar, ma[ng[ ditemukan dalam bahasa Batak yang menjadi me, ber dan me[ng] dalam bahasa Melayu (Indonesia). Demikian juga awal ni ditemukan dalam bahasa Batak yang menjadi di dalam bahasa Melayu (Indonesia). Satu hal lagi akhiran na ditemukan dalam bahasa Batak yang menjadi nya dalam bahasa Melayu (Indonesia). Dalam teks terdapat frase ‘jangan marsarak’ yang mana kata kerja marsarak dalam bahasa Batak yang menjadi berserak dalam bahasa Melayu. Tentu saja dalam teks masih digunakan kata yang khas di Tanah Batak yakni marga.

Dari dua prasasti yang dikutip di atas, begitu banyak unsur bahasa yang sangat elementer (awalan dan akhiran) yang masih ditemukan dalam bahasa Batak. Unsur-unsur elementer dalam teks prasasti itu telah bergeser di dalam bahasa Melayu. Kata-kata dalam teks yang ditemukan dalam bahasa Batak tetapi tidak ditemukan dalam bahasa Melayu antara lain mangalap, bilangan sapulu dua, banua dan marga.Tentu saja masih ada lagi kata sandangn tu dan awalan par yang ditemukan dalam bahasa Batak tetapi tidak ditemukan dalam bahasa Melayu. Jangan lupa bahwa nama Miangan hanya sesuai dengan nama Binanga di Tanah Batak.

Dalam memahami bahasa zaman kuno ini dapat ditambahkan isi teks prasasti Kota Kapur yang relatif bersamaan waktunya dengan dua prasasti sebelumnya. Prasasti Kota Kapur bertarih 686 M. Prasasti ini juga disebut beraksara Pallawa dengan bahasa Melayu Kuno. Isi teks prasasti sebagai berikut:

Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai--Umentern bhakti ni ulun haraki. unai tunai kita savanakta devata mahardika sannidhana. manraksa yan kadatuan çrivijaya. kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yan parsumpahan--paravis. kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi lavan drohaka, manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya--Marppadah tida ya bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku sanyasa datua. dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda datu çriwi--jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna jahat. makalanit uran. makasuit. makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. Tamval--Sarambat. kasihan. vacikarana.ityevamadi. janan muah ya sidha. pulan ka iya muah yan dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu muah ya mulam yam manu--ruh marjjahati. yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah ya mulan. saranbhana uran drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava vua--tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. dngan di yam nigalarku sanyasa dattua. çanti muah kavuatana. dngan gotrasantanana--Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah van--Yan manman sumpah ini. nipahat di velana yan vala çrivijaya kalivat manapik yan bhumi java tida bhakti ka çrivijaya.

Dalam teks prasasti Kota Kapur ini ditemukan awal pa dan par sebagaimana dalam bahasa Batak yang menjadi pe dan per dalam bahasa Melayu. Juga tentang awalan ni (di), awalan mar (ber), akhiran na (nya). Satu yang baru dalam teks prasasti Kota Kapur ini kata sambung na dalam bahasa Batak yang menjadi yang dalam bahasa Melayu. Yang perlu dicermati bahwa awalan ni dan kata depan di dalam bahasa Batak menjadi awalan di dan kata depan di dalam bahasa Melayu (Indonesia) untuk membedakannya adalah awalan disambung sedangka kata depan di pisah. Sementara dalam bahasa Batak awalan ni pasti disambung sedangkan kata depan di dipisahkan. Hal serupa ini juga berlakuk pada penggunaan kata sambung na dan akhiran na dalam bahasa Batak menjadi kata sabung yang dan akhiran nya dalam bahasa Melayu. Dalam hal ini awalan na dalam bahasa Batak dipisah sementara akhirnya na tidak dipisah.

Dalam teks, selain terdapat nama kerajaan (kedatuan) Sriwijaya juga terdapat nama tempat (pulau) Jawa. Pada baris 9 dari teks prasasti diartikan sebagai berikut: ‘dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah’ yang kemudian pada baris 10 sebagai berikut: ‘kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi Jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya’. Teks dua baris ini dapat diinterpretasi kata ‘mereka’ dalam hal ini mengindikasikan dibuat di kerajaan (kedatuan) lain. Dengan kata lain prasasti tidak dibuat oleh kerajaan (kedatuan) Sriwijaya. Lantas kerajaan yang mana yang membuat? Untuk memahaminya lihat kembali isi teks prasasti Kedukan Bukit bertarih 682 M.

Dengan memahami secara keseluruhan dari dua teks prasasti yang sebagian besar berasal dari bahasa Sanskerta, dalam berbagai tulisan terkesan hanya melihat unsur bahasa dari sudut pandang bahasa Melayu (Indonesia) tanpa mempertimbangkan unsur bahasa Batak. Lantas apa yang sesungguhnya terjadi? Jelas dalam hal tersebut soal sudut pandang (bahasa Melayu). Faktanya dari sudut pandang bahasa Batak justru lebih kuat sebagai zaman kuno daripada bahasa Melayu (yang terbentuk kemudian). Kesalahan sudut pandang ini menjadi berpengaruh pada makna yang terkandung dalam isi teks prasasti.

Soal: Diketahui bahwa sebelum kehadiran pedagang-pedagang India (selatan) yang berbahasa Sanskerta dan beraksara Pallawa ke Hindia Timur (nusantara) sudah ada penduduk asli yang berbahasa asli sebagai mitra dagang (sebut saja bahasa Batak dan bahasa Jawa). Anggaplah bahasa Melayu adalah kelanjuatan bahasa Sanskerta plus bahasa asli (bahasa Batak dan bahasa Jawa). Dengan memperhatikan isi teks tiga prasasti di atas, faktanya terdiri dari tiga bahasa (Sanskerta, Batak dan Melayu). Pertanyaannya: Siapakah yang menulis tiga teks prasasti tersebut? Pilihan jawaban: (a) Orang India, (b) Orang Batak, (c) Orang Melayu. Selamat menjawab. Contoh soal: Pada masa ini Anda menemukan suatu surat. Dalam surat itu digunakan campuran tiga bahasa yakni bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Minangkabau. Surat siapakah itu? Orang Selandia Baru, Orang Depok atau Orang Padang?

Tunggu deskripsi lengkanya

Bahasa Melayu Kuno Lingua Franca Baru: Bahasa Batak Kuno dan Bahasa Jawa Kuno Tetap Eksis

Bahasa Batak dan bahasa Jawa tidak terbentuk setelah hadirnya bahasa Sanskerta di Hindia Timur (nusantara), tetapi sebaliknya bahasa Batak dan bahasa Jawa sudah eksis sejak lama, jauh sebelum kehadiran pedagang-pedagang dari India dengan bahasa Sanskerta (beraksara Pallawa). Jika bahasa Melayu diturunkan dari bahasa Sanskerta, maka dengan demikian, bahasa Batak dan bahasa Jawa sudah terbentuk jauh sebelum terbentuknya bahasa Melayu (Kuno). Untuk mengetahui bahasa zaman kuno di (pulau) Jawa digunakan prasasti prasasti Sojomerto, suatu prasasti yang dibuat diperkirakan pada abad ke-7 (satu era dengan tiga prasasti Sumatra yang disebut di atas).

Isi teks prasasti Sojomerto: ‘... ryayon çrî sata .... -- â kotî... -- namah ççîvaya --    bhatâra parameçva -- ra sarvva daiva ku samvah hiya -- mih inan –- is-ânda dapû-nta selendra namah santanû--namânda bâpanda bhadravati--namanda ayanda sampûla--  namanda vininda selendra namah--mamâgappâsar lempewângih’. Terjemahan inskripsi yang terbaca: ‘Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa-- ... dari yang mulia Dapunta Selendra--Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama bininya dari yang mulia Selendra’.

Prasasti Sojomerto mengindikasikan silsilah kerajaan, raja Dapunta Selendra (gelar yang sama dengan nama raja yang dicatat dalam prasasti Kedukan Bukit 682 M). Teks ini disebut aksara Jawa Kuno berbahasa Melayu Kuno.  Akan tetapi jika dicek pada kamus Sanskerta terdapat kosa kata yang mirip bahasa Melayu (Indonesia) seperti nama, bapa, ayah dan mama. Secara keseluruhan isi teks ini dapat dikatakan berbhasa Sanskerta. Tidak ada indikasi bahasa Jawa Kuno.

Dapunta tampaknya adalah gelar karena dipakai oleh tiga orang yang berbeda (lihat prasasti Keduakan Bukit disebut Dapunta Hyang Nayik; prasasti Talang Tuo disebut Dapunta Hiyag Srī Jayanāga; dan prasasti Sojomerto disebut Dapunta Selendra). Dua yang pertama disebut Daputa Hyang, sedangkan yang ketiga hanya disebut Dapunta saja. Apakah itu menunjukkan derajat? Jika merujuk pada prasasti Talawang Tuo, apakah raja Dapunta Selendra bawahan Dapunta Hiyag Srī Jayanāga di Sriwijaya. Antara Dapunta Hyang Nayik dan Dapunta Hiyag Srī Jayanāga tampaknya setara dan mitra.

Tunggu deskripsi lengkanya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar