Selasa, 12 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (167): Era Jawa Bagian Timur dan Sumatra Bagian Utara; Sejarah Singasari, Sejarah Nahdlatul Ulama

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada hubungan Jawa bagian timur dengan Sumatra bagian utara? Tentu saja. Namun kurang terinformasikan. Hubungan Sumatra bagian utara dan Jawa bagian timur tidak hanya pada masa kini. Hubungan itu sudah ada tidak hanya sejak lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) bahkan sejak era Singhasari. Bagaimana bisa? Nah, itu dia. Meski Sumatra bagian utara di ujung utara pulau Sumatra dan Jawa bagian timur di ujung pulau Jawa terkesan berjauhan, sebenarnya bukan tidak ada hubungan, hanya saja yang jelas kurang terinformasikan.

Wilayah Nusantara, kini mereduksi menjadi Indonesia, bukanlah wilayah yang besar, tetapi wilayah kecil di dalam permukaan peta bumi. Oleh karena itu jarak antara Sumatra bagian utara dan Jawa bagian timur dapat dikatakan cukup dekat. Kedekatan itu tidak hanya dirasakan pada masa kini, tetapi bahkan sejak zaman kuno. Kedekatan itu misalnya bahwa wali kota Surabaya di Jawa bagian timur adalah Radjamin Nasution yang berasal dari Sumatra bagian utara. Pada era Hindia Belanda, basis Nahdlatul Ulama (NU) hanya terdapat di Jawa bagian timur dan Sumatra bagian utara, pada era Pemerintah Republik Indonesia pada saat Partai NU didirikan yang ikut berpartisipasi pada Pemilu 1955 diinisiasi dan dan diketuai oleh tokoh asal Sumatra bagian utara Zainoel Arifin Pohan (ayah berasal dari Baroes, ibu berasal dari Kotanopan). Namun yang nyaris kurang terinformasikan bahwa hubungan itu sudah ada sejak era Singhasari. Bagaimana bisa? Menurut Schnitger (1935) Raja Kertanegara dari Singhasari adalah pendukung fanatik agama Boedha Batak (sekte Bhairawa).  

Lantas bagaimana sejarah hubungan antara Jawa bagian timur dengan Sumatra bagian utara? Seperti disebut di atas, bahwa Indonesia itu sejak era nusantara sangat kecil (di atas peta permukaan bumi). Oleh karena itu dimungkinkan terjadi interaksi antara Sumatra bagian utara dengan Jawa bagian timur. Bagaimana itu bisa terhubung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Jawa Bagian Timur dan Sumatra Bagian Utara: Sejarah Kerajaan Singhasari dan Sejarah Kerajaan Aru

Adanya hubungan yang lebih awal antara Sumatra bagian utara dan Jawa bagian timur terindikasi dari laporan arkeolog FM Schnitger tahun 1935.  FM Schnitger menyimpulkan dari temuannya ketika melakukan eskavasi percandian di Padang Lawas dimana ditemukan ada corak banguan candi-candi di Padang Lawas mirip dengan salah satu candi di Singhasari. Tidak hanya itu, FM Schnitger juga menyimpulkan bahwa raja Kertanegara dari Singhasari menjadi salah satu pendukung fanatik agama Boedha Batak (sekte Bhairawa). Dalam hal ini bentuk candi dan aliran Boedha (sekte Bhairawa) mengindikasikan kedekatan hubungan kerajaan Singhasari di Jawa bagian timur dengan kerajaan Aru di muara sungai Baroemoen di pantai timur Sumatra (Sumatra bagian utara).

FM Schnitger sebelum melakukan eskavasi di candi-candi di Padang Lawas di pertemuan sungai Baroemoen dan sungai Batang Panai (pantai timur Sumatra), terlebih dahulu melakukan eskavasi di candi Simangambat di pertemuan sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis (pantai barat Sumatra). Dua lokasi eskavasi ini dipisahkan oleh gunung Malea (diduga merujuk pada nama gunung Himalaya). Candi Simangambat adalah candi Hindoe yang lebih tua dari candi Borobudur. Candi Simangambat memiliki pola (motif) dengan candi-candi di Jawa Tengah seperti candi Sewu. Dalam hal ini, sebaliknya candi-candi di Padang Lawas yang umumnya Boedha memiliki salah satu candi di Jawa bagian timur di (kerajaan) Singhasari. Untuk sekadar catatan: populasi candi kuno terbanyak di nusantara hanya ditemukan di tiga wilayah: Tapanuli Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur.  

Bagaimana FM Schnitger menyimpulkan demikian, karena wilayah Jawa bagian timur umumnya penduduk adalah penganut agama Hindoe (Kediri, Singhasari dan Majapahit). Sebaliknya penduduk Sumatra bagian utara terutama di Tanah Batak adalah penganut ajaran Boedha (hanya minoritas Hindoe). Sekte Bhairawa adalah ajaran Boedha yang digabungkan dengan kepercayaan tradisional yang sangat menghormati para leluhur. Penanda utama arca-arca sekte Bhairawa adalah wajah yang seram dan ular yang melingkar. Tanda-tanda inilah yang dihubungkan FM Schnitger antara candi-candi di Padang Lawas muara sungai Baroemoen dengan salah satu candi di Singhasari.

Baru-baru ini dalam eskavasi situs Trowulan ditemukan potongan bata yang pada permukaannya terdapat aksara. Jika memperhatikan aksara tersebut lebih mirip aksara Batak daripada aksara Jawa. Apakah peradaban yang terhubung sebelumnya antara Kerajan Aru di Padang Lawas dengan kerajaan Singhasari di Malang berlanjut di Trowulan dalam wujud penggunaan aksara? Sebagaimana diketahui aksara Batak maupun aksaran Jawa masing-masing diadaptasi dari aksara Pallawa (India selatan).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Surabaya dan Medan: Wali Kota Surabaya dan Partai NU (Nahdlatul Ulama)

Pada masa ini Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang disingkat NU dikenal sebagai sebuah organisasi sosial Islam yang didirikan pada era Hindia Belanda pada 31 Januari 1926. Organisasi ini bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial dan ekonomi, Pada awal pendiriannya organisasi telah memiliki majalah yang disebut Oertoesan.

Nieuwe Rotterdamsche Courant, 12-02-1929: ‘Di Surabaya terbitan pertama Oetoesan Nahdlatoel Oelama, sebuah majalah keagamaan bagi kaum Muslim tradisional, Dalam kata pengantar redaksinya menyebutkan kaum Muhammad didorong untuk mendukung majalah ini yang mewakili kepentingan umat Islam’.

Sebelum organisasi ini dibentuk, di beberapa tempat sudah berdiri pesantren seperti di Jawa Timur dan di Afdeeling Padang Sidempoean (Tapanuli Selatan) serta di Banten.

Salah satu pesantren yang didirikan berada di Tanobato onderafdeeling Mandailing (Afd, Padang Sidempoean) yang didirikan pada tahun 1912 oleh Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution Al-Mandaily yang sudah belajar agama Islam di Mekkah selama 13 tahun. Pesantren ini adalah yang terbesar di Sumatra pada saat itu (bahkan hingga ini hari).

Para ulama dari berbagai tempat itulah yang bergabung yang kemudian membentuk organisasi yang intens di bidang keagamaan. Meski organisasi ini tidak bersifat politik tetapi diduga kuat berafiliasi dengan supra orhanisasi PPPKI.

Pendirian organisasi para ulama ini diduga karena pada bulan September 1927 di Batavia supra organisasi kebangsaan yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang diketuai oleh MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. PPPKI kemudian melakukan kongres pertama pada tanggal 29 September 1928 di Batavia yang komite kongres diketuai oleh Dr Soetomo. Sebelum kemudian diadakan Kongres Pemuda yang mana komiter terdiri dari ketua Soegondo, sekretaris Mohamad Jamin dan bendahara Amir Sjarifoeddin Harahap.

Organisasi Nahdlatoel Oelama yang didirikan di Soerabaja pada tahun 1929 kemudian mendapat pengesahaan sebagai organisasi resmi yang berbadan hukum (lihat De Indische courant, 12-02-1930). Disebutkan Anggaran Dasar Perhimpunan Nahdlatoel Oelama di Soerabaja telah disahkan dengan Keputusan Pemerintah dan karenanya telah diakui sebagai badan hukum.

Pada saat pengakuan hukum organisasi Nahdlatoel Oelama di Batavia, pada waktu yang sama di Soerabaj di dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja baru terpilih anggota dewan kota mewakili pribumi (beragama Islam) bernama Radjamin Nasution (seorang pejabat pabean di pelabuhan Tandjoeng Perak yang pernah kuliah di STOVIA). Radjamin Nasution adalah pengurus Partai PBI di Soerabaya yang diketuai oleh Dr Soetomo.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar