Rabu, 20 April 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (543): Pahlawan Indonesia - Advocaat Indonesia; Mengapa Tidak Ada Asosiasi Pengacara Tempo Dulu?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada perbedaan antara sistem peradilan Indonesia pada masa ini jika dibandingkan pada tempo doeloe era Pemerintah Hindia Belanda. Namun perbedaan itulah tidaklah terlalu senjang. Namun perbedaan yang mencolok adalah pada masa ini terbentuk asosiasi pengacara, sementara pada er Pemerintah Hindia Belanda tidak ada ada. Mangapa? Yang jelas pada era Pemerintah Hindia Belanda fungsi advokat (advocaat) diintegrasikan dengan fungsi pengaracar (procureur).

Banyak asosiasi yang terbentuk pada Pemerintah Hindia Belanda, mulai dari asosiasi guru, asosiasi jurnalis hingga asosiasi pedagang. Namun ada sejumlah profesi pada era Pemerintah Hindia Belanda tidak dibentuk, tetapi pada era Pemerintah Republik Indonesia dibentuk. Dua profesi yang tidak memiliki asosiasi pada era Pemerintah Hindia Belanda adalah profesi pengacara (advocaat en procureur) dan profesi dokter. Mengapa? Pada masa ini, dua profesi ini memiliki badan/asosisasi. Para pengacara tergabung di dalam Peradin/Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan para dokter bergabung di dalam IDI (Ikatan Dokter Indoenesia). Seperti halnya organisas para pewarta pecah (PWI Persatuan Wartawan Indonesia dan AJI Aliansi Jurnalis Indonesia), organisasi para pembela pada masa ini Perhimpunan Advokat Indonesia pecah dengan terbentuknya  Dewan Pengacara Nasional (DPN). Bagaimana dengan organisasi para dokter?

Lantas bagaimana sejarah para Advokat Indonesia? Seperti disebut di atas, ketika mulai banyak jumlah para advokat Indonesia pada era Pemerintah Hindia Belanda tidak terdapat asosianya. Seperti dokter, setiap advokat melakukan tugasnya berdasarkan kompetensi yang dimilikinya (sarjana hukum). Lalu bagaimana sejarah Advocat Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia dan Advocaat Indonesia: Para Sarjana Hukum Pejuang Indonesia Memilih Profesis Advokat

Pada awal era Pemerintah Hindia Belanda, fungsi advokat dintegrasikan dengan fungsi notariat dengan judul Advocaat en Notaris. Hal ini karena di Belanda profesi dua fungsi ini eksis. Pada tahun 1830an profesi advocaat en procureur mulai muncul di Hindia Belanda. Sejak itu nama profesi advocaat en procureur terus eksis hingga berakhirnya era Pemerintah Hindia Belanda. Hingga 1880 profesi (sarjana hukum) advocaat en procureur di Hindia Belanda hanya dipegang oleh orang Eropa/Belanda. Adalah Oei Jan Lee memecah kebuntuan yang ada.

Oei Jan Lee siswa HBS di G Willem III Batavia naik dari kelas empat ke kelas lima (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-11-1881). Oei Jan Lee tidak meneruskan, tetapi berangkat ke Belanda untuk meneruskan sekolah HBS agar meningkatkan peluang masuk universitas. Toei Jan Lee ingin menjadi sarjana hukum (Mr). Oei Jan Lee lulus ujian akhir HBS di Leiden (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 09-07-1884). Pada tahun 1885 Oei Jan Lee lulus ujian kandidat di bidang hukum di Rjiksuniversiteit te Leiden (lihat Het vaderland, 19-10-1885). Oei Jan Lee akhirnya lulus ujian akhir dan mendapat gelar sarjana hukum (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 15-10-1888). Oei Jan Lee tampaknya belum puas, lalu melanjutkan studi ke tingkat doktoral. Pada bulan Januari 1889 Mr Oei Jan Lee meraih gelar doktor bidang hukum di Leiden (lihat Nieuwe Vlaardingsche courant, 16-01-1889).

Orang Cina asal Hindia (baca: Indonesia) yang telah mendapatkan gelar sarjana hukum (advocaaat) yang setara dengan orang-orang Belanda tentu saja disadarinya menjadi penting. Hal ini karena selama ini perkara-perkara yang dialami oleh orang Cina di Hindia biasanya ditangani oleh para advocaat orang Belanda lulusan Belanda. Lalu bagaimana dengan perkara orang pribumi.

Reaksi pertama orang Belanda atas sukses pencapaian Oei Jan Lee ini mulai direspon negatif orang-orang Belanda. Ada yang berpendapat advocaat Cina akan menjadi pesaing advocaat Belanda. Ke depan, para advocaat Cina akan menjadi ancaman bagi para advocaat Belanda yang selama mendapat keuntungan yang besar. Riak-riak itu segera berlalu, karena tidak ada lagi siswa asal Hindia (Cina dan pribumi) yang menyusul langkah Oei Jan Lee. Salah satu faktor penghambat adalah masih terbatasnya slot bagi orang Cina dan orang pribumi di sekolah menengah (HBS), lulusan sekolah yang menjadi jembatan memasuki universitas.

Siswa-siswa pribumi masih terbatas pada dua bidang studi: keguruan dan kedokteran. Hal itu boleh jadi karena kebutuhannya masih pada bidang pendidikan dan bidang kesehatan. Siswa-siswa pribumi yang memasuki sekolah HBS masih sangat minim, hanya beberapa orang saja. Namun setelah lulus tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi tetapi memilih menjadi pegawai pemerintah. Baru pada tahun 1896 lulusan HBS Semarang, Raden Kartono (abang dari RA Kartini) melanjutkan studi ke universitas di Belanda. Dapat dikatakan Raden Kartono adalah pribumi pertama yang studi di universitas (polytechnisch di Delft).

Dalam perkembangannya, Raden Kartono melepaskan studinya di bidang teknik dalan lebih memilih studi bahasa-bahasa timur (Indologi). Lalu kemudian menyusul pribumi yang studi ke Belanda pada tahun 1903: Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (keguruan), M Boenjamin, Abdoel Rivai (kedokteran), Djamaloedin (pertanian).Pada tahun-tahun berikutnya menyusul Hoesein Djajadiningrat (Indologi), Ph Laoh, Raden Asmaoen (kedokteran); demikian seterusnya, tetapi belum ada yang memilih syudi hukum.

Sementara belum ada mahasiswa pribumi di Belanda yang memilih studi hukum, di Hindia Belanda terbilang baru didirikan sekolah hukum (rechtschool), ssetelah sebelumnya tahun 1907 didirikan sekolah kedokteran hewan dan sekolah pamong/hoofdenschool. Sekolah-sekolah tersebut plus sekolah keguruan daan sekolah kedokteran yang sudah lama hanya setara sekolah menengah. Meski demikian, sekolah hukum yang dibuka tahun 1909 ini di Batavia menjadi pemicu pribumi untuk selanjutnya memilih bidang studi hukum di universitas (di Belanda).

Lulusan sekolah hukum (rechtschool) Batavia bukanlah ahli hukum, tetapi para lulusan yang diarahkan untuk sebagai pegawai pemerintah di bidang peradilan pribumi (landraad). Sementara hakim yang biasanya dirangkap oleh ketua Landraad adalah sarjana hukum (Mr) lulusan Belanda. Tentu saja, dan oleh karena itu, penggunaan advocaat di pengadilan pribumi (landraad) belum ada. Advocaat hanya terbatas pada pengadilan non-pribumi (Eropa/Cina/timur asing).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Advocaat Indonesia: Mengapa Tidak Ada Asosiasi Pengacara Tempo Doeloe?

Advocaat en procureur pertama non Eropa/Belanda di Hindia adalah Oei Jan Lee. Pada tahun 1896 Oei Jan Lee tidak lagi berprofesi sebagai advocaat en procureur tetapi telah diangkat menjadi pejabat (ambtenaar) di Departemnt van Jursitie di Batavia.

Setelah meraih gelar doktor dalam bidang hukum tahun 1889, Oei Jan Lee pada tahun 1890 kembali ke tanah air di kampongnya di Banda. Pada tahun 1891 Oei Jan Lee mengajukan naturalisasi dan marga (lastname) Lee. Pada tahun 1892 Oei Jan Lee bergabung dengan asosiate di Batavia sebagai advocaat en procureur. Oei Jan Lee menikah dengan seorang gadis Belanda. Setelah mendapat status naturalisasi Oei Jan Lee dengan nama baru dan marga Johan Lee. Oei Jan Lee telah menjadi orang Belanda.

Dua lulusan HBS Semarang Raden Mas Noto Seoroto dan RM Gondowinoto yang berturut turut tiba di Belanda tahun 1906 dan 1907 diketahui memilih studi hukum. Mereka berdua yang mulai terdaftar sebagai mahasiswa hukum tahun 1909 dapat dikatakan pribumi pertama yang memilih studi hukum di Belanda. Seperti disebut di atas tahun ini di Batavia dibuka sekolah hukum (rechteschool) (lihat De Preanger-bode,  21-06-1909).  .

Jumlah lulusan Rechtschool Batavia semakin banyak dari waktu ke waktu. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi masuk Rechts School tahun 1915. Setelah lulus Rechts School, Radja Enda Boemi diangkat sebagai pegawai pemerintah di Kantor Pengadilan Landraad Medan. Kemudian setelah beberapa tahun menjadi pegawai ia mendapat beasiswa untuk berangkat ke Negeri Belanda untuk mencapai gelar sarjana hukum (Mr).

RM Gondowinoto lulus ujian akhir dan mendapat gelar sarjana hukum (Mr) di Leiden pada tahun 1918 (lihat  De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 03-07-1918). Disebutkan RM Gondowinoto berasal dari Soerabaja. RM Gondowinoto tidak segera pulang ke tanah air. Sebagaimana disebut di atas, Gondowinoto sudah berada di Belanda (Leiden) sejak 1907 (dan belum pernah pulang). Gondowinoto masih melanjutkan studi ke tingkat doktoral untuk meraih gelar doktor (Ph.D).

Pribumi yang studi di Belanda yang sudah meraih gelar doktor di Belanda, yang pertama adalah Raden Hoesein Djajadiningrat pada tahun 1913. Seperti disebut di atas, Hoesein Djajadiningrat, lulus HBS di Batavia tiba di Belanda tahun 1906. Dr Abdoel Rivai juga disebut telah meraih gelar doktor di bidang kedokteran di Gent (Belgia).

Mr RM Gondowinoto berhasil mempertahankan desertasi dan meraih gelar doktor di bidang hukum pada tahun 1919 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 21-02-1919). Disebutkan dipromosikan menjadi doktor dengan tesis RM Gondowinoto lahir di Jogjakarta. Ini menambah jumlah pribumi studi di Belanda yang meraih gelar doktor. Seperti haalnya para lulusan Docter Djawa School/STOVIA, para lulusan Rechtschool Batavia yang setelah bekerja di Landraad beberapa tahun melanjutkan studi hukum di Belanda. Beberapa diantaranya melanjutkan ke tingkat doktoral.

Orang Indonesia berikutnya yang mendapat gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum adalah Mr. Gondokoesoemo pada tahun 1922 di Universiteit Leiden dengan judul desertasi adalah ‘Vernietiging van Desabeslissingen in Indie’ (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-06-1922). Gondokoesoemo lahir di Blora adalah salah satu alumni pertama dari Rechts School di Batavia. Orang Indonesia lainnya yang meraih doktor di bidang hukum adalah RM Koesoemah Atmadja lahir di Poerwakarta dengan judul desertasi ‘De Mohammedaansche vrome stichtingen in Indie’ (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 15-12-1922); Raden Soegondo lahir di Rembang dengan desertasi berjudul Vernietiging van Dorpsbesluiten (lihat De Preanger-bode, 22-01-1923); Soebroto dengan desertasi berjudul ‘Indonesische Sawah-verpanding’ (De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-09-1925).

Pada rahun 1925, Radja Enda Boemi lahir di Batang Toroe Padang Sidempoean dinyatakan lulus di Universiteit Leiden dan mendapat gelar doctor (Ph.D) dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pertama dari Tanah Batak dan orang Indonesia kedua yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum.

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar