Selasa, 16 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (777): Pantai Barat Sumatra dan Geomorfologi; Wilayah Angkola Mula Peradaban Awal Nusantara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Awal peradaban baru di Nusantara diduga kuat berasal dari wilayah Asia. Sebagai awal peradaban baru, berbagai elemen budaya baru bagi populasi penduduk asli yang terbentuk, merupakan interaksi penduduk pulau-pulau nusantara dengan orang asing di wilayah Asia. Arah kehadiran peradaban baru itu berasal dari arah barat (khusunya India) melalui daratan (pegunungan Himalaya ke Semenanjung Malaya dan semenanjung Indochina) maupun melalui navigasi pelayaran pantai (pantai-pantai sepaanjang India Timur, teluk Bengale hingga ke semenanjung Pegu/Burma (kini Myanmar) dan seterusnya melalui daratan awal (gugus pulau0pulau Andaman/Nicobar) hingga pantai barat Sumatra dimana peradaban awal dimulai di wilayah Angkola yang sekarang. Selanjutnya, kehadiran orang Eropa ke Nusantara, termasuk pantai barat Sumatra teknologi navigasi pelayaran sudah sangat maju.


Seorang botanis Inggris Charles Miller mengunjungi (wilayah) Angkola pada tahun 1772. Pengiriman Miller ini ke Tanah Batak diduga dalam upaya Inggris menguasai nusantara. Pada tahun yang sama James Cookj dikirim melakukan ekspedisi ke Australia dan Pasifik. Saat itu, Inggris yang berpusat di India (Calcutta) telah memiliki koloni kecil di Bengkulu. Boleh jadi pengiriman ini diduga kaitannya dengan semakin terdesaknya Inggris di Amerika Serikat. Dua tahun kemudian Inggris menyerah di Amerika Serikat sehubungan dengan proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1774. Hasil ekspedisi James Cook diterbitkan pada tahun 1775. Dalam laporan ini, Cook merekomendasikan ahar Inggris membentuk koloni di Aistralia (bagian tenggara). Pada tahun 1877 koloni Inggris dimulai di Australia di Sydney. Dua tahun kemudian, pada tahun 1879 skuadron Inggris yang berpangkalan di Madras dipindahkan ke Bengkulu. Inilah awal invasi Inggris di Nusantara (wilayah yang telah dikuasasi Belanda/VOC sejak 1619). Tujuan Inggris menggeser pangkalan di India ke pantai barat Sumatra diduga kuat untuk: (1) mengamankan koloni baru di Australia, (2) mengamankan jalur perdagangan antara India dan Tiongkok melalui selat Malaka; dan (3) upaya menaklukkan Belanda/VOC yang berpusat di Jawa dengan ibu kota di Batavia.

Lantas bagaimana sejarah geomorfologi Pantai Barat Sumatra? Seperti disebut di atas, awal mula peradaban baru Nusantara di pantai barat Sumatra diduga bermula di wilayah Angkola yang kemduian mempengaruhi perubahan geomorfologi wilayah. Perubahan ini terus terjadi hingga kehadiran orang Eropa. Lalu bagaimana sejarah geomorfologi Pantai Barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Geomorfologi Pantai Barat Sumatra; Wilayah Angkola, Tapanuli Mula Peradaban Awal Nusantara

Perubahan geomorfologis pantai barat Sumatra tidak seradikal geomorgologi pantai timur Sumatra. Hal itu karena banyak faktor, seperti  permukaan dasar laut, kedalaman laut, arus laut, angin, banyak sedikitnya (gugus) pulau yang dekat ke daratan dan sebagainya. Faktor sungai hanya bersifat sekunder. Panjang pendeknya sungai-sungai yang sekarang ditentukan oleh faktor-faktor utama, yakni terjadinya proses sedimentasi jangka panjang. Sungai yang terus memanjang, juga pada gilirannya ikut mempengaruhi intensitas proses sedimentasi jangka panjang di muara-muara sungai.


Pada masa ini sungai-sungai yang terbilang besar di pantai barat Sumatra antara lain sungai Singkil (Aceh), sungai Batang Toru (Sumatra Utara), sungai Pasaman (Sumatra Barat) dan sungai Ketahun di Bengkulu. Sungai-sungai ini meski terbilang panjang di barat, tetapi relatif pendek jika dibandingkan di pantai timur Sumatra. Ada puluhan sungai besar yang bermuara ke pantai timur Sumatra, sungai-sungai yang terkenal antara lain sungai Musi (Sumatra Selatan), sungai Batanghari (Jambi), sungai Kampar (Riau) dan sungai Batang Barumun (Sumatra Utara). Secara geomorfologis seperti sungai Musi dan sungai Batanghari awalnya sungai-sungai yang pendek seperti di pantai barat, akibat factor-faktor utama yang menyebabkan proses sedimentasi jangka Panjang di muara sungai terbentuk daratan baru yang mana sungai menemukan jalannya sendiri ke laut. Proses sedimentasi yang terus berlanjut (sungai terus memanjang) menyebabkan sungai-sungai seperti sungai Musi dan sungai Batanghari terus semakin Panjang. Hingga masa ini proses sedimientasi dan memanjangnya sungai terus berlangsung.

Sungai-sungai yang bermuara ke pantai barat Sumatra di wilayah Angkola (Tapanuli Selatan, Sumatra Utara) ada dua yakni sungai Batangtoru dan sungai Batang Angkola. Semenatara di wilayah selatannya (wilayah Mandailing) bermuara ke pantai barat Sumatra yakni sungai Batang Gadis, sungai Batang Natal dan sungai Batahan. Sungai Batang Angkola dari utara dan sungai Batang Gadis dari selatan bertemu di Siabu dan kemudian dengan nama sungai Batang Gadis bermuara ke pantai barat Sumatra. Sungai Batang Toru berhulu di Silindung (Tapanuli Utara). Sungai-sungai di Angkola yang bermuara ke pantai barat Sumatra pada awalnya terbilang pendek tetapi kemudian memanjang,


Seperti dikutip di atas, Charles Miller mengunjungi wilayah Angkola pada tahun 1772 memulai pelayaran dari teluk Tapanuli di pulau Pontjang Kecil lalu memasuki muara sungai Lumut. Dengan perahu yang lebih kecil, Miller menyusuru sungai Lumut melewati beberapa kampong seperti kampong Pinangsori hingga tiba mendarat di kampong Lumut. Dari kampong Lumut melanjutkan perjalanan ke wilayah Angkola di sekitar Gunung Lubuk Raya dengan melewati jembatan suspense (jembatan gantung) di atas sungai Batangtoru. Sepulang dari wilayah Angkola, Charles Miller pulang dengan jalan yang sama tetapi setelah melewati jembatan gantung sungai Batang Toru, Miller tidak kembali ke Lumut tetapi menyusuri sisi barat sungai Batang Toru hingga tiba di kampong Sipisang, muara sungai Batang Toru. Yang kemudian dilanjutkan dengan perahu besar berlayar ke pulau Pontjang Kecil. Kampong Sipisang ini, yang pada tahun 1772 berada di muara sungai Batangtoru, pada masa ini kampong ini terkesan berada jauh di pedalaman. Ini mengindikasikan bahwa sungai Batang Toru sejak 1772 terus memanjang di hilir menuju laut. Proses memanjang sungai ini diduga kuat karena proses sedimentasi jangka panjang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Wilayah Angkola, Tapanuli Mula Peradaban Awal Nusantara: Sungai-Sungai Besar di Pantai Barat Sumatra dan di Pantai Timur Sumatra

Wilayah Angkola di Tapanuli, pada zaman dahulu, adalah wilayah pedalaman Sunatra dimana terdapat jalur pintas antara pantai barat Sumatr dengan pantai timur Sumatra. Dengan kata lain wilayah Angkola memiliki lebar terpendek pulau Sumatra. Ibarat wilayah Kota Bogor adalah jarak terpeden antara sungai Ciliwung dengan sungai Cisadane atau wilayah negara Panama yang menjadi jarak terpendek benua Ameruka antara Lautan Atlantik dan Lautan Teduh/Pasifik, atau Kra (di Semenanjung Malaya). Pada masa itu pantai barat Sumatra di wilayah Angkola berada di kampong Sangkunur dan di pantai timur berada di Binanga.


Wilayah Angkola di pantai barat awalnya garis pantai di kampong Sangkunur (muara sungai Batang Toru). Dari pusat Angkola di sekitar lereng gunung Lubuk Raua sejak lama telah terbentuk jalur jalan darat ke Sangkunan (Pelabuhan awal Angkola). Setelah terjadi proses sedimentasi jangka panjang, di teluk Sangkunur terbentuk daratan hingga muara sungai Batang Toru bergeser ke suatu titik dimana kemudian terbentuk kampong baru yang diberi nama kampong Sipisang (seperti disebut di atas dikunjungi Charles Miller tahun 1772). Muara sungai ini terus bergeser menjauhi Sangkunur (kini Sangkunur seakan berada di pedalaman). Oleh karena satu-satunya jalur darat dari pusat Angkola ke laut, lalu dibangun jalur darat baru dengan membangun jembatan gantung di atas sungai Batang Toru hingga ke kampong Lumut (kampong yang berada di panatai di suatu teluk). Kampong Lumut menjadi Pelabuhan Angkola berikutnya. Pelabuhan Angkola adalah Pelabuhan feeder dimana Pelabuhan utama berada di Baroes. Sungai Lumut juga membentuk daratan baru di teluk sehingga kedalaman air di dekat kampong Lumut semakin dangkal. Namun dibandingkan jalur air/laut dari Angkola ke Baroes melalui pelabuhan/sungai Lumut masih lebih pendek/singkat Seperti dilihat nanti pada era Hindia Belanda, untuk membangun pelabuhan tidak dimungkinkan lagi di Lumut lalu dipilih di Jaga-Jaga (pantai). Hal serupa ini juga terjadi di pantai timur yang berawal di Binanga (muara sungai Barumun). Muara sungai kemudian bergeser ke Kota Pinang/Tor Gamba, lalu berlanjut terus hingga pada masa ini muara sungai berada di Labuhan Bilik..

Sangkunur adalah nama kuno, seperti halnya nama Angkola, Baroes dan Batang/Langgabayu. Di dekat Sangkunur juga terdapat nama kuno yakni danau Siais dan kampong di pinggir danau Batu Rombi. Peradaban baru Angkola diduga dimulai di sekitar danau Siais (danau di belakang pantai/di ketinggian/dpl). Dengan terjadinya interaksi dengan penduduk pendatang dan penduduk asli di pedalaman membentuk populasi baru (orang Angkola?). Pusat peradaban baru ini kemudian bergeser ke sekitar lereng gunung Lubuk Raya di pedalaman melalui jalur sisi sungai Angkola yang berhulu di sekitar danau.


Nama Angkola diduga adalah nama paling terawal. Nama Angkola diduga merujuk pada nama kuno Tacola. Dalam catatan geografis Ptolomeus abad ke-2 disebutkan sentra produksi kamper berada di pulau Sumatra bagian utara.  Ptolomeus juga membuat peta (semenanjung) Aurea Chersonesus (pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya). Di dalam pet aini diidentifikasi di arah barat laut semenanjung nama Tacola. Nama yang diidentifikasi Ptolomeus inilah yang diduga asal muasal (keberadaan) nama Angkola/Akkola. Masih pada abad ke-2 disebut dalam catatan Tiongkok Dinasti Han bahwa utusan raja Yeh-tiau menghadap Kaiser Tiongkok untuk tujuan membuka pos perdagangan. Besar dugaan Kerajaan Tacola sentra produksi kamper ingin membuka perdagangan di pantai selatan Tiongkok dalam pertukaran produk kamper dengan barang industry dari Tiongkok. Pos perdagangan itu diduga berada di Vietnam di kota Nha Trang yang sekarang (dimana ditemukan prasasti yang berasal dari abad ke-3), sedangkan pelabuhan Angkola di pantai timur berada di Binanga. Pada abad ke-5 menurut catatan Eropa disebutkan bahwa kamper diekspor dari pelabuhan yang dinamai Baroes. Besar dugaan Baroes adalah pelabuhan yang terbentuk baru, sebagai pelabuhan pertemuan antara berbagai pedagang mancanegara. Pelabuhan Sangkunur/Lumut menjadi pelabuhan feeder untuk pelabuhan besar Nama. Langgabayu juga diduga adalah nama kuno yang berada di selatan (wilayah Natal yang sekarang). Kampong Linggabayu berada di muara sungai yang menjadi pelabuhan wilayah Angkola/Mandailing dari pedalaman. Sejak kampong Linggabayu muncul tidak diketahui secara pasti. Namun sejak kehadiran pedagang-pedagang Arab (sejak abad ke-7) nama Linggabayu juga disebut dengan (kampong) Batang. Nama Batang ini masih eksis hingga kehadiran orang Eropa/Portugis abad ke-16 (lihat peta Portugis di atas). Oleh karena kampong Batang berada di muara sungai, penduduk menganggap suatu kata baru ‘batang’-sungai untuk sinonim dengan kata ‘aek’ plus kata serqapan ‘aroe’ dari bahasa India. Besar dugaan nama Batang ini bagi  orang Eropa ditulis dengan ‘batac’.  

Dengan andalan produk alami, kamper, emas, gading, damar, kulit manis dan kemenyan, wilayah Angkola menjadi kaya raya. Interaksi dengan orang asing di satu sisi telah meningkatkan peradaban Angkola dan di sisi lain kerajaan yang semakin kuat (sebut saja Kerajaan Angkola) lalu upaya perluasan wilayah semakin dimungkinkan (untuk memperluas perdagangan). Wilayah kerajaan sudah meliputi seluruh Sumatra bagian utara (termasuk pelabuhan Baroes). Pada abad ke-7 Kerajaan Angkola memperluas wilayah ke Sumatra bagian selatan (lihat prasasti Kedoekan Boekit 682 M).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar