Senin, 15 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (776): Kerajaan Batak - Kerajaan Jawa; Navigasi Pelayaran Perdagangan di Utara dan Selatan Ekuator


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pada artikel sebelum ini fokus pada peradaban awal nusantara (di Jawa dan Batak). Artikel ini fokus pada perluasan peradaban nusantara melalui instrument penting yakni navigasi pelayaran perdagangan. Peningkatan peradaban semakin menguatnya navigasi pelayaran semakin meningkatkan level peradaban. Peradaban awal nusantara di Tanah Batak berada di utara khatulistiwa, di Tanah Jawa di selatan khatulistiwa. Dalam konteks ini dalam sejarah navigasi pelayaran awal nusantara tergambar lalu lintas navigasi pelayaran perdagangan Tanah Batak berada di utara khatulistiwa dan Tanah Jawa di selatan khatulistiwa.


Pada masa ini di Indonesia, daerah yang diasosiasikan dengan daerah navigasi pelayaran (pelaut dan perlayaran) adalah Sulawesi Selatan dan Aceh dan mungkin Riau. Daerah Tanaah Jawa dan daerah Tanah Batak masa ini diasosiakan dengan usaha perrtanian (karena secara geografis berada di pedalaman). Namun daerah Sulawesi Selatan, Aceh dan Riau dalam awal peradaban nusantara tentulah belum dikenal. Yang sudah dikenal dalam bidang navigasi pelayaran di nusantara masih terbatas di Tanah Batak dan Tanah Jawa. Dalam hal ini, pada zaman doeloe, awal peradaban nusantara, kota-kota penting di Tanah Jawa dan di Tanah Batak masih berada di (garis) pantai (wilayah pesisir). Proses sedimentasi jangka panjang, Tanah Jawa dan Tanah Batak pada masa ini terkesan berada di pedalaman. Geomordoligis nusantara pada zaman dulu berbeda dengan masa kini. Secara geomorfologi Tanah Jawa di pantai utara telah berubah dan secara geomorfologis Tanah Batak di pantai timur telah berubah. Sebelum perubahan itulah kita membicarakan navigasi pelayaran perdagangan Tanah Batak dan Tanah Jawa. Wilayah Nusantara itu begitu luas, tampaknya tidak mampu diatasi hanyai dengan satu kerajaan besar, karena itu yang muncul di atas laut-laut Nusantara adalah dua matahari (navigasi pelayaran di utara ekuator adalah matahari dari utara; di selatan khatulistiwa adalah matahari dari selatan).

Lantas bagaimana sejarah Kerajaan Batak dan Kerajaan Jawa memiliki navigasi pelayaran perdagangan di utara dan selatan khatulistiwa? Seperti disebut di atas, peradaban awal yang kuat di nusantara hanya di Tanah Batak dan di Tanah Jawa. Hal itu yang menyebabkan bacigasi pelayaran berkembang di dua wilayah yang berbeda. Lalu bagaimana sejarah Kerajaan Batak dan Kerajaan Jawa memiliki navigasi pelayaran perdagangan di utara dan selatan khatulistiwa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kerajaan Batak dan Kerajaan Jawa; Navigasi Pelayaran Perdagangan di Utara dan Selatan Khatulistiwa

Navigasi pelayaran perdagangan nusantara mencapai puncaknya diperkirakan antara abad ke-12 hingga abad ke-16 (sebelum kehadiran pelaut-pelaut Tiongkok dari utara dan Eropa dari barat). Pada rentang abad ini pusat peradaban berada di Jawa bagian timur (Singhasari dan Majapahit) dan di Sumatra bagian utara (Panai dan Aru). Pada rentang waktu ini ada pasang surut hubungan kerajaan-kerajaan di Tanah Batak dan kerajaan-kerajaan di Tanah Jawa. Hubungan erat antara Jawa dan Batak, menurut FM Schnitger terjadi pada era Radja Kertanegara dari Singhasari (ada candi di Singhasari mirip dengan arsitektur candi di Tanah Batak).


Sejak kapan navigasi pelayaran nusantara bermula tidak diketahui secara pasti. Sejak zaman kuno diketahui sudah diketahui ada proses pembalseman di Mesir kuno (raja-raja yang dikubur di dalam piramida). Dalam kitab suci Taurat/Injil disebut emas banyak didatangkan dari (pegunungan) Ophir. Dalam catatan geografis Ptolomeus abad ke-2 disebut sentra produksi kamper di Sumatra bagian utara. Pada abad ke-2 ini juga disebutkan dalam catatan Tiongkok pada Dinasti Han seorang utusan Raja Yeh-tiao menghadap Kaiser Tiongkok di Peking, untuk meminta izin membuka pos perdagangan. Prasasti Vo Cahn (Nha Trang yang sekarang) yang berasal dari abad ke-3. Pada abad ke-5 dalam catatan Eropa disebut produk kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Baroes. Sementara itu di Jawa (bagian barat) dan Kalimantan (bagian timur) ditemukan prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-5.

Navigasi pelayaran nusantara diduga telah berkembang pada abad ke-2 dimana kerajaan di Sumatra bagian utara (Kerajaan Batak/Baroes) telah mampu menavigasi pelayaran ke pantai timur Tiongkok dalam perdagangan emas dan kamper. Di Jawa pada abad ke-5 telah berkembang kerajaan (Hindoe) Tarumanegara yang pengaruhnya mencapai (pulau) Kalimantan. Hubungan Jawa dan Kalimantan mengindikasikan navigasi pelayaran perdagangan telah berkembang di Tanah Jawa. Interaksi kerajaan di Tanah Jawa dengan kerajaan di Tanah Batak diduga kuat dimulai pada abad ke-7 (lihat prasasti Kedoekan Boekit 682 M; prasati Kota Kapoer 686 M; dan prsasti Sojomerto akhir abad ke-7). Pada abad ke-7 inilah diduga awal hubungan navigasi pelayaran antara Sumatra (Tanah Batak) dengan Jawa (Tanah Jawa, khususnya bagian tengah).


Dalam prasasti Kedoekan Boekit (682 M) disebutkan Raja Dapunta Hyang Nayik dengan pasukan besar berangkat dari Minanga. Radja Nayik menabalkan raja baru (Sriwijaya) dengan gelar Dapunta Hyang Srijayanaga (lihat prasasti Talang Tuwo 684 M). Untuk memperkuat kedudukan raja Sriwijaya, Dapunta Hyang Nayik membuat perjanjian kepada raja-raja di empat wilayah agar patuh pada hukum dan raja (baru) akan menghukum berat yang melanggar. Isi perjanjian yang kurang lebih sama di empat wilayah Sriwijaya tersebut pada tahun 686 M (lihat prasasti Telaga Batu/Palembang; prasasti Kota Kapoer/Bangka; prasasti Karang Berahi/Jambi; dan prasasti Pasemah/Lampoeng). Secara khusus dalam prasasti Kota Kapoer/Bangka 686 M disebutkan (raja Dapunta Hyang Nayik) dengan pasukan akan menyerang Jawa. Dalam fase abad ke-7 ini ada indikasi yang kuat telah terbentuk navigasi pelayaran yang kuat dalam ekspedisi maritime yang dimulai dari Tanah Batak ke Jawa melalui Sumatra bagian selatan. Para peneliti era Hindia Belanda nama Minanga adalah sebuah kota di Tanah Batak di Sumatra bagian utara yakni Binanga di pantai timur Sumatra daerah aliran sungai Panai/Barumun. Besar dugaan pelabuhan Minanga ini sudah terbentuk sejak lama, Para peneliti era Hindia Belanda, seperti disebut di atas raja Yeh-tiao yang mengirim utusan ke Tiongkok abad ke-2 disebut raja dari Sumatra bagian utara. Dalam hal ini kerajaan di Tanah Batak memiliki Pelabuhan Baroes di pantai barat dan Minanga/Binanga di pantai timur (pada masa itu pulau Sumatra lebar terpendek berada di daerah aliran sungai Barumun Tanah Batak. Sementara itu, adanya perjanjian-perjanjian di empay wilayah di Sumatra bagian selatan mengindikasikan kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan baru. Sedangkan serangan ke Jawa diduga adalah serangan dari Sumatra (Tanah Batak/Sriwijaya) yang Boedha untuk menaklukkan kerajaan di Jawa bagian barat (Tarumanegara) dan kerajaan di Jawa bagian tengah (Kalingga) yang Hindoe. Dalam perkembangannya pengaruh Boedha mulai menguat di Jawa (khususnya Jawa bagian tengah) dengan dikukuhkannya raja Jawa yang baru dengan gelar Dapunta Seilendra (prasasti Sojoemerto akhir abad ke-7).

Pada abad ke-8 navigasi pelayaran sudah terbentuk di Nusantara bagian barat, diantara Tanah Batak di barat, Tanah Jawa di selatan, pantai timur Tiongkok di utara dan Tanah Kalimantan di timur. Pada fase abad ke-8 ini hubungan yang erat antara kerajaan di Tanah Jawa dan kerajaan di Tanah Batak terindikasi pada prasasti Ligor, 775 M). Dalam prasasti ini disebut keberhasilan pembangunan candi di Jawa oleh raja (dari dinasti baru). Indikasi teknologi konstruksi candi yang telah lama berkembang di Jawa (bagian barat) diadaptasi dan dikembangkan di Tanah Batak dan di Tanah Jawa (bagian tengah).


Candi Batujaya di Jawa bagian barat (era Tarumanegara) diduga adalah candi pertama di nusantara (yang dibangun sebelum abad ke-7). Candi-candi tertua berikutnya di Tanah Batak (candi Simangambat) dan di Tanah Jawa bagian tengah (era awal Mataram kuno).  Candi Simangambat di Tanah Batak yang dibangun pada abad ke-8 memiliki kemiripan dengan candi-candi di Jawa Tengah. Di dua wilayah ini candi-candi mulai dibangun pada abad ke-8 dengan menggunakan teknik batu andesit (candi di Tarumanegara, Jawa bagian tengah menggujnakan teknologi batu bata, teknik yang kemudian dikembangkan di Tanah Batak).

Candi tertua di Jawa diduga adalah candi Batujaya. Karawang (di Jawa bagian barat). Candi Batujaya diduga dibangun jauh sebelum abad ke-7. Sedangkan candi tertua di Sumatra berada di Tanah Batak (candi Simangambat di Angkola/Mandailing-kini Tapanuli Selatan). Candi Simangambat dibangun pada abad ke-8.


Para ahli arkeologi masa kini membuktikan bahwa banyak persamaan antara candi Simangambat (di Tanah Batak) dengan candi-vandi di Jawa (Tanah Jawa) seperti candi Sewu (sebelum candi Borobudur dibangun). Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejak kapan candi Simangambat dibangun? Boleh jadi persamaan candi Simangambat dengan candi di Jawa karena ada restorasi baru dalam candi Simangambat. Dalam hal ini bisa jadi candi Simangambat pada abad ke-8 (Boedha) telah mengalami perubahan bentuk dari bentuk awal candi Simangambat (Hindoe). Teknologi candi di nusantara (Tanah Batak dan Tanah Jawa) diduga bermula pada awal peradaban Hindoe di nusantara, yang dalam hal ini diduga terdapat di Tanah Jawa (candi Batujaya) dan Tanah Batak (candi Simangambat). Keduanya berawal di wilayah pantai pada waktu itu. Candi Simangambat dibangun di sisi timur suatu danau tua di belakang pantai di daerah Siabu yang sekarang. Ke dalam danau ini bermuara dua sungai besar yakni Batang Angkola dan Batang Gadis. Danau ini tidak ada lagi karena sudah jebol, tetapi kini hanya tinggal rawa (rodang) yang luas.  Proses sedimentasi jangka panjang karena aktivitas manusia dan jebolnya danau menyebabkan terbentek daratan/rawa yang luas seakan candi Simangambat pada masa ini terkesan jauh di pedalaman (hal serupa juga di arah timur Candi Simangambat terdapat pusat percandian pada berikutnya kini seakan jauh di pedalaman dari pantai timur Sumatra.  Idem dito dengan Tanah Batak di Sumatra, di Tanah Sunda di Jawa pada masa lampau candi Batujaya beradad di pantai/laut. Secara geomorfologi candi Batujaya pada zaman kuno berada di sisi barat suatu pulau di muara sungai Tjitarum. Akibat proses sedimentasi jangka panjang pulau dimana berada candi menyatu dengan daratan, sementara proses sedimentasi, sungai Tjitarum terus mencari jalan menuju laut sehingga kini candi Batujaya seakan berada jauh di pedalaman. Dalam hal ini peradaban awal di Nusantara pada awalnya bermula di pesisir (termasuk belakang pantai). Harus diingat di pedalaman sudah sejak dahulu terdapat populasi yang memproduksi yang bertukar dengan populasi di pentai/belakang pantai dimana terdapat candi-candi tersebut.

Teknologi candi yang menyertai masuknya pengaruh Hindoe, sebenarnya dapat dikatakan merupakan perubahan radikal teknologi navigasi pelayaran penduduk asli nusantara yang berdiam di pulau-pulau terutama di Sumatra dan Jawa. Pengaruh Hindoe sangat mempengaruhi populasi asli, tidak hanya religi, juga teknologi (candi dan navigasi pelayaran). Pengaruh ini terus berlangsung hingga abad ke-7 dan abad-abad selanjutnya. Adopsi religi dan transfer teknologi dari luar pada akhirnya menjadi elemen peradaban penduduk asli. Navigasi pelayaran dari Tanah Batak (prasasti Kedoekan Boekit 682 M) ke Jawa (Kota Kapoer 686 M) menjadi bukti terawal navigasi pelayaran di nusantara dalam skala besar.


Relief kapal pada dinding candi Borobudur apakah itu telah menggambarkan kemajuan teknologi navigasi pelayaran di Jawa? Sangat sulit menjawabnya dan masih misteri. Yang jelas fakta bahwa telah ada navigasi pelayaran dar pantai timur Sumatra (bagian utara) ke (pulau) Jawa. Dinasti Seilendra diduga bagian dari federasi (kerajaan) dari Sumatra yang terus mengembangkan peradaban baru, terutama di pedalaman Jawa (Mataram Kuno) dimana kemudian dibangun monument raksasas candi Borobudur. Sangat sulit menjelaskan kerajaan baru yang terbentuk di pedalaman Jawa pada era Boedha sudah terbiasa dalam gkegiatan maritime (navigasi pelayaran perdagangan). Lantas apakah relief kapal/perahu laya pada candi Borobudur sebagai wujud navigasi pelayaran dari Sumatra bagian utara ke Jawa (bagian tengah)? Bukankah navigasi pelayaran perdagangan di Jawa bermula pada era Singhasari dan puncaknya pada era Majapahit? Memang sudah sejak lama ada indikasi navigasi pelayaran di Jawa, yakni dengan memperhatikan relasi isi teks prasasti Muara Kaman dan prasast-prasasti di Jawa bagian barat (Tarumanagara?). Namun yang menjadi soal adalah Tarumanagara di pantai utara Jawa, dinasti Seilendra di pedalaman Jawa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Navigasi Pelayaran Perdagangan di Utara dan Selatan Khatulistiwa: Peta Navigasi Pelayaran di Nusantara

Seperti disebut di atas, sejarah awal navigasi nusantara dimulai dari (kota Pelabuhan) Minanga (kini Binanga?) di Sumatra bagian utara, lalu ke Sumatra bagian selatan (Palembang, Bangka, Jambi), dan seterusnya ke Jawa. Dalam hal ini ada tiga raja: Dapunta Hyang Nayik (Sumatra bagian utara), Dapunta Hyang Srinagajaya (Sumatra bagian selatan) dan Dapunta Seilendra (Jawa bagian tengah). Tiga raja ini menjadi bagian dari federasi (supra kerajaan) dimana diduga yang jadi ketua adalah Dapuntra Hyang Nayik. Pada masa inilah pengaruh Sriwijaya (Boedha) di Jawa khususnya di Jawa bagian tengah dengan monument terbesarnya candi Borobudur. Pengaruh Hindoe di Jawa jelas masih ada, tidak hanya di Jaw bagian barat tetapi juga di Jawa bagian tengah. Monumen baru Hindoe di Jawa bagian tengah adalah candi Prambanan. Jarak yang jauh antara Sumatra bagian utara dan Jawa bagian tengah federasi Sriwijaya menjadi longgar setelah terjadinya ekspedisi Kerajaan Chola (dari India). Navigasi pelayaran nusantara kemungkinan berhenti di Sumatra, khususnya seputar Selat Malaka. Meski demikian, wilayah federasi Sriwijaya sudah berkembang di seputar Laut Cina Selatan (lihat prasasyi Ligor 775 dan prasasti Laguna 900 M).


Dalam prasasti Tanjore (1030) dinyatakan armada Kerajaan Chola telah menaklukkan negeri-negeri di pantai timur India, teluk Bengale dan pantai barat Burma dan negeri-negeri di Selat Malaka. Dalam teks ini disebut setelah menaklukkan Kerajaan Kadaram (kini Kedah di Semenanjung Malaya) dan menawan rajanya, kemudian serangan dilakukan di pantai timur Sumatra. Yang pertama ditaklukkan adalah negeri Vidyadhara-torana, gerbang kota pedalaman yang luas yang dilengkapi perlengkapan perang, berhiaskan permata dengan kemuliaan besar yang menjadi gerbang kemakmuran (kerajaan) Sriwijaya. Setelah itu ditaklukkan negeri Pannai dengan kolam air, Malaiyur dengan benteng terletak di atas bukit; Mayirudingam dikelilingi oleh parit; Ilangasogam yang tak gentar dalam pertempuran sengit...; Mappappalam dengan air sebagai pertahanan; Mevilimbangam, dengan dinding tipis sebagai pertahanan; Valaippanduru, memiliki lahan budidaya dan hutan; Takkolam yang memiliki ilmuwan; pulau Madamalingam berbenteng kuat; Ilamuri-Desam, yang dilengkapi dengan teknologi hebat; Nakkavaram yang memiliki kebun madu berlimpah. Dalam hal ini dapat diinterpretasi di wilayah Selat Malaka hanya ada dua kerajaan yakni Kerajaan Kadaram dan Kerajaan Sriwijaya. Negeri-negeri di wilayah (kerajaan) Sriwijaya di Sumatra yang disebut sebagian besar adalah mirip dengan nama-nama tempat yang terdapat di wilayah Tapanuli Selatan yang sekarang (Angkola, Mandailing dan Padang Lawas) sebagai berikut: Vidyadhara-torana (Torgamba); Pannai (Pane); Malaiyur (Malea); Mappappalam (Sipalpal); Mevilimbangam (Limbong); Ilangasogam (Binanga/Sunggam); Valaippanduru (Mandurana); Takkolam (Akkola) dan Madamalingam (Mandailing).

Dimana ibukota (kerajaan) Sriwijaya? Hingga kini tidak ada yang bisa menjelaskan dengan pasti. Namun sebenarnya tidak perlu mencari di tempat lain yang sulit dibuktikan. Bukankan di dalam teks prasasti Tanjore (1030) disebut dengan jelas nama Vidyadhara-torana. Perhatikan dalam teks: ‘Negeri Vidyadhara-torana, gerbang kota pedalaman yang luas yang dilengkapi perlengkapan perang, berhiaskan permata dengan kemuliaan besar yang menjadi gerbang kemakmuran Sriwijaya’. Jelas disebut dalam teks (ibu kota) kerajaan Sriwijaya senagai pintu gerbang dengan atribut ibu kota kerajaan (perlengkapan perang, penuh hisan permata dan kemulian besar). Gerbang kota pedalaman dapat diartikan bahwa ibu kota Sriwijaya ini di negeri Vidyadhara-torana (kini Tor Gamba?). Torgamba pada masa ini di daerah aliran sungai Barumun, yang sudah barang tentu pada masa lampau (abad ke-11) masih berada di muara sungai Barumun (gerbang). Negeri-negeri di belakang ibu kota (di belakang pantai, di pedalaman) sesuai dengan arah geografis masa kini yakni Pannai (Pane); Malaiyur (Malea); Mappappalam (Sipalpal); Mevilimbangam (Limbong); Ilangasogam (Binanga/Sunggam); Valaippanduru (Mandurana); Takkolam (Akkola) dan Madamalingam (Mandailing). Disebut pulau Madamalingam (Mandailing).diduga kuat pada masa itu berada di sebuah pulau di muara sungai Rokan (tentu saja pada saat itu sungai Rokan (kanan) belum sepanjang yang sekarang.


Seperti telah disebut di atas, nama Binanga dicatat di dalam prasati Kedoekan Baoekit (682 M), suatu Pelabuhan yang diduga berada di muara sungai Barumun (suattu teluk) dimana sungai Panai juga bermuara. Oleh karena terjadi proses sedimentasi jangka Panjang lebih dari tiga abad (692-1030 M), telah terjadi pemberukan daratan di muara sungau Barumun yang mana sungai sendiri menemukan jalan ke pantai dengan membentuk jalur sungai baru hingga sungai Barumun bermuara di Vidyadhara-torana (Tor Gamba/Kota Pinang). Saat mana kerajaan Chola melakukan penyerangan, negeri  Vidyadhara-torana berada di garis pantai dimana ibu kota Sriwijaya. Sungai Barumun ini terus memanjang hinggan pada masa ini muaranya berada di Labuhan Bilik. Idem dito dengan pulau Madamalingam (Mandailing) di muara sungai Rokan (kanan). Pada masa itu di selatan sungai teluk Barumun/Panai terdapat teluk lainnya dimana dua sungai bermuara yakni sungai Rokan Kanan dan sungai Rokan Kiri. Teluk tersebut akibat proses sedimnentasi jangka panjang yang menyerbabkan daratn meluas dan pulau membesar menyebabkan pulau menyatu dengan daratan, yang kemudian di hilir dua sungai bertemu, yang selanjutnya ke hilir membentu jalur sungai tunggal hingga menuju pantai (sungai Rokan).. Antara negeri Vidyadhara-torana (Kota Pinang/Tor Gamba) dan negeri  Madamalingam (Mandailing) terdapat negeri0-negeri lainnya. Negeri Malaiyur (Malea) diduga berada di lereng gunung Malea (hulu sungai Barumun). Di utara gunung Malea terdapat wilayang Angkola (Takkolam) yang kini menjadi pusat Kota Padang Sidempoean.

Negeri-negeri yang berdekatan (prasasti Tanjore 1030) di daerah aliran sungai Barumun, sungai Panai dan sungai Rokan diduga kuat menjadi pusat Sriwijaya. Berfasarkan prasasti Kedokekan Boekir 682 Minanga/Binanga adalah ibu kota, sedangkan negeri-negeri di Sumatra bagian selatan (prasasti-prasasti Telaga Batu, Karang Berwahi, Pasemah dan Bangka) adalah perluasan (kerajaan) Sriwijaya (dengan raja baru bergelar Dapunta Hyang Srinagajaya). 


Dalam prasasti Tanjore, target utama Kerajaan Chola dari India di Selat Malaka (Semenanjung Malaya dan Sumatra). Tentulah dua kerajaan besar yakni Kadaram di Smenanjung dan Sriwijaya di Sumatra. Oleh karena negeri-negeri yang ditaklukkan berada di tiga daerah sungai (Barumun, Panai dan Rokan) tentulah wilayah ini yang menjadi pusat kerajaan Sriwijaya (negeri-negeri di Sumatra bagian selatan hanyalah perluasan kerajaan Sriwijaya). Dengan menaklukan pusat, maka secara defacto dan secara de jure Swiwijaya (Boedha) dapat dikatakan telah ditaklukkan Kerajaan Chola. Kerajaan Sriwijaya tamat, negeri-negeri di bawah jajahan Chola Kembali menjadi Hindoe. Catatan: nama sungai Rokan diduga merujuk pada nama Aroekan. Seperti nama Baroemoen, kata ‘aroe’ adalah sungai (sungai B-aroe-moen dan sungai Aroe-kan). Seperti kita lihat nanri di wilayah (pusat) Sriwijaya ini terbentuk nama kerajaan baru dengan nama Kerajaan Aroe.

Setelah invasi Kerajaan Chola ke Selat Malaka, kerajaan Sriwijaya yang sudah lama tamat, tetapi negeri-negeri di Sumatra bagian utara bangkit kembali. Namun dalam hal ini terjadi pembauran ajaran Boedha dengan Hindoe yang menghasi;lkan agama Boedaha Batak (Bhirawa). Pada waktu yang sama kerajaan di Jawa telah bergeser dari Jawa bagian tengah (dinasti Seilendra/Mataram Kuno) ke negeri-negeri di Jawa bagian timur (Kerajaan Singhasari, suksesi Kerajaan Kediri). Di Jawa juga terjadi pembauran Boedha dan Hindoe, tetapi pembauran di Sumatra bagian utara sangat khas (Bhirawa) yang juga menggabungkan kepercayaan local (penghormatan kepada leluhur). Pada era Raja Singhasari, Kertanegara menjalin hubungan dengan Kerajaan di Sumatra bagian utara (Kerajaan Aroe, suksesi nama Sriwijaya). Dalam hal ini navigasi pelayaran Nusantara terjalin kembali alias semua kerajaan terhubung satu sama lain lagi (setelah lama vakum, akibat keberadaan pengaruh Chola).


Bukti hubungan antara Sumatra bagian utara dan Jawa bagian timur ini telah ditunjukkan oleh ahli arkeologi FM Schnitger (1939). FM Schnitger menyatakan ada satu candi di Singhasari (dibangun pada era Kertanegara) yang mirip dengan candi-candi di Padang Lawas (Kerajaan Aroe) yang menggambarkan ornament religi agama Boedha Batak (Bhirawa). FM Schnitger menyimpulkan bahwa Raja Kertanegara adalah salah satu pendukung kuat aliran Boedha yang baru (Bhirawa). Seperti kita lihat nanti Radja Adityawarman juga termasuk salah satu pendukung Boedha Batak (Bhirawa).

Saat mana Kerajaan Aroe terbentuk di Sumatra bagian utara, sisa Sriwijaya di Sumatra bagian selatan tetap dengan Boedha. Hal itulah yang diduga menjadi pangkal perkara Singhasari menyerang Palembang (Sumatra bagian selatan) dalam Pamalajoe. Kerajaan yang terbentuk di Sumatra bagian tengah (daerah aliran sungai Batanghari) yang juga beraliran Bhirawa didukung oleh Kertenagara dengan memberi hadiah (berupa patung) kepada raja di  Sumatra bagian tengah, salah satu rajanya kelak adalah Adityawarman di Dharmasraya. Raja Kertanegara meninggal tahun 1292 (yang kemuduan terbentuk kerajaan baru di muara sungai Mojokerto, Kerajaan Majapahit). Navigasi pelayaran nusantara dari Jawa ke Sumatra Kembali dilanjutkan oleh Majapahit (Sementara Kerajaan Aroe/Panai di Sumatra bagian utara navigasi pelayarannya lebih intens di utara ekuator ke pantai utara Borneo, pulau-pulau di Filipinan, Sulawesi bagian urara hingga pulau-pulau di Maluku).


Hubungan navigasi pelayaran perdagangan (kerajaan) Majapahit di nusantara tergambar dengan nama-nama tempat yang disebutkan dalam teks Negarakertagama (1365). Nama-nama yang disebut di (pulau) Sumatra antara lain Panai, Mandailing, Rokan, H/aroe dan Baroes (nengeri-negeri di Sumatra bagian utara tergabung dalam kerajaan federasi Kerajaan Aroe). Sementara di Sumatra bagian tengah disebut nama Siak, Indragiri, Kampar serta Dharmasraya. Sedangkan di Sumatra bagian selatan hanya satu tempat yang disebutkan yakni Palembang sendiri. Ini mengindikasikan bahwa wilayah Sumatra bagian selatan hanya sedikit, jika tidak boleh disebut satu yang berkembang (yakni Palembang sendiri). Dalam hubungan ini nama Panai masih eksis sebagaimana terdapat nama Panai dalam prasasti Tanjore 1030. Juga dapat dimasukkan nama negeri yang masih eksis yakni Mandailing. Tampaknya pada era Singhasari/Majapahit ini di hilir negeri Mandailing terbentuk negeri baru Rokan (sungai Rokan semakin memanjang karena proses sedimentasi jangka panjang).

Ada beberapa peristiwa pada era ini antara lain kunjungan utusan Moor (Ibnu Batutath) ke selat Malaka tahun 1345 dan pantai timur Tiongkok; Pati Gajah Mada meninggal tahun 1364. Radja Adityawarman pendukung fanatic agama Boedha Batak (Bhirawa) meninggal tahun 1375. Dengan tiadanya Gajah Mada, Kerajaan Majapahit (semasa Hayam Wuruk) mulai melemah dalam navigasi pelayaran perdagangan nusantara. Hal itu juga seiring dengan semakin menguatnya pengaruh Islam di Selat Malaka. Sedangkan navigasi pelayaran di Sumatra bagian utara masih terus berkembang di utara ekuator. Pada fase Majapahit (Hindoe) menurun, dan Aroe/Panai (Islam) meningkat terjadi ekspedisi Tiongkok (Cheng Ho) yang dalam ekspedisi ini juga Cheng Ho mengunjungi Aroe/Panai/Batak (sejak 1403). Cheng Ho juga mengunjungi pantai utara Jawa (antara lain Semarang dan Jepara—terbentuknya kerajaan baru Islam di Demak).


Kerajaan Majapahit semakin meredup hingga hilang, seiring dengan semakin menguatnya Kerajaan Jepara/Demak. Pengaruh Islam mulai memasuki wilayah Hindoe di pedalaman Jawa (Mataram baru). Sementara Kerajaan Demak sangaat powerfull di Jawa, Kerajaan Aroe semakin powerfull di Selat Malaka. Kerajaan baru yang terbentuk di Semenanjung Malaya (Kerajaan Malak) pernah diserang Kerajaan Aroe. Pada saat kehadiran Portugis di selat Malaka (menaklukkan Kerajaan Malaka tahun 1511), Kerajaan Aroe tengah berselisih dengan kerajaan baru di ujung utara Sumatra (Kerajaan Atjeh). Ini dapat dibaca dalam laporan Mendes Pinto yang pernah mengunjungi Kerajaan Aroe Batak Kingdom pada tahun 1537.

Navigasi pelauaran perdagangan di Jawa diwakili oleh Kerajaan Demak, navigasi pelayaran Kerajaan Aroe/Batak Kingdom masih terus berlangsung. Menurut Mendes Pinto (1537) kekuatan Kerajaan Aroe Batak Kingdom sebanyak 15.000 pasukan, dimana delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau. Jambi, Indragiri, Brunai dan Luzon. Ini mengindikasikan navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aroe/Panai masih eksis di Laut China Selatan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar