Senin, 26 September 2022

Sejarah Bangka Belitung (11): Selat Bangka dan Selat Gaspar; Narasi Riwayat Navigasi Pelayaran Perdagangan Sejak Zaman Kuno


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini 

Dalam artikel sebelum ini, dibicarakan geomorfologi pulau Bangka dan pulau Belitung. Artikel ini membicarakan selata Bangka dan selata Gaspar yang memisahkan pulau Sumatra di satu sisi dan yang memisahkan diantara pulau Bangka dan pulau Belitung di sisi lain. Bagaimana sejarah selat Bangka dan selat Gaspar sejak awal navigasi pelayaran perdagangan? Siapa yang peduli.


Dalam laman Wikipedia deskripsi selat Bangka hanya secuil: ‘Selat Bangka adalah selat yang memisahkan Pulau Sumatra dan Pulau Bangka, di perairan sebelah barat Laut Jawa. Selat Bangka juga memisahkan Provinsi Sumatra Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung’. Sementara selat Gaspar, sebagai berikut: ‘Selat Gaspar adalah sebuah selat yang memisahkan pulau Bangka dan Belitung. Selat Gaspar adalah bagian dari dangkalan Sunda yang kedalamannya kurang dari 200 meter. Selat Gaspar terkenal karena menjadi tempat banyak situs kapal karam. Selat Gaspar sejak zaman dahulu berperan penting sebagai jalur pelayaran antara kapal-kapal dari arah Selat Malaka dan Tiongkok ke Jawa. Wilayah ini masuk ke dalam wilayah laut provinsi Bangka Belitung yang terdapat Pulau Gaspar, atau Pulau Glassa, kurang lebih 24 mil dari utara Pulau Tengah dan 18 mil dari Tanjong Brekat’. Apa hanya itu saja? Mari kita cari tahu!

Lantas bagaimana sejarah Selat Bangka dan Selat Gaspar? Seperti disebut di atas, sejarah selat Bangka dan selat Gaspar kurang terinformasikan. Bagaimana riwayat navigasi pelayaran perdagangan sejak zaman kuno di selat Bangka dan selat Gaspar nyaris tidak terperhatikan. Lalu bagaimana sejarah Selat Bangka dan Selat Gaspar? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Selat Bangka dan Selat Gaspar; Riwayat Navigasi Pelayaran Perdagangan Sejak Zaman Kuno

Nama selat Bangka sudah lama disebut, karena berada diantara pulau Sumatra dengan pulau Bangka. Nama pulau Bangka sendiri adalah nama tua yang berasal dari jaman kuno. Lalu bagaimana dengan nama selat Gaspar? Belum lama dikenal. Selat Gaspar berada diantara pulau besar Bangka dan pulau besar Billiton (Belitung). Nama selat mengambil nama pulau Gaspar.


Gaspar adalah nama asing, bukan nama local (nama kuno).  Gaspar adalah nama suatu pulau kecil yang diberikan, yang juga menjadi nama selat.  Sela tantara pulau Bangka dan pulau Billiton ini dinimai pulau/selat Gaspar setelah seorang kapten Spanyol, Gaspar melewatinya pada tahun 1724 yang dari Manila. Namun demikian, selat ini pertama kali telah dilalui oleh seorang kapten Inggris, Hurie dengan kapal Macclesfield pada tahun 1702. Dalam peta navigasi kemudian nama selat Macclesfield ditabalkan antara pulau Lepar dan pulau Pongok/pulau Liat. Sementara itu antara pulau Pongok dan pulau Gersik disebut selat Clements. Sedangkan antara pulau Gersik dengan pulau Mendanau disebut selat Stolze. Tiga selat ini menjadi jalur navigasi yang dapat dilalui. Secara keseluruhan, kemudian tiga selat ini diberi nama tunggal sebagai selat Gaspar.

Pulau Gaspar juga disebut pulau Glassa (kini Gelasa). Tiga selat yang ada diantara pulau Lepar dan pulau Mendanau kemudian disebut secara umum dengan nama selat Gaspar. Dalam hal ini, nama Gaspar menjadi nama selay dan nama Glassa menjadi nama pulau. Pulau Gelasa atau dulu pulau Gaspar dijadikan sebagai nama selat secara keseluruhan diduga karena posisi pulau Gaspar/Glassa paling utara, yang dijadikan penanda awal navigasi yang berasal dari utara (Tiongkok dan Filipina. Bagaimana dengan selat Karimata? Akan dideskripsikan pada artikel tersediri.  


Nama-nama tempat dan nama-nama pulau serta nama gunung dan nama sungai sudah ada sejak zaman kuno. Namun untuk nama selat, nama tanjoeng dan nama teluk baru muncul pada era navigasi pelayaran Eropa (sejak era Portugis) dan mendapat ‘pengakuan’ pada era VOC dan era Pemerintah Hindia Belanda. Dalam sejarahnya, penamanan selat memiliki dinamikanya sendiri. Misalnya, di sebelah timut (pulau) Jawa selat Bali awalnya disebut selat Blambanga (kini selat Bali) dan antara pulau Bali dengan pulau Lombok disebut selat Bali (kini selat Lombok). Sementara di sebelah barat (pulau) Jawan ama selat Sunda mengambil nama pulau Zunda (kini menjadi pulau Sangiang). Kota pelabuhan Calapa di muara sungai Tjiliwong oleh pelaut-pelaut (ahli kartografi) Portugis mengidentifikasinya menjadi pelabuhan Zunda Calapa (kini Sunda Kelapa). Besar dugaan dari nama pulau/selat (Sunda), populasi di wilayah Jawa bagian barat disebut Orang Sunda. Selain yang terkenal di utara selat Sunda adalah selat Bangka, antara Sumatra Selatan dengan pulau Bangka (mengambil nama dari pulau Bangka). Selat ini sudah dikenal dari awal, karena jalur navigasi utama sejak era Nusantara hingga era Portugis. Satu selat lagi di utara antara Jambi dengan Pulau Lingga kini disebut Berhala, dengan mengambilm nama dari pulau Berhala di antara perairan daratan Jambi dengan pulau Lingga. Nama pulau Berhala sebenarnya nama kuno (mungkin setua nama Bangka dan Lingga) era Hindoe/Boendha. Namun tampaknya kini dieja dengan salah dari nama awal Berhala (Be-rhala menjadi Ber-hala).

Selat Gaspar diduga telah ditinggalkan untuk waktu yang lama, karena diduga menjadi Kawasan para bajak laut. Oleh karenanya jalur navigasi yang dipilih adalah selat Bangka dan selat Karimata. Disamping itu jalur selat Gaspar memiliki siklus angin yang tidak terduga. Pada masa permulaan Pemerintah Hindia Belanda, Kawasan selat Gaspar dibersihkan dari para bajak laut. Pada tahun 1821 satu kapal dari Batavia dengan tujuan ke utara melewati selat Gaspar, namun dalam laporan kapal itu tersesat hingga terdapat di pantai barat Borneo karena badai yang terjadi (lihat Bataviasche courant, 17-02-1821). Lalu pada tahun 1822 satu kapal yang sarat penumpang mengalami kecelakan hebat di selat Gaspar (lihat Bataviasche courant, 16-03-1822).


Kapal di Diana, dengan Capt. Jatnet Pearl, dalam perjalanan dari Batavia melalui selat Gaspar ke Poniianak, dll, menemukan satu kecelakan kapal (di ujung timur pulau Gaspar) yang sarat dengan penunmpang Cina di sekitar selat Gaspar, kapal dalam posisi terbalik yang dimana-mana terhampar banyak keeping kayu dan benda-benda lain terapung. Sebagian penumpang masih dapat bertahan dengan bergantung pada kayu-kayu. Kapten mengerahkan para crewnya untuk menemukan yang masih hidup. Akhirnya dapat diselamatkan pertama sebanyak 95 orang yang semuanya orang Cina yang menggunakan kapal Cina. Hampir semua korban yang ditemukan hidup tidak berpakaian. Total ada 190 orang yang dapat diselamatkan yang kemudian, setelah diberi pakaian, para korban kapal karam dibawa ke Pontianak untuk mendapatkan perawatan. Sebagian besar mendarat di Pontianak, tetapi ada 10 orang penumpang yang ingin ikut berlayar ke Batavia.

Kecelakaan kapal karam di Selat Gaspar ini adalah suatu tragedy navigasi. yang dapat dianggap mendekati tragedy kapal Titanic kemudian. Kapal karam Cina berbobot delapan atau sembilan ratus ton berangkat dari Kanton (dengan tujuan Batavia) tersebut membawa penumpang 1600 orang dan banyak kargo. Hanya sebagian kecil yang dapat diselamatkan, Menurut laporan kapal Diana mayat terdapat dimana-mana.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Riwayat Navigasi Pelayaran Perdagangan Sejak Zaman Kuno: Era Navigasi Nusantara hingga Era Navigasi Eropa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar