Kamis, 27 Oktober 2022

Sejarah Lampung (18): Pembangunan Jalan Wilayah Lampung; Bermula Ruas Tarabangi dengan Teloek Betoeng dan Tebing Tinggi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini  

Pada masa ini seluruh tempat di wilayah (provinsi) Lampung sudah terhubung dengan moda transfortasi jalan raya. Dari kota besar hingga ke kota kecil dan desa-desa serta antar desa. Semua itu bermula di masa lampau, jalan rintisan oleh penduduk Lampung yang kemudian dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jalan-jalan itu pula yang ditingkatkan dengan menambah ruas jalan baru pada era Pemerintah Republik Indonesia.


Satu yang penting pada masa ini, moda transportasi sudah terhubung antara satu daerah dengan daerah lain di (pulau) Sumatra, antara provinsi Lampung dengan semua provinsi di Sumatra melalui jalan utama trans-Sumatra dari Jakarta dimulai di wilayah Lampung (dulu pelabuhan Teluk Betung/Panjang dan kini Bakauheni). Akhir-akhir ini status jalan itu telah ditingkatkan dengan moda transportasi jalan tol.

Lantas bagaimana sejarah pembangunan jalan di wilayah Lampung? Seperti disebut di atas, semua itu bermula pada era Pemerintah Hindia Belanda. Dua ruas pertama pembangunan jalan di Lampung adalah ruas Tarabangi (kini Terbanggi Besar) ke selatan di Telok Betoeng dan ruas ke utara antara Tarabangi ke Tebing Tinggi (Residentie Palembang). Lalu bagaimana sejarah pembangunan jalan di wilayah Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pembangunan Jalan di Wilayah Lampung; Awal Mula Ruas Tarabangi dengan Telok Betoeng dan Tebing Tinggi 

Hingga tahun 1846 belum ada jalan raya di wilayah (district) Lampoeng (lihat Zollinger 1846). Namun sudah ada perencanaan pembangunan jalan antara Tarabangi dengan Teloek Betoeng dan Tarabangi dengan Tebing Tinggi (residentie Palembang). Pertanyaannya: antara Tarabangi dan Teloek Betoeng dapat dipahami, namun mengapa harus dari Tarabangi ke Tebing Tinggi (dan bukan ke Palembang)?


Sudah berang tentu antara tiga kampong/kota itu moda transportasi, namun tidak dalam bentuk jalan raya (yang dapat dilalui kereta atau pedati), tetapi jalan setapak yang hanya dapat dilalui dengan menunggang kuda. Diduga jalan setapak ini sudah terbentuk sejak masa lampau. Di wilayah Lampoeng sendiri menurut H Zollinger (1846) jarak antara Teloek Betoeng ke Tarabangi sejauh 55 mil Java dan antara Tarabangi dengan Manggala 33 mil. Zollinger sudah pernah melewati jalan ke dua kota itu dari Tarabangi dengan mengendarai kuda. Seperti dapat diperhatikan pada peta di atas jarak antara Teloek Betoeng ke Tarabangi hanya 55 mil, sementara dari Tarabangi di ujung barat laut Residentie Palembang sangat jauh. Seperti kita lihat nanti, rute jalan yang direncanakan tahun 1846 tersebut, sebenarnya pada masa ini merupakan rute antara Tekluk Betung dengan Tebing Tinggi (trans Sumatra pertama) melalui Bandar Lampung, Terbanggi Besar, Kota Bumi, Martapura, Muara Enim, Lahat hingga ke Tebing Tinggi.

Pada masa itu sulit direalisasikan jika rencana jalan antara Teloek Betoeng via Tarabangi dan Manggala ke Palembang karena masih banyak rawa, lebar sungai yang panjang di wilayah hilir (sementara moda transportasi masih eksis). Sebaliknya pilihan ke arah Tebing Tinggi, terutama karena Pemerintah Hindia Belanda ingin membuka isolasi pedalaman dari selatan (pantai selatan Sumatra/Jawa) hingga jauh ke utara Sumatra di Tebing Tinggi. Satu yang pasti bahwa pembangunan jalan sudah terbuka dari arah pantai barat Sumatra di Indrapoera ke pedalaman di Kerintji hingga ke arah timur di dekat kota Bangko yang sekarang.


Arti penting wilayah Tebing Tinggi dalam hal ini karena wilayah Tebinggi adalah satu afdeeling di Residentie Pelembang yang paling jauh dari kota Palembang di perbatasan wilayah Djambi dan Residentie Sumatra’s Westkust. Akses dari Palembang ke Tebinggi hanya dilalui melalui sungai yang bekelok-kelok. Boleh jadi pemerintah daerah di Residentie Palembang memiliki kepentingan untuk mendorong pembangunan di wilayah Tebingg Tingga setelah terjadi aneksasi Sultan Djambi di distrit Rawas pada tahuhn 1833. Districr Rawa yanh diklaim Djambi, setelah dibebaskan militer dimasukkan ke wilayah Residentie Palembang. Pada tahun 1846 ini satu jalan rintisasn yang sudah ada hanya antara kota Palembang dan kota Djambi sebagai jalan militer (setelah tahun 1936 Pemerintah Hindioa Belanda menempatkan seorang pejabat di Moeara Kompeh (hilir sungai Batanghari di hilir kota Djambi).

Sebagai perbandingan rencana pembangunan jalan dari Telok Betoeng ke Tebing Tinggi, di satu sisi ingin membuka isolasi, tetapi tujuan terpenting adalah untuk memperlancar arus barang dan orang serta tentu saja arus militer. Hal serupa inilah yang dilakukan Gubernur Jenderal Daendels di Jawa pada tahun 1809-1810 dalam pembangunan trans Java antara Batavia ke Panaroekan via Buitenzorg, Bandoeng, Semarang dan Soerabaja serta antara Batavia ke Anjer via Tangerang dan Banten. Pada saat ini (1856) sudah ada pembangunan jalan antara Padang dan Sibolga via Fort de Kock dan Padang Sidempoean.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Awal Mula Ruas Tarabangi dengan Telok Betoeng dan Tebing Tinggi: Awal Trans Sumatra di Lampung

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar